BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Kegiatan pembelajaran di lingkungan pesantren berbeda
dengan kegiatan pembelajaran di sekolah formal, hal yang demikian ini sesuai
dengan pendapat Abdur Rahman Saleh, bahwa:
“Pondok pesantren
memiliki ciri sebagai berikut: 1) ada kiai yang mengajar dan mendidik, 2) ada
santri yang belajar dari kiai, 3) ada masjid, dan 4) ada pondok/asrama tempat
para santri bertempat tinggal. Walaupun bentuk pondok pesantren mengalami
perkembangan karena tuntutan kemajuan masyarakat, namun ciri khas seperti yang
disebutkan selalu nampak pada lembaga pendidikan tersebut. Sistim pendidikan
pondok pesantren terutama pada pondok pesantren yang asli (belum dipengaruhi
oleh perkembangan dan kemajuan pendidikan) berbeda dengan sistim lembaga-lembaga
pendidikan lainnya” [1]
Seperti
juga yang diungkapkan oleh Nurcholis Madjid bahwa: “Pesantren itu terdiri dari lima elemen yang pokok,
yaitu: kiai, santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.
Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan
membedakan pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan dalam bentuk
lain.”[2]
Selanjutnya pondok pesantren sebagai
sebuah lembaga pendidikan yang memiliki ciri khas tertentu dalam kegiatan
pembelajarannya, maka dengan ciri khas inilah yang membedakannya dengan
lembaga-lembaga pendidikan yang lain.
Kegiatan
pembelajaran di pondok pesantren akan berlangsung dengan baik manakala guru
memahami berbagai metode atau cara bagaimana materi itu harus disampaikan pada
sasaran anak didik atau murid. Begitu pula halnya dengan kegiatan pembelajaran
yang ada di pondok pesantren, yang selama ini banyak dilakukan oleh wakil kiai
(ustadz,[3]
gus,[4]
lora[5]).
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Arief, bahwasanya dalam dunia proses belajar
mengajar, yang disingkat dengan PBM, kita mengenal ungkapan yang sudah populer
yaitu “metode jauh lebih penting daripada materi.”
Sedemikian pentingnya metode dalam proses belajar mengajar ini, maka
proses pembelajaran tidak akan berhasil dengan baik manakala guru tidak
menguasai metode pembelajaran atau tidak cermat memilih dan menetapkan metode
apa yang sekiranya tepat digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran kepada
peserta didik.
Begitu pula proses pembelajaran yang berlangsung di
pesantren, seorang ustadz dituntut untuk menguasai metode-metode pembelajaran
yang tepat untuk para santrinya, termasuk juga metode yang dipakai dalam
pembelajaran kitab yang dikenal tanpa harakat (kitab gundul[6]).
Metode pembelajaran kitab yang lazim dipakai di pesantren (baik di pesantren salaf
maupun di pesantren modern[7])
dari dulu hingga sekarang (diantaranya) adalah metode sorogan[8]
dan bandongan[9].
Dari sekian banyak metode di dalam pembelajaran kitab
tanpa harakat di pondok pesantren tidak banyak memperoleh reaksi keras dari
pihak santri dikarenakan figur seorang kiai yang selalu dan harus dihormati dan
dipatuhi, hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Nurcholis Madjid bahwa:
“keberadaan seorang kiai dalam lingkungan pesantren laksana jantung bagi kehidupan
manusia. Intensitas kiai memperlihatkan peran yang otoriter disebabkan karena
kiailah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan bahkan juga
pemiliki tunggal sebuah pesantren.” [10]
Selain itu Bruinessen (1994:17)
mengungkapkan adanya keyakinan dari kiai, ustadz, ataupun santri bahwa kitab tanpa
harakat yang biasanya berwarna kuning merupakan teks klasik yang ada dan selalu
diberikan di pesantren sebagai al-kutub
mu’tabarah, yaitu suatu ilmu yang
dianggap sudah bulat, tidak bisa dirubah-ubah, dan hanya bisa diperjelas dan
dirumuskan kembali manakala kiai, ustadz menghendaki.
Dari pemaparan diatas, peneliti mengamati adanya
kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dalam proses pembelajaran kitab tanpa
harakat yang ada di pesantren. Kesenjangan yang dimaksud meliputi proses
pembelajaran kitab tanpa harakat, mengapa santri -mayoritas- hanya berperan
pasif, dalam artian selama proses pembelajaran kitab, mereka tidak banyak
mengemukakan pertanyaan-pertanyaan ataupun komentar seputar kitab yang dipelajarinya.
Tidak diketahui apakah mereka diam karena mereka sudah paham ataukah ada
sebab-sebab yang lain? Padahal sikap yang mereka tunjukkan di luar lingkungan
pesantren –bagi santri yang bersekolah di lembaga pendidikan formal- berbeda
dengan ketika mereka berada dalam lingkungan pesantren. Mereka aktif, malah
sangat aktif. Selain itu, materi atau ajaran
kitab kuning yang disampaikan oleh ustadz, masih kurang menyentuh pada
ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagian santri. Hal ini diketahui
dari pola pikir dan tingkah laku mereka sehari-hari, baik itu di lingkungan
pesantren maupun di luar pesantren. Kasus inilah yang mendorong peneliti,
untuk mencari sebab terjadinya
kesenjangan-kesenjangan tersebut. Dengan mengamati pelaksanaan metode
pembelajaran kitab tanpa harakat di Pondok Pesantren al-Ishlahiyyah Singosari.
Mengingat pentingnya pemahaman terhadap ajaran-ajaran yang ada dalam kitab
tersebut, dan apabila pemahaman para santri terhadap isi/ajaran kitab itu
salah, maka dalam pensosialisasian ajaran dari kitab tersebut di tengah-tengah
masyarakat akan berakibat fatal/kurang baik.
Dengan paparan latar belakang diatas peneliti ingin
mengetahui secara jelas tentang bagaimana proses implementasi metode
pembelajaran kitab tanpa harakat yang ada di Pondok Pesantren al-Ishlahiyyah
Singosari.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan diatas
maka ada beberapa rumusan masalah yang penulis ungkapkan sebagai pangkal pikir
pada pembahasan selanjutnya.
a.
Bagaimana pelaksanaan metode pembelajaran kitab tanpa
harakat di Pondok Pesantren Putri al-Ishlahiyyah Singosari?
b.
Apa yang menjadi faktor penghambat dan pendukung
pelaksanaan pembelajaran kitab tanpa harakat di Pondok Pesantren Putri al-Ishlahiyyah
Singosari?
- Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
a.
Mengetahui
pelaksanaan pembelajaran kitab tanpa harakat di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah
Singosari Malang.
b.
Mengetahui faktor penghambat dan pendukung dalam
pelaksanaan pembelajaran kitab tanpa
harakat di Pondok Pesantren Putri al-Ishlahiyyah Singosari.
2.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna:
a.
Sebagai bahan pelajaran dalam mengadakan penelitian
ilmiah tentang pembinaan dan pengembangan pondok pesantren sehingga akan
mendapatkan pengalaman baru yang menjadi bahan pertimbangan di masa yang akan
datang.
b.
Sebagai masukan terhadap pengembangan pondok pesantren
dalam rangka membina dan meningkatkan mutu pendidikan di pondok pesantren.
c. Sebagai bahan bandingan dan referensi bagi
penelitian-penelitian selanjutnya.
- Ruang Lingkup Pembahasan
Sesuai
dengan judul diatas yaitu: “Implementasi Metode Pembelajaran Kitab Tanpa
Harakat di Pondok Pesantren Putri al-Ishlahiyyah Singosari”, penulis lebih
menitikberatkan pada pembahasan tentang pelaksanaan pembelajaran kitab tanpa
harakat itu sendiri dan juga termasuk di dalamnya faktor-faktor yang mendorong
dan menghambat dalam pelaksanaan pembelajaran kitab kuning tanpa harakat.
- Sistematika Pembahasan
Organisasi dalam skripsi ini terdiri dari 6 (enam)
bab, yang sistematikanya adalah sebagai berikut:
Bab
pertama, membahas tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, dan
sistematika pembahasan
Bab dua, berisi tentang pengertian kitab tanpa harakat,
jenis kitab tanpa harakat, ciri-ciri kitab tanpa harakat, metode pembelajaran
kitab tanpa harakat, kiai dalam pembelajaran kitab tanpa harakat, santri dalam
pembelajaran kitab tanpa harakat, serta evaluasi dalam pembelajaran kitab tanpa
harakat..
Bab tiga, berisi tentang pendekatan dan jenis
penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, prosedur
pengumpulan data, dan analisa data.
Bab empat, berisi tentang paparan data dan temuan
penelitian yang membahas tentang perkembangan objek penelitian.
Bab lima,
berisi tentang analisa data yang meliputi keadaan fisik objek penelitian,
proses pembelajaran kitab di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah, serta
faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pembelajaran kitab kuning.
Bab enam, berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pembahasan tentang Pembelajaran Kitab Tanpa
Harakat di Pesantren.
A. Pengertian
Kitab Tanpa Harakat
Dalam dunia pesantren asal-usul penyebutan atau
istilah dari kitab tanpa harakat atau kitab kuning belum diketahui secara
pasti. Penyebutan ini didasarkan pada sudut pandang yang berbeda-beda.
Sebutan kitab kuning itu sendiri sebenarnya merupakan
sebuah ejekan dari pihak luar, yang mengatakan bahwa kitab kuning itu kuno,
ketinggalan zaman, memiliki kadar keilmuan yang rendah, dan lain sebagainya.
Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Masdar: “kemungkinan besar
sebutan itu datang dari pihak orang luar dengan konotasi yang sedikit mengejek.
Terlepas dengan maksud apa dan oleh siapa dicetuskan, istilah itu kini telah
semakin memasyarakat baik di luar maupun di lingkungan pesantren.”[11]
Akan
tetapi sebenarnya, penyebutan kitab kuning dikarenakan kitab ini dicetak di
atas kertas yang berwarna kuning dan umumnya berkualitas murah. Akan tetapi
argumen ini menimbulkan kontroversi, karena saat ini, seiring dengan kemajuan
tekhnologi, kitab-kitab itu tidak lagi dicetak di atas kertas kuning akan
tetapi sebagian kitab telah dicetak diatas kertas putih, dan tentunya tanpa
mengurangi esensi dari kitab itu sendiri.
Di kalangan pesantren sendiri, di samping istilah
“kitab kuning”, terdapat juga istilah “kitab klasik” (al-kutub al-qadimah), karena kitab yang ditulis merujuk pada
karya-karya tradisional ulama berbahasa Arab yang gaya dan bentuknya berbeda dengan buku
modern.[12]
Dan karena rentang kemunculannya sangat panjang maka kitab ini juga disebut
dengan “kitab kuno.” Bahkan kitab ini, di kalangan pesantren juga kerap disebut
dengan “kitab gundul”. Disebut demikian karena teks di dalamnya tidak memakai syakl (harakat[13]),
bahkan juga tidak disertai dengan tanda baca, seperti koma, titik, tanda seru,
tanda tanya, dan lain sebagainya. Untuk memahami kitab tanpa harakat (kitab gundul),
maka dari itu di pesantren telah ada ilmu yang dipelajari santri yaitu ilmu
alat atau nahwu dan sharf.
Adapun pengertian umum yang beredar di kalangan
pemerhati masalah pesantren adalah: bahwa kitab kuning selalu dipandang sebagai
kitab-kitab keagamaan yang berbahasa Arab, atau berhuruf arab, sebagai produk
pemikiran ulama-ulama masa lampau (as-salaf)
yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. dalam
rumusan yang lebih rinci, definisi dari kitab kuning dalah: a) ditulis oleh ulama-ulama
“asing”, tetapi seacara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh
para ulama Indonesia, b) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang
“independen”, dan c) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau
terjemahan atas kitab karya ulama “asing”.[14]
Berdasarkan paparan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa kitab kuning adalah kitab yang
senantiasa berpedoman pada al-Qur’an dan Hadits, dan yang ditulis oleh para
ulama-ulama terdahulu dalam lembaran-lembaran ataupun dalam bentuk jilidan baik
yang dicetak diatas kertas kuning maupun kertas putih dan juga merupakan ajaran
Islam yang merupakan hasil interpretasi para ulama dari kitab pedoman yang ada
serta hal-hal baru yang datang kepada Islam sebagai hasil dari perkembvangan peradaban
Islam dalam sejarah.
B. Jenis Kitab Tanpa Harakat di Pondok
Pesantren
Kitab Tanpa Harakat (kitab gundul) yang ada di
pesantren sangat terbatas jenisnya. Dari
kelompok ilmu-ilmu syari’at, yang sangat dikenal ialah kitab-kitab ilmu fikih,
tasawuf, tafsir, hadits, tauhid (aqaid), dan tarikh (terutama sirah nabawiyah, sejarah hidup nabi
Muhammad saw.). Dari kelompok ilmu non-syari’at, yang banyak dikenal ialah
kitab-kitab nahwu sharf, yang mutlak diperlukan sebagai alat bantu untuk
memperoleh kemampuan membaca kitab tanpa harakat (kitab gundul). Dapat
dikatakan bahwa kitab kuning yang banyak beredar di kalangan pesantren adalah
kitab yang berisi ilmu-ilmu syari’at, khususnya ilmu fikih.
Dari keseluruhannya, Kitab Tanpa Harakat
diklasifikasikan ke dalam empat kategori: 1) Dilihat dari kandungan maknanya,
2) Dilihat dari kadar penyajiannya, 3)
Dilihat dari kreatifitas penulisannya, dan 4) Dilihat dari penampilan
uraiannya.[15]
1)
Dilihat dari kandungan maknanya
Kitab tanpa Harakat atau kitab kuning dapat dikelompokkan menjadi dua
macam, yaitu: a) kitab yang berbentuk penawaran atau penyajian ilmu secara
polos (naratif) seperti sejarah, hadits, dan tafsir, dan b) kitab yang
menyajikan materi yang berbentuk kaidah-kaidah keilmuan seperti nahwu, ushul
fikih, dan mushthalah al-hadits
(istilah-istilah yang berkenaan dengan hadits)
2)
Dilihat dari kadar penyajiannya
Kitab Tanpa Harakat dapat dibagi tiga macam, yaitu: a) mukhtashar, yaitu
kitab yang tersusun secara ringkas dan menyajikan pokok-pokok masalah, baik
yang muncul dalam benuk nadzam atau syi’r
(puisi) maupun dalam bentuk nasr (prosa),
b) syarah, yaitu kitab yang memberikan uraian panjang lebar, menyajikan
argumentasi ilmiah secara komparatif, dan banyak mengutip ulasan para ulama
dengan argumentasi masing-masing, dan c) kitab kuning yang penyajian materinya
tidak terlalu ringkas, tapi juga tidak terlalu panjang (mutawasithah).
3)
Dilihat dari kreatifitas penulisannya
Kitab Tanpa Harakat dapat dikelompokkan menjadi tujuh macam. 1) kitab
yang menampilkan gagasan-gagasan baru, seperti Kitab ar-Risalah (kitab ushul fikih) karya Imam Syafi’i, al-‘Arud wa al-Qawafi (kaidah-kaidah
penyusunan sya’ir) karya Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi, atau teori-teori
ilmu kalam yang dimunculkan oleh Washil bin ‘Atha’, Abu Hasan al-Asy’ari, dan
lain-lain. 2) kitab yang muncul sebagai penyempurnaan terhadap karya yang telah
ada, seperti Kitab Nahwu (tata bahasa
arab) karya as-Sibawaih yang menyempurnakan karya Abul Aswad ad-Duwali. 3)
kitab yang berisi komentar (syarah) terhadap kitab yang telah ada, seperti Kitab Hadits karya Ibnu Hajar
al-Asqalani yang memberikan komentar terhadap kitab Sahih al-Bukhari. 4) kitab yang meringkas karya yang panjang lebar,
seperti Alfiyah Ibnu Malik (buku
tentang nahwu yang disusun dalam bentuk sya’ir sebanyak 1.000 bait) karya Ibnu
Aqil dan Lubb al-Usul (buku tentang
usul fikih) karya Zakariya al-Anshari sebagai ringkasan dari Jam’al Jawami’ (buku tentang usul fikih)
karangan as-Subki. 5) kitab yang berupa kutipan dari berbagai kitab lain,
seperti ‘Ulumul Quran (buku tentang
ilmu-ilmu al-Qur’an) karya al-‘Aufi. 6) kitab yang memperbaharui sistematika
kitab-kitab yang telah ada, seperti Kitab
Ihya’ ‘Ulum ad-Din karya Imam al-Ghazali. 7) kitab yang berisi kritik
seperti Kitab Mi’yar al-‘Ilm (sebuah
buku yang meluruskan kaidah-kaidah logika) karya al-Ghazali.
4)
Dilihat dari penampilan uraiannya
Kitab memiliki lima dasar, yaitu 1) mengulas pembagian sesuatu yang umum
menjadi khusus, sesuatu yang ringkas menjadi terperinci, dan seterusnya, 2)
menyajikan redaksi yang teratur dengan menampilkan beberapa pernyataan dan
kemudian menyusun kesimpulan, 3) membuat ulasan tertentu ketika mengulangi
uraian yang dianggap perlu, sehingga penampilan materinya tidak semrawut dan
pola pikirnya dapat lurus, 4) memberikan batasan-batasan jelas ketika
penulisnya menurunkan sebuah definisi, dan 5) menampilkan beberapa ulasan dan
argumentasi terhadap pernyataan yang dianggap perlu.
Selain dari pengklasifikasian di atas, Mujamil membagi
Kitab Tanpa Harakat atau kitab kuning menjadi tiga jenis, yang meliputi kitab
matan, kitab syarah (komentar), dan
kitab hasyiyah (komentar atas kitab
komentar). Menurutnya, kitab matan adalah kitab yang paling mudah dikuasai,
kitab hasyiyah yang paling rumit,
sedangkan kitab syarah berada diantara keduanya. Dan kitab syarah yang paling banyak digunakan di
pesantren di Indonesia.
Sedangkan dari cabang keilmuannya, Nurcholish
mengemukakan kitab ini mencakup ilmu-ilmu; fiqh, tauhid, tasawuf, dan
nahwu-sharf. Atau dapat dikatakan konsentrasi keilmuan yang berkembang di
pesantren pada umumnya mencakup 12 macam disiplin keilmuan; nahwu, sharf, balaghah, tauhid, fiqh, ushul
fiqh, qawa’id fiqhiyah, tafsir, hadits, mushthalah hadits, tasawuf, dan
manthiq.
Adapun rincian kitab-kitab yang menjadi konsentrasi
keilmuan pesantren:[16]
a. Cabang
ilmu fiqh:
1. Safinatu-l-Shalah
2. Safinatu-l-Najah
3. Fath-l-Qarib
4. Fath-l-Mu’in
5. Minhaju-l-Qawim
6. Muthmainnah
7. Al-iqna’
8.
Fath-l-Wahhab
b.
Cabang ilmu tauhid:
1. Aqidatu-l-Awam (Nadzham)
2. Bad’u-l-‘Amal (Nazham)
3.
Sanusiyah
c.
Cabang ilmu tasawuf:
1. Al-Nashaihu-l-Diniyah
2. Irsyadu-l-Ibad
3. Tanbihu-l-Ghafilin
4. Minhaju-l-‘Abidin
5. Al-Da’watu-l-Taammah
6. Al-hikam
7. Al-Mu’awanah Wal Munazharah
8. Bidayatu-l-Hidayah
d.
Cabang ilmu
nahwu-sharaf:
1. Al-Maqshud (Nazham)
2. Awamil (nazham)
3. Ajurumiyah
4. Kaylani
5. Mirhatu-l-i’rab
6. Alfiyah (nazham)
7.
ibnu aqil.
Martin Van Bruinessen memerinci kekayaan khazanah
kitab-kitab klasik yang dipelajari di pondok pesantren. Sesuai dengan kategori
keilmuan di atas:
Dalam ilmu fiqh dipelajari kitab-kitab sebagai berikut: fath-l-mu’in, I’anatu-l-thalibin, taqrib,
fathu-l-qarib, kifayatu-l-akhyar, bajuri, minhaju-l-thullab,
minhaju-l-thalibin, fathu-l-wahhab, minhaju-l-qawim, safinat, kasyifatu-l-saja,
sullamu-l-munajat, uqud-l-lujjain, sittin, muhadzab, bughyatu-l-mustarsyidin,
mabadi fiqhiyyah, dan fiqhu-l-wadhih.
Untuk kelengkapan ilmu fiqh biasanya juga dikenal ilmu
ushul fiqh yang mempelajari kitab-kitab; lathaif-l-isyarat,
jam’u-l-jawami’, luma, al-asybah wa al-nadlair, bayan, dan bidayat-l-mujtahid.
Dalam ilmu sharf; kaylani,
maqshud, amtsilatu-l-tashrifiyyat, dan bina. Dalam ilmu nahwu; imrithi, ajurumiyah, mutammimah, asymawi,
alfiyah, ibnu aqil, dahlan alfiyah, qathru-l-nada, awamil, qawa’idu-l-I’rab,
nahwu-l-wadhih, dan qawa’idu-l-lughat.
Sedangkan dalam ilmu balaghah; jauharu-l-maknun,
uqudu-l-juman, dan lain sebagainya. Dalam bidang tauhid; ummu-l-barahin, sanusiyah, dasuqi, syarqawi,
aqidatu-l-‘awamtijanu-l-dharari, ‘aqidatu-l-‘awam, nuru-l-zhulam,
jauharu-l-tauhid, tuhfatu-l-murid, fathu-l-majid, jawahiru-l-kalamiyah,
husnu-l-hamidiyah, dan ‘aqidatu-l-islamiyat.
Dalam ilmu tafsir secara umum digunakan kitab tafsir-l-Jalalain, selain itu juga terdapat kitab-kitab yang
lainnya; tafsiru-l-munir, tafsir ibn
katsir, tafsir baidlawi, jami’u-l-bayan, maraghi, dan tafsir-l-manar.
Selanjutnya dapat ditemui kitab-kitab hadits antara lain; bulughu-l-maram, subulu-l-salam,
riyadhu-l-shalihin, shahih bukhari, tajridu-l-sharih, jawahiru-l-bukhori,
shahih muslim, arba’in nawawi, majalishu-l-saniyat, durratun nashihin, dan
lain-lain.
Begitu pula dengan ilmu tasawuf, misalnya, ta’lim muta’alim, washaya, akhlaq lil banat, akhlaq lil banin,
irsyadul’ibad, minhajul ‘abidin, al-hikam, risalatu-l-mu’awanah wal munazharah,
bidayatu-l-hidayah, ihya ‘ulumuddin, dan lain sebagainya.[17]
Bidang-bidang ilmu tersebut, hingga sekarang
(sebagian) masih dipakai di pesantren salaf maupun pesantren modern.
C. Ciri-ciri Kitab Tanpa Harakat
Ciri-ciri yang melekat pada pondok pesantren adalah
isi kurikulum yang terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya tafsir, hadits,
nahwu, sharaf, tauhid, tasawuf, dan lain sebagainya. Literatur-literatur
tersebut memilik ciri-ciri sebagai berikut[18]:
1) kitab-kitabnya menggunakan bahasa Arab, 2) umumnya tidak memakai syakal (tanda baca atau baris), bahkan
tanpa memakai titik, koma, 3) berisi keilmuan yang cukup berbobot, 4) metode
penulisannya dianggap kuno dan relevansinya dengan ilmu kontemporer kerapkali
tampak menipis, 5) lazimnya dikaji dan dipelajari di pondok pesantren, dan 6)
banyak diantara kertasnya berwarna kuning.[19]
Dalam Ensiklopedi Islam, selain ciri yang disebutkan, bahwa kitab-kitab
tersebut kadang-kadang lembaran-lembarannya lepas tak terjilid sehingga
bagian-bagian yang diperlukan mudah diambil. Biasanya, ketika belajar para
santri hanya membawa lembaran yang akan dipelajari dan tidak membawa satu kitab
secara utuh.[20]
Akan tetapi seiring dengan perkembangan tekhnologi,
ciri-ciri tersebut telah mengalami perubahan. Kitab kuning cetakan baru sudah
banyak yang memakai kertas berwarna putih yang umum dipakai di dunia
percetakan. Juga sudah banyak yang tidak ‘gundul’ lagi karena telah diberi syakl untuk memudahkan para santri
membacanya. Sebagian besar kitab kuning sudah dijilid. Dengan demikian
penampilan fisiknya tidak mudah lagi dibedakan dari kitab-kitab baru yang
biasanya disebut “al-kutub al-‘ashriyyah”
(buku-buku modern).
Ciri-ciri kitab kuning yang lain juga diungkapkan oleh
Mujamil, yaitu pertama, penyusunannya dari yang lebih besar terinci ke yang
lebih kecil seperti kitabun, babun,
fashlun, farun, dan seterusnya. Kedua, tidak menggunakan tanda baca yang
lazim, tidak memakai titik, koma, tanda seru, tanda tanya, dan lain sebagainya.
Ketiga, selalu digunakan istilah (idiom) dan rumus-rumus tertentu seperti untuk
menyatakan pendapat yang kuat dengan memakai istilah al-madzhab, al-ashlah, as-shalih, al-arjah, al-rajih, dan
seterusnya, untuyk menyatakan kesepakatan antar ulama beberapa madzhab
digunakan istilah ijmaaan, sedang
untuk menyatakan kesepakatan antar ulama dalam satu madzhab digunakan istilah ittifaaqan.[21]
Sementara itu,
ada tiga ciri umum kitab kuning. Pertama, penyajian setiap materi dari
suatu pokok bahasan selalu diawali dengan mengemukakan definisi-definisi yang
tajam, yang memberi batasan pengertian secara jelas untuk menghindari salah
pengertian terhadap masalah yang sedang dibahas. Kedua, setiap unsur materi
bahasan diuraikan dengan segala syarat-syarat yang berkaitan dengan objek
bahasan bersangkutan. Ketiga, pada tingkat syarah
(ulasan atau komentar) dijelaskan pula argumentasi penulisnya, lengkap dengan
penunjukan sumber hukumnya.[22]
Secara umum, Affandi mengemukakan spesifikasi kitab
kuning terletak dalam formatnya (lay out),
yang terdiri dari dua bagian: matn, teks asal (inti) dan syarh (komentar, teks penjelas atas matn). Dalam pembagian semacam
ini, matn selalu diletakkan di bagian
pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarh –karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang
dibandingkan matn- diletakkan di
bagian tengah setiap halaman kitab kuning. ukuran panjang-lebar kertas yang
digunakan kitab kuning pada umumnya kira-kira 26 cm (kwarto). Ciri khas lainnya
terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti
buku. Ia hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 20
halaman) yang secara tekhnis dikenal dengan istilah korasan. Jadi dalam satu kitab kuning terdiri dari beberapa korasan
yang memungkinkan salah satu atau beberapa korasan dibawa secara terpisah.[23]
Dan biasanya santri hanya membawa sebagian korasan yang akan dipelajarinya
bersama kiainya.
Nampaknya semua ciri kitab kuning yang disebutkan,
merupakan ciri yang akan terus melekat dan (tidak akan menutup kemungkinan)
akan mengalami perubahan baik dari segi materi, metode, dan lain sebagainya,
seiring dengan kemajuan zaman.
D. Metode Pembelajaran Kitab Tanpa Harakat
a.
Definisi
Metode Pembelajaran
Secara etimologi, istilah metode berasal dari bahasa
Yunani “metodos”. Kata ini terdiri
dari dua suku kata, yaitu “metha”
yang berarti melalui atau melewati dan “hodos”
yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk
mencapai tujuan.[24] Dalam
bahasa Arab metode disebut “thariqat”,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “metode” adalah “cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai maksud.”[25]
Metode juga bisa diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara
melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara
sistematis.[26]
Sementara itu, pembelajaran adalah “proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.”[27]
Sehingga dapat dipahami bahwa metode pembelajaran
adalah suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar
tercapai tujuan pelajaran.
Dalam firman Allah swt. disebutkan
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#þqäótGö/$#ur Ïmøs9Î) s's#Åuqø9$# (#rßÎg»y_ur Îû ¾Ï&Î#Î6y öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÌÎÈ
“Dan carilah jalan (metode) yang mendekatkan
diri kepada-Nya dan bersungguh-sungguh pada jalan-Nya.” (Q.S. al-Maidah:35)[28]
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa dalam proses pelaksanaan pendidikan dibutuhkan
adanya metode yang tepat, guna menghantarkan tercapainya tujuan pendidikan yang
dicita-citakan.
Seperti halnya materi, hakekat
metode hanya sebagai alat, bukan tujuan. Untuk merealisir tujuan sangat
dibutuhkan alat. Bahkan alat merupakan syarat mutlak bagi setiap kegiatan
pendidikan dan pengajaran. Bila kiai maupun ustadz mampu memilih metode dengan
tepat dan mampu menggunakannya dengan baik, maka mereka memiliki harapan besar
terhadap hasil pendidikan dan pengajaran yang dilakukan. Mereka tidak sekedar
sanggup mengajar santri, melainkan secara profesional berpotensi memilih model
pengajaran yang paling baik diukur dari perspektif didaktik-methodik. Maka
proses belajar-mengajar bisa berlangsung secara efektif dan efisien, yang
menjadi pusat perhatian pendidikan modern sekarang ini.[29]
Jadi dapat dipahami bahwa, dalam rangkaian sistem
pengajaran, metode menempati urutan sesudah materi (kurikulum). Penyampaian
materi tidak berarti apapun tanpa melibatkan metode. Metode selalu mengikuti
materi, dalam arti menyesuaikan dengan bentuk dan coraknya, sehingga metode
mengalami transformasi bila materi yang disampaikan berubah. Akan tetapi materi
yang sama bisa dipakai metode yang berbeda-beda.
b.
Macam-macam
Metode Pembelajaran Kitab Tanpa Harakat
Metode dipahami sebagai cara-cara yang ditempuh untuk
menyampaikan ajaran yang diberikan. Dalam konteks kitab kuning di pesantren,
ajaran itu adalah apa yang termaktub dalam kitab kuning. Melalui metode
tertentu, suatu pemahaman atas teks-teks pelajaran dapat dicapai.
Menurut Zamakhsyari Dhofier dan Nurcholish Madjid,
metode pembelajaran kitab Tanpa Harakat di pesantren meliputi, metode sorogan, dan bandongan. Sedangkan Husein Muhammad menambahkan bahwa, selain
metode yang diterapkan dalam pembelajaran Kitab Tanpa Harakat adalah metode wetonan atau bandongan, dan metode sorogan,
diterapkan juga metode diskusi (munazharah), metode evaluasi, dan metode
hafalan.[30] Adapun
pengertian dari metode-metode tersebut adalah:
a. Metode
wetonan atau bandongan adalah “cara penyampaian kitab dimana seorang guru, kiai,
atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab, sementara santri, murid, atau
siswa mendengarkan, memberikan makna, dan menerima.”[31]
Senada dengan yang diungkapkan oleh Endang Turmudi bahwa, dalam metode ini kiai
hanya membaca salah satu bagian dari
sebuah bab dalam sebuah kitab, menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dan
memberikan penjelasan-penjelasan yang diperlukan.[32] Berbeda sedikit dengan Hasil
Musyawarah/Lokakarya Intensifikasi Pengembangan Pondok Pesantren, bahwa metode wetonan ialah “pembacaan satu atau
beberapa kitab oleh kiai atau pengasuh dengan memberikan kesempatan kepada para
santri untuk menyampaikan pertanyaan atau meminta penjelasan lebih lanjut.”[33]
Dari ketiga pengertian diatas, dapat dipahami bahwasanya dari metode
ini, para santri memperoleh kesempatan
untuk bertanya atau meminta penjelasan lebih lanjut atas keterangan kiai.
Sementara catatan-catatan yang dibuat santri di atas kitabnya membantu untuk
melakukan telaah atau mempelajari lebih lanjut isi kitab tersebut setelah
pelajaran selesai.[34]
Konon
metode ini merupakan warisan dari Timur Tengah (Makah dan Mesir). Karena kedua
negara ini dianggap sebagai poros, pusat dari ajaran agama Islam di dunia.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mujamil Qamar, bahwa “metode yang disebut bandongan ini ternyata merupakan hasil
adaptasi dari metode pengajaran agama yang berlangsung di Timur Tengah terutama
di makah dan Mesir. Kedua tempat ini menjadi “kiblat” pelaksanaan metode wetonan lantaran dianggap sebagai poros
keilmuan bagi kalangan pesantren sejak awal pertumbuhan hingga perkembangan
yang sekarang ini.”[35]
Dan metode inilah yang paling banyak
digunakan di pesantren-pesantren di Indonesia.
Diantara kelemahan dari metode wetonan
atau bandongan adalah metode ini
membuat para santri lebih bersikap pasif, sebab dalam kegiatan pembelajarannya
kiai, ustadz lebih mendominasi, sedangkan santri lebih banyak mendengarkan dan
memperhatikan keterangan yang disampaikan oleh ustadz.
Akan tetapi efektifitas metode ini terletak pada pencapaian kuantitas dan
percepatan kajian kitab, selain juga untuk tujuan kedekatan relasi santri-kiai,
ustadz.[36]
b.
Metode sorogan
adalah “santri satu per satu secara bergiliran menghadap kiai dengan membawa
kitab tertentu. Kiai membacakan beberapa baris dari kitab itu dan maknanya,
kemudian santri mengulangi bacaan kiainya.”[37]
Husein Muhammad menambahkan bahwa, murid yang membaca sedangkan guru
mendengarkan sambil memberi catatan, komentar, atau bimbingan bila diperlukan.
Akan tetapi dalam metode ini, dialog murid dan guru belum atau tidak terjadi.[38]
Ismail SM, seperti yang dikutip oleh Mujamil Qamar menyatakan bahwa, ada
beberapa kelebihan dari metode sorogan
yang secara didaktik-metodik terbukti memiliki efektivitas dan signifikansi
yang tinggi dalam mencapai hasil belajar. Sebab metode ini memungkinkan kiai,
ustadz mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemampuan santri
dalam penguasaan materi.[39]
c.
Metode Diskusi (munazharah)
adalah sekelompok santri tertentu membahas permasalahan, baik yang diberikan kiai
maupun masalah yang benar-benar terjadi dalam masyarakat. Diskusi ini dipimpin
oleh seorang santri dengan pengamatan dari pengasuh/kiai yang mengoreksi hasil
diskusi itu.[40]
Metode diskusi bertujuan untuk merangsang pemikiran serta berbagai jenis
pandangan agar murid atau santri aktif dalam belajar. Melalui metode ini , akan
tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis, dan logis, dan akan
lebih memicu para santri untuk menelaah atas kitab-kitab yang lain.
Keberhasilan yang dicapai akan ditentukan oleh tiga unsur yaitu
pemahaman, kepercayaan diri sendiri dan rasa saling menghormati.[41]
d.
Metode Evaluasi. Evaluasi adalah penilaian atas tugas,
kewajiban, dan pekerjaan. Cara ini dilakukan setelah kajian kitab selesai
dibacakan atau disampaikan. Di masa lalu cara ini disebut imtihan, yakni suatu pengujian santri melalui munaqasyah oleh para guru atau kiai-ulama di hadapan forum terbuka.
Selesai munaqasyah, ditentukanlah
kelulusan.[42]
e.
Metode Hafalan merupakan metode unggulan dan sekaligus
menjadi ciri khas yang melekat pada sebuah pesantren sejak dahulu hingga
sekarang. Metode hafalan masih tetap dipertahankan sepanjang masih berkaitan
dan diperlukan bagi argumen-argumen naqly
dan kaidah-kaidah. Dan metode ini biasanya diberikan kepada anak-anak yang berada pada usia sekolah tingkat dasar atau
tingkat menengah. Sebaliknya, pada usia-usia di atas itu sebaiknya metode ini
dikurangi sedikit demi sedikit dan digunakan untuk rumus-rumus dan
kaidah-kaidah.
Metode-metode yang telah disebutkan diatas, merupakan metode
yang (sebagian) sudah biasa diterapkan di pesantren-pesantren, misalnya, metode
wetonan, hafalan, dan bandongan. Dan sebagian (metode) yang lain tidak menutup
kemungkinan untuk diterapkan di pesantren-pesantren.
E. Kiai dalam Pembelajaran Kitab Tanpa Harakat
Kiai merupakan
salah satu elemen yang paling esensial dalam sebuah pesantren, karena kiai
adalah seorang pendiri, perintis, atau cikal bakal pesantren. Menurut
asal-usulnya, kata kiai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang
saling berbeda: 1) sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap
keramat, 2) gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya, 3) gelar yang
diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau
menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada para
santrinya. Selain gelar kiai, ia juga disebut seorang alim (orang yang dalam
pengetahuan Islamnya.)[43]
Gelar yang terakhir merupakan gelar yang memiliki arti
yang sama dengan guru, pendidik, atau sebutan lainnya. Dalam konteks pendidikan
Islam “pendidik” sering disebut dengan “murobbi,
mu’allim, muaddib”. Di samping itu, istilah pendidik kadang kala disebut
melalui gelarnya, seperti istilah “al-ustadz
dan asy-syaikh”.[44]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata
pencahariannya) mengajar. Akan tetapi sesederhana inikah arti guru? Menurut
Muhibbin, guru adalah seseorang yang menularkan pengetahuan dan kebudayaan
kepada orang lain (bersifat kognitif), melatih keterampilan jasmani kepada
orang lain (bersifat psikomotor), dan yang menanamkan nilai dan keyakinan
kepada orang lain (bersifat afektif).[45]
Pengertian yang lain juga dipaparkan oleh Husein,
bahwa seorang guru atau pendidik adalah seseorang yang memiliki tanggungjawab
yang besar terhadap anak didiknya. Tanggungjawabnya adalah berupa mengajarkan
kepada peserta didiknya ilmu yang bermanfaat dan berguna seluas-luasnya bagi
kepentingan seluruh umat manusia.[46]
Dalam artian lain, untuk mencapai tujuan pendidikan
yang optimal, maka seorang pendidik dituntut untuk memiliki kesiapan (isti’dad) yang memadai untuk
melaksanakan fungsinya, sekaligus dituntut untuk membuat persiapan-persiapan (I’dad) yang cukup, sehingga bisa
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan baik dan benar.
Jadi, pengertian pendidik atau guru secara sederhana
adalah seorang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan
mengupayakan perkembangan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik, baik
potensi afektif, kognitif maupun psikomotorik.
Para ahli dan
cendikiawan Islam telah menetapkan beberapa ciri seorang guru yang baik. Dengan
ciri-ciri berikut, seorang guru diharapkan dapat menjadi guru yang ahli di
bidangnya. Ciri-ciri tersebut adalah:
a. Ikhlas dalam mengemban tugas sebagai
pengajar
Seorang guru harus memiliki falsafah dalam hidupnya
bahwa tugasnya tersebut merupakan bagian dari ibadah. Dan suatu ibadah tidak
akan diterima oleh Allah jika tidak disertai oleh keikhlasan. Seorang pelajar
biasanya dapat berprestasi karena keikhlasan dan kesalehan gurunya. Hal itu
telah dijamin oleh allah dalam firmanNya:
$tB tb%x. @t±u;Ï9 br& çmuÏ?÷sã ª!$# |=»tGÅ3ø9$# zNõ3ßsø9$#ur no§qç7Y9$#ur §NèO tAqà)t Ĩ$¨Z=Ï9 (#qçRqä. #Y$t6Ïã Ík< `ÏB Èbrß «!$# `Å3»s9ur (#qçRqä. z`¿ÍhÏY»/u $yJÎ/ óOçFZä. tbqßJÏk=yèè? |=»tGÅ3ø9$# $yJÎ/ur óOçFZä. tbqßâôs? ÇÐÒÈ
“Tidak wajar
bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan
kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi
penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata):
"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Q.S. al-Imran: 79)[47]
b. Memegang amanat dalam menyampaikan ilmu
Bagi seorang guru, ilmu adalah amanat dari Allah yang
harus disampaikan kepada peserta didiknya. Ia juga harus menyampaikannya dengan
sebaik dan sesempurna mungkin. Jika ia menyembunyikannya maka berarti ia telah
berkhianat pada Allah. Secara umum Allah telah memerintahkan untuk menyampaikan
amanat (kepada yang berhak), termasuk amanat ilmu. Allah berfirman:
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
Melihat.”
(Q.S.an-Nisa: 58)[48]
c.
Memiliki
kompetensi dalam ilmunya
Sudah seharusnyalah seorang guru atau pendidik
memiliki penguasaan yang cukup akan ilmu yang diajarkannya. Dan ia dapat
menggunakan sarana-sarana pendukung dalam menyampaikannya.
d. Menjadi teladan yang baik bagi anak didiknya
Peserta didik akan selalu melihat gurunya. Bagi dia,
guru adalah contoh berakhlak dan bertingkah laku. Oleh kaena itu, seorang guru
sangat berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian seorang murid.
Pentingnya keteladanan ini, al-Qur’an menjelaskan dalam firman Allah sebagai
berikut:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
“Sesungguhnya
Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (Q.S.al-Ahzab:
21)[49]
e.
Mempunyai
wibawa dan otoritas
Seorang guru sudah seharusnya memiliki wibawa dan
otoritas, sehingga dapat menjaga kewibawaan ilmu dan kewibawaan seorang yang
memiliki ilmu. Sikap seperti ini sudah ditunjukkan oleh ulama terdahulu.
Meskipun begitu mereka tidak pernah merasa berbangga hati dan sombong. Hal ini
sudah terbukti dari firman Allah dalam surat
al-Munafiqun:8:
tbqä9qà)t ûÈõs9 !$oY÷èy_§ n<Î) ÏpoYÏyJø9$# Æy_Ì÷ãs9 tãF{$# $pk÷]ÏB ¤AsF{$# 4 ¬!ur äo¨Ïèø9$# ¾Ï&Î!qßtÏ9ur úüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur £`Å3»s9ur úüÉ)Ïÿ»oYßJø9$# w tbqßJn=ôèt ÇÑÈ
“ Mereka
berkata: "Sesungguhnya jika kita Telah kembali ke Madinah, benar-benar
orang yang Kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya."
padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi rasul-Nya dan bagi orang-orang
mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.”(Q.S.al-Munafiqun:8)[50]
f.
Mengamalkan
ilmu
Dalam kehidupan nyatanya, seorang guru harus
mengimplementasikan ilmunya, baik ia sebagai individu ataupun sebagai bagian
dari masyarakat. Ini semua tidak terlepas dari tujuan ilmu itu sendiri adalah
agar ia dapat diterapkan dalam kahidupan nyatanya. Begitu pentingnya ciri ini,
allah berfirman:
uã92 $ºFø)tB yYÏã «!$# br& (#qä9qà)s? $tB w cqè=yèøÿs? ÇÌÈ
“Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.”
(Q.S.as-Shaf:3)[51]
g. Mengikuti perkembangan zaman
Seorang guru teladan adalah yang selalu mengikuti
perkembangan zaman dan mengetahui hal-hal baru yang berhubungan dengan
spesialisasi ilmu di dalamnya, sehingga informasi yang disampaikan kepada
peserta didik selalu mengikuti perkembangan zaman, dan tentunya tidak menentang
syari’at yang ada.
h. Melakukan penelitian dan pengembangan
Dan salah satu faktor keunggulan guru adalah bila yang
bersangkutan secara berkesinambungan mengadakan penelitian dan pengembangan baik
bersama pihak lain atau sendiri. Oleh karena kekinian informasi merupakan hal
yang tidak bisa dihindari, maka penelitian dan sarana-sarana pendukungnya
merupakan sebuah kewajiban yang juga harus dipenuhi haknya. Dalam al-Qur’an
telah diisyaratkan:
$tBur c%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuÏ9 Zp©ù!$2 4 wöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuÏj9 Îû Ç`Ïe$!$# (#râÉYãÏ9ur óOßgtBöqs% #sÎ) (#þqãèy_u öNÍkös9Î) óOßg¯=yès9 crâxøts ÇÊËËÈ
“Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (Q.S.at-Taubah:
122)[52]
Semua ciri diatas merupakan faktor pendukung bagi
seorang guru, sehingga ia berhak disebut sebagai guru teladan dan ideal. Ciri
yang sama juga merupakan faktor pendukung dalam keberhasilan seorang peserta
didik.
Dan bisa diambil kesimpulan, bahwa seorang pendidik
dapat dianggap memiliki kesiapan profesional apabila ia memiliki berbagai sifat
dan sikap yang seharusnya melekat pada seorang pendidik; baik sifat dan sikap
yang berhubungan dengan moralitas, mentalitas dan intelektualitas, maupun yang
menyangkut kemampuan dan keterampilan-keterampilan kependidikan lainnya.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan pendidik dalam
tulisan ini adalah orang yang memiliki kewenangan untuk menyampaikan ilmu yang
dimilikinya kepada para santri dalam pelaksanaan pembelajaran di dunia
pesantren. Dalam hal ini, pendidik itu adalah seorang kiai, ataupun ustadz
(yang telah ditunjuk oleh kiai) yang biasa disebut dengan badal (pengganti, asisten).
Seorang kiai harus mengamalkan dan menguasai dengan
benar ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning, serta menguasai
ilmu-ilmu alatnya, seperti, nahwu, sharf. Karena tanpa menguasai ilmu alat
tersebut, maka akan sulit memahami isinya.
Dan memang seharusnyalah, baik itu seorang kiai, guru,
atau lainnya memiliki ciri atau kriteria yang telah disebutkan diatas. Karena
itulah salah satu penunjang keberhasilan dalam proses pembelajaran.
F. Santri dalam Pembelajaran Kitab Tanpa
Harakat
Dalam pandangan Islam, peserta didik merupakan
pemimpin masa depan. Mereka juga yang akan menjalankan roda ekonomi di kemudian
hari. Merekalah yang menjadi peletak batu pembangunan yang menyeluruh bagi
masyarakatnya. Mereka pula yang menjadi tiang peradaban dan sumber semangat
serta penggerak perhatian terhadap jihad di jalan Allah.
Konfigurasi masyarakat yang diidamkan tentu terdiri
dari pribadi-pribadi yang sholeh, yang salah satunya adalah peserta didik,
pelajar, murid atau santri. Jika peserta didiknya rusak, maka masyarakatnya
juga rusak. Sebailiknya jika baik, maka masyarakatnya juga baik. Dari sinilah
maka akan muncul pemimpin-pemimpin yang baik bagi masyarakatnya.
Para ahli dan pakar
pendidikan telah meletakkan beberapa ciri yang harus dimiliki oleh setiap
pelajar sehingga ia menjadi seorang yang berprestasi, berguna, dan menjadi
pemimpin. Karakter dan ciri khas tersebut adalah taqwa dan saleh, niat yang
ikhlas, menjauhi kemaksiatan, rendah hati, menghormati dan menghargai guru,
teratur dan pandai memanfaatkan waktu, tepat dalam belajar, pergaulan yang baik,
dan mapu memanfaatkan fasilitas tekhnologi modern.
Jadi, secara umum kita dapat mengartikan bahwa peserta
didik, murid, pelajar atau santri merupakan mereka yang menuntut ilmu dan
berhak mendapatkan pendidikan.
Dalam tulisan
ini, kata “santri” dalam berbagai referensi dikatakan sebagai orang yang
mencari ilmu agama Islam di pesantren, baik yang menetap maupun yang tinggal di
rumahnya masing-masing. Sedangkan di pesantren, kata “santri” tidak sesederhana
itu, melainkan sebuah singkatan yang memiliki makna khusus yang harus dipegang
teguh dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:[53]
S = Sopan
santun artinya para santri harus mempunyai perlaku atau akhlakyang baik.
A = Ajeg atau
istiqamah artinya setiap santri harus
memiliki sikap yang teguh pendirian, tetap beramal shalih dan disiplin dalam
menjalankan ritual keagamaan seperti shalat pada waktunya dengan berjema’ah.
N = Nasihat
artinya semua santri harus mendengarkan dan melaksanakan segala nasihat yang
terkandung dan diajarkan dalam agama Islam.
T = Taqwallah artinya setiap santri harus
menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan apa yang
dilarangNya.
R = Ridhallah
artinya setiap santri yang melakukan aktifitas kesehariannya khususnya yang
bersifat ritual, harus selalu diiringi dengan (niat atau tujuan) mencari
keridlaan Allah.
I = Ikhlas
lillaahi ta’ala artinya bahwa segala perbuatan santri (khususnya yang
besifat ritual) harus selalu didasari oleh jiwa yang ikhlas, karena Allah
semata, bukan karena orang lain atau yang lainnya.
Menurut tradisi pesantren, santri dapat dibedakan
menjadi dua macam, yakni santri mukim dan santri kalong. Dhofier dan Madjid
memberikan pengertian yang sama tentang
santri mukim dan santri kalong:
a.
Santri mukim yaitu santri yang berasal dari dari yang
jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
b.
Sedangkan santri kalong adalah santri-santri yang
berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap
dalam pesantren. untuk mengikuti pelajarannya, mereka harus bersedia untuk
bolak-balik dari rumahnya sendiri.
G. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam
Pembelajaran Kitab Tanpa Harakat
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa tujuan dari pembelajaran kitab tanpa harakat adalah untuk membentuk kepribadian muslim seutuhnya
dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam
pencapaian tujuan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu faktor-faktor pendukung dan penghambat
dalam pembelajaran kitab tanpa harakat. Faktor-faktor tersebut meliputi metode, materi, sarana dan
prasarana, santri dan kyai dalam pembelajaran kitab tanpa harakat.
a.
Metode.
Pendidikan
agama tidak hanya sekedar mengajarkan ajaran agama kepada peserta didik, tetapi
juga menanamkan komitmen terhadap ajaran agama yang dipelajarinya. Hal ini
berarti bahwa kitab kuning di pesantren memerlukan pendekatan pengajaran yang
berbeda dari pendekatan subjek pelajaran lain. Karena di samping mencapai
penguasaan juga menanamkan komitmen, maka metode yang digunakan dalam dalam
pengajaran pendidikan agama harus mendapatkan perhatian yang seksama dari
pendidik agama karena memiliki pengaruh yang sangat berarti atas
keberhasilannya.[54]
b.
Materi
Seperti
ungkapan Mujamil, bahwa isi kurikulum pesantren yang paling dominan adalah
bahasa Arab, baru kemudian fiqh. Pengetahuan-pengetahuan yang paling diutamakan
adalah pengetahuan-pengetahuan yang berhbungan dengan bahasa Arab (ilmu alat)
dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu syari’at sehari-hari (baik
berhubungan dengan ibadah maupun mu’amalah). Bahasa Arab sebagai alat dalam
memahami dan mendalami ajaran Islam terutama yang teruraikan dalam al-Qur’an,
hadits, dan kitab-kitab klasik.
c.
Sarana dan Prasarana
Cikal
bakal pesantren berawal dari pengajian di langgar atau surau, yang telah
difungsikan sebagai pusat pendidikannya. Sarana dan prasarana yang sederhana
tersebut kemudian berkembang dengan didirikannya asrama (pondok). Perkembangan
selanjutnya dibangun sebuah madrasah, yang pengajarannya berlangsung di dalam
kelas, dengan menggunakan bangku, meja, dan papan tulis, untuk mencapai hasil
pendidikan yang maksimal. Setidaknya proses pendidikan tetap berjalan karena
ada guru, santri, tempat berlangsungnya pendidikan, materi dan metode
pembelajaran kitab kuning.
d.
Kyai dan Santri
Dalam sebuah pesantren hubungan kyai dan
santri sangatlah erat. Misalkan dalam pembelajaran kitab kuning, seorang kyai
akan disebut dengan kyai jika ia telah benar-benar mendalami dan memahami isi
kitab kuning dan mengamalkannya dengan kesungguhan dan keikhlasan. Dan di mata
para santri kitab kuning akan dijadikan pedoman berpikir dan tingkah laku
apabila telah dikaji di hadapan kyainya.[55]
Dari
sinilah yang kemudian sangat dibutuhkan keaktifan dalam proses berlangsungnya
pembelajaran kitab kuning dari keduanya (kyai dan santri), agar tujuan dari kitab
kuning tercapai.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Pendekatan
dan jenis Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian adalah metode
deskriptif. Penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan
gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejernih mungkin tanpa ada perlakuan
terhadap obyek yang diteliti. (Kountur,2004:53)
Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kualitatif. Penulis memakai
pendekatan ini karena penelitian ini bersifat “naturalistik” artinya penelitian
ini terjadi secara alami, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak
dimanipulasi keadaan dan kondisinya, menekankan pada deskripsi secara alami.[56]
Adapun jenis dan pelaksanaannya menggunakan tekhnik “studi kasus”. Penelitian kasus atau teknik studi kasus
adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci, dan mendetail
terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu.[57]
Karena sifat yang mendalam dan mendetail tersebut, studi kasus umumnya
menghasilkan gambaran yang ‘longitudinal’ yakni hasil pengumpulan dan analisa
data kasus dalam satu jangka waktu.
B. Kehadiran Peneliti
Sesuai dengan jenis penelitian, yaitu
penelitian deskriptif, maka kehadiran peneliti di tempat penelitian sangat
diperlukan sebagai instrumen utama. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai
perencana, pemberi tindakan, pengumpul data, penganalisis data, dan sebagai
pelapor hasil penelitian.
Peneliti
di lokasi juga sebagai pengamat penuh. Di samping itu kehadiran peneliti
diketahui statusnya sebagai peneliti oleh pengasuh dan pengajar Pondok
Pesantren Putri al-Ishlahiyah Singosari Malang.
C. Lokasi Penelitian
Adapun obyek penelitian adalah metode pembelajaran kitab tanpa harakat di
Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyah
Singosari Malang. Pemilihan ini didasarkan atas (1) peneliti sudah
mengetahui situasi dan kondisi sekolah. (2) pondok pesantren tersebut sudah
menerapkan pembelajaran kitab tanpa harakat serta, (3) lokasi penelitian adalah
pesantren yang hingga kini tetap mempertahankan ciri khas pembelajaran kitab
tanpa harakat yang menarik minat peneliti sebagai mahasiswa Perguruan Tinggi
yaitu Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
D. Sumber Data
Data merupakan keterangan-keterangan
tentang suatu hal, dapat berupa sesuatu hal yang diketahui atau yang yang
dianggap atau anggapan. Atau suatu fakta yang digambarkan lewat angka, simbol,
kode, dan lain-lain.[58]
Data penelitian dikumpulkan baik lewat instrumen pengumpulan data,
observasi maupun lewat data dokumentasi. Sumber data secara garis besar terbagi
ke dalam dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer adalah data yang
diperoleh dari sumber pertama melalui prosedur dan tekhnik pengambilan data
yang dapat berupa interview, observasi, maupun penggunaan instrumen pengukuran
yang khusus dirancang sesuai dengan tujuannya. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber tidak langsung
yang biasanya berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi.[59]
Ketepatan dan kecermatan informasi mengenai subjek dan variabel penelitian
tergantung pada strategi dan alat pengambilan data yang dipergunakan. Hal ini
pada akhirnya akan ikut menentukan ketepatan hasil penelitian.
Menurut Lofland, sebagaimana yang dikutip oleh Moleong (2000:12)
menyatakan bahwa “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata
dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”.
Jadi, kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai
merupakan sumber data utama dan dokumen atau sumber tertulis lainnya merupakan
data tambahan.
Jadi sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan yang
diperoleh dari informan yang terkait dalam penelitian, selanjutnya dokumen atau
sumber tertulis lainnya merupakan data tambahan.
Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah:
1.
Pengasuh Pondok Pesantren Putri al-Ishlahiyah Singosari
2.
Tenaga pengajar (ustadz/ustadzah) Pondok Pesantren
Putri al-Ishlahiyah Singosari
3.
Santri Pondok Pesantren Putri al-Ishlahiyah
E. Prosedur Pengumpulan Data
Tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah:
1. Metode Dokumentasi
Yang dimaksud dengan metode dokumentasi adalah mencari data mengenai
hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat
kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.[60]
Metode ini dipergunakan untuk
memperoleh data tentang: sejarah berdirinya keadaan, sarana dan prasarana, dan
keadaan siswa.
2. Metode Interview
Metode interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara
untuk memperoleh informasi dari terwawancara.[61]
Metode ini penulis gunakan untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang ada
hubungannya dengan jenis data yang penulis perlukan.
3. Pengamatan Berperanserta
Pengamatan berperanserta menceritakan pada peneliti apa yang
dilakukan oleh orang-orang dalam situasi di saat peneliti memperoleh kesempatan
mengadakan pengamatan.
Bogdan dalam Moleong (2002:117)
mendefinisikan bahwasanya pengamatan berperanserta sebagai penelitian yang
bercirikan interaksi sosial, yang memakan waktu cukup lama antara peneliti
dengan subjek dalam lingkungan subjek, dan selama itu data dalam bentuk catatan
lapangan dikumpulkan secara sistematis dan berlaku tanpa gangguan.
Pengamatan dapat diklasifikasikan atas pengamatan
melalui cara berperanserta dan yang tidak berperanserta. Pada pengamatan tanpa peranserta pengamat hanya melakukan
satu fungsi, yaitu mengadakan pengamatan. Pengamatan berperanserta melakukan
dua peranan sekaligus, yaitu sebagai pengamat dan sekaligus menjadi anggota
resmi dari kelompok yang diamatinya.[62]
Dalam hal ini peneliti adalah
pengamat sebagai pemeranserta, yang mana peranan pengamat secara terbuka
diketahui oleh umum bahkan mungkin ia atau mereka disponsori oleh para subjek.
Karena itu maka segala macam informasi termasuk rahasia sekalipun dapat dengan
mudah diperoleh oleh peneliti.
F. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.[63]
Pengelolaan data atau analisis data merupakan tahap yang penting dan
menentukan. Karena pada tahap ini data dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian
rupa sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang diinginkan dalam
penelitian.
Dalam menganalisis data ini, penulis
menggunakan tekhnik analisis deskriptif kualitatif, dimana tekhnik ini penulis gunakan untuk
menggambarkan, menuturkan, melukiskan serta menguraikan data yang bersifat
kualitatif yang telah penulis peroleh dari hasil metode pengumpulan data. Menurut Seiddel proses analisis data kualitatif adalah
sebagai berikut:
§ Mencatat sesuatu yang dihasilkan dari
catatan lapangan, kemudian diberi kode agar sumber datanya tetap dapat
ditelusuri.
§ Mengumpulkan, memilah-milah,
mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya.
·
Berpikir
dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan
menemukan pola dan hubungan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum.[64]
Adapun langkah yang digunakan peneliti dalam
menganalisa data yang telah diperoleh dari berbagai sumber tidak jauh beda
dengan langkah-langkah analisa data di atas, yaitu:
§ Mencatat dan menelaah seluruh hasil data
yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, observasi dan
dokumentasi.
§ Mengumpulkan, memilah-milah,
mensistesiskan, membuat ikhtisar dan mengklasifikasikan data sesuai dengan data
yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah.
§ Dari data yang telah dikategorikan
tersebut, kemudian peneliti berpikir untuk mencari makna, hubungan-hubungan,
dan membuat temuan-temuan umum terkait dengan rumusan masalah.
Dalam menganalisis data, peneliti juga
harus menguji keabsahan data agar memperoleh data yang valid. Untuk memperoleh
data yang valid, maka dalam penelitian ini digunakan lima teknik pengecekan
dari sembilan teknik yang dikemukakan oleh Moleong. “Kelima teknik tersebut
adalah: 1) Observasi yang dilakukan secara terus menerus (persistent observation), 2) Trianggulasi (trianggulation) sumber data, metode, dan penelitian lain, 3)
Pengecekan anggota (member check), 4)
Diskusi teman sejawat (reviewing), dan
5) Pengecekan mengenai ketercukupan refrensi (referential adequacy check)”.[65]
Penjelasan secara rinci adalah sebagai berikut:
1. Observasi secara terus menerus
Langkah
ini dilakukan dengan mengadakan observasi secara terus menerus terhadap subyek
yang diteliti, guna memahami gejala lebih mendalam, sehingga dapat mengetahui
aspek-aspek yang penting sesuai dengan fokus penelitian
2. Trianggulasi
Yang
dimaksud trianggulasi adalah “teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain, di luar data itu untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap data itu, tekniknya dengan pemeriksaan sumber
lainnya”[66].
Hamidi menjelaskan “teknik trianggulasi ada lima, yaitu: 1) Trianggulasi
metode, 2) Trianggulasi peneliti, 3) Trianggulasi sumber, 4) Trianggulasi
situasi, dan 5) Trianggulasi teori”[67]
3. Pengecekan anggota
Langkah
ini dilakukan dengan melibatkan informan untuk mereview data, untuk
mengkonfirmasikan antara data hasil interpretasi peneliti dengan pandangan
subyek yang diteliti. Dalam member
check ini tidak diberlakukan kepada semua informan, melainkan hanya kepada
mereka yang dianggap mewakili
4. Diskusi teman sejawat
Dilaksanakan
dengan mendiskusikan data yang telah terkumpul dengan pihak-pihak yang memiliki
pengetahuan dan keahlian yang relevan, seperti pada dosen pembimbing, pakar
penelitian atau pihak yang dianggap kompeten dalam konteks penelitian, termasuk
juga teman sejawat.
5.
Ketercukupan refrensi
Untuk memudahkan upaya pemeriksaan kesesuaian antara kesimpulan penelitian
dengan data yang diperoleh dari berbagai alat, dilakukan pencatatan dan
penyimpanan data dan informasi terhimpun, serta dilakukan pencatatan dan
penyimpanan terhadap metode yang digunakan untuk menghimpun dan menganalisis
data selama penelitian.
BAB IV
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Perkembangan Pondok Pesantren Putri
Al-Islahiyah Singosari
1. Letak Geografis
Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyah terletak di kelurahan Pagentan,
kecamatan Singosari, tepatnya berada di jalan Kramat no.46. Pondok ini tidak
jauh dari keramaian kota,
yaitu satu kilometer dari pondok tersebut terdapat pasar Singosari, yang
merupakan pusat perbelanjaan masyarakat Singosari. Meski begitu kondisi di
sekitar pondok ini sangatlah tenang. [68]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa, metode-metode
yang dipakai oleh para tenaga pengajar selalu disesuaikan dengan materi yang
akan diajarkan kepada para santri,
Pondok yang saat ini memiliki santri yang
berjumlah kurang lebih 300 orang tersebut, juga memiliki lokasi yang sangat
kondusif. Sebab pondok ini letaknya berdekatan dengan sebuah lembaga pendidikan
formal yang berada di bawah naungan Yayasan pendidikan agama al-Ma'arif
Singosari Malang. Yayasan ini terdiri dari
berbagai jenjang Pendidikan, mulai dari jenjang SD/MI hingga jenjang
SMA/aliyah. Dengan begitu, para santri dari Pondok Pesantren Putri
al-Ishlahiyah mayoritas (bahkan hampir seluruhnya) menjalani masa pendidikannya
di yayasan tersebut.[69]
Selain berdekatan dengan lembaga pendidikan
formal, pondok ini juga tidak jauh dari pusat peribadatan muslim, yakni sebuah
masjid, yang letaknya berdampingan dengan yayasan al-Ma'arif. Pondok-pondok
lain, seperti Pondok Pesantren Nurul Huda, Pondok Pesantren al-Hikmah, Pondok
Ilmu al-Qur'an (PIQ), juga menambah terciptanya suasana religi bagi masyarakat
Singosari umumnya, dan para santri Pondok Pesantren Putri al-Ishlahiyah
khususnya.[70]
Selanjutnya akan dipaparkan tentang
sejarah berdiri dan perkembangan Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah.
2. Sejarah Berdiri dan Perkembangan Pondok
Pesantren Al-Ishlahiyyah
Pondok Pesantren Putri al-Ishlahiyah pada
awal berdirinya didasari oleh rasa tanggungjawab untuk memperbaiki kehidupan
pribadi masyarakat Singosari. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwasanya sebelum
Islam datang ke Indonesia,
masyarakat Indonesia
mayoritas menganut agama Hindu dan Budha. Demikian juga dengan Singosari, yang
mayoritas penduduknya menganut agama tersebut. Agama ini tumbuh dengan begitu
kuatnya, hal ini terbukti dengan banyaknya peninggalan-peninggalan berupa candi
dan patung-patung Hindu dan Budha. Jadi dalam perkembangannya, Pondok Pesantren
Putri al-Ishlahiyah ini memiliki cita-cita yang mulia sebagai penggerak utama
bagi tumbuhnya Pondok Pesantren al-Ishlahiyah.[71]
Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan di Pondok Pesantren Putri
Al-Ishlahiyyah yaitu:
a) Membina manusia muslim yang takwa, berbudi
luhur, cakap, terampil serta berguna bagi agama, nusa dan bangsa.
b) Agar pengaruh dan pendidikan Islam luas
merata dalam kehidupan seseorang, masyarakat, dan negara.
c) Mempersiapkan santri untuk menjadi angkatan
pembangunan yang taqwa, cakap, terampil, dan kuat.
d) Memajukan dan mengembangkan kebudayaan dengan
baik, terutama kebudayaan Indonesia.
e) Membendung serta menolak kebudayaan asing
yang membahayakan akhlak dan kepribadian bangsa Indonesia.
Pondok Pesantren al-Ishlahiyah didirikan pada tahun 1955 di Singosari Malang oleh almarhum K.H.Mahfudz Kholil (adik ipar
almarhum KH.Masykur, mantan Menteri Agama RI). Dan beliau mempersunting
Hj.Hasbiyah Hamid, asal Jombang (keponakan almarhum K.H.Abdul Wahab Hasbullah,
salah seorang pendiri Nahdlatul UIama).
Pada awal berdirinya lembaga ini hanya berupa tempat mengaji untuk
anak-anak di sekitar lokasi pondok saja, dan masih belum menjadi sebuah
pesantren seperti sekarang. Pengajian itu mulanya bertempat di rumah K.H. Mahfudz
sebagai perintis berdirinya pesantren (yang lokasinya berdampingan dengan
Pondok Pesantren Putri al-ishlahiyah sekarang ini).[72]
Secara
bersamaan, ketika itu di Singosari terdapat sebuah Perguruan Agama yakni
Pendidikan Guru Agama (PGA), sehingga dengan berdirinya PGA, banyak dari para
siswinya berkeinginan untuk menetap di tempat mengaji, umumnya bagi mereka yang
tinggalnya di luar kecamatan Singosari. Pada awalnya murid mengaji yang menetap
masih berjumlah empat orang. Setahun kemudian bertambah menjadi 20 orang, yang
rata-rata bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah.
Pada tahun 1964, jumlah santri semakin meningkat menjadi 40 orang. Hal
inilah yang menjadikan kiai Mahfudz berinisiatif untuk memindahkan tempat
mengaji ke rumahnya. Dalam beberapa waktu kemudian jumlah santri bertambah
menjadi 60 orang. Situasi pembelajaran ketika itu belumlah sempurna, kitab yang
dikajinya pun hanya al-Qur'an dan Sullam Safinah.
Pada tahun 1966, pembangunan pondok pesantren dilakukan secara bertahap.
Pada mulanya hanya dibangun tiga kamar, setahun kemudian (bersamaan dengan
berdirinya Madrasah Tsanawiyah al-Ma'arif), jumlah santri yang ingin menetap di
pondok semakin banyak.
Pada tahun 1968, dibangunlah sebuah mushala sederhana. Dan sejak
berdirinya mushala tersebut, pengajian yang dilaksanakan semakin ditertibkan
menjadi pagi, siang, dan malam hari.
Pada tahun 1973, pembangunan ditambah lagi dengan enam buah kamar yang
dilanjutkan dengan tiga kamar pada tahun 1980. Pada tahun ini juga, dengan
semakin bertambahnya santri yang menetap, maka pengajian dikelola dengan sistem
pesantren dan akhirnya berkembang menjadi pesantren putri dengan nama Pesantren
Putri al-Ishlah, yang kemudian menjadi al-Islahiyah.[73].
Pada tahun 1981, jumlah santri berkembang
menjadi 200 orang. Perkembangan ini juga diikuti dengan bertambahnya jumlah
pengajar dan materi pelajarannya. Hal yang paling menggembirakan adalah bahwa
pada tahun 1983, pondok pesantren ini telah tercantum dalam Anggaran Dasar
Yayasan yang disahkan berdasarkan Akte Notaris Eko Hadi Wijaya SH. No.
020/PP/YYS/III/1983. Dan ketika itu pulalah dibangun sebuah aula di sebelah
selatan pondok pesantren.
Pada tahun 1985, kiai Mahfudz selaku pendiri Pondok Pesantren Putri
al-Ishlahiyah wafat di saat beliau menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Selanjutnya, pondok ini diasuh sendiri oleh
istri beliau sendiri yaitu Hj.Hasbiyah Hamid, yang dibantu oleh putera-puteri
beliau, yaitu Hj.Lathifah Mahfudz, H.Hamid Mahfudz, Hj.Anisah Mahfudz, H.Hasib
Mahfudz, dan H.Muhammad Mahfudz. [74]
Dan
sejak itulah dimulai perekrutan para tenaga pengajar. Untuk lebih jelasnya
perkembangan tenaga para pengajar, dapat dilihat pada pembahasan selanjutnya.
3. Tenaga Pengajar Pondok Pesantren Putri
al-Ishlahiyah
Seperti yang telah dipaparkan sbelumnya,
bahwa tenaga pengajar di Pondok Pesantren Putri al-Ishlahiyah pada mulanya
hanya ibu Hj.Hasbiyah dan H.Mahfudz saja. Seiring dengan perkembangan jumlah
santri dan kependidikannya, otomatis keadaan tenaga pengajarnya juga mengalami
perkembangan.
Seperti yang dituturkan oleh Hj. Lathifah
Mahfudz, bahwa sejak awal (proses perekrutan tenaga pengajar), K.H. Mahfudz
(alm) mengutamakan para pengajar yang memiliki basis ahlussunnah wal jama’ah
serta pengajar yang pernah mengenyam pendidikan pesantren (alumni pesantren).
Sebab, saat itu yang ada dan yang dipelajari di pesantren adalah al-Qur’an dan
kitab kuning. Pada tahun 1970, santri senior yang dianggap mumpuni diberi
kepercayaan untuk mengajar.
Pada tahun 1975, tenaga pengajar di Pondok Pesantren Putri al-Ishlahiyah
ditambah lagi dengan ustadz yang berasal dari luar pesantren. Mereka itu adalah
bapak Saidun dan bapak Mas'adi. Tahun ini pula tenaga pengajar berjumlah
menjadi sembilan orang. Dan kiai Mahfudz terus mencari tenaga pengajar lain,
yang (tentunya) berkualitas.
Beberapa tahun kemudian (1985), tenaga pengajar menjadi 14 orang.
Mayoritas dari mereka adalah lulusan pondok pesantren, dan sebagian lagi juga
lulusan dari beberapa perguruan tinggi. Hingga tahun 1993, bertambah menjadi 18
orang pengajar.[75]
Sampai saat ini tenaga pengajar mengalami
peningkatan dalam segi kualitas maupun kuantitasnya. Sebagian mereka adalah
alumni dari beberapa pesantren di Jawa (Darus Salam Gontor, PTIQ Al-Muayyad
Solo, PIQ Singosari, Nurul Huda Singosari, Mambaul Ma'arif Denanyar Jombang,
Hidayatul Mubtadiin Lirboyo, Salafiyah Bangil, Al-Falah Kediri), alumni
Perguruan Tinggi (UNIBRAW, IAIN, UM, UNISMA, UNSURI, STIT), bahkan sebagian
lagi merupakan alumni dari Pondok Pesantren Putri al-Ishlahiyah itu sendiri. Para pengajar tersebut sebagian besar mengajar di Yayasan Al-Ma'arif Singosari.[76]
Selain itu, sebagian tenaga pengajar ada yang
melanjutkan studinya di pesantren lain untuk mengembangkan dan lebih mendalami
ilmu yang ditekuninya.
Dengan adanya tenaga pengajar yang cukup
berkualitas ini, Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah memiliki potensi untuk
lebih berkembang dan maju dari berbagai bidang, baik bidang keilmuan ataupun
keagamaannya.
Untuk ke depan, pesantren ini berencana akan
mengadakan kerjasama dengan universitas-universitas Islam khususnya, dalam hal
perekrutan para tenaga pengajar sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
mutu pendidikan.
4. Keadaan Santri Pondok Pesantren Putri al-Ishlahiyah
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,
bahwasanya seluruh santri Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah adalah siswa
Lembaga Pendidikan formal Yayasan al-Ma’arif Singosari yang terdiri dari
jenjang MTs/SMP dan MA/SMU. Berdasarkan data akhir pesantren, jumlah santri
saat ini mencapai 336 orang. Sebagian besar mereka berasal dari berbagai daerah
di pulau Jawa yaitu, Malang, Madura, Pasuruan,
Sidoarjo, Surabaya,
Jember, dan lain sebagainya. Bahkan tidak sedikit pula santri yang berasal dari
luar pulau Jawa, seperti, Kalimantan, Bali,
Papua.[77]
Jika dahulu di pondok ini terdapat santri
kalong yaitu santri yang belajar di pondok pesantren, akan tetapi mereka tidak
menetap di pondok (setelah belajar mengaji lalu mereka pulang ke rumah
masing-masing), maka sekarang santri kalong tidak ada lagi, sebab saat ini
santri Pondok Pesantren Al-Ishlahiyyah berasal dari berbagai macam daerah,
sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk pulang pergi setiap hari.[78]
Selain alasan diatas, menurut penuturan ibu
Hj. Hasbiyah, santri sekarang sangat berbeda dengan santri dahulu. Jika santri
dahulu, pengaruh dari dunia luar masih belum begitu kuat, sehingga meskipun
mereka merupakan santri kalong, maka mereka masih tetap mendapatkan pengawasan
dari orang tua. Sebaliknya, santri sekarang, pengaruh yang ditimbulkan dari
dunia luar sangat kuat (seiring dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi),
sehingga fungsi pengawasan orang tua terhadap anak kurang efektif.[79] Maka dari itu, saat ini di Pondok Pesantren
Putri Al-Ishlahiyyah, semua santrinya menetap di dalam pondok agar lebih
memudahkan para pengasuh dan pengajar dalam pengontrolan dan pengawasan semua
kegiatan santri.
Mengenai kegiatan yang dilakukan para santri
mulai pagi hari hingga malam hari, pada prinsipnya adalah belajar, beribadah,
dan berlatih terjun ke tengah-tengah masyarakat. Dalam kegiatan belajar antara
lain, berupa pengajian kitab kuning, mengikuti pelajaran Madrasah Diniyah, syawir, dan lain-lain. Kegiatan
beribadahnya antara lain, shalat berjama’ah, tadarrus al-Qur’an, dzikir, shalat
malam, puasa sunnah, dan lain-lain. Sedangkan kegiatan berlatih untuk terjun ke
tengah masyarakat adalah diba’iyah, seni baca al-Qur’an (qira’ah), shalawat
Banjari, mengikuti perlombaan-perlombaan yang diadakan oleh beberapa instansi,
dan lain-lain.
Menurut pengamatan peneliti, adanya beberapa kegiatan diatas merupakan
motivasi bagi para santri untuk berani tampil di muka umum ketika mereka
kembali ke tengah-tengah masyarakat.
Untuk memudahkan pengontrolan terhadap
aktifitas para santri tersebut, maka dibuatlah peraturan atau tata tertib
pondok yang telah ditetapkan oleh pengasuh pondok dengan melibatkan pengurus
pondok. Dalam peraturan atau tata tertib pesantren disebutkan bahwa bagi
seluruh santri diharuskan mengikuti semua kegiatan pesantren yang telah
dipaparkan sebelumnya. Dalam hal berpakaian, seluruh santri diwajibkan untuk
mengenakan busana muslim yang sopan (sesuai dengan syari’at Islam). Mengenai
jenis sanksi bagi santri yang melanggar peraturan tersebut, disesuaikan dengan
tingkat pelanggaran yang dilakukan. Peraturan-peraturan yang lain dapat dilihat
pada halaman lampiran. Dan hingga saat ini kegiatan-kegiatan tersebut berjalan
dengan baik.
5.
Perkembangan Kurikulum Pondok Pesantren Putri
Al-Ishlahiyyah
Perkembangan yang ada di Pondok Pesantren
Putri al-Ishlahiyah tidak hanya dari segi fasilitas saja, akan tetapi juga dari
kurikulum pendidikannya. Pada tahun 1983, susunan mata pelajaran dibagi menjadi
kelas Awwaliyyah dan kelas Wustho yang merupakan satu paket dan di dalamnya
tersusun sesuai dengan tingkatannya. Materi pelajaran tersebut adalah (bagi
kelas Awwaliyah) Fiqh (Fiqh Wadhih),
Akhlaq (Akhlaqul Banat I), Hadits (Hadits Arba’in Nawawi), Nahwu (Nahwu Wadhih), Shorof (Amtsilatut Tashrifiyyah), Tarikh (Nurul Yaqin). Dan (bagi kelas Wustho)
Fiqh (fathul Qarib), Akhlak (Akhlaqul Banat II), Hadits (Abi Jamroh), Nahwu (Jurumiyah, Imrithi), Shorof (Amtsilatut
Tashrifiyyah), Tauhid (Jawahirul
Kalamiyah).[80]
Pengajian kitab tersebut dilaksanakan pada
pagi, siang, sore, dan malam hari. Seluruh santri wajib mengikutinya. Bagi
mereka yang tidak mengikuti maka akan dikenakan sanksi. Program pembelajaran
tersebut berlangsung selama dua tahun, karena pada tahap berikutnya susunan
mata pelajaran mengalami perubahan.[81]
Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu tahun
1985 hingga sekarang, kitab-kitab yang dikajinya sesuai dengan tingkatannya
semakin variatif, diantaranya bagi Awwaliyyah
(kelas I, II, III), kelas I terdiri dari Safinatus Sholah (Fiqh), Aqidatul
‘Awam (Tauhid), Alala (Akhlak), Syifaul Jinan (Tajwid), Madarijud Durus Al-‘Arobiyyah I (bahasa
Arab). Kelas II terdiri dari Mabadi’ul
Fiqhiyyah (Fiqh), Khoridatul Bahiyyah
(Tauhid), Durusul Akhlak
(Akhlak), Tuhfatul Athfal (Tajwid), Madarijud Durus al-'Arobiyah II (Bahasa
Arab), Nurul Yaqin I (Tarikh), Awamil (Nahwu), Tashrif Tsulatsi Mujarrod (Shorof). Untuk kelas III
meliputi, Arba'in Nawawi (hadits), Mabadi'ul Fiqh III&IV (Fiqh), Tijanud Darari (Tauhid), Durusul Akhlak II (Akhlak), Risalatul Qurra' wal Huffadz (Tajwid), Madarijud Durus al-'Arobiyah III (Bahasa Arab), Nurul Yaqin II (Tarikh), Jurumiyah (Nahwu), Tashrif Tsulatsi Mazid (Shorof). Untuk golongan Wustho (kelas IV, V, VI) kelas IV terdiri atas kitab Tafsir Jalalain (Tafsir), Abi Jamroh (Hadits), Fathul Qarib (Fiqh), Jawahirul Kalamiyah (Tauhid), Taisirul Khalaq (Akhlak), Madarijud Durus al-'Arobiyah IV (Bahasa
Arab), Imrithi (Nahwu), Tashrif Lughawi (Shorof). Kelas V meliputi,
Rowai'ul Bayan (Tafsir), Itmamid Dirayah (Ilmu Tafsir), Abi Jamroh (Hadits), Fathul Qarib (Fiqh), Mabadi'ul Awaliyah (Ushul Fiqh), Jawahirul Kalamiyah (Tauhid), Al-Washaya (Akhlak), Durus fi al-‘Arabiyyah (Bahasa Arab), Imrithi (Nahwu). Yang terakhir adalah kelas
VI, terdiri atas, Rowai'ul Bayan
(Tafsir), Itmamid Dirayah (Ilmu
Tafsir), Minhatul Mughits (Hadits), Fathul Qarib (Fiqh), Jauharatut Tauhid (Tauhid), Al-Washaya (Akhlak), Durus fi al-‘Arabiyyah (Bahasa Arab), Imrithi (Nahwu), Mabadi'ul Awaliyah (Ushul Fiqh).[82]
Kitab-kitab tersebut dikaji pada hari sabtu hingga hari kamis, setiap pagi dan
sore hari. Dilaksanakan dalam dua waktu karena sebagian santriwatinya ada yang
melaksanakan sekolah formalnya di pagi hari
dan sebagian lagi bersekolah di sore hari.
Selain kitab-kitab yang tersebut diatas ada beberapa kitab-kitab yang
dikaji untuk umum (untuk setiap marhalah/jenjang Tsnawiyah dan Aliyah/ Ula dan
Wustha) yang meliputi: Sullam
Safinah, Sullam Taufiq, Risalatul Mahidh, Ta'limul Muta'allim, Bidayatul Hidayah, Riyadhus Shalihiin, Jawahirul Bukhori, Jalalain, Irsyadul Ibad, dan 'Uqudul
Lujjain.[83] Pembelajarannya dilaksanakan setiap
malam hari (setelah shalat Maghrib) mulai hari Sabtu hingga hari Kamis yang
disampaikan oleh para pengasuh dan pembina, dan diikuti oleh seluruh
santriwati.[84]
Selain perkembangan dalam segi pembelajaran
kitab, ada beberapa kegiatan pondok (seperti yang telah dipaparkan sebelumnya),
antara lain pengajian al-Qur’an, tahfidzul Qur’an, ekstra kurikuler (tilawatil
Qur’an, tartil Qur’an, khoththil Qur’an, shalawat Banjari, olah raga), kegiatan
rutinitas (khotmil Qur’an, diba’, manaqib, syawir, khithobah, qira’ah, tahlil
dan istighatsah, baksos).[85]
Seiring dengan perkembangan kegiatan, di
pesantren ini juga baru membuka program pendidikan formal kejuruan tekhnologi
informasi dan multi media tata busana (SMKTI). Ada
beberapa keunggulan dari sekolah ini, antara lain:
a) Full
day school
Siswa akan mendapatkan sebuah suasana bersekolah yang berbeda dengan
sekolah lain, karena dengan sistem full
day sekolah dirancang sebagai tempat belajar yang menyenangkan, terlebih
sekolah dilengkapi dengan fasilitas yang membuat siswa senang belajar, baik
terstruktur maupun mandiri.
b) Kurikulum terintegrasi
Perpaduan antara kurikulum nasional dan kurikulum pesantren mewujudkan
integrasi antara akal dan iman, sehingga lulusan SMK Al-Ishlahiyyah di samping
memiliki kemampuan profesional dalam bidang tekhnologi informasi dan tata
busana, lulusan juga memiliki kemampuan agama yang mumpuni tekhnologi juga
memiliki akhlak yang luhur.
Adapun kurikulum terintegrasi SMK mencakup[86]:
1.
Mata pelajaran tekhnologi informasi meliputi; mengoperasikan peripheral,
melakukan entry data dengan menggunakan image scanner, mengoperasikan software
pengolah gambar vector, mengoperasikan software gambar raster, mengoperasikan
software web design, mengoperasikan software 2D animation, mengoperasikan
software multimedia, mengoperasikan software presentasi, mengoperasikan
software 3D animation, mengoperasikan software 3D visualization, mengoperasikan
software digital audio, mengoperasikan software digital video, mengoperasikan
software visual effects.
2.
Mata pelajaran (khusus) tata busana meliputi; tekhnologi tekstil, bahan tekstil,
gambar tekhnik, dasar-dasar perawatan dan perbaikan, pengujian serat dan
benang, disain pakaian, pengoperasian mesin-mesin produksi, pengelolaan
produksi pakaian jadi, pengendalian mutu kain.
3.
Mata pelajaran (umum) normatif meliputi; pendidikan kewarganegaraan,
pendidikan agama, bahasa dan sastra Indonesia,
pendidikan jasmani dan kesehatan, sejarah nasional.
4.
Mata pelajaran (semua jurusan) adaptif meliputi; matematika, bahasa Inggris,
keterampilan komputer dan pengelolaan informasi, kewirausahaan, fisika.
5.
Mata pelajaran (semua jurusan) unggulan meliputi; al-Qur’an/tajwid, tafsir al-Qur’an,
hadits, nahwu/shorof, fiqh/ushul fiqh, qawa’id fiqh, tauhid/akhlak, faraidl,
sejarah Islam, aswaja (ahlussunnah wal
jama’ah).
6.
Ekstra kurikuler meliputi; kepemimpinan, kajian jender, khithobah/pidato 4 bahasa, ilmu
pendidikan.
c) Sistem bilingual (Inggris dan Arab)
Mulai semester tiga bahasa pengantar pembelajaran menggunakan bahasa
Inggris dan bahasa Arab. Penggunaan bahasa Inggris dan bahasa Arab juga
diwajibkan di lingkungan pesantren.
d) Berbasis tekhnologi informasi
Keseluruhan proses pembelajaran dan administrasi dirancang dan dikelola
dengan memanfaatkan fasilitas tekhnologi informasi, sehingga siswa dibiasakan
memanfaatkan tekhnologi informasi sedini mungkin.
e) Penguatan kewirausahaan
Untuk membangun jiwa dan pengalaman berwirausaha, siswa diajarkan
pengetahuan dan pengalaman berwirausaha melalui pengalaman langsung dari
profesional dan praktisi/pengusaha.
Program pembelajaran yang dirancang dengan
memadukan antara kurikulum nasional dan kurikulum pesantren ini, mempersiapkan
santrinya untuk faham dan terampil dalam hal keagamaan, serta mandiri dan siap
berkiprah di masyarakat.
BAB V
ANALISIS TEMUAN PENELITIAN
A.
Keadaan Fisik Pondok Pesantren Putri
Al-Ishlahiyyah
Sebagai lembaga pendidikan Islam, Pondok
Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah ditinjau dari segi fisiknya telah memenuhi
kriteria sebagai sebuah pondok pesantren. Sebab, seperti yang telah dibahas
pada bab sebelumnya, bahwa sebuah lembaga pendidikan Islam dapat dikatakan
sebagai pondok pesantren jika terdiri dari lima elemen yaitu, kiai/ustadz yang
mengajar dan mendidik santri, santri yang belajar dari kiai, masjid/musholla
sebagai tempat ibadah ataupun kegiatan proses belajar mengajar kiai dan santri,
asrama/pondok tempat dimana santri tinggal, dan pengajian kitab kuning.
Di bawah ini akan penulis jelaskan secara
rinci kondisi kelima elemen yang ada di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah
Singosari, Malang.
1)
Kiai/ustadz
Seperti yang kita ketahui bahwasanya
kiai/ustadz merupakan tokoh yang memiliki peranan penting dalam sebuah
pesantren. Yang menjadikannya seorang tokoh adalah karena ia memiliki
keunggulan dalam bidang keilmuan agama
(khususnya) dan kepribadian yang dapat dipercaya dan patut diteladani, juga
karena ia adalah seorang pendiri dan penyebab adanya pesantren. Bahkan tidak
jarang pula seorang kiai rela mengorbankan seluruh ilmu, tenaga, waktu beserta
materiilnya demi pesantren.
Seluruh kegiatan yang berlangsung di Pondok
Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah Singosari ini, tentunya tidak lepas dari peran
seorang kiai/ustadz. Salah satu dari kegiatan-kegiatan tersebut adalah
pelaksanaan pembelajaran kitab kuning.
Di tengah-tengah persaingan mutu pendidikan
yang semakin ketat, penyelenggaraan pendidikan pesantren harus didukung dengan
tersedianya guru/ustadz secara memadai baik secara kualitatif (profesional) dan
kuantitaif (proporsional). Dan ini tidak hanya dilihat dari banyaknya materi
pelajaran akan tetapi juga tekhnik-tekhnik mengajar yang diharapkan lebih baik.
Begitu halnya yang terjadi di pondok ini, usaha-usaha peningkatan mutu
pendidikan sering mendapatkan perhatian dari para pengasuh. Diantaranya yaitu
melalui sistem pengkaderan guru. Melalui pendekatan ini, santri senior yang
dianggap memiliki kamampuan dalam bidang ilmu pengetahuan (terutama yang
menguasai kandungan yang terdapat dalam kitab kuning), kecakapan, keterampilan,
akan diberi tanggungjawab untuk menyusun dan melaksanakan program-program
pendidikan dan pengajaran di pesantren. Seiring dengan status baru yang disandangnya
(ustadz/ah), ia juga diharapkan bisa
membimbing, mengajar dan mendidik santri-santri yang lain dalam menimba
ilmu di pesantren.
Seorang guru dalam mendidik dan mengajarkan
ilmu kepada muridnya, tidak hanya sekedar menyampaikan dan mengamalkan, memberikan
suri tauladan yang baik atau memiliki kompetensi ilmu yang dikeuninya, akan
tetapi seorang guru harus mengikuti pekembangan zaman dan melakukan
pengembangan keilmuannya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh beberapa
ustadz/ah di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah yang masih menimba ilmu yang
ditekuninya di beberapa pondok pesantren. Misalnya, seorang ustadz/ah yang
mengajar materi Tajwid, dia tidak hanya memberikan apa yang ia miliki, akan
tetapi ia mencari pengalaman menimba ilmu di pesantren yang lain, sehingga ilmu
yang dimilikinya berkembang. Dengan demikian ilmu yang diajarkan kepada
santri tidak hanya berasal dari satu
sumber saja, melainkan dari sumber-sumber yang lain.
2)
Masjid/musholla
Di dalam kompleks Pondok Pesantren Putri
Al-Ishlahiyyah Singosari terdapat satu buah musholla (untuk putri) dan di luar
kompleks pondok terdapat satu buah masjid (untuk pondok putra dan masyarakat
sekitar). Pada hakekatnya, dua tempat ini adalah sebagai tempat pelaksanaan
ibadah shalat lima
waktu oleh para santri, pengasuh pondok dan masyarakat sekitar, selain itu
(khususnya musholla putri) juga dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan dalam
wujud:
1. Sebagai tempat pembelajaran kitab kuning baik
itu dalam bentuk halaqah maupun kelas
diniyah (selain di ruang belajar yang telah tersedia).
2. Sebagai tempat pelaksanaan beberapa kegiatan
pondok seperti, diba’an, tahlilan, latihan pidato, dan lain-lain.
3)
Santri
Santri adalah mereka yang menuntut ilmu di
pesantren untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Santri-santri di Pondok
Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah yang berasal dari berbagai macam daerah ini
terdiri dari santri murni dan santri yang merangkap sekolah formal di luar
lingkungan pesantren. Yang dimaksud dengan santri murni adalah santri yang
hanya menuntut ilmu atau mengaji di dalam lingkungan pesantren saja, tidak
belajar di sekolah formal di luar lingkungan pesantren. Namun dengan demikian
mereka tetap memiliki kewajiban dan hak yang sama dengan santri-santri yang
lainnya dalam mengikuti segala kegiatan pesantren.
Menurut tradisi pesantren, santri dibagi ke
dalam dua kelompok, yaitu santri mukim dan santri kalong. Akan tetapi di Pondok
Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah ini hanya terdapat santri yang mukim saja, hal
ini disebabkan:
a. Karena mayoritas santri pondok ini berasal
dari berbagai macam daerah, yakni Malang,
Madura, Pasuruan, Sidoarjo, Surabaya,
Jember, dan lain sebagainya. Jadi tidak memungkinkan bagi mereka untuk pulang
pergi setiap hari.
b. Agar lebih memudahkan bagi para pengasuh dan
pengurus pondok dalam pengawasan dan pengontrolan tingkah laku santri
sehari-hari.
4)
Pondok/Asrama
Asrama atau pondok merupakan salah satu
elemen pesantren yang juga memiliki peranan yang sangat esensial. Di Pondok
Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah, lokal asrama untuk putri dibagi menjadi 4 rayon
kamar dengan beberapa fasilitas yang cukup memadai, yaitu kotak/lemari, rak
buku, rak sepatu, alat-alat kebersihan (kemucing, sapu, dan lain-lain).
Sedangkan untuk alat-alat yang lain seperti, bantal, kasur, selimut dibawa dari
rumah mereka masing-masing. Selain 4 rayon kamar ini, terdapat juga satu ruang
aula besar, yang biasanya digunakan untuk pelaksanaan pengajian kitab kuning,
istighotsah kubra, dan kegiatan akhir tahun (haflah dan muwada’ah).
Masing-masing lokal kamar diberi nama sesuai
dengan urutan abjad. Pemberian nama ini dimaksudkan untuk memudahkan
pengontrolan terhadap kegiatan santri sehari-hari. Sedangkan penempatan kamar
bagi santri disesuaikan dengan jenjang sekolahnya. Untuk jenjang tsanawiyah
diletakkan di rayon kamar lantai satu dan untuk aliyah diletakkan di rayon
kamar lantai dua. Pembagian berdasarkan jenjang memotivasi santri untuk belajar bersama/kelompok. Khusus
untuk jenjang tsanawiyah, di setiap kamar didampingi oleh 3 orang santri senior
yang bertugas untuk mengawasi, membimbing, dan menjaga santri yunior.
Adanya asrama, akan semakin terjalin hubungan yang erat antar santri, ditambah
lagi dengan diadakannya beberapa peraturan pondok yang menghilangkan kesan akan
adanya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, si pintar dan si bodoh.
B.
Proses Pembelajaran Kitab Tanpa Harakat di
Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah
Pengajian kitab kuning merupakan salah satu
ciri khas yang melekat pada pesantren. Kegiatan ini merupakan kegiatan inti
dari seluruh kegiatan yang ada. Di kalangan masyarakat pesantren berkeyakinan
kukuh bahwa ajaran-ajaran yang dikandung dalam kitab kuning merupakan pedoman
hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah, artinya ajaran-ajaran itu
diyakini bersumber pada kitab Allah dan RasulNya. Relevan, artinya bahwa
ajaran-ajarannya masih cocok dan berguna untuk meraih kebahagiaan hidup yang
sekarang, ataupun nanti di akherat nanti.
Sehubungan
dengan hal ini, pembelajaran kitab kuning di Pondok Pesantren Putri
Al-Ishlahiyyah mendapat perhatian khusus dari penulis. Dan semuanya yang
berkaitan dengan pengajian kitab kuning akan dipaparkan secara jelas.
1)
Tujuan Pembelajaran Kitab Tanpa Harakat di
Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah
Tujuan merupakan aspek penting yang harus ada
dan dirumuskan secara jelas dalam sebuah lembaga pendidikan.begitu pula dengan
lembaga pendidikan Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah. Menurut Hj. Hasbiyah,
pembelajaran yang dilaksanakan di pondok bertujuan:
a.
Untuk
meneruskan perjuangan kiai. Kiai sebagai seseorang yang memiliki pengaruh kuat
di pesantren, dikenal dengan keikhlasan dan kesungguhannya dalam membimbing
santri (khususnya) dan masyarakat (pada umumnya). Maka dari itu sangat
diperlukan kader-kader yang bisa meneruskan perjuangannya dalam rangka
mempertahankan dan memperjuangkan nilai-nilai Islam di setiap ranah kehidupan.
b. Mewariskan ilmu para ulama yang terdapat di
dalam kitab kuning. Ilmu yang diperoleh santri dari kiai merupakan warisan para
ulama terdahulu. Dengan ilmu yang diperolehnya ini, diharapkan santri bisa
mengamalkannya tidak hanya dalam lingkungan pesantren saja, akan tetapi ketika dia berada di tengah-tengah
masyarakat. Sehingga ilmunya dapat bermanfaat bagi dirinya, orang lain, agama,
nusa dan bangsa.
c.
Untuk
mempertahankan dan memperjuangkan faham ahlussunnah wal jama’ah. Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah ini
berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU). Dan telah menjadi tekat dari para
pendiri NU untuk mempertahankan, memelihara, mengembangkan, mengamalkan, dan
memperjuangkan ajaran ahlussunnah wal jama’ah. Maka dari itu tujuan pendidikan
yang ada sesuai dengan ajaran NU.
Hal diatas sesuai dengan tujuan pendidikan
(secara umum) di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah Singosari, yang telah
dirumuskan sebagai berikut:
a. Membina manusia muslim yang taqwa, berbudi
luhur, cakap, terampil, serta berguna bagi agama, nusa dan bangsa.
b. Agar pengaruh dan pendidikan Islam luas
merata dalam kehidupan setiap orang, masyarakat, dan negara.
c. Mempersiapkan santri untuk menjadi angkatan
pembangunan yang taqwa, cakap, terampil, dan kuat.
d. Memajukan dan mengembangkan kebudayaan dengan
baik, terutama kebudayaan Indonesia.
e. Membendung serta menolak kebudayaan asing
yang membahayakan akhlak dan kepribadian bangsa Indonesia.
2)
Pelaksanaan Pembelajaran Kitab kuning di Pondok
Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah
Dalam pembelajaran kitab tanpa harakat atau
yang lebih akrab dikenal dengan kitab kuning di Pondok Pesantren Putri
Al-Ishlahiyyah, pada awalnya sistem yang dipakai adalah sistem klasikal yaitu
kelas Awwaliyah dan kelas Wustho, sistem ini bertahan hingga dua tahun.
Selanjutnya kelas ini berubah menjadi kelas persiapan atau kelas I, kelas II,
kelas III, Kelas IV, Kelas V dan kelas VI, dengan masa belajar enam tahun.
Kelas persiapan setingkat dengan ibtidaiyah, kelas II dan kelas III setingkat
dengan tsanawiyah, sedangkan kelas IV hingga kelas VI setingkat dengan aliyah.
Adapun kitab-kitab yang dipakai pada setiap
tingkatan Awwaliyah atapun Wustho serta waktu pelaksanaannya telah disebutkan
secara rinci pada pembahasan sebelumnya. Ada
beberapa hal yang akan dipaparkan penulis berkaitan dengan pelaksanaan
pembelajaran kitab kuning ini.
a)
Materi Pelajaran Kitab Kuning
Dalam buku karangan Mujamil Qamar dikatakan
bahwa, pengajaran dasar-dasar keislaman ditempuh harus sesuai dengan tingkat
kemampuan santri yang kebanyakan dari masyarakat yang baru saja menjadi muslim
(memeluk Islam). Mereka perlu diberikan materi pelajaran agama yang paling
mendasar sesuai dengan keperluan awal bagi seseorang yang mulai mempelajari dan
memahami Islam. Kepentingan mereka adalah hal-hal yang praktis-praktis dalam
kehidupan keagamaan Islam sehari-hari.[87]
Begitu pula dengan penelitian yang penulis
lakukan di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah bahwasanya, ketika periode
awal (pengajiannya masih berlangsung di masjid) pengajiannya masih dalam bentuk
yang sederhana saja, yakni berupa inti ajaran Islam yang mendasar, saat itu
yang ada adalah materi Qur’an, fiqh, tauhid, dan akhlak. Beberapa tahun
kemudian materi tersebut berkembang. Dan ini dapat dilihat pada lampiran.
b)
Metode Pembelajaran Kitab Kuning
Sejak awal berdiri dan perkembangannya,
metode pembelajaran kitab kuning yang dipakai adalah metode yang sudah lazim
dipakai di pesantren, yaitu:
a.
Metode Bandongan
Metode yang digunakan di Pondok Pesantren
Putri Al-Ishlahiyyah (dalam pembelajaran kitab) yang bersifat kelas besar
ataupun kelas kecil adalah metode bandongan yang dipadukan dengan metode
lainnya. Biasanya metode bandongan ini digunakan oleh para pengasuh pondok yang
dilaksanakan di musholla setiap selepas shalat maghrib.
Metode ini biasanya lebih dominan dipakai
pada materi pelajaran tafsir, ilmu tafsir, fiqh, tauhid, akhlak, dan ushul
fiqh.
Dalam metode ini kiai membaca, menerjemahkan,
dan menjelaskan isi kitab, sedangkan santri menyimak, menulis ulang apa yang
telah dijelaskan oleh kiainya. Penyampaiannya sering menggunakan bahasa Jawa,
terkadang pula memakai bahasa Indonesia.
b.
Metode Hafalan
Tampaknya metode ini adalah metode yang
merupakan ciri khas yang sangat melekat pada sistem pendidikan tradisional,
termasuk pesantren. di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah, metode ini
digunakan hanya dalam pembahasan kitab-kitab tertentu, seperti kitab sharaf,
al-Qur’an, dan hadits. Sebab diakui atau tidak, khusus untuk materi sharaf,
jika santri tidak bisa menghafalkan wazan,
maka dia akan kesulitan dalam membuat perumpamaan di kitab lain. Selain hafalan
wazan juga hafalan dalam bentuk
sya’ir atau nadzom.
c.
Metode Evaluasi
Metode ini biasanya digunakan dalam
waktu-waktu tertentu saja, dan memang sudah ditentukan oleh ustadz. Sebelum
pelaksanaannya santri diberitahu terlebih dahulu, agar mereka memiliki
persiapan. Dalam metode evaluasi, santri harus menjawab pertanyaan yang
diberikan oleh ustadz. Pertanyaan-pertanyan tersebut biasanya dalam bentuk
tulisan, lisan ataupun praktek. Metode ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui sejauh mana pemahaman santri terhadap materi yang telah diterimanya.
Metode ini digunakan pada seluruh materi kitab tanpa harakat.
Sebenarnya ada metode yang dipakai
disesuaikan dengan materi pelajarannya. Misalnya, metode yang dipakai oleh
ustadz Ghoziaddin Djufri. Beliau memakai metode talqin untuk materi pelajaran bahasa arab. Yaitu Metode dimana guru
membaca sedangkan murid menirukan sesuai dengan apa yang dibaca oleh ustadz.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa, metode-metode
yang dipakai oleh para tenaga pengajar selalu disesuaikan dengan materi yang
akan diajarkan kepada para santri,
C.
Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan
Pembelajaran Kitab Tanpa Harakat di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah
Sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya pembelajaran di pondok pesantren
memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk kepribadian muslim seutuhnya dalam
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam proses pembelajaran kitab kuning,
diharapkan akan terjadi proses perubahan pada santri baik dari segi kognitif,
afektif, dan psikomotoriknya, sehingga
akan berubah pula tingkah laku para santri dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam pemahaman agama, cara berpikir, maupun akhlaknya ke arah yang positif.
Dalam pencapaian tujuan tersebut, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu faktor-faktor apa sajakah yang
mendukung proses berlangsungnya pembelajaran dan faktor yang menghambatnya.
Faktor-faktor tersebut meliputi santri dan tenaga pengajar, media, metode,
materi, serta waktu pelaksanaannya.
a)
Faktor Penghambat
Seperti yang telah dipaparkan diatas, bahwa
faktor penghambat pelaksanaan pembelajaran kitab kuning meliputi; santri
dan pengajar/ustadz, media, metode,
serta waktu pelaksanaan. Kesemuanya akan dijelaskan secara terpisah.
(1) Tenaga Pengajar/Ustadz dan Santri
Santri dan ustadz memiliki peran yang sangat
penting dalam proses pembelajaran kitab kuning. Selama pembelajaran
berlangsung, maka saat itu pula keaktifan dari ustadz dan santri sangat
diperlukan. Sebab, tujuan pembelajaran dikatakan berhasil apabila ada timbal
balik antara guru dan murid.[88]
Dari beberapa penuturan para pengajar/ustadz
bahwa selama pembelajaran kitab berlangsung, santri yang kurang aktif (tidak
hadir), kurang memiliki semangat tinggi dalam belajar, akan menghambat jalannya
pembelajaran kitab. Ada beberapa penyebab yang
menjadikan santri kurang semangat dalam mengikuti pembelajaran kitab kuning.
Pertama, sebagian besar waktu yang dimiliki oleh santri tersita oleh sekolah
formal, karena mengingat padatnya kegiatan sekolah formal mulai dari pagi
hingga siang hari.
Di
samping itu juga, hubungan yang kurang ‘harmonis’ atau miskomunikasi antara
santri dan ustadz disebabkan kesibukan masing-masing. Maka tidak heran jika
sang ustadz belum mengenal karakter yang dimiliki santri. Padahal pengenalan
dan pendalaman karakter anak didik akan sangat membantu dan mempermudah guru
dalam penyampaian materi, serta bisa melakukan penyesuaian metode yang akan
digunakan.
Seperti yang telah kita ketahui, tugas guru yang paling utama adalah
bagaimana mengkondisikan lingkungan belajar yang menyenangkan, agar dapat
membangkitkan rasa ingin tahu semua peserta didik sehingga tumbuh minat dan
nafsunya untuk belajar.[89]
Sementara itu juga penguasaan santri terhadap
materi kitab kuning. Dalam pembelajaran di pesantren Al-Ishlahiyyah santri
masih merasa kesulitan dalam menguasai kitab kuning, karena mereka sendiri
belum menguasai bahasa Arab beserta ilmu alatnya (nahwu dan shorof).
Seperti ungkapan Affandi Mochtar bahwa
sejajarnya disiplin ilmu bahasa Arab dengan disiplin fiqh dan tasawuf
mengandung arti bahwa tradisi intelektual yang bekembang di pesantren
mensyaratkan penguasaan bahasa Arab, sebagai ilmu bantu, untuk memahami
teks-teks fiqh dan tasawuf beserta disiplin lainnya.[90]
Inilah yang menjadi salah satu syarat untuk memahami isi dari kitab. Dan dari
beberapa penuturan ustadz, bahwa santri juga masih ada yang belum menguasai
cara penulisan Arab dan pego, sehingga ustadz menemui kesulitan ketika
mengoreksi tugas yang diberikannya.
(2) Media Pembelajaran
Guna menyampaikan pesan yang terdapat dalam
kitab kuning, seorang ustadz membutuhkan suatu media pembelajaran, sebagai
salah satu upaya untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat santri
dalam proses pembelajaran tersebut.
Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah
merupakan pesantren yang memiliki dan memegang teguh prinsip kesederhanaan.
Maka berangkat dari prinsip itulah, media pembelajaran yang terdapat di
pesantren ini masih kurang memadai. Seperti keberadaan buku paket di pesantren,
masih ada dari para santri yang tidak memilikinya. Sehingga sulit bagi para
pengajar untuk menyampaikan dan memberikan pemahaman materi terhadap santri.
Selain keberadaan buku paket yang kurang
memadai, juga banyaknya buku-buku terjemahan kitab yang membuat santri malas
untuk mempelajari kitab non terjemahan, sehingga santri lebih memilih untuk
mempelajari kitab terjemahan tersebut. Inilah yang menyebabkan santri untuk
tidak terbiasa dalam memahami dan menguasai materi kitab kuning.
(3) Metode Pembelajaran
Ibnu Hadjar mengatakan bahwasanya, pendidikan
agama tidak hanya sekedar mengajarkan ajaran agama kepada peserta didik, tetapi
juga menanamkan komitmen terhadap ajaran agama yang dipelajarinya. Hal ini
berarti bahwa pendidikan agama memerlukan pendekatan pengajaran yang berbeda
dari pendekatan subjek pelajaran lain. Karena di samping mencapai penguasaan
juga menanamkan komitmen, maka metode yang digunakan dalam dalam pengajaran
pendidikan agama harus mendapatkan perhatian yang seksama dari pendidik agama
karena memiliki pengaruh yang sangat berarti atas keberhasilannya.[91]
Metode tidak hanya berpengaruh pada
peningkatan penguasaan materi saja akan tetapi juga pada penanaman komitmen
beragama, karena yang terakhir ini lebih ditentukan oleh proses pengajarannya
daripada materinya..
Metode yang dipakai dalam pembelajaran kitab
kuning di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah (mayoritas) adalah metode
bandongan. Dalam metode ini, kiai membaca, menerjemahkan, dan menerangkan
kandungan yang terdapat dalam kitab kuning, sedangkan santri menyimak dengan
seksama, dan menulis ulang apa yang telah disampaikan oleh kiainya.
Ternyata dengan pemakaian metode ini,
sebagian ustadz/ustadzah dan para santri pun mengalami kejenuhan, sebab metode
ini telah tersaingi dengan metode-metode yang ada di lembaga-lembaga formal.
(4) Waktu Pelaksanaan
Dari beberapa komponen pembelajaran, ada satu
hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pembelajaran, yaitu waktu
pelaksanaan pembelajaran itu sendiri. Sebab, berbicara masalah waktu, maka
berkaitan erat dengan situasi dan kondisi pelaksanaan pembelajaran.
Menurut pengamatan peneliti, waktu
pelaksanaan pembelajaran kitab kuning di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah
sangatlah minim. Pembelajaran kitab dilaksanakan pada sore hari (ba’da ashar)
sampai sebelum maghrib. Hal ini juga diakui oleh beberapa pengajar. Sebab,
keterbatasan waktu yang dimiliki, tidak cukup memberikan kepuasan kepada para
santri dan para ustadz dalam memahami dan memberikan pemahaman terhadap materi
kitab kuning.
b)
Faktor Pendukung
Beberapa hal yang mendukung dalam pelaksanaan
pembelajaran kitab kuning di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah antara lain
meliputi sarana dan prasarana pembelajaran, materi pembelajaran serta santri
dan ustadz dalam proses pembelajaran
kitab kuning. Faktor-faktor tersebut akan dijelaskan secara terpisah.
(1) Sarana dan Prasarana Pembelajaran
Secara sederhana sarana dan prasarana dapat
dirumuskan sebagai segala sesuatu yang dapat memberikan kemudahan kepada
peserta didik dalam memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan
keterampilan, dalam proses belajar-mengajar. [92]
Pembelajaran kitab kuning di Pondok Pesantren
Putri Al-Ishlahiyyah memiliki sarana dan prasarana yang cukup memadai, sehingga
santri tidak menemui kesulitan dalam memahami materi kitab tersebut. Begitu
pula halnya dengan ustadz yang menyampaikan isi dari kitab kuning tersebut akan
lebih mudah untuk memberikan penjelasan dan pemahaman terhadap santri.
Adapun sarana dan prasarana yang tersedia
antara lain ruang pembelajaran yang jauh
dari keramaian, papan tulis, kapur tulis, dan penghapus.
(2) Materi Pembelajaran
Sistem pendidikan yang dipakai oleh Pondok
Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah adalah sistem Madrasah Diniyah. Dalam madrasah
ini terbagi pula kelas-kelas yang diurut sesuai dengan usia dan kemampuan
santri. Dalam setiap tingkatan kelas, materi yang diajarkan oleh ustadz selalu
memiliki keterkaitan dengan kitab yang lainnya. Sehingga dengan ini santri akan
lebih memiliki pengetahuan yang luas tentang materi yang diajarinya.
(3) Santri dan Ustadz
Santri sebagai salah satu komponen dalam
pembelajaran kitab kuning, juga memiliki peran penting terhadap usaha
pencapaian tujuan pembelajaran kitab kuning.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya
bahwasanya Pondok ini ada di bawah naungan NU (Nahdlatul Ulama), sehingga
otomatis mayoritas santri Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah berasal dari
keluarga yang berbasis ahlussunnah wal jama’ah. Dengan ini, materi kitab yang
diserap, sudah tidak asing lagi bagi mereka. Karena bekal dasar ini mereka
peroleh sebelum mereka memasuki pesantren, dan tidak sulit bagi para ustadz
untuk memberikan pemahaman terhadap para santri.
Faktor pendukung yang lain adalah para tenaga
pengajar yang berkualitas. Mereka akan disebut sebagai pengajar yang
berkualitas apabila ia mampu mengadakan penelitian dan pengembangan ilmu yang
ditekuninya.[93]
Hal ini terlihat dari para tenaga pengajar di Pondok Pesantren Putri
Al-Ishlahiyyah yang merupakan alumni dari berbagai pondok pesantren di Jawa,
serta alumni dari beberapa universitas di Indonesia.
Para tenaga pengajar tersebut (diantara
mereka) hingga saat ini masih ada yang melanjutkan studinya untuk lebih
memperdalam ilmu yang ditekuninya.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dan analisa data yang telah penulis uraikan pada
bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan guna menjawab semua rumusan
masalah yang ada, diantaranya yaitu:
1.
Bahwasanya pelaksanaan pembelajaran kitab tanpa harakat
atau kitab kuning di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah masih memiliki corak
tradisional, yakni masih menggunakan ilmu-ilmu khas pesantren yang terdapat
dalam kitab kuning dan tidak memasukkan ilmu-ilmu umum dalam kurikulum pendidikannya.
Sedangkan metode pembelajaran kitab yang dipakai di dalam kelas-kelas Madrasah
Diniyah meliputi metode bandongan, metode hafalan, dan metode evaluasi.
Sedangkan metode yang dipakai dalam pengajian umum adalah metode bandongan,
dikarenakan jumlah santri yang sangat besar. Dalam proses berlangsungnya,
sebelum dan sesudah pembelajaran kitab didahului dengan doa-doa yang ditujukan
kepada nabi Muhammad saw, orang tua, guru, dan pengarang kitab, sehingga
diharapkan ilmu yang dipelajarinya akan membawa barokah.
2.
Faktor
pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pembelajaran kitab tanpa harakat
atau kitab kuning meliputi beberapa komponen dalam pembelajaran kitab itu
sendiri. Adapun faktor pendukung mencakup sarana dan prasarana pembelajaran
yang cukup memadai, materi pembelajaran yang memiliki keterkaitan dengan
kitab-kitab lainnya, serta santri dan ustadz, yang mayoritas memiliki keilmuan
yang memadai. Sedangkan pada faktor penghambat meliputi santri dan ustadz yang
tidak aktif atau kurang semangat dalam mengikuti pembelajaran kitab, media
pembelajaran yang meliputi buku paket, masih ada santri yang belum memilikinya
dan juga adanya buku-buku terjemahan yang menjadikan santri malas untuk
mempelajari kitab non-terjemah, metode pembelajaran yang monoton mengakibatkan
santri dan ustadz merasa jenuh, dan terakhir adalah waktu pembelajaran kitab dilaksanakan di sore hari
sehingga ustadz maupun santri masih merasa kurang puas dengan materi yang
disampaikan maupun yang diterima.
B. Saran
Untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran kuning di Pondok Pesantren Putri
Al-Ishlahiyyah Singosari dan mengacu pada kesimpulan diatas, maka saran yang
dapat diajukan adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan komunikasi antara ustadz/ah dan
santri agar tercipta hubungan yang harmonis, karena dengan begitu, ustadz/ah
akan lebih mengenal karakter santri, terutama dalam proses pembelajaran kitab
kuning.
2.
Penggunaan
metode pembelajaran kitab lebih baik tidak hanya terfokus oleh satu metode
saja, akan tetapi tidak ada salahnya jika mencoba dengan menggunakan metode
lain. Misalkan untuk materi fiqh menggunakan metode praktek/demonstrasi. Sehingga
santri akan termotivasi untuk lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran kitab
kuning.
[1] Abdur
Rahman Saleh. Pedoman Pembinaan Pondok
Pesantren. Jakarta:Departemen
Agama RI, 1982, hal.10
[2]
Nurcholish Madjid. Modernisasi Pesantren.
Jakarta:Ciputat
Press, 2002, hal.63
[3] Menurut
M.Habib Chirzin, ustadz adalah pembantu kiai yang disebut badal (pengganti) atau qari’ (pembaca)
yang terdiri dari santri senior. (M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta:LP3ES,
1995. hal.88)
[4] Gus
(berasal dari kata si bagus) merupakan julukan putera-putera, cucu laki-laki,
dan menantu laki-laki dari keluarga kiai Jawa Timur. Seorang kiai selalu
mengharapkan mereka menjadi calon-calon yang potensial sebagai pimpinan
pesantren di masa mendatang.
(Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren, Jakarta:LP3ES,
1994. hal.69)
[5] Begitu
pula dengan lora, julukan ini diberikan kepada putera-putera, cucu laki-laki,
dan menantu laki-laki dari keluarga kiai Madura.
[6]
Dikatakan kitab gundul karena tulisan arabnya tidak memakai harakat. (Maimun.
Strategi Pemanfaatan Sumber Belajar di Pondok Pesantren. Jurnal Pendidikan
Islam, Malang:Tarbiyah Press IAIN Sunan
Ampel, 1996. II(3):67)
[7] Menurut
Dhofier, pesantren salaf adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran
kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Sedangkan
pesantren modern adalah pesantren yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran
umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe sekolah
umum dalam lingkungan pesantren. (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta:LP3ES,
1994. hal.41 ). Sedangkan dalam buku Pemberdayaan
Pesantren yang diterbitkan oleh Yayasan Kantata Bangsa (2005:5) mengungkapkan
bahwa pesantren salaf terdiri hanya masjid dan rumah kiai, dan pesantren modern
terdiri atas masjid, rumah kiai, pondok, madrasah, tempat keterampilan,
universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga, dan sekolah umum.
[8]
Metode sorogan adalah
proses pembelajaran yang mana santri satu per satu secara bergiliran menghadap
kiai dengan membawa kitab tertentu. Kiai membacakan beberapa baris dari kitab
itu dan maknanya, kemudian santri mengulangi bacaan kiainya. (Ensiklopedi
Islam. Jakarta:
PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000. hal.336)
[9] Metode
bandongan adalah metode mengajar dengan sistem ceramah, kiai membacakan kitab,
menerjemahkan dan menjelaskan kalimat-kalimat yang sulit dari suatu kitab,
sedangkan santri menyimak dan membuat catatan di pinggir kitab. (Ghafur. Potret
Pendidikan Anak-anak Pengungsi (Sebuah Studi di Pesantren Zainul Hasan
Probolinggo). Ulul Albab, Malang:UIN Malang. 2005.VI
(2):141)
[10]
Nurcholish Madjid, Modernisasi Pesantren,
Jakarta:Ciputat
Press, 2002, hal.63
[11] M.
Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia
Pesantren, Jakarta:P3M,
1985, hal.55
[12] Endang
Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan
Kekuasaan, Yogyakarta:LKiS, 2004, hal.36
[13]
Harakat ialah tanda-tanda yang menunjukkan huruf ganda, bunyi pendek, dan tidak
berbaris. (Ensiklopedi Islam, Jakarta:
PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, hal.151)
[14] Sa’id
Aqiel Siradj, dkk. Pesantren Masa Depan. Cirebon:Pustaka Hidayah,
2004. hal.222
[15] Ibid.,
hal.335
[16]
Nurcholish Madjid, Modernisasi Pesantren,
Jakarta:Ciputat
Press, 2002, hal.68-70
[17]
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning,
Pesantren dan Tarekat, Bandung:Mizan,
1995, hal.148-163
[18]
Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya,
1993, hal.300
[19]
Berwarna kuning, karena memang kertasnya yang berwarna kuning atau putih karena
dimakan usia maka warna itupun telah berubah menjadi kuning. (Masdar F.
Mas’udi, Pergulatan Pesantren, Jakarta: P3M, hal.56 )
[20]
Ensiklopedi Islam. Jakarta:
PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, hal.334
[21] Sahal
Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, Yogyakarta:LKiS, 1994. hal.264
[22] Op.cit,
hal.335
[23] Sa’id
Aqiel Siradj, dkk. Op.cit. hal.223
[24]
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat: Ciputat Press, 2002, hal.40
[25]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1995, hal.652
[26]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004, hal.201
[27] UU RI
No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Bandung:Citra
Umbara, hal.5
[28] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag
RI, 1998, hlm.165
[29] Armai
Arief, Opcit, hal.43
[30] Sa’id
Aqiel Siradj, dkk. Pesantren Masa Depan. Cirebon:Pustaka Hidayah,
2004. hal.280
[31] Ibid,
hal.281
[32] Endang
Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan
Kekuasaan, Yogyakarta:LKiS, 2004, hal.36
[33]
Abdurrahman Saleh, Pedoman Pembinan Pondok Pesantren, Jakarta:Departemen Agama RI, 1982. hal.79
[34]
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren
Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta:LP3ES,
1994, hal.176
[35]
Mujamil Qamar, Pesantren dari
Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta:Erlangga, hal.143
[36] Ibid, hal.145
[37] Ensiklopedi Islam, Jakarta:PT Van Hoeve. 2000. hal.336
[38] Sa’id
Aqiel Siradj. Op.cit., hal.281
[39] Mujamil
Qamar, op.cit., hal.146
[40]
Abdurrahman Saleh, op.cit., hal.80
[41]
Muhaimin, Strategi Belajar Mengajar, Surabaya:Citra
Media, 1996, hal.89
[42] Sa’id
Aqiel Siradj., dkk. Op.cit., hal.284
[43]
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta:LP3ES, 1994,
hal.55
[44]
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran
Pendidikan Islam, Bandung:Trigenda
Karya, 1993, hal.167
[45]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Bandung:Rosdakarya, 2004,
hal.223
[46] Husein
Syahatah, Quantum Learning plus Sukses
Belajar Cara Islam, Bandung:Mizan,
1999, hal.46
[47]
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI,
1998, hlm.89
[48] Ibid.,
hlm.128
[49] Ibid., hlm.670
[50] Ibid,
hlm.937
[51] Ibid., hlm.928
[52] Ibid.,
hlm.301
[53] Ghafur.
Potret Pendidikan Anak-anak Pengungsi (Sebuah Studi di Pesantren Zainul Hasan
Probolinggo). Ulul Albab, Malang:UIN Malang. 2005.VI
(2):137
[54]
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, Metodologi
Pengajaran Agama, Pustaka Pelajar:Semarang,
2004, hlm.6
[55] M.Dawam
Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren, P3M:Jakarta, 1985, hlm.56
[56] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Rineka Cipta: Jakarta: 1998, hlm.13
[57] Ibid,
hal.120
[58] Iqbal
hasan, Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta:Ghalia
Indonesia,
2002, hal.82
[59]
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2005, hal.36s
[60] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Rineka Cipta: Jakarta: 1998, hlm.236
[61] Ibid., 2002. hlm.133
[62]
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian
Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung:
2002, hlm.126
[63] Ibid.,
hlm.103
[64] Ibid.,
hlm. 248
[65] Ibid.,
hlm.175-181
[66]
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung: 2002, hlm. 178
[67] Hamidi, Metode Penelitian Kualitatif,
Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian (Malang: UMM Press, 2004, hlm.83
[68]
Hasil observasi di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyah pada tanggal 9 April
2006
[69] Hasil
wawancara dengan Hj. Lathifah Mahfudz., salah seorang pengasuh Pondok Pesantren
Putri Al-Ishlahiyah, pukul 11.00 wib, tanggal
11 April 2006 di kediaman beliau.
[70] Hasil
observasi di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah, bulan April
[71] Hasil
dokumentasi di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyah pada tanggal 8 Mei 2006
[72] Ibid.,
[73]
Hasil wawancara dengan ibu Anisah Mahfudz, salah satu pengasuh Pondok Pesantren
Putri Al-Ishlahiyah, pukul 20.00 wib, tanggal 14 Mei 2006 di kediaman beliau.
[74]
Hasil wawancara dengan Imam Sukarlan, salah satu pengajar di Pondok Pesantren
Putri Al-Ishlahiyah, pukul 10.00 wib, tanggal 5 Juni 2006, di kediaman beliau.
[75]
Wawancara dengan ibu Hj. Lathifah Mahfudz, Penasehat Pondok Pesantren Putri
Al-Ishlahiyyah, yang juga merupakan salah satu putri dari pengasuh Pondok
Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah, tanggal 1 Juni 2006
[76]
Dokumentasi di Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyah, tanggal 25 Mei 2006
[77] Ibid.,
[78] Hasil
wawancara dengan Hj. Lathifah Mahfudz, op.cit.
[79]
Hasil wawancara dengan Hj. Hasbiyah Hamid, Pengasuh Pondok Pesantren Putri
Al-Ishlahiyyah, tanggal 25 Juni 2006, di kediaman beliau.
[80] Hasil
dokumentasi Pondok Pesantren Putri Ishlahiyyah tanggal 1 Juni 2006
[81] Hasil
wawancara dengan Hj. Lathifah Mahfudz, pukul 09.00 wib, di kediaman beliau
[82] Hasil
dokumentasi Pondok Pesanten Putri Al-Ishlahiyyah, tanggal 24 Mei 2006
[83] Hasil
dokumentasi, op. cit.
[84] Hasil
wawancara, op. cit.
[85] Hasil
dokumentasi Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah, tanggal 22 Juni 2006
[86] Hasil
dokumentasi Pondok Pesantren Putri Al-Ishlahiyyah, tanggal 25 Juni 2006
[87]
Mujamil Qamar, Pesantren dari
Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta:Erlangga, hal.109
[88]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, Bandung:Rosda, 2004, hlm.
180
[89]
Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung:Rosda, 2004,
hlm.188
[90] Said
Aqiel Siradj, dkk. Pesantren Masa Depan, Bandung:Pustaka Hidayah,
1998, hlm.237
[91]
Fakultas Tarbiyah IAIN Wali Songo, Metodologi
Pengajaran Agama, Semarang:
Pustaka Pelajar, 2004, hlm.2
[92]
Mulyasa, Op.cit, hlm. 48
[93]
Husein Syahatah, Quantum Learning plus
Sukses Belajar Cara Islam, Bandung:Mizan,
1999, hal.46
0 komentar:
Posting Komentar