(SEBUAH TINJAUAN SIRAH NABAWIYAH)
Penduduk Indonesia mayoritas
beragama Islam. Walaupun demikian, nuansa-nuansa rabbaniyah terlihat jarang
dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Sebagai contoh, ramainya
perjudian, pelacuran, korupsi, kolusi, kerusuhan bernuansa SARA dan sifat-sifat
negatif lain yang seharusnya jauh dari kepribadian muslim. Hal ini merupakan
indikator bahwa krisis akhlak menjadi faktor utama dari seluruh krisis multi
dimensi lainnya. Seorang penyair terkenal, Syaikh Bek mengatakan, “Sesungguhnya
eksistensi umat sangat tergantung akhlaknya. Apabila akhlaknya telah hilang,
maka sebenarnya mereka sudah tiada”. Allah SWT menyerukan dalam firmannya, “Hai
manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan. Kami jadikan hidup berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang mulia diantaramu di sisi Allah
ialah orang yang paling taqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Al-Hujurat : 13).
Dekadensi moral tersebut hanya bisa dirubah dengan penyadaran identitas
ke Islaman, sehingga mereka memahami dan berusaha menjalankan hak dan kewajiban
sebagai seorang muslim. Proses perubahan sikap dari tak mengetahui ke mengetahui,
mengerti ke melaksanakan (Perpindahan dari perbuatan yang negatif ke positif)
disebut dengan hijrah. Yaitu suatu transformasi nilai-nilai Islam dalam
amaliyah Islami yang lebih konkret. Allah SWT memberikan janji (imbalan) berupa
keluasan rezeki bagi orang yang hijrah di jalan-Nya. “Barang siapa berhijrah di
jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas
dan rezeki yang banyak. Barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum
sampai ke tempat yang dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi
Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’
:100).
Hijrah di jalan Allah memang mengeluarkan cost yang sangat tinggi.
Rasulullah SAW ketika hendak hijrah ke Madinah mendapat tantangan yang sangat
besar dari orang-orang kafir Quraisy. Yang langsung dipimpin oleh sebelas
pembesar Quraisy, di antaranya adalah Abu Jahal bin Hisyam, Al-Hakam bin Abu
Ash, Abu Lahab dan Ubay bin Khalaf. Mereka hendak membunuh Rasulullah pada saat
malam hari (QS.Al-Anfal : 30). Namun rekayasa mereka tetap saja mengalami
kegagalan, karena Allah selalu menolong hamba-hambanya yang hendak berhijrah ke
jalan Islam (QS. Yasin : 9). Nilai-nilai spiritual yang terdapat pada jiwa
bersih Rasulullah SAW, juga merupakan
aliran magnet yang dapat menarik orang Quraisy masuk Islam. Hamzah bin
Abdul Muthalib, paman Rasulullah menunjukkan pembelaannya pada Islam ketika
Nabi Muhammad di bukit Shafa dihina dan dipukul dengan batu hingga berdarah
oleh Abu Jahal. Hamzah tatkala bertemu dengan Abu Jahal memukul kepada Abu
Jahal dengan tangkai busur hingga meninggalkan luka yang menganga dan berkata,
“Wahai orang yang berpantat kuning (Abu Jahal), apakah engkau berani mencela
anak saudaraku, padahal aku berada di atas agamanya ?
Hikmah Hijrah
1. Meningkatkan Ukhuwah Islamiyah.
Rasulullah SAW tiba di Madinah tepatnya pada Bani
An-Najjar hari Jum’at, 12 Rabi’ul Awal 1
H. Dengan sambutan yang meriah dari para sahabat Anshar (Para sahabat Nabi
Muhammad di Madinah yang telah beragama Islam melalui Bai’ah Aqabah) melalui
kesenian Islam. Salah satu syairnya adalah, “Telah datang pada kami bulan
purnama (Nabi Muhammad) dari dua tempat yang saling terpisah.” Pertemuan dan
persahabatan dua suku yang berbeda, memang jarang bagi bangsa Arab. Karena
mereka memiliki fanatisme yang tinggi pada sukunya masing-masing. Tapi melalui
hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah berbagai suku, budaya, adat istiadat dan
watak yang berbeda dapat disatukan dalam satu aqidah, yaitu Dinul Islam.
Sejarah juga mencatat bahwa Beliau
mempersaudarakan 9 orang Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik.
Pertautan persaudaraan ini juga tidak cukup sampai di situ, bahkan Rasulullah
SAW mengikat mereka dalam butir-butir perjanjian Islam yang berisi 16 janji,
salah satunya ialah “Sebagai orang mukmin harus menampung orang mukmin lainnya,
sehingga darah mereka terlindungi,Fi Sabilillah”.
2. Membangun Kehidupan yang Baru.
Hijrah (perpindahan) bukan hanya memberikan arti mikro, yaitu berpindah.
Tapi lebih berorientasi ke makna makro, berupa reformasi dalam berbagai aspek
kehidupan. Perbaikan dari segi aqidah (penyembahan thagut ke Allah), ekonomi
(dari kapitalis dan komunis ke sistem Qirad / Islam), politik (dari sistem
otoriter dan militeristik ke demokrasi Islami / Syura’). Proses perpindahan
nilai seperti di atas, hendaknya dilakukan secara bertahap dan sistematis. Karena perubahan yang
bersifat fundamental tanpa diiringi oleh dakwah dan pengkaderan yang kokoh
berakibat fatal bagi masyarakat tersebut. Di Aljazair, Front Keselamatan Islam
(Al-Jabhan Al-Islamiyah Li Anqadz) untuk pertama kalinya memenangkan pemilu,
namun pada akhirnya terjadi perang saudara antar kelompok Islam sendiri. Hingga
naiknya militer dalam sistem pemerintahan. Di Fhilipina, muslimin Moro
melakukan perang saudara setelah pemerintahan Fhilipina memberikan otonomi
khusus pada mereka. Ini menunjukkan bahwa hijrah (reformasi), politik, ekonomi,
hukum harus dimulai dengan reformasi pendidikan, yaitu melalui kaderisasi.
Pada awal hijrah Rasulullah ke Madinah, kegiatan yang pertama kali
dilakukan Rasulullah adalah membangun masjid Nabawi. Yang berguna untuk ibadah
shalat, pendidikan Islam, balai pertemuan, gedung parlemen untuk bermusyawarah
dan menjalankan roda pemerintahan. Dari penguatan basic spiritual inilah
Rasulullah membangun sebuah masyarakat Madani (mengutip istilah DR. Anwar
Ibrahim). Seperti dalam firman Allah “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang
Allah memberikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata
,“Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan
tetapi (dia berkata), : “Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena
kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”.(QS.
Ali-Imran : 79)
3. Mempersiapkan Jihad Akbar
Bulan Muharram adalah bulan yang bersejarah bagi umat Islam dan berhikmah
bagi esensi hijrah (perbaikan). Sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau
ditimpa peristiwa besar yang menyayat keluarga dan sahabatnya. Bani Kinanah
membuat kesepakatan barsama untuk membuat piagam pemboikotan menyeluruh
terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib, yaitu larangan menikah, berjual
beli, berteman, berkumpul, memasuki rumah, berbicara dengan mereka, kecuali
jika secara sukarela mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Piagam ini
ditulis oleh Baghidh bin Amir bin Hasyim pada tahun ke tujuh dari Nubuwah di
bulan Muharram. Pemboikotan berlangsung selama tiga bulan hingga keadaan Bani
Hasyim dan Bani Abdul Muthalib hanya bisa memakan dedaunan dan kulit binatang.
Selang 3 tahun, pada bulan Muharram tahun ke sepuluh dari Nubuwah, piagam ini
dibatalkan (dicabut), pelopor utamanya ialah Hisyam binAmr.
Kejadian selanjutnya yang cukup mengoyahkan hati Nabi Mahummad adalah
kematian Abu Thalib dan isteri yang tercinta, Siti Khadijah. Abu Thalib wafat
pada bulan Rajab ke sepuluh dari nubuwah. Sedangkan Siti Khadijah meninggal
dunia dua atau tiga bulan setelah itu. Akhirnya dengan goresan duka dan lara di
hati Rasulullah yang bertumpuk-tumpuk
kala itu, beliau menyebut tahun itu sebagai ‘Amul Huzni’ (tahun duka
cita).
Berbagai peristiwa yang menyayat hati juga dialami lagi oleh Rasul pada
kejadian berikutnya, seperti penolakan kaum Thaif. Ini menunjukkan bahwa hijrahnya
Rasulullah ke Madinah merupakan upaya mempersiapkan diri (konsolidasi) bagi
sahabat-sahabat beliau dan manufer-manufer untuk mengetahui kawan dan lawan.
Adapun indikator persiapan jihad Akbar tesebut tergambarkan pada turunnya
ayat mengizinkan berperang (QS. Al-Hajj : 39).Dan Tekanan dari orang kafir yang
mengharuskan kaum muslimin berperang dengan kelompok musyrikin. Perang Badar
(17 Ramadhan 2 H), Perang Uhud (Sabtu, 7 Syawal 3 H), Perang Bani Nadhir,
Perang Najd, Perang Badar, Perang Ahzab, Perang Al-Murasi, Perang Khaibar, dan
Perang lainnya yang mengorbankan harta benda bahkan nyawa.
Jadi, hakekat hijrah ialah bukan pelarian dari berbagai resiko yang harus
ditanggung. Tapi hijrah merupakan upaya penataan kembali dan melakukan
reformasi agar dapat bergerak dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang
lebih makro (Jihad Akbar). Allah SWT berfirman “Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berjuang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan
mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh (QS. Ash-Shaff : 4).
Oleh karena itu, marilah kita semua mengaktualisasikan esensi hijrah pada
tahun baru hijriah 1422 H. Dengan berbagai harapan seluruh komponan masyarakat
selalu berusaha secara sungguh-sungguh (Jihad Akbar) dalam menyelesaikan berbagai
konflik yang terjadi, baik di Aceh maupun umat Islam di seluruh dunia. Allah
SWT berfirman “Katakanlah : Hai kaumku, bekerjalah kamu menurut kemampuanmu.
Sesungguhnya akupun orang yang bekerja pula. Nanti kamu akan mengetahui siapa
yang akan memperoleh hasilnya yang baik, di dunia ini. Sesungguhnya orang yang
zalim itu tidak akan mendapat keuntungan ( kemenangan).” (QS. Al-An’am : 135).
0 komentar:
Posting Komentar