A. Tinjauan Umum Tentang Pondok Modern
|
Lembaga pendidikan yang memainkan perannya di Indonesia, jika dilihat dari
struktur internal pendidikan Islam serta praktek-praktek pendidikan yang
dilaksanakan, ada empat kategori. Pertama, pendidikan pondok pesantren, yaitu
pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari
pengajaran Qur’an dan Hadits dan merancang segenap kegiatan pendidikannya untuk
mengajarkan kepada para siswa Islam sebagai cara hidup atau way of life. Kedua, pendidikan madrasah,
yakni pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga model Barat,
yang mempergunakan metode pengajaran klasikal, dan berusaha menanamkan Islam
sebagai landasan hidup ke dalam diri para siswa. Ketiga, pendidikan umum yang
bernafaskan Islam, yaitu pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan
suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga-lembaga pendidikan yang
menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum. Keempat, pelajaran
agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai
suatu mata pelajaran atau mata kuliah.[2]
Dilihat dari sejarah pendidikan Islam di Indonesia, pondok pesantren
sebagai sistem pendidikan Islam tradisional telah memainkan peran cukup penting
dalam membentuk kualitas sumber daya manusia Indonesia.[3] Pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, akhir-akhir ini menarik
untuk dicermati kembali. Di era globalisasi sekarang ini, di mana krisis multi
dimensi merajalela di penjuru dunia, manusia mulai melirik untuk kembali kepada
agama. Agama dianggap sebagai obat yang mujarab untuk mengobati moral yang
rusak, penyakit jiwa yang diakibatkan beban hidup yang berat. Tak terkecuali
bangsa Indonesia
sebagai negara yang baru berkembang. Membutuhkan agama sebagai alternatif untuk
mengatasi krisis multi dimensi ini.
Pada dasarnya pondok pesantren memiliki unsur minimal: (1) Kiai yang
mendidik dan mengajar, (2) Santri yang belajar, dan (3) Masjid.[4] Seiring
dengan tuntutan perubahan sistem pendidikan yang sangat mendesak serta
bertambahnya santri yang belajar dari kota
atau propinsi lain yang membutuhkan tempat tinggal. Maka unsur-unsur pondok
pesantren bertambah banyak. Para pengamat
mencatat ada lima
unsur: Kiai, santri, masjid, pondok (asrama), dan pengajian.[5] Ada yang tidak menyebut
unsur pengajian, tetapi menggantinya dengan unsur ruang belajar, aula atau
bangunan-bangunan lain.[6]
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia,
mulai menampakkan wajah barunya. Menggunakan nama baru “Pondok Modern”,
berusaha menawarkan berbagai keilmuan, baik “keagamaan” maupun “umum”. Selain
itu juga membuka sekolah-sekolah formal di dalam pondok pesantren serta
memberikan berbagai ketrampilan bagi para santrinya.
1. Pengertian
Pondok Modern
Di Indonesia istilah pesantren lebih
populer dengan sebutan pondok pesantren. Pondok berasal dari bahasa Arab funduq, yang berarti hotel, asrama,
rumah, dan tempat tinggal sederhana.[7] Lain
halnya dengan pondok, pesantren yang berasal dari kata santri, dengan awalan pe
di depan dan akhiran an berarti
tempat tinggal para santri.[8]
Pengertian terminologi pondok pesantren di atas, mengindikasikan bahwa
secara kultural pondok pesantren lahir dari budaya Indonesia. Dari sini Nurcholish
Madjid berpendapat, secara historis pondok pesantren tidak hanya mengandung
makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia.[9]
Dari segi sikap terhadap tradisi
pondok pesantren dibedakan kepada jenis pondok atau pesantren salafi dan
khalafi. Jenis salafi merupakan jenis pondok pesantren yang tetap
mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya.
Di pondok pesantren ini pengajaran pengetahuan umum tidak di berikan. Tradisi
masa lalu sangat dipertahankan. Pemakaian sistem madrasah hanya untuk
memudahkan sistem sorogan seperti yang di lakukan di lembaga-lembaga pengajaran
bentuk lama. Pada umumnya pondok pesantren bentuk inilah yang menggunakan
sistem sorogan dan weton.[10]
Pondok pesantren khalafi
tampaknya menerima hal-hal baru yang dinilai baik di samping tetap
mempertahankan tradisi lama yang baik.
Pondok pesantren sejenis ini mengajarkan pelajaran umum di madrasah
dengan sistem klasikal dan membuka sekolah-sekolah umum di lingkungan pondok
pesantren. Tetapi pengajaran kitab Islam klasik masih tetap dipertahankan.
Pondok pesantren dalam bentuk ini diklasifikasikan sebagai pondok pesantren
modern di mana tradisi salaf sudah ditinggalkan sama sekali. Pondok
pesantren jenis khalafi inilah yang lebih populer dengan nama “Pondok
Modern’.[11]
Bila dilihat dari lingkungan pondok
pesantren yang di diami oleh para santri, yang secara status sosial sangat
homogen, dan dari latar belakang kehidupan baik sosial, daerah, kepribadian,
dan lain-lain, maka masyarakat pondok pesantren sebenarnya merupakan gambaran
nyata kehidupan bermasyarakat dalam Islam. Di tengah kemajemukan itu muncul
refleksi senasib sepenanggungan, kepedulian sosial dan rasa kebersamaan yang
tinggi.
2. Ciri-ciri
Pondok Modern
Pondok pesantren terdiri dari lima elemen pokok, yaitu; kyai,
santri, masjid, pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Kelima elemen
tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pondok/pesantren yang membedakan
pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan dalam bentuk lain.[12]
Pada dasarnya pondok modern
dilengkapi dengan sistem dan metode yang modern pula, sehingga mampu memberikan
nuansa kritis, analisis dan berwawasan luas bagi santrinya. Mampu berbahasa
Arab dan Inggris yang memungkinkan santri untuk mengakses bacaan buku-buku umum
yang cukup luas termasuk kepustakaan asing.[13]
Selain itu yang membedakan pondok modern dengan pondok salafi
adalah pondok modern memasukkan berbagai ketrampilan di dalam kurikulumnya.
Sebagai bekal santri bila telah kembali di tengah masyarakatnya. Pondok modern
juga telah dilengkapi dengan manajemen yang rapi. Menggunakan sistem klasikal
dan berjenjang, bahkan jenjang pendidikannya telah sampai pada level
universitas atau sekolah tinggi. Selain itu sarana dan prasarana yang ada juga
sangat memadai.[14]
Pondok modern lebih bersikap terbuka kepada keilmuan modern. Hal ini
dibuktikan dengan masuknya pelajaran bahasa Inggris dan bahasa Asing lainnya.
Penekanan bahasa Arab tidak lagi pada penelaahan gramatikanya (nahwu-sharaf),
tetapi bagaimana menguasai bahasa Arab itu sendiri, baik secara lisan maupun
teks. Hal inilah menurut Nurcholish Madjid yang membuat pondok modern lebih
unggul dibanding pondok pesantren dalam bentuk lain.[15]
Lembaga pendidikan seperti ini, yang memungkinkan para santri tidak hanya
diproyeksikan mampu menguasai Arab klasik, tetapi juga bahasa Inggris yang
dibutuhkan dalam mencari ilmu untuk masa sekarang. Dan kurikulum pondok modern
menghadirkan perpaduan yang liberal yakni tradisi belajar klasik dengan gaya modern Barat yang
diwujudkan secara baik dalam sistem pengajaran maupun mata pelajarannya. Sistem pendidikan pondok modern dapat
dijadikan sebagai model dalam memodernisasi pendidikan.[16]
Perpaduan kedua bentuk institusi pendidikan dalam pondok modern dapat
melahirkan sistem pendidikan Islam yang komprehensif, tidak saja hanya
menekankan penguasaan terhadap khazanah keilmuan Islam klasik tetapi juga
mempunyai integritas keilmuan modern.
3. Tipologi
Pondok Modern
Pondok pesantren adalah merupakan
hasil usaha mandiri kiai yang dibantu santri dan masyarakat, sehingga memiliki
berbagai bentuk. Setiap pesantren memiliki ciri khusus akibat perbedaan selera
kiai dan keadaan sosial budaya maupun sosial geografis yang mengelilinginya.
Variasi pondok pesantren tersebut perlu diadakan pembedaan secara
kategorial. Kategori pondok pesantren dapat diteropong dari berbagai
perspektif; dari segi kurikulum, tingkat kemajuan dan kemodernan, keterbukaan
terhadap perubahan, dan dari sudut sistem pendidikannya. Dari segi kurikulum
Arifin menggolongkannya menjadi pondok pesantren modern, pondok pesantren tahassus
(tahassus ilmu alat, ilmu fiqh/ushul fiqh, ilmu tafsir/ hdits, ilmu
tashawuf/thariqat, dan qira’at Al-Qur’an) dam pondok pesantren campuran.[17] Dipandang dari kemajuan berdasarkan muatan
kurikulumnya, Martin Van Bruinessen mengelompokkan pondok pesantren menjadi
pondok pesantren paling sederhana yang hanya mengajarkan cara membaca huruf
Arab dan menghafal beberapa bagian atau seluruh Al-Qur’an, pondok pesantren
sedang yang mengajarkan kitab-kitab fiqh, ilmu aqidah, tata bahasa Arab
(nahwu sharaf), terkadang amalan sufi, dan pondok
pesantren paling maju yang mengajarkan kitab-kitab fiqh, aqidah,
dan tasawuf yang lebih mendalam dan beberapa mata pelajaran tradisional
lainnya.[18]
Dhofier memandang dari prespektif
keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, kemudian membagi pondok
pesantren menjadi dua kategori yaitu pondok pesantren salafi dan
khalafi. Pondok pesantren salafi tetap mengajarkan pengajaran
kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Penerapannya sistem
madrasah untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga
pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Sedangkan
pondok pesantren khalafi telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam
madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah umum di
dalam lingkugan pondok pesantren.[19]
Kategori pondok pesantren terkadang dipandang dari sistem pendidikan yang
dikembangkan. Pondok pesantren dalam pandangan ini dapat dikelompokkan menjadi
tiga macam: Kelompok pertama, memiliki santri yang belajar dan tinggal
bersama kiai, kurikulum tergantung kiai, dan pengajaran secara individual. Kelompok
kedua, memiliki madrasah, kurikulum tertentu, pengajaran bersifat aplikasi,
kiai memberikan pelajaran secara umum dalam waktu tertentu, santri bertempat
tinggal di asrama untuk mempelajari pengetahuan umum dan agama. Dan kelompok
ketiga, hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah, madrasah, bahkan
perguruan tinggi umum atau agama di luar, kiai sebagai pengawas dan pembina
moral santri.[20]
Ahmad Qadri Aziziy membagi pondok
pesantren atas dasar kelembagaannya yang dikaitkan dengan sistem pengajarannya
menjadi lima ketegori: 1) Pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah
keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum; 2) Pondok pesantren yang
menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan
ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional; 3) Pondok pesantren
yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah; 4) Pondok
pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta'lim); dan 5)
Pondok pesantren untuk asrama anak-anak belajar sekolah umum dan mahasiswa.[21]
Ada yang membuat kategori pondok
pesantren berdasarkan spesifikasi keilmuan menjadi pondok pesantren alat
(mengutamakan penguasaan gramatika bahasa Arab) seperti pondok pesantren
Lirboyo Kediri; pondok pesantren fiqh seperti Tebuireng, Tambak Beras Jombang;
pondok pesantren Qiro'ah Al-Qur'an seperti pesantren Krapyak Jogjakarta; dan
pondok pesantren tashawuf seperti pondok pesantren Jampes Kediri.[22]
Belakangan
ini muncul kecenderungan baru di beberapa pondok pesantren dalam jumlah yang
amat terbatas yaitu mendirikan Ma'had 'Aliy (pondok pesantren tingkat
tinggi) seperti Ma'had 'Aliy di pesantren Denanyar Jombang yang menekankan
pada kitab-kitab standar terutama ushul fiqh, dan sekarang telah
berhenti. Kemudian yang terbaru adalah Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ma'had
'Aliy di pesantren al-Hikam Malang di bawah asuhan Kiai Hasyim Muzadi yang
diresmikan oleh Menteri Agama pada akhir 2003. Kecenderungan baru ini muncul
karena adanya kesadaran bahwa pondok pesantren mengalami kelemahan mendasar
dibidang metodologi.[23]
Ma'had 'Aliy di pesantren
al-Hikam ini didorong oleh realitas kelemahan metodologi tersebut sebagaimana
diungkapkan oleh Kiai Hasyim Muzadi bahwa alumni pondok pesantren menguasai
materi ilmu agama yang cukup memadai, tetapi karena tidak menguasai metodologi
maka ibarat air hanya menggenang tidak bisa mengalir.[24] Oleh
karena itu, perlu dicarikan solusi dengan mendirikan Ma'had 'Aliy yang
menekankan pada metodologi di samping bahasa (Inggris dan Arab).
4. Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pondok
Modern
Pada dasarnya pendidikan pondok pesantren disebut sistem pendidikan produk
Indonesia. Atau dengan istilah indigenous (pendidikan asli Indonesia).[25]
Pondok pesantren adalah sistem
pendidikan yang melakukan kegiatan sepanjang hari. Santri tinggal di asrama
dalam satu kawasan bersama guru, kiai dan senior mereka. Oleh karena itu
hubungan yang terjalin antara santri-guru-kiai dalam proses pendidikan berjalan
intensif, tidak sekedar hubungan formal ustadz-santri di dalam kelas. Dengan
demikian kegiatan pendidikan berlangsung sepanjang hari, dari pagi hingga malam
hari.[26]
Sistem pendidikan ini membawa banyak
keuntungan, antara lain: pengasuh mampu melakukan pemantauan secara leluasa
hampir setiap saat terdapat perilaku santri baik yang terkait dengan upaya
pengembangan intelektualnya maupun kepribadiannya. Dalam teori pendidikan
diakui bahwa belajar satu jam yang dilakukan lima
kali lebih baik daripada belajar selama lima jam
yang dilakukan sekali, padahal rentangan waktunya sama. Keuntungan kedua adalah
proses belajar dengan frekwensi tinggi dapat memperkokoh pengetahuan yang
diterima. Keuntungan ketiga adalah adanya proses pembiasaan akibat interaksinya
setiap saat baik sesama santri, santri dengan ustadz maupun santri dengan kiai.[27] Hal ini
merupakan kesempatan terbaik misalnya untuk mentradisikan percakapan bahasa
Arab guna membentuk lingkungan bahasa Arab (bi’ah ‘Arabiyah) atau secara
general lingkungan bahasa (bi’ah lughawiyah)
baik bahasa Arab maupun bahasa Inggris.
Sistem pengajaran pondok modern berbeda dengan pondok pesantren salaf
pada umumnya. Di pondok modern telah dipergunakan sistem klasikal dengan
menggunakan media belajar yang sudah modern atau canggih.
Orientasi pendidikannya lebih
mementingkan penguasaan ilmu alat, seperti bahasa Arab, dan bahasa Inggris.
Penguasaan bahasa Arab dan bahasa Inggris belum menjadi penekanan utama pada
pondok pesantren salaf. Pondok modern juga mempraktekkan bahasa Arab dan
Inggris di lingkungannya sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.[28]
Pondok modern berusaha mewujudkan
sistem pendidikan sinergik. Yakni sistem yang memadukan akar tradisi dan
modernitas. Jika strategi ini mampu dilaksanakan, hubungan pendidikan pondok
pesantren dengan dunia kerja industrial bisa bersambung.[29]
Pondok modern di era yang modern ini
harus memusatkan pada tiga variabel mendasar: materi, pandangan dunia, dan
metodologi.[30]
Selanjutnya, dalam menghadapi tantangan yang berat akibat dari perubahan global
tersebut pondok modern dituntut memiliki tiga kemampuan: (1) kemampuan untuk
survive (bertahan hidup) di tengah-tengah perubahan dan persaingan yang terus
bergulir; (2) kemampuan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya (rohaniah dan
jasmaniyah); dan (3) kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi dengan tuntutan
zaman yang terus berubah.[31]
Sementara itu, pondok modern cenderung dapat mengembangkan diri, dan bahkan
kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sistem pendidikan
nasional Indonesia secara keseluruhan.[32] Lebih
dari itu, pondok modern dipercaya mampu memberikan sumbangan dan berfungsi pada
pengembangan modal dasar rohaniah dalam pembangunan nasional.
B. Tinjauan Tentang Profesionalisme Santri
1. Pengertian
Profesionalisme Santri
Profesional berasal dari bahasa
Latin yaitu “profesia”, yang berarti
pekerjaan, keahlian, jabatan, jabatan guru besar. Atau bisa juga berarti
seseorang yang melibatkan diri dalam salah satu keahlian yang harus dipelajari
dengan khusus; lawan amatir.[33]
Sedangkan kamus besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa profesional adalah
orang yang melakukan olah raga dengan menerima bayaran; pemain bayaran; lawan
dari amatir.[34] Artinya profesional adalah
kata benda lawan dari amatir, sebagai aplikasi pada seseorang yang menerima
pembayaran dari kegiatan apa yang dilakukan dalam tugasnya. Jarvis dalam
Syaiful Sagala menjelaskan profesional dapat diartikan bahwa seseorang yang
melakukan suatu tugas profesi juga sebagai seorang ahli (expert) apabila dia secara spesifik memperoleh dari belajar.[35]
Sedangkan profesionalisme adalah
sebagai komitmen untuk ide-ide profesional dan karir. Profesionalisme tidak
dapat dilakukan atas dasar perasaan, kemauan, pendapat, atau semacamnya dan
benar-benar dilandasi oleh pengetahuan secara akademik.[36]
Sedangkan asal usul kata “santri”
dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa
“santri” berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta
yang artinya melek huruf.[37]
Pendapat ini menurut Nurcholish Madjid didasarkan atas kaum santri adalah kelas
literary bagi orang Jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab
bertulisan dan berbahasa Arab. Di sisi lain, kata santri dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu,
atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Atau secara umum dapat
diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu
pengetahuan.[38]
Kedua, pendapat yang mengatakan
bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, dari kata
“cantrik”, berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemanapun guru
itu pergi menetap.[39]
Dengan kata lain bahwa
profesionalisme santri merupakan komitmen santri yang belajar keilmuan Islam
dan umum di pondok pesantren untuk menguasai berbagai keahlian baik ilmu agama
maupun umum sebagai bekal hidup di masyarakat nantinya. Sehingga mampu menghadapi
persaingan hidup di era yang serba global ini.[40]
Pekerjaan (profesi adalah pekerjaan) menurut Islam harus dilakukan karena
Allah. "Karena Allah" maksudnya ialah karena diperintahkan Allah. Jadi,
profesi dalam Islam harus dijalani karena merasa bahwa itu adalah perintah
Allah. Dalam kenyataannya pekerjaan itu dilakukan untuk orang lain, tetapi niat
yang mendasarinya adalah perintah Allah.[41] Dari sini kita mengetahui
bahwa pekerjaan profesi di dalam Islam dilakukan untuk atau sebagai pengabdian
kepada dua objek: pertama pengabdian kepada Allah, dan kedua sebagai pengabdian
atau dedikasi kepada manusia atau kepada yang lain sebagai objek pekerjaan itu.
Pengabdian dalam Islam, selain demi kemanusiaan, juga dikerjakan demi Tuhan,
jadi ada unsur transenden dalam pelaksanaan profesi dalam Islam. Unsur transenden
ini dapat menjadikan pengalaman profesi dalam Islam lebih tinggi nilai
pengabdiannya dibandingkan dengan pengamalan profesi yang tidak didasari oleh
keyakinan iman kepada Tuhan.[42]
Dalam
Islam, setiap pekerjaan harus dilakukan secara profesional, dalam arti harus
dilakukan secara benar. Itu hanya mungkin dilakukan oleh orang yang ahli.
Rasulullah saw mengatakan bahwa "bila suatu urusan dikerjakan oleh orang
yang tidak ahli, maka tunggulah "kehancuran".
ااذا وسد الامر الى غير اهله قانثظروا الساعة ) رواه البخارى)
"Kehancuran"
dalam hadits itu dapat diartikan secara terbatas dan dapat juga diartikan
secara luas. Bila seorang guru mengajar tidak dengan keahlian, maka yang
"hancur" adalah muridnya. Ini dalam pengertian terbatas. Murid-murid
itu kelak mempunyai murid lagi; murid-murid itu kelak berkarya; kedua-duanya
dilakukan dengan tidak benar (karena telah dididik tidak benar), maka akan
timbullah "kehancuran". Kehancuran dalam arti orang-orang, yaitu
murid-murid itu, dan kehancuran sistem kebenaran karena mereka mengajarkan
pengetahuan yang dapat saja tidak benar.[43] Ini kehancuran dalam arti luas. Maka benarlah apa
yang dikatakan oleh Nabi saw: setiap pekerjaan (urusan) harus dilakukan oleh
orang yang ahli. "Karena Allah" saja tidaklah cukup untuk melakukan
suatu pekerjaan. Yang mencukupi ialah "karena Allah" dan
"keahlian".
2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Profesionalisme
Santri
Ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi profesionalisme santri yang mana antara
satu dengan yang lainnya saling berkaitan, yaitu: (1) lingkungan, (2) santri,
(3) kurikulum, (4) kepemimpinan, (5) alumni, dan (6) prinsip kehidupan
pondok pesantren secara umum.[44]
Di lihat dari faktor lingkungan,
pondok pesantren merupakan lembaga yang berdiri dari dana yang bersifat
swadaya, atau hanya dibiayai oleh pendirinya saja. Hal ini terbukti dengan
adanya sarana dan prasarana yang kurang memadai.
Dari sisi santri terlihat beberapa fenomena yang unik, mulai dari
pakaian, kondisi kesehatan, prilaku, dan penyimpangan-penyimpangan yang mereka
lakukan. Cara berpakaian misalnya, umumnya para santri tidak bisa membedakan
antara pakaian untuk belajar, dalam kamar, ke luar pondok pesantren, bahkan
untuk tidurpun tidak berbeda. Apakah ada kaitannya dengan kesehatan atau tidak,
tapi yang jelas penyakit kulit (kudis), sering diasosiasikan dengan para
santri. Kemudian menyangkut tingkah laku santri, sudah menjadi rahasia umum
bahwa para santri mengidap penyakit rasa rendah diri dalam pergaulan ketika
harus bersosialisasi dengan masyarakat di luar mereka. Ada
ketidak konsistenan dalam tingkah laku santri ini, sebab untuk lingkungan
intern mereka sangat liberal, ini ditunjukkan dengan sikap termasuk pembicaraan
mereka yang seenaknya. Tetapi, ketika mereka berhadapan dengan orang luar sikap
ini tidak tampak. Apalagi jika mereka berhadapan dengan ‘orang lain’ (agama,
ras, pandangan politik, ataupun paham keagamaan yang berbeda).
Berkaitan dengan pergaulan santri,
sangatlah wajar dilakukan penyimpangan-penyimpangan oleh para santri mengingat
di pondok pesantren tidak diperlakukannya sistem pergaulan (sekedar pergaulan
saja) dengan jenis kelamin lain. Namun, barangkali hal itu sangat jarang
terjadi oleh karena beberapa faktor: Pertama, pada umumnya para santri sangat
menghayati nilai-nilai akhlaq yang mereka pelajari di pondok pesantren. Kedua,
para santri pada umumnya belum mencapai usia pubertas, sehingga konsentrasi
mereka hanya terfokus untuk mengaji dan ibadah. Ketiga, para santri sedikit
sekali mendapat rangsangan dari luar, baik dari lawan jenis maupun rangsangan
lain seperti media masa, lingkungan, dan lain-lainnya. Sebab, pergaulan para
santri akan dibatasi oleh lingkungannya sendiri. [45]
Berkaitan dengan aspek kepemimpinan
pondok pesantren, secara apologetik sering dibanggakan bahwa kepemimpinan atau
pola pimpinan pondok pesantren adalah demokratis, ikhlas, sukarela, dan
sebagainya.[46]
Anggapan seperti ini perlu dipertanyakan kebenarannya bila diukur dengan
perkembangan zaman sekarang ini. Untuk penelaahan lebih lanjut, ada beberapa
hal yang perlu dikemukakan: Pertama, karisma. Pola kepemimpinan karismatik
sudah cukup menunjukkan segi tidak demokratisnya, sebab tidak rasional. Apalagi
jika disertai dengan tindakan-tindakan yang bertujuan memelihara karisma itu
seperti jaga jarak dan ketinggian dari para santri. Kedua, personal. Karena kepemimpinan kyai adalah karismatik
maka dengan sendirinya juga bersifat pribadi atau personal. Kenyataan
ini mengandung implikasi bahwa seorang kyai tidak mungkin digantikan oleh orang
lain serta sulit ditundukkan ke bawah rule
of the game-nya administrasi dan management modern. Ketiga,
religio-feodalisme. Seorang kyai selain menjadi pimpinan agama sekaligus
merupakan traditional mobility dalam
masyarakat feodal. Keempat, kecakapan teknis.[47] Karena
dasar kepemimpinan dalam pondok pesantren adalah seperti diterangkan di atas,
maka dengan sendirinya faktor kecakapan teknis menjadi tidak begitu penting.
Dan kekurangan ini menjadi salah satu sebab pokok tertinggalnya pondok
pesantren dari perkembangan zaman.
Di sisi lain, elemen alumni santri
juga salah satu faktor ketidakmampuan pondok pesantren menjawab tantangan
zaman. Kendatipun institusi pondok pesantren mengklaim telah berhasil
melahirkan wakil-wakilnya, kader-kadernya, ataupun outputnya yang articulated, tetapi itu hanya terbatas
untuk lingkungan sendiri. Artinya output tersebut tidak siap untuk mengisi
kebutuhan pada institusi-institusi lain.[48] Di
samping itu, ada yang lebih ironis lagi di kalangan para santri ada slogan yang
sangat akrab yaitu tidak mau menjadi pegawai negeri. Slogan ini merupakan sisa
sikap isolatif dan non koperatif zaman kolonial dulu, sama sekali tidak relevan
untuk di pertahankan . Sikap non-koperatif yang diambil oleh para alumni pondok
pesantren sangat tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang ini. Hendaknya para
alumni pondok pesantren turut ambil bagian dalam pembangunan.
3. Upaya-upaya
Dalam Peningkatan Profesionalisme Santri
Ada beberapa alternatif yang dapat diupayakan
oleh pondok modern dalam meningkatkan profesionalisme santri, diantaranya
adalah: (1) prinsip kehidupan pondok modern, (2) manajemen organisasi yang
rapi, (3) sistem pendidikan dan pengajaran, (4) kurikulum pondok modern, (5)
memberikan berbagai ketrampilan bagi santri.[49]
Segi yang dianggap positif dalam kehidupan pondok pesantren yang dapat
diupayakan dalam peningkatan profesionalisnme santri adalah semangat
non-matrealistis, atau bisa diartikan semangat kesederhanaan. Namun perlu ditelaah kembali, bahan pengajaran
semangat ini dalam pondok pesantren sendiri kurang mendapat tekanan dalam
krikulumnya. Pondok pesantren meskipun dalam batas tertentu ada
perbedaan secara mendasar dapat memberikan alternatif dalam proses pembelajaran
bila diberdayakan secara optimal, sehingga menjadi kecenderungan
sekolah-sekolah unggulan. Kehidupan pondok pesantren memberikan beberapa
manfaat antara lain: interaksi antara murid dengan guru bisa berjalan secara
intensif, memudahkan kontrol terhadap kegiatan murid, pergesekan sesama murid
yang memiliki kepentingan sama dalam mencari ilmu, menimbulkan
stimulasi/rangsangan belajar, dan memberi kesempatan yang baik bagi pembiasaan
sesuatu.[50]
Adanya manajemen organisasi yang rapi juga dapat berperan dalam
peningkatan profesionalisme santri. M.M. Billah melaporkan bahwa hubungan antar
pondok pesantren secara menyeluruh hampir tidak ada standarisasi, baik tentang
silabus, kurikulum dan bahkan literaturnya maupun sistem penerimaan, promosi,
gradasi santri, dan tataran ilmu yang diterima oleh santri.[51] Hampir
semua proses pembelajarannya tidak melalui perencanaan yang matang dan
standart-standart yang ketat, yang menjadi pijakan bersama dalam melaksanakan
kegiatan proses belajar-mengajar. Namun di sebagian besar pondok modern telah
menggunakan manajemen rapi dalam dalam sistem organisasinya.
Sistem pengajaran dan pendidikan baik itu pendidikan umum maupun agama
hendaknya lebih mengutamakan pengembangan intelektual daripada mengutamakan
pembinaan kepribadian santri. Sehingga daya kritis, tradisi kritik, semangat
meneliti, dan kepedulian menawarkan sebuah konsep keilmuan dapat berkembang
baik di dalam pondok pesantren. Dengan kata lain pendidikan dan pengajaran
dapat diintegrasikan menjadi suatu kesatuan yang utuh dan harmonis.[52] Metode
pengajaran hendaknya juga menempuh kurikulum campuran antara yang agama dan
umum. Kurikulum campuran ini timbul dari tuntutan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan umum yang merupakan kebutuhan nyata yang harus dipenuhi para
lulusan pondok pesantren. Untuk itu pihak pondok pesantren perlu merekrut
lulusan-lulusan perguruan tinggi, menjadi tenaga pengajar di sekolah-sekolah
yang didirikan oleh pengelola pondok pesantren.[53]
Kurikulum pondok pesantren juga perlu ditambah, karena ada
ketidakseimbangan di dalamnya. Kajian tentang fiqih terlalu kuat, sedang kajian
tentang metode tafsir, hadits, dan pengembangan wawasan keagamaan kurang
ditonjolkan. Padahal semua pondok pesantren menganggap bahwa sumber hukum itu
adalah Al-Qur’an, hadits dan qiyas, tetapi justru sumber itu kurang dikuasai
secara kontekstual oleh para santri.[54]
Pemberian ketrampilan merupakan bekal yang sangat bermanfaat bagi santri
bila terjun di masyarakat nanti. Ketrampilan yang lebih dikenal sebagai
kegiatan ekstra kulikuler meliputi berbagai bidang yang dapat dijangkau
kapasitas pondok pesantren dan bantuan pemerintah. Lagi pula jenis ketrampilan
disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar. Jenis ketrampilan dapat berupa
antara lain: tata busana dan tata boga, kejuruan administrasi, manajemen,
kejuruan fotografi, olah raga dan lain-lain.[55]
Perpaduan antara kedua unsur
pendidikan, yaitu keilmuan Islam klasik dan keilmuan umum/modern dapat
dijadikan sebagai model pendidikan alternatif untuk menyongsong Indonesia baru dengan mewujudkan masyarakat madani.
Masyarakat yang memiliki sumber daya manusia yang kaya iptek dan imtaq. [56]
Jika khasanah keilmuan Islam klasik yang dimiliki pondok pesantren dapat
dioptimalisasikan dengan sebaik-baiknya, pondok pesantren jauh lebih baik
kualitas santrinya dari lembaga-lembaga pendidikan dalam bentuk lain.
C. Pengembangan Sistem Pendidikan Pondok Modern dalam
meningkatkan Profesionalisme Santri
Eksistensi
pondok pesantren dengan kondisi yang ada sekarang telah melahirkan output
santri dengan segala potensi akademisnya-hanya bagaikan menghadirkan “koleksi
busana”, tetapi orang lain tidak menyukainya, atau mereka memang tidak tahu
kalau itu baik untuk digunakan. Atau barangkali dapat juga diibaratkan, seorang
yang mempunyai “koleksi busana”, tetapi tidak tahu bagaimana cara memakai atau
apa yang lebih cocok dipakai untuk waktu-waktu tertentu. Hal ini merupakan
ungkapan kesenjangan intelektual dan kultural antara pesantren dan dunia luar.
Artinya, harus diakui bahwa dunia pondok pesantren yang menyimpan beberapa
potensi tidak dapat hadir secara akomodatif dan memainkan peranan yang maksimal
di zaman mutakhir ini.[57]
1. Pengembangan
Sistem Pendidikan Pondok Modern
Sistem pendidikan pondok modern hendaknya memiliki keterpaduan antara
unsur keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan. Sistem pendidikan terpadu ini
diproyeksikan sebagai suatu alternatif untuk menuju masyarakat madani.[58]
a. Keislaman
Islam
sudah termaginalkan dalam bangunan sistem pendidikan, karena ada anggapan bahwa
Islam sebagai penghambat kemajuan. Islam diklaim sebagai tatanan nilai yang
tidak dapat hidup berdampingan dengan sains modern. Menurut Nurcolish Madjid,
Islam yang dipandang sebagai penyebab kegagalan dan keterbelakangan adalah
klaim-klaim warisan kolonial yang pada masa dahulu digunakan sebagai alat untuk
menghadapi sikap permusuhan non-koperatif kaum ulama, kyai, dan santrinya.[59]
Anggapan terhadap Islam sebagai musuh kemajuan dalam pandangan Nurcholish
Madjid berarti orang itu tidak memahami keuniversalan ajaran Islam.[60]
Ajaran
Islam dengan jelas menunjukkan adanya hubungan organik antara ilmu dan iman.
Hubungan organik itu kemudian dibuktikan dalam sejarah Islam klasik ketika kaum
muslim memiliki jiwa kosmopolit yang sejati. Atas dasar kosmopolitanisme itu umat Islam membangun
peradaban dalam arti yang sebenar-benarnya yang juga berdimensi universal.[61]
Keikutsertaan
dunia pendidikan Islam secara aktif dalam pembangunan Indonesia
akan menampilkan Indonesia dalam bentuk ‘baru’. Indonesia yang akan datang
seperti sosok ‘santri yang canggih’. Keselarasan Indonesia
dengan santri, karena pada dasarnya
sosok santri itu sebagai tampilan sikap egaliter, terbuka, kosmopolit
dan demokratis. Ini merupakan pola budaya pantai, sebab sekarang pola budaya
pedalaman in land culture masih
mendominasi. Dengan kata lain, suatu penampilan Islam modern yang menyerap
secara konstruktif dan positif kehidupan modern, namun semuanya tetap dalam
nilai-nilai keislaman.[62]
Perpaduan
kedua komponen penunjang iptek dan imtaq diupayakan lewat perpaduan dua sistem
pendidikan, tradisional dan modern. Memasukkan sistem pendidikan “baru” dalam
dunia pendidikan Islam bukan berarti melepaskan yang “lama”. Karena pada
institusi pendidikan pesantren itu justru ada yang perlu ditumbuh kembangkan
kembali. Tidak semua pada yang “lama” itu mesti di buang.[63] Pondok
pesantren perlu melihat kembali kitab-kitab lama ‘klasik’ untuk menyikapi agar
tidak terjadi kemiskinan intelektual atau dalam istilah Nurcholis Madjid
kehilangan jejak riwayat intelektualisme Islam.[64]
Konsep dasar ini hanya sebatas bagimana
menempatkan kembali ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam daerah pengawasan
nilai agama, moral dan etika.[65] Karena
pada prinsipnya, asal mula semua cabang ilmu pengetahuan adalah berpangkal pada
ilmu agama. Ketika para intelektual muslim mampu mengembangkan dan mengislamkan
ilmu pengetahuan modern itu, dunia Islam akan dapat mencapai kemakmuran dalam
berbagai bidang, seperti yang dicontohkan pada masa Islam klasik. Saat ini umat
Islam hanya menyaksikan bekas-bekasnya saja.[66]
Dengan menyadari kondisi umat Islam, di mana
tingkat pendidikan modern rata-rata diseluruh dunia, masih lebih rendah dari
bangsa-bangsa lain, maka untuk menuju ke arah masa depan umat Islam dalam
merespon tantangan zaman itu harus terlebih dahulu dengan menangkap pesan dalam
kitab suci. Kemudian secara kritis mempelajari sosok ilmu pengetahuan yang
dihasilkan oleh modernitas. Upaya ini merupakan salah satu upaya untuk
menemukan kembali pengetahuan baru yang merupakan tujuan sejati intelektual
Islam.[67]
b. Keindonesiaan
Lebih
jauh lagi, modernisasi pendidikan diharapkan mampu menciptakan suatu lembaga
pendidikan yang mempunyai identitas kultural yang lebih sejati sebagai konsep
pendidikan masyarakat Indonesia baru yang di
dalamnya juga akan ditemukan nilai-nilai universalitas Islam yang mampu
melahirkan suatu peradaban masyarakat Indonesia
masa depan.[68]
Di sisi lain, lembaga ini juga mencirikan keaslian indigenous Indonesia,
karena secara kultural terlahir dari budaya Indonesia
yang asli.
Konsep ini adalah upaya modernisasi
dengan tegas dan jelas berlandaskan platform kemodernan yang berakar dalam
keindonesiaan dengan dilandasi keimanan.[69]
Pondok pesantren diharapkan dapat
memberikan responsi atas tuntutan era mendatang yang meliputi dua aspek,
universal dan nasional. Aspek universal yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan dalam skala nasional yaitu pembangunan di Indonesia. Untuk yang
terakhir ini, bahkan peran pondok pesantren semakin besar dalam menentukan
suatu pola pembangunan yang bersifat “indigenous”, asli sesuai aspirasi bangsa
Indonesia sendiri, karena pondok pesantren adalah sebuah lembaga sistem
pendidikan-pengajaran asli Indonesia yang paling besar dan mengakar kuat.[70]
Pondok pesantren dinilai mampu menciptakan dukungan sosial bagi
pembangunan yang sedang berjalan. Sebab, pembangunan adalah suatu usaha
perubahan sosial. Tujuannya adalah perbaikan dan peningkatan kehidupan secara
keseluruhan.[71]
c. Keilmuan
Persoalan mendasar yang terjadi hampir merata
di dunia pendidikan kaum muslim kontemporer adalah terpisahnya lembaga-lembaga
pendidikan yang memiliki konsentrasi dan orientasi yang berbeda.[72] Ada lembaga yang menitikberatkan orientasinya pada
“ilmu-ilmu modern” dan di sisi lain ada lembaga yang hanya memfokuskan diri
pada “ilmu-ilmu tradisional”. Realitas kelembagaan pendidikan ini lebih dikenal
dengan dualisme pendidikan.
Modernisasi
pendidikan dalam pondok pesantren modern pada prinsipnya menghilangkan dualisme
pendidikan tersebut. Kedua bentuk lembaga ini sama-sama memiliki sisi positif
yang patut dikembangkan dan juga mempunyai kelemahan yang sama sekali harus
dibuang dan ditinggalkan. Usaha modernisasi tertuju pada upaya untuk
mengkompromikan kedua lembaga ini dengan memadukan sisi baik antara keduanya,
sehingga pada gilirannya akan melahirkan sistem pendidikan yang ideal. Sistem
pendidikan seperti ini disebut dengan sistem pendidikan Indonesia
menuju kearah titik temu atau konvergensi.[73] Usaha
ini berawal pada perpaduan unsur-unsur keilmuan.
Sejarah
pendidikan Islam telah menunjukkan bahwa keseimbangan antara ilmu-ilmu agama
dan ilmu-ilmu dunia terdapat pada masa kejayaan dan kegemilangan Islam itu.
Seperti diungkap oleh Hasan Langgulung, pakar pendidikan, keseimbangan ini
tidaklah hilang kecuali pada zaman kelemahan. Jadi kelemahan dan kemunduruan
umat Islam bukan karena Islam, tetapi karena menjauhi Islam.[74]
Artinya, umat Islam ketika itu tidak mau lagi menerima ilmu-ilmu modern yang
bersumber dari Barat.
Dengan demikian, sistem pendidikan
“baru” ini mengacu pada perpaduan kedua disiplin keilmuan tersebut. Oleh karena
itu, dunia pendidikan Islam harus memodernisasi diri guna mengejar
ketertinggalannya, dan untuk memenuhi tuntutan teknologi di masa depan.
Institusi
pendidikan Islam di masa mendatang mestinya tidak terkonsentrasi penuh pada
bidang kajian Islam saja, lebih dari itu institusi pendidikan tersebut juga
menaruh perhatian yang tinggi pada penguasaan bidang matematika, fisika, kimia
dan biologi (MIPA). Bidang ini diperlukan untuk meningkatkan daya saing umat
Islam demi menyongsong era teknologi dan era globalisasi mendatang.[75]
Ide
pemikiran ini tertuju pada upaya untuk memasukkan kurikulum “umum” yang selama
ini diterapkan di dunia pendidikan umum ke dalam pendidikan Islam yang telah
memiliki kurikulum tersendiri, sehingga yang akan terjadi nantinya kombinasi
dua bentuk unsur keilmuan dalam skala yang utuh.[76]
Konsep
tersebut pada dasarnya juga merupakan usaha untuk mengkompromikan sistem
pendidikan modern dengan sistem pendidikan tradisional.[77] Oleh
karena itu, konsep keterpaduan (keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan) di
atas, merupakan solusi dalam rangka menyikapi munculnya split personality,
sebagai akibat dari tidak kompleksnya unsur keilmuan dalam pendidikan.
2. Peran Pondok
Modern Terhadap Profesionalisme Santri
Dalam mempersiapkan masyarakat
madani tantangan terhadap partisipasi aktif dunia pendidikan semakin besar.
Peran lembaga pendidikan Islam, tidak saja dituntut untuk mengkristalisasikan
semangat ketuhanan sebagai pandangan hidup universal, lebih dari itu institusi
ini harus lebur dalam wacana dinamika modern. Pondok modern sebagai lembaga
alternatif diharapan mampu menyiapkan kualitas masyarakat yang bercirikan
semangat keterbukaan, egaliter, kosmopolit, demokratis, dan berwawasan luas,
baik menyangkut aspek spiritual, maupun ‘ilmu-ilmu modern’. Oleh karena itu,
akhir-akhir ini penelaahan kembali pada lembaga pendidikan Islam mendapat
perhatian serius. [78]
Menyikapi realitas pendidikan
sekarang, pondok modern tampil memodernisasi pendidikan Islam. Usaha ini
dimaksudkan untuk menemukan format pendidikan ideal sebagai sistem pendidikan
alternatif bangsa Indonesia masa depan.
Kelebihan dan keunggulan pendidikan masa lampau dijadikan sebagai kerangka
acuan untuk merekonstruksi konsep pendidikan yang dimaksudkan. Sedang berbagai
bentuk sistem pendidikan lama yang tidak relevan lagi untuk ruang dan waktu,
akan ditinggalkan.[79]
Peran pondok modern dalam memadukan
kedua bentuk institusi pendidikan itu melahirkan sistem pendidikan Islam yang
komprehensif, tidak saja hanya menekankan penguasaan terhadap khazanah keilmuan
Islam klasik tetapi juga mempunyai integritas keilmuan modern.[80]
Lembaga pendidikan seperti ini,
dalam arti yang sederhana telah terwakilkan oleh lembaga pondok modern. Karena
pada pondok pesantren ini para santri tidak hanya di proyeksikan mampu
menguasai Arab klasik, tetapi juga bahasa Inggris yang dibutuhkan dalam mencari
ilmu untuk masa sekarang.[81] Dan
kurikulum pondok pesantren modern menghadirkan perpaduan yang liberal yakni
tradisi belajar klasik dengan gaya modern Barat
yang di wujudkan secara baik dalam sistem pengajaran maupun mata pelajarannya.[82]
Namun demikian, pondok modern harus
terus berbenah diri serta inovatif dalam mengembangkan sistem pendidikan dan
pengajarannya, agar dapat bersaing di era global ini dengan lembaga pendidikan
lainnya dalam menghasilkan lulusan yang bermutu. Selain itu juga karena pondok
modern mempunyai tugas yang lebih berat dibandingkan dengan lembaga pendidikan
lain. Pondok modern dituntut bukan hanya menghasilkan lulusan yang berkompeten
dibidang IPTEK namun juga mempunyai IMTAQ yang berkualitas.
[1] M.
Naquib Al-Attas dalam Yasmadi, Modernisasi
Pesantren (Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional),
Ciputat Press, Jakarta,
2002, h. 59
[2] Mukhtar
Bukhori, Spektrum Problematika Pendidikan
di Indonesia, cet ke-1, Tiara Wacana, Yogyakarta,
1994, h. 243-244
[3]
Nurcholis Madjid dalam Yasmadi, op.cit., h. 59
[4] Marwan
Saridjo et.al, Sejarah Pondok Pesantren
di Indonesia, Dharma Bhakti, Jakarta,
1982, h. 9
[5] Mustofa
Syarief dkk, Administrasi Pesantren,
PT Paryu Barkah,t.t, Jakarta,
h. 6
[6] Depag
RI, Pedoman Penyelenggaraan Pusat
Informasi Pesantren, Proyek Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren
Jakarta, 1985/1986, h. 31
[7]
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, Lintasan Pertumbuhan dan Perkembangan, Raja Grafindo, Jakarta,
1996, h.138
[8]
Zamachsyari Dhofier, Tradisi Pesantren,
Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S, Jakarta,
1994, h. 18
[9]
Nurcholis Madjid dalam Yasmadi, op.cit., h.62
[10] Ibid., h. 70
[11] Ibid,
h. 71
[12]
Op.cit., h. 44
[13]
Op.cit., h. 115-116
[14] Ibid,
h. 75
[15] Ibid.,
h. 89
[16] Ibid.,
h. 116
[17] Arifin dalam Mujammil Qomar, Pesantren
(Dari Trnsformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi), Erlangga,
Jakarta, 2003, h. 16
[18] Ibid.
[19] Ibid, h. 17
[20]
Ibid.,
[21] Ibid,
h.18
[22] Ibid.,
[23] Ibid.
h. 154
[24] Ibid.
[25]
Nurcholis Madjid dalam Yasmadi, op.cit., h. 5
[26] M. Ali Haidar, “Pesantren”, Santri, No.02,Juli 1996, h. 36
[27] Mujammil Qomar, op.cit., h. 64
[30]
Mastuhu, Kyai Tanpa Pesantren : K.H.
Ali Yafie dalam Peta Kekuatan Sosial Islam Indonesia, dalam Jamal D.
Rahman.et.al.(ed), Wacana Baru Fiqih Sosial 70 Thn K.H. Ali Yafie, Mizan,
Bandung, 1997, h. 260-261
[31] M. Nuh
Sholeh, Pesantren Dalam KonstelasiPerubahan
Zaman, Santri, No.03, Maret, 1997, h. 57-58
[32]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi
dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, h. 106
[33] Saiful
Sagala, Administrasi Pendidikan
Kontemporer, ALFABETA, Bandung,
2004, h. 198
[34] Kamus
Bahasa Indonesia, op.cit., h. 200
[35] Jarvis
dalam Saiful Sagala, op.cit., h. 198
[36] Ibid,
[37] Nurcholis
Madjid dalam Yasmadi, op. cit., h. 61
[38]
Zamachsyari Dofier, op.cit, h. 18
[39]
Op.cit., h. 61
[40] Ibid,
h. 66
[41] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam
Prespektif Islam, Rosda Karya, Bandung, 2001, h. 113
[42] Ibid.
[43] Ibid.
[44] Op.Cit,
h. 107
[45] Ibid.,
h. 108
[46] Ibid.,
h. 109
[47] Ibid,
h. 95-96
[48] Ibid.,
h. 110
[49]
Mujammil Qomar, op.cit., h. 80-83
[51] M.M.
Billah, Pikiran Awal Pengembangan
Pesantren, dalam M. Dawam Rahardj (ed.), Pergulatan Pesantren Membangun Dari Bawah, Jakarta, P3M, 1985, h.
291
[52] Ahmad
Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah
Kenegaraan Studi Tentang Percaturan dan Konstituante, Jakarta, LP3ES, 1987, h. 57
[53] Mujammil Qomar, op.cit., h. 80
[54]
Muhammad Tholchah Hasan, Telaah Kitab
Kuning di Pesantren, Aula, No. 3, April 1989, h. 85
[55]
Azyumardi Azra, op.cit., h. 102
[56]
Nurcholis Madjid dalam Yasmadi, op.cit., h. 110
[57] Ibid,
h. 106
[58] Ibid.,
h. 121
[59] Ibid.,
h. 122
[60] Ibid,
h. 24
[61] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, cet ke-2, Jakarta, 1992,
h. 24
[62]
Nurcholis Madjid, Dialog Keterbukaan, Paramadina,
Jakarta, 1980,
h. 212
[63] Ibid,
h. 262
[64] Ibid,
[65] Ibid,
h. 247-248
[66]
Nurcholis Madjid dalam Yasmadi, op.cit., h. 126
[67]
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin.., op.cit.,
h. 485-486
[68] Op.
cit., h. 127
[69] Ibid,
h. 126
[70] Karel
A. Steenbrink, Pesantren Madrasah
Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, LP3ES, Jakarta, 1996, h.
87-89
[71] Ibid,
[72]
Nurcholis Madjid dalam Yasmadi, op.cit., h. 131
[74] Hasan
Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam,
Mutiara Sumber Widia, Jakarta,
1992, h. 117
[76] Ibid,
[77] Ibid,
[78] Ibid.,
h. 112
[79] Ibid,
h. 113
[80] Ibid,
[81] Ibid,
[82] Ibid,
0 komentar:
Posting Komentar