1.
PENGERTIAN MUDHARABAH
Menurut
bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi,
yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga.
Allah swt
berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20).
Mudharabah disebut
juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong), karena
pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia
berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
Menurut
istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak,
yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya
dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan
ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).
2.
PENSYARI’ATAN MUDHARABAH
Dalam
kitabnya al-Ijma’ hal. 124, Ibnul Mundzir menulis, “Para ulama’ sepakat atas
bolehnya melakukan qiradh, pemberian modal untuk berdagang dengan
memperoleh bagian laba dalam bentuk Dinar dan Dirham. Mereka juga sepakat bahwa
si pengelola modal boleh memberi syarat perolehan sepertiga atau separuh dari
laba, atau jumlah yang telah disepakati mereka berdua, setelah sebelumnya
segala sesuatunya sudah menjadi clear, jelas.”
Bentuk
kerjasama model ini sudah pernah dipraktikkan oleh para sahabat Rasulullah saw.
Dari Zaid
bin Aslam dari bapaknya bahwa ia pernah bercerita, “Dua anak Umar bin Khattab
ra, Abdullah dan Ubaidullah keluar pergi bersama pasukan menuju negeri Irak.
Tatkala mereka kembali dari sana, mereka melewati Abu Musa al-Asy’ari yang
sedang menjabat sebagai Amir, gubernur di Bashrah. Setelah ia mengucapkan selamat
datang dan menyambutnya, kemudian berkata kepada mereka berdua, “Kalau saya
tetapkan suatu urusan untuk kalian yang sangat bermanfa’at bagi kalian, tentu
aku mampu menetapkannya.” Kemudian ia melanjutkan, “Baik, di sini ada sebagian
harta kekayaan Allah. Saya bermaksud hendak mengirimnya (melalui kalian) kepada
Amirul Mukminin, yaitu saya pinjamkan kepada kalian berdua, lalu (boleh) kalian
belikan barang dagangan dari Irak ini, kemudian dijual di Madinah, lalu modal
pokoknya kalian serahkan kepada Amirul Mukminin, sedangkan labanya untuk kalian
berdua.” Mereka berdua menjawab, “Kami ingin melaksanakannya.” Setelah harta
negara itu diserahkan kepada keduanya, kemudian ia menulis sepucuk surat kepada
Amirul Mukminin Umar bin Khattab agar menerima harta itu dari mereka berdua.
Tatkala mereka tiba (di Madinah), maka mereka mendapatkan keuntungan.
Kemudian ketika keduanya menyerahkan harta negara itu kepada Umar, maka Umar
bertanya kepada mereka, “Apakah setiap pasukan mendapatkan pinjaman seperti
yang dipinjamkan kepada kalian berdua?” Jawab mereka, “Tidak.” Kemudian Umar
bin Khattab menyatakan, “Karena dua anak Amirul Mukminin, maka ia (Abu Musa)
telah meminjamkan harta negara kepada kalian berdua! Serahkanlah kepada negara
modal dan keuntungannya!” Adapun Abdullah diam membisu, sedangkan Ubaidullah,
“Wahai Amirul Mukminin, tidak sepatutnya engkau menetapkan seperti ini?
(Karena) andaikata modal ini berkurang atau musnah, sudah barang tentu kamilah
yang bertanggung jawab untuk menggantinya.” Kemudian Umar menyatakan, “Kalian
harus mengembalikan seluruhnya!” Kemudian Abdullah diam seribu bahasa, lalu
Ubaidullah mengulangi pernyataannya. Maka seorang laki-laki yang termasuk rekan
dekat Umar berkata, “Wahai Amirul Mukminin, alangkah baiknya kalau kau jadikan
modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar menjawab, “Kalau begitu,
kujadikan modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar mengambil modalnya
dan separuh dari keuntungannya. Sedangkan Abdullah dan Ubaidullah, dua anak
Umar bin Khattab mendapatkan separuh dari keuntungan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil
V: 291, Muwaththa’ Imam Malik halaman 479 no: 1385 dan Baihaqi VI: 110).
3.
ORANG YANG MENGEMBANGKAN MODAL HARUS AMANAH
Mudharabah hukumnya jaiz,
boleh baik secara mutlak maupun muqayyad (terikat/bersyarat), dan pihak
pengembang modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang
melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan, “Para ulama’ sepakat
bahwa jika pemilik modal melarang pengembang modal melakukan jual beli secara
kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung
resikonya.” (al-Ijma’ hal. 125).
Dari Hakim
bin Hizam, sahabat Rasulullah saw, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas
orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan
berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang
bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau
letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari
larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.” (Shahih Isnad:
Irwa-ul Ghalil V: 293, Daruquthni II: 63 no: 242, Baihaqi VI: 111).
Sumber:
Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis
Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam
Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka
As-Sunnah), hlm. 689 - 692.
6 komentar:
nice post :)
ditunggu kunjungan baliknya yaah ,
mudharabah itu menyangkut bisnis perdagangan yah..
thanks banget atas infonya.. :D
Artikeln yg nih OK bgt gan...bisa di copas ga? thx
mantaps gan...trus gue harus Gue bilang WaW gitu...
Theme blognya bagus juga...trus gue harus bilang WAW GITU!!
Posting Komentar