AGAMA KLASIK DAN MODERN
(Pendekatan Kebudayaan Terhadap Agama)
BAB I
PENDAHULUAN
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini
belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah
masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa
perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak
berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang
agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena
sifat universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat
tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali
kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat
melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak
mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial
yang lebih lengkap.[1][1]
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam
dan di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas
dari pengaruh realitas di sekelilingnya. Seringkali praktik-praktik keagamaan
pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama dan kemudian
disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertautan antara agama dan realitas
budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas yang
vakum-selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya
berarti mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan
manusia, yang pasti dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan yang demikian itu juga memberikan arti bahwa
perkembangan agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam wacana dan praktis
sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu
pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan
hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan-seperti yang
tercermin dalam kitab-kitab suci-dan konstruksi manusia-terjemahan dan
interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktek
ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran
agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial-yang telah
melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi
terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya.
Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford
Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di
Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di
Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan
manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh
lingkungan budaya.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia,
menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang
manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan
manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropology akan
pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang
penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya.
Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting
untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai “khalifah” (wakil
Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam
Islam.
Di makalah ini saya mencoba menguraikan bagaimana
Antropologi berperan penting dalam mengkaji Agama dan Budaya yang tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan manusia berikut beberapa teori munculnya Agama dan
perkembanganya.
BAB II
PENDEKATAN KEBUDAYAAN TERHADAP AGAMA
A. Agama
dan Kehidupan
Kehidupan beragama pada dasarnya
merupakan kepercayaan terhadap keyakinan
adannya kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap
kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam.
Kepercayaan itu menimbulkan prilaku tertentu, seperti berdoa, memuja dan lainnya, serta menimbulkan
sikap tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah dan lainnya dari
individu dan masyarakat yang mempercayainya.[2][2]
Karenanya, keinginan, petunjuk dan ketentuaan-ketentuan gaib harus
dipatuhi kalau manusia dan masyarakat ingin kehidupan ini berjalan dengna baik
dan selamat. Kepercayaan beragama yang bertolak dari kekuatan gaib ini tampak
aneh, tidak alamiah dan tidak rasional dalam pandangan individu dan masyarakat
modern yang terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa sesuatu diyakini ada kalau
konkret, rasional, alamiah atau terbukti secara empirik dan ilmiah.
Namun
demikian, kehidupan beragama adalah kenyataan hidup manusia yang ditemukan
sepanjang sejarah masyarakat dan kehidupan pribadinya. Ketergantungan
masyarakat dan individu kepada kekuatan gaib ditemukan dari zaman purba sampai
ke zaman modern ini. Kepercayaan itu diyakini kebenarannya sehingga ia menjadi
kepercayaan keagamaan atau kepercayaan religius.
B. Kajian
Antropologi terhadap Agama
Kehidupan beragama ditelusuri dari
zaman prasejarah sampai zaman modern. Banyak ahli antropologi melakukan
penelitian dikalangan masyarakat primitif dengan tujuan untuk dapat memahami
gejala kehidupan beragama yang masih murni karena kehidupan beragama masyarakat
modern sudah campur aduk dengan kehidupan yang lain.
Antropologi klasik memahami gejala
kehidupan beragama sebagai kebudayaan suatu masyarakat. Agama dipahami sebagai Human Creation, Human Made. Agama
dilihat sebagai:[3][3]
1.
Ekspresi simbolis dari kehidupan
manusia yang dengannya manusia menafsirkan dirinya dan universe
disekelilingnya.
2.
Yang memberikan motif bagi perbuatan
manusia.
3.
Sekumpulan tindakan yang berhubungan
satu sama lain yang punya nilai-nilai yang melangsungkan kehidupan manusia.
Perhatian
ahli antropologi dalam meneliti agama ditujukan untuk melihat keterkaitan
faktor lingkungan alam, struktur sosial, struktur kekerabatan dan lain
sebagainya terhadap timbulnya berbagai jenis agama, kepercayaan, upacara,
organisasi keagamaan tertentu. Disamping itu juga ingin diketahui secara lebih
detail tentang keterkaitan kepercayaan dan kehidupan beragama dengan institusi
budaya yang lain seperti seni, ilmu pengetahuan, sistem ekonomi, hukum, politik
dan lainnya.
C. Objek
Kajian Antropologi Agama
Agama yang dipelajari oleh antropologi adalah agama sebagai
fenomena budaya, tidak ajaran agama yang datang dari Tuhan. Maka yang menjadi
perhatian adalah beragamanya manusia dan masyarakat. Sebagai ilmu sosial,
antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya,
seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral. Setiap unsur
budaya terdiri dari tiga hal:[4][4]
1. Norma, nilai, keyakinan yang ada
dalam pikiran, hati dan perasaan manusia pemilik kebudayaan tersebut,
2. Pola tingkah laku yang dapat diamati
dalam kehidupan nyata,
3. Dan hasil material dan kreasi,
pikiran dan perasaan manusia.
Demikian juga agama sebagai fenomena
budaya, ia ditemukan dalam bentuk keyakianan, prilaku dan benda-benda konkret
yang dihasilkan oleh manusia dan masyarakat beragama.
Harsojo mengungkapkan bahwa kajian
antropologi terhadap agama dari dahulu sampai sekarang meliputi empat masalah
pokok, yaitu: dasar-dasar fundamental dari agama dan tempatnya dalam kehidupan
manusia, bagaimana manusia yang hidup bermasyarakat memenuhi kebutuhan religius
mereka? dari mana asal uasul agama? bagaimana manifestasi perasaan dan
kebutuhan religius manusia?[5][5]
Penelusuran
terhadap asal-usul agama secara universal tidak akan mungkindicapai karena
karakteristik ajaran dan umat beragama sangat banyak dan sangat berbeda satu
sama lain. Mendasarkan pendapat tentang asal-usul agama pada data keagamaan
masyarakat primitif sungguh tidak representatif, bahkan salah kaprah karena
agama-agama besar dunia sangat berbeda dengan agama masyarakat primitif.
Kemudian penelusuran secara ilmiah terhadap kepercayaan beragama, menuntut
bukti yang rasional empirik, dan berikutnya menuntut kesimpulan yang rasional
empirik. Mengatakan agama dari tuhan tentu tidak empirik. Karena itu Durkheim
mengatakan bahwa asal-usul agama adalah masyarakat itu sendiri. Beragama Human Made dan Human Creation. Selain
itu, mengatakan demikian asal-usul agama tidaklah sesuai dengan apa yang ada
dalam keyakinan dan pikiran umat beragama karena menurut mereka agama adalah
ajaran Tuhan.[6][6] Walaupun kemudian disamaikan dan
diolah atau diijtihadkan oleh pemuka agama, asal bahan yang diolah dan
diijtihadkan itu tetap dari wahyu Tuhan. Kesimpulan agama dari Tuhan sesuai
dengan metode verstehen, dengan pendekatan fenomenologis yang merupakan ciri
pendekatan antropologi.
D. Pendekatan
Antropologi Agama
Pendekatan antropologi tidak menjawab bagaimana seharusnya
beragama menurut kitab suci, tetapi bagaimana menurut penganutnya. Yang dalam
kitab suci adalah Das Sollen,
bagaimana seharusnya, sedangkan bagaimana menurut umatnya adalah empirik, yang
dialami oleh manusia, baik yang diyakininya, dikerjakannya, maupun yang
dirasakannya. Dengan demikian, yang diyakini suatu masyarakat beragama dapat
saja gaib, tidak dapat diteliti. Akan tetapi, keyakinan masyarakat dalam bentuk
kepercayaan kepada yang gaib bersifat empirik, dialami oleh manusia, sehingga
dapat dijadikan objek kajian ilmiah.
Tetapi manusia percaya kepada Tuhan, bagaimana sifat Tuhan yang dipercayainya,
hubungan dengan Tuhan tersebut dan lainnya yang mereka alami adalah empirik,
kenyataan hidup yang dapat diteliti secara ilmiah.
Antropologi
memakai pendekatan dari dalam atau pendekata verstehen. Fenomena budaya yang
dihasilkan oleh agama dipahami menurut interpertasi pemeluknya sendiri, tidak
menurut kacamata peneliti. Untuk memahami makna suatu simbol keagamaan,
ditanyakan kepada masyarakat penganutnya sendiri. Sebagai kajian antropologis,
beragamanya manusia ingin dipelajari secara mendalam, sampai dasar-dasar
fundamental dari kehidupan beragama dan asal-usul manusia beragama. Pendekatan
ini bukan tidak objektif adalah kalau memahami masalah harus disesuaikan dengan
kryakinan dan nilai-nilai yang dianut
peneliti dan dipaksakan tanpa didukung oleh bukti yang dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah.[7][7]
E.
Pendekatan Kebudayaan
Apa yang dimaksud dengan pendekatan adalah sama dengan
metodologi: sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu masalah
yang dikaji. Makna metodologi juga mencakup berbagai tehnik yang digunakan
untuk melakukan penelitianatau pengumpulan data. Dengan demikian, pendekatan
atau metodologi bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat
sesuatu permasalahan, melainkan juga mencangkup pengertian metode-metode atau
teknik-teknik penelitian yanng sesuai.[8][8] Dengan demikian, makna pendekatan
kebudayaan dapat diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat dan
memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan menggunakan
kebudayaan sebagai acuan.
Menurut Prof. Parsudi Suparlan,
kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya.
Sebagai pedoman, kebudayaan harus berupa pengetahuan dan keyakinan-keyakinan.
Kebudayaan kerap digunakan sebagai instrumen untuk menginterpretasikan lingkungan
hidup. Ia menghasilkan tindakan-tindakan bermanfaat bagi perkembangan sumber
daya yang ada dalam sebuah lingkungan masyarakat.[9][9]
Kebudayaan
sebagai pengetahuan mengenai dunia yang ada disekelilingnya dan
pengalaman-pengalamannya dengan relatif mudah dapat berubah dan berkembang
sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidupnya,
terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bagi kehidupannya
yang sumber-sumber dayanya berada dalam lingkungan hidupnya tersebut. Tetapi
sebagai sebuah keyakinan, yaitu nilai-nilai budayanya, terutama keyakinan
mengenai kebenaran dari pedoman hidupnya tersebut, maka kebudayaan cenderung
untuk tidak mudah berubah.
F.
Pendekatan Kebudayaan dan Agama
Agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku,
yang diusahakan oleh manusia untuk menangani masalah-masalah penting yang tidak
dapat dipecahkan menggunakan teknologi dan teknik organisasi yang diketahui.
Menurut Anthony F.C. Wallace agama sebagai seperangkat upacara, yang diberi
rasionalisasi mitos, dan yang menggerakan kekuatan-kekuata supranatural dengan
maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan pada
mausia atau alam.[10][10]
Bila agama telah menjadi bagian dari
kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari nilai-nilai budaya dari
kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka berbagai tindakan yang dilakukan
oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka
dalam sehari-harinya juga akan berlandaskan pada etos agama yang diyakini.
Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserap dan tercermin
dalam berbagai pranata yang ada dalam masyrakat tersebut. Sebaliknya, bila yang
menjadi inti dan yang hakiki dari kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya
yang lain, maka nilai-nilai etika dan moral dari agama yang dipeluk oleh
masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis mulut saja atau hanya penting
untuk upacara-upacara saja.[11][11]
Apakah
gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama. Yang terutama adalah
kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang
dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya. Kegunaan kedua, sebagai
hasil lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat mengarahkan dan
menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh para warga masyarakat tersebut
sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama tersebut, tanpa harus menimbulkan
pertentangan dengan para warga masyarakat tersebut. Yang ketiga, seringkali
sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat
berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi
lokal tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal
tersebut, karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama
masyarakat tersebut dirubah maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam
berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut yang akhirnya akan
menghasilkan perubahan kebudayaan yang hanya akan merugikan masyarakat tersebut
karena tidak sesuai dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat
tersebut.
G.
Pendekatan Antropologi Terhadap
Agama
Agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku,
yang oleh manusia digunakan untuk menggedalikan aspek alam semesta yang tidak
dapat dikendalikannya. Karena dalam semua kebudayaan yang dikenal tidak ada
sesuatu yang sungguh-sungguh pasti dapat menggendalikan alam semesta, maka
agama merupakan bagian dari semua kebudayaan yang kita ketahui.[12][12] Akan tetapi dari sini ada banyak
ragamnya disudut yang satu dari cakrawala umat manusia terdapat suku pemburu
dan peramu yang pengetahuan ilmiahnya tentang alam semesta terbatas dan
cenderung melihat dirinya sendiri sebagai bagian, atau lebih tepat sebagian
tuan dari alam semesta. Di antara pemburu dan peramu tindakan keagamaan dapat
merupakan bagian yang integral dari perilaku sehari-hari.
Disudut
cakrawala manusia yang lain terdapat peradaban barat dengan kekayaan
pengetahuannya dan keterikatannya untuk mengatasi segala masalah dengan menggunakan
pengetahuannya dan keterkaitannya untuk mengatasi segala masalah dengan
menggunakan teknologi dan kemampuan organisasinya. Disini agama merupakan
bagian yang tidak begitu besar dari kegiatan sehari-hari dan cenderung dibatasi
untuk keadaan-keadaan tertentu. Meskipun demikian ada keanekaragaman kegiatan
agama mungkin tidak terlalu penting bagi kalangan kaum elit sosial, yang
menganggap dirinya sendiri lebih dapat menggendalikan nasib sendiri. Bagi
mereka, agama memberi sedikit kompensasi dari ketergantungan kedudukannya dalam
masyarakat. Agama mungkin juga memberi rasionalisasi begitu rupa kepada sistem
kemasyarakatan, sehingga orang-orang tersebut tidak berusaha mengubah nasib
mereka. Kalau akhirnya pada harapan akan kehidupan yang lebih baik sesudah meninggal
maka orang akan lebih sanggup menerima penderitaan dalam kehidupan sekarang.
H. Teori Asal
Mula Agama
Ketika para sarjana mencoba
merumuskan teori-teori tentang asal mula terjadinya agama, ilmu pengetahuan
yang disebut antropologi belum ada, yang baru ada adalah etnografi, lukisan
tentang suku-suku bangsa sederhana yang kemudian menjadi etnologi, yaitu ilmu
tentang bangsa-bangsa (sederhana) para ahli yang berpendapat tentang asal mula
agama adalah ahli sejarah C. De Brosses (1967) ahli filsafat August Comte
(1850) ahli filologi F.Max Muller 1880) dan lainya dan kemudia n muncul
teori-teori dari para ahli antropologi seperti E.B. Tylor (1889) R.R.Marett
(1909), J.G.franzer (1890) E.Durkheim (1912) dan W.Schmidt (1921) dari
teori–teori mereka ini orang berpendapat bahwa perkembangan agama itu mulai
dari animism, dinemisme, politeisme dan baru kemudian menoteisme.
1. Teori Taylor
Sarjana yang diangap paling pertama
kali mengemukakan pendapat bahwa asal mula dari agama adalah “dinamisme” paham
tentang jiwa atau roh dia adalah sejana antopologi inggris E.B. Taylor dalam
bukunya Primitive Culture mengapa
manusia sederhana menyadari tentang adanya jiwa atau roh, dikarenakan yang
Nampak dan dialami sebagai berikut:[13][13]
Ø Peristiwa
hidup dan mati
Bahwa adanya hidup karena adanya gerak, dan gerak itu
terjadi karena adanya jiwa. Dan apa bila jiwa itu lepas dari tubuh maka berakti
mati dan tubuh tidak bergerak.
Ø Peristiwa
mimpi
Bahwa ketika manusia itu tidur atau pingsan ia
mengalami mimpi dimana tubuh itu diam dan masih ada gerak (nafas), tetapi ia
tidak sadar karena sebagian dari jiwanya terlepas dan gentanyangan ketempat
lain.
Menurut Taylor kepercayaan manusia
sederhana terhadap jiwa latin (Anima) didalam sekitarnya itulah yang disebut
animism yang merupakan asal mula agama, yang kemudian dikembangakan menjadi
Dynamisme. Polytheisme, dan akhirnya menotheisme. Dengan demikian animism itu
adalah paham kepercayaan manusia tetang adanya jiwa.
2. Teori Marett
Dikemukakan oleh R.R Marett seorang
antropologi ingris di dalam bukunya The
Threshold of Religion (1909), berarti setelah 36 tahun teori animism
berkembang. Berpendapat bahwa bagi masyarakat yang budayanya masih sangat
sederhana belum mungkin dapat berpikir dan menyadari tentang adanya “Jiwa” jadi
katanya pokok pangkat dari perilaku keagamaan bukanlah kepercayaan terhadap
roh-roh halus, melaikan timbul karena perasaan rendah diri manusia terhadap
berbagai gejala dan peristiwa yang dialami manusia dalam hidupnya. Sehingga
kekuatan itu bersifat supernatural. Menurut Marett kepercayaan terhadap adanya
yang supernatural itu sudah ada sejak sebelum manusia menyadari adanya roh-roh
halus (animesme). Oleh karenanya teori Marett ini sering dikatakan pula
prae-animesme.[14][14]
3. Toeri Frazer
Mengemukakan juga pendapat tentang
asal mula agama adalah J.G.Frazer dalam bukunya The Golden Bough A Study In Magic And Religion (1890) ia
berpendapat bahwa manusia itu dalam memecahkan masalah berbagai macam dalam
kehidupannya dengan menggunakan akal dan system pengetahuan. Akal manusia itu
terbatas semakin rendah budaya manusia semakin kecil dan terbatas kemampuan
akal pikiran dan pengetahuannya.
Megic itu adalah tanggapan hidup
berbagai masyarakat bangsa, sejak jaman purba maupun sekarang masih ada. Orang
memperkirakan bahwa para ahli magic itu dengan mantera, jimat dan upacara yang
dilakukan dapat menguasai atau mempengaruhi alam sekitarnya.
Menurut Frazer pada mulanya manusia
itu hanya mengunakan magic untuk mengatasi masalah yang berada diluar batas
kemampuan akalnya, kemudian dikarenakan ternyata usahanya dengan magic tidak
berhasil maka mulailah ia percaya bahwa alam semesta ini didiami oleh para
makhluk halus yang lebih berkuasa dari padanya. Seterusnya dengan
makhluk-makhluk halus itu, sehingga dengan demikian timbullah agama (religi).[15][15]
4. Teori Schimidt
Serjana Austria W.Schmidt juga
mengemukakan teori tentang asal mula agama, atara lain dalambukunya Die Uroffenbarung als Antang der
Offenbarungen Gonttles (1921) yang berbeda dengan Taylor. Schmindt
mengemukakan bahwa “Monotheisme” kepercayaan terhadap adanya satu tuhan.
Kepercayaan terhadap adanya satu Tuhan bukan penemuan baru tetapi juga sudah
tua. Pendapatnya ini sebenarnya berasal dari pendapat ahli sastra inggris A.
Lang, yang meramunya dari berbagai kesusasteraan rakyat dari berbagai bangasa
di dunian dalam bentuk-bentuk dongeng yang melukiskan adanya tokoh dewa
tunggal.[16][16]
5. Teori Duhkheim
Seorang
sarjana filsafat dan sosiologi bangsa prancis, yang juga mengemukakan teorinya
tentang asal mula agama dalam bukunya Les
Forms Elementaires De La Vie Religieuse (1912).
Seperti
halnya dengan Marett yang mengemukakan kritiknya terhadap teori Tylor, demikian
pula Durkheim yang berpendapat bahwa pada masyarakat yang masih sederhana
tingkat budayanya belum mungkin dapaat menyadari dan memahami tentang jiwa yang
berada dalam tubuh manusian yang hidup dan jiwa yang sudah lepas dari tubuh
menjadi roh-roh halus dari orang yang sudah mati.
Menurut
Durkheim pengertian tentang emosi keangamaan dan sentimen-kemasyarakatan
sebagaimana dikemukakan di atas adalah pengertian dasar yang merupakan inti
dari setiap agama sedangkan kegiatan berhimpunnya masyarakat.[17][17]
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang hidup di kepulauan
Nusantara di garis khatulistiwa. Lingkungannya dipenuhi dengan hutan rimba,
pegunungan, sungai, danau, rawa-rawa dengan lautan yang luas. Dan
binatang-binatang yang ada bermacam-macam dari yang ganas sampai yang jinak.
Musim di nusantara hanya dua yaitu kemarau dan hujan tidak selamanya
membahagiakan kehidupan manusia tetapi ada kalanya menimbulkan musibah seperti
gunung meletus, banjir, kelaparan dan penyakit. Indonesia yang dipenuhi oleh
flora dan faunanya menjadikan daya tariknya bukan hanya bagi manusia tetapi
makhluk halus yang baik atau jahat. Karena itu bangsa Indonesia sudah senjak
zaman purba, sebelum adanya agama-agama besar (Hindu-Budha, Kristen dan Islam)
telah mengenal kepercayaan kepada kekuatan–kekuatan ghaib dan nenek moyang
bangsa Indonesia di zaman purba sudah mengenal alam roh. Hal tersebut
diperlihatkan dari suku bangsa di Indonesia yang masiih menggunakan kepercayaan
lama.
I.
Kepercayaan di Indonesia
Perkembangan agama-agama besar rupanya tidak menghilangkan
berbagai kepercayaan tradisional yang telah ada di Indonesia. Keberadaan
kepercayaan tradisional masih sangat terasa dibeberapa suku bangsa Indonesia.
Beberapa masyarakat yang masih memegang kepercayaan tradisonal adalah sebagai
berikut:[18][18]
1. Suku Bangsa Batak
Masyarakat suku Bangsa mempunyai
agama, sebagai cara yang digunakan untuk melindungi desa dari penyakit serta
melindungi desa dari serangan kekatan gaib. Hal tersebut diwujudkan dengan
melakukan kurban hewan secara berkala, maksudnya sebagai persembahan kepada roh
leluhur mereka untuk membantu melindungi desa dan masyarakatnya.
2. Suku Bangsa Nias
Kepercayaan suku bangsa Nias adalah
bentuk kepercayaan nenek moyang. Mereka mempercayai bahwa nenek moyang suku
bangsa Nias berasal dari empat orang anak Sirao Uwu Zihono. Sirao Uwu
Zihono adalah penguasa langit yang memiliki sembilan orang anak. Sirao
Uwu Zihono dilahirkan dari sepasang dewa-dewi yang diciptakan oleh
lowalangit. Empat anak lainnya menjaga tanah, laut, hutan dan gunung sedangkan
yang bungsu menjadi penguasa langit.
3. Suku Bangsa Jawa
Masyarakat suku Jawa mengenal
kepercayaan yang disebut Kebatinan dan Kejawen. Kebatinan merupakan bentuk
kerohanian yang menggabungkan kegiatan keagamaan kuno Jawa dengan tradisi
mistik Hindu, Buddha, dan Suffisme Islam. Sedangkan tradisi Kejawen meliputi
hal yang lebih luas, yaitu mencakup pengetahuan mistik dan upacara tradisional
yang dikaitkan dengan dunia gaib.
4. Suku Badui
Masyarakat Badui tinggal di desa
Kanekes, kebupaten Lebak, provinsi Banten. Mereka mengaku sebagai orang Sunda
Wiwitan atau orang Sunda asli. Seluruh segi kehidupan dan kebiasaan orang Badui
diuraikan dalam pkukuh, yaitu seperangkat aturan yang diturukan oleh leluhur.
Dasar kepercayaan orang Badui ialah percaya pada Tuhan yang mereka sebut Batara
Tunggal, yang memiliki kekuasaan dan kekuatan tanpa batas. Pikukuh menjelaskan
bahwa orang Badui diberi kepercayaan untuk membuat bumi sejahtera. Untuk itu,
banyak peraturan yang dibebankan kepada Puun (pemimpin) Badui, seperti larangan
merusak alam. Peraturan tersebut harus dipatuhi oleh masyarakat Badui dengan
taat, jika tidak maka akan timbul kemarahan dari Batara Tunggal. Masyarakat
Badui dituntut untuk hidup sederhana dan tidak boleh membebani orang lain.
5. Suku Bangsa Bali
Masyarakat Bali yang hidup terpencil
di daerah pedalaman, masih lekat dengan kepercayaan dan tradisi masyarakat dari
masa pra Majapahit. Mereka mendiami daerah gunung-gunung di Bali, seperti
Gunung Agung, Gunung Seraya, Gunung Batur, dan Gunung Batukau. Biasanya mereka
disebut dengan disebut dengan masyarakat Bali Aga. Ciri khas masyarakat Bali
Aga yang terpusat pada leluhur, menjadikan mereka tidak menerima apapun yang
ada diluar lingkungan adat.
6. Suku Bangsa Toraja
Suku bangsa Toraja menganut
kepercayaan asli yang disebut Aluk To Dolo (Aluk artinya kepercayaan/ajaran, To
artinya orang, Dolo artinya dulu). Kepercayaan asli suku bangsa Toraja ini
merupakan salah satu dari sedikit tradisi asli yang memperoleh pengakuan dari
pemerintah. Kepercayaan Toraja berpusat pada dewa penghuni alam semesta dengan
leluhur yang menjadi dewa melalui upacara yang dilakukan oleh keturunannya. Leluhur
dipercaya dapat kembali ke bumi dalam wujud hujan yang akan menumbuhkan
tanaman. Para dewa menempati puncak gunung dan dasar bumi.
7. Suku Bangsa Sumba
Suku bangsa Sumba merupakan suku
terakhir di nusantara yang menyembah berhala atau marapuh. Marapuh berkaitan
dengan roh orang mati, benda pusaka, dan tempat keramat. Dalam upacara besar,
gong, dan tambur disembunyikan sebagai tanda utusan roh. Ketika leluhur atau dewa marah maka akan ada wakil roh yang
akan menuntut hak akibat terjadinya pelanggaran kecil pada aturan atau urutan
upacara. Setiap kematian atau bencana selalu dianggap sebagai akibat bentuk
pengingkaran. Oleh karena itu, orang yang hidup harus melakukan penebusan
sebagai langkah berdamai dengan orang mati.
8. Suku Bangsa Dayak
Kepercayaan tradisional masyarakat
Dayak dikenal dengan nama Kaharingan, yang berasal dari kata haringyang berarti
hidup. Suku Dayak mempercayai bahwa dunia diciptakan atas kesepakatan antara
Ranjing Mahatala melemparkan ikatan kepalanya, maka jadilah pohon kehidupan
yang disebut pohon garing.
9. Suku Bangsa Asmat
Suku
bangsa Asmat mendiami daerah hutan dan rawa pantai selat Papua. Bernagi
kepercayaan dan tradisi suku bangsa Asmat menunjukan kekuatannya pengaruh
kepercayaan Austronesia. Dalam pemahaman orang Asmat, penciptaan mereka diawali
oleh dewa Fumeriptis yang membangun Jeu pertama dan memahat patung kayu manusia
telah memberikan kehidupan. Berdasarkan mitos tersebut, suku bangsa Asmat
mempercayai bahwa cabang pohon, batang, akar dan buah pohon adalah lengan,
tubuh, kaki, dan kepala manusia.
J.
Agama dan Kepercayaan yang
Berkembang di Indonesia
Sebagai negara yang memilliki keragaman budaya yang luar
biasa, Indonesia memiliki berbagai agama dan kepercayaan yang berkembang di
wilayahnya. Agama besar dunia, seperti Hindu, Budha, Islam, dan Kristen masuk
dan berkembang diberbagai wilayah Indonesia. Di beberapa wilayah, agama-agama
tersebut menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang telah ada, sehingga memiliki
karakteristik yang sedikit berbeda dengan agama asalnya.[19][19]
1. Hindu
Agama Hindu berasal dari India,
diduga berasal dari nama sebuah sungai di Pakistan, Sindhu. Agama ini merupakan
campuran kebudayaan bangsa Arya dan Dravinda di India, yang telah berkembang
sejak beberapa abad sebelum masehi. Hindu merupakan agama pertama yang masuk
dan berkembang di Indonesia. Para ahli sejarah memperkirakan agama ini telah
masuk ke Nusantara sejak abad pertama masehi. Namun, kehidupan ke agamaannya
baru nampak sekitar abad ke-5M berbagai teori mempermasalahkan siapa yang
menyebarkan agama ini, mulai dari pendeta, pedagang atau golongan lainnya.
Ajaran dasar agama Hindu meliputi 5
kepercayaan atau disebut Panca Krada, yakni Braman, kepercayaan kepada dewa dan
berbagai bentuk perwujudannya. Adman, kepercayaan tentang jiwa yang abdi. Karma
pala, kepercayaan bahwa setiap tindakan akan berakibat pada pelakunya. Punar
bhawa, kepercayaan tentang reikarnasi. Moksa, kepercayaan tentang kebahagian
tertinggi (bersatu dengan dewa).
2. Buddha
Agama Buddha muncul pada abad ke-6SM
di India sebagai reaksi terhadap sistem upacara keagamaan Hindu Brahmana yang
terlampau kaku. Pendiri agama Buddha adalah Sidharta, seorang pangeran dari
kerajaan Cakya, Kapilawastu. Ia adalah orang pertama yang mencapai puncak
Buddha, yang kemudian mengajarkannya kepada para muridnya. Buddha merupakan
agama kedua yang masuk dan berkembang di wilayah Nusantara. Diperkirakan agama
ini dibawa langsung oleh para Biksu (pendeta Buddha) dari India sekitar abad
ke-5M. Pada abad ke-7M, di wilayah Sumatera telah dikenal kerajaan besar yang
beragama Buddha, yakni Sriwijaya.
Para penganut agama Buddha mempunyai
ikrar yang disebut Tricarana (tiga tempat berlindung) yng berbunyi:
1) “Saya berlindung kepada Buddha”
2) “Saya berlindung kepada Dharma”
3) “Saya berlindung kepada Sanggah”
“Buddha” pada ikrar yang pertama
adalah sebutan untuk tokoh pendiri agama Buddha. “Dharma” adalah ajaran agama
Buddha, dan “Sanggha adalah masyarakat pemeluk agama Buddha. Ajaran pokok Buddha umumnya berlandaskan pada
Aryasatyani dan Pratiyasamutpada, dua hal yng diperoleh sang Sidharta Gautama
(Buddha) sewaktu menjalani pertapaan di bawah pohon Boddhi dan menjadi
keyakinannya, sebagai pembuka jalan menuju nirwana.
3. Islam
Islam adalah agama yang lahir di
Arab (Timur Tenggah), tempatnya di kota Makkah pada awal abad ke 7 M pembawa
agama ini adalah Muhammad SAW yang merupakan utusan Allah (Rasulullah).
Perkembangan awal Islam terjadi di kota Madinah dan berlangsung sangat cepat
hingga meliputi seluruh wilayah Arab. Agama Islam telah berkembang di Nusantara
sekitar abad ke-13M asal-usulnya sendiri tidak diketahui dengan pasti.
Ajaran pokok Islma terutama
berdasarkan pada dua rukun, yakni rukun Iman dan rukun Islam. Rukun Iman
terdiri dari 6 tingkatan dan rukun Islam terdiri dari 5 kewajiban dasar agama
Islam.
4. Katolik
Istilah Katolik berasal dari kata
Katolikos yang berarti “menyeluruh” atau “umum” dalam bahasa Yunani. Pengertian
luas Katolik adalah “apa yang dipercaya secara umum”, sedangkan pengertian yang
lebih khusus diperuntukan bagi gereja Katolik Roma atau para penganut Kristen
yang bernaungan dibawah gereja Katolik. Penyebaran agama kristen di Indonesia,
baik Katolik maupun Protestan, merupakan karya misionaris Eropa yang erat
kaitannya dengan kegiatan perdagangan dan kolonialisme sejak abad ke-16.
Ciri utama Katolik terdapat pada
pandangannya terhadap gereja. Uamat Katolik percaya bahwa gereja Katolik adalah
gereja yang didirikan oleh Yesus Kristus
untuk menyampaikan “Kabar Gembira” dan sarana keselamatan Ilahi kepada semua
bangsa sampai akhir zaman. Oleh karena itu, umat Kristen harus dinaungi dalam
naungan gereja yang tidak terbatas pada kebudayaan, bahasa, bangsa, atau
pandangan duniawi tertentu.
5. Protestan
Kelahiran Kristen Protestan diawali
oleh adanya upaya reformasi yang dilakukan beberapa agamawan Kristen, terutama
terhadap kekuasaan Paus dan gereja, berikut segala aktivitasnya yang dianggap
menyalahi aturan. Tokoh-tokoh awal Protestan adalah Martin Luther dari Jerman dan
Jean Calvindari Perancis.
Ciri utama ajaran Protestan adalah
penekanan bahwa kekuasaan Tuhan tak terbatas memerlukan perantara seperti Paus
atau penghubung lain antara manusia dengan tuhan. Sekali pun demikian, kesatuan
umat Protestan dalam gereja tetaplah ada. Namun, gereja Protestan terlepas dari
hubungan hirarki dengan gereja Katolik.
6. Kong Hu Cu
Agama Kong Hu Cu muncul pada abad
ke-5SM di negeri China (Tiongkok), sebagai hasil rumusan dari Kong Hu Cu atau
Konfusius dan para muridnya. Konfisius adalah seorang ahli filsafat Cina yang
pernah menjadi pejabat tinggi di Kota Chung Tu. Setelah ia jatuh dari jabatan
tersebut karena fitnah, ia diusir dan merantau keberbagai wilayah sebagai guru
keliling. Dalam perjalanannya tersebut, ia memiliki banyak murid dan kemudian
dikenal sebagai pembawa ajaran agama. Agama Kong Hu Cu masuk ke Indonesia sejak
awal abad Masehi, seiring dengan semakin terbukanya hubungan dengan budaya
Cina.
Ajaran
Kong Hu Cu pada dasarnya adalah filsafat yang memadukan alam pikiran dan
kepercayaan orang Cina yang mendasar. Ajarannya menyangkut kesusilaan
perorangan dan gagasan bagi pemerintah yang baik. Namun, dikarenakan ajaran
moral semacam itu sangat dekat dengan ajaran keagamaan, Kong Hu Cu dianggap
sebagai ajaran agama dan tokohnya sebagai pembawa agama. Ajaran Kong Hu Cu
dalam bidang kesusilaan menekankan pada hubungan yang harmonis antar manusia.
Menurut Kong Hu Cu, kekacauan tidak akan terjadi jika kita menjaga keharmonisan
tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dipaparkan
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa agama dan budaya dapat kita arahkan dalam
berbagai kerangka. Pertama, dapat kita
terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal tentang bagaimana agama dan
budaya berinteraksi. Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan
untuk mempetakan agama lokal dalam sebuah peta besar agama universal. Ketiga,
local discourse atau local konwledge yang tumbuh dari pergumulan
agama dan budaya dapat dijadikan sebagai tambahan wacana baru globalisasi.
Kajian tentang agama local dapat dijadikan sebagai pengkayaan wacana manusia.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa
sesungguhnya pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia
yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting manusia dalam agama seperti
digambarkan dalam proses penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari ruh
Tuhan memberikan indikasi bahwa manusia menempati posisi penting dalam
mengetahui tentang Tuhan. Dengan demikian pemahaman agama secara keseluruhan
tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama yaitu manusia.
Barangkali tidak berlebihan untuk
menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah realitas ketuhanan yang
empiris. Di sinilah letak pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji agama.
Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari manusia yang merupakan
realitas empiris agama maka antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama
itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Poespowardoyo Soerjanto, 1986, Pengertian Local Genius dan
Relevansinya Dalam Modernisasi, “Kepribadian Budaya Bangsa (local genius)”, Pustaka Jaya: Jakarta.
Ø Prof. Dr. H. Jalaluddin, 2010, Psikologi Agama, Rajawali Pers: Jakarta.
Ø Harsojo, 1992, Pengantar
Antropologi, Banacipta: Jogyakarta.
Ø Drs. Hady Aslam, 1986, Penantar
Filsafat Agama, Rajawali: Jakarta.
Ø A. Haviland William, 1988, Antropologi, Erlangga:
Jakarta.
Ø Ali Sayuthi, 2002, Metodelogi Penelitian Agama, PT
Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Ø Suparlan Parsudi, 2009, Pendekatan Budaya Terhadap Agama,
LkiS: Jogyakarta.
Ø Hermanto Idan, 2010, Pintar Antropologi, Tunas
Publishing: Jogjakarta.
[1][1] Soerjanto Poespowardoyo, Pengertian Local Genius dan Relevansinya
Dalam Modernisasi, “Kepribadian Budaya Bangsa (local genius)”, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), Hlm. 28
[2][2] Prof.
Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), Hlm. 155
[3][3] Harsojo,
Pengantar Antropologi, (Jogyakarta:
Banacipta, 1992), Hlm. 47
[4][4] Ibid. 25
[5][5] Ibid. 10
[6][6] Drs.
Aslam Hady, Penantar Filsafat Agama,
(Jakarta: Rajawali, 1986), Hlm. 44
[7][7] William
A. Haviland, Antropologi, (Jakarta: Erlangga, 1988), Hlm. 59
[8][8] Sayuthi
Ali, Metodelogi Penelitian Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002) Hlm. 74
[9][9] Ibid. 75
[10][10] Ibid.
195
[11][11] Parsudi
Suparlan, Pendekatan Budaya Terhadap Agama, (Jogyakarta: LkiS, 2009),
Hlm 78
[12][12] William
A. Haviland, Antropologi, Hlm. 196-197
[13][13] Drs.
Aslam Hady, Penantar Filsafat Agama,
Hlm. 31
[14][14] Ibid.
35
[15][15] Ibid.
37-38
[16][16] Ibid.
43-44
[17][17] Ibid.
53-54
[18][18] William
A. Haviland, Antropologi, Hlm. 87
[19][19] Idan
Hermanto, Pintar Antropologi, (Jogjakarta: Tunas Publishing, 2010) Hlm.
71
0 komentar:
Posting Komentar