CDA merupakan jenis discourse analytical research yang
terutama mempelajari social power abuse, dominasi, dan ketidaksetaraan (inequality)
yang terbentuk, diproduksi, dan ditentang oleh teks dan pembicaraan (talks)
dalam konteks sosial dan politik. Prinsip-prinsip (tenets) CDA sudah
ditemukan dalam critical theory dari Frankfurt School sebelum
Perang Dunia II (Rasmussen, 1996). Aliran ini fokus pada bahasa dan discourse
yang diinisiasikan dengan ‘critical linguistics’ yang muncul (terutama di
Inggris dan Australia) pada akhir tahun 1970-an (Fowler Hodge, Kress &
Treww, 1979; lihat juga Mey, 1985). CDA meliputi seperti pragmatics,
conversation analysis, narative analysis, rhetorics, sociolinguistics,
ethnography, dan media analysis.
Analisa Wacana
dan Masyarakat
Fungsi analis wacana kritis bagi masyarakat yaitu memberikan
kesadaran nyata (explicit awareness) atas peran mereka. Pemikiran ini
bersumber dari bahwa ilmu itu ‘value-free’.
Critical Discourse Research (CDR) harus memenuhi prasyarat sebagai
berikut, agar efektif dalam mencapai tujuannya, yaitu:
- Karena
termasuk riset yang marginal, CDR harus menjadi lebih baik daripada riset
lainnya agar dapat diterima.
- Fokus
utamanya pada permasalahan sosial dan isu-isu politik, daripada paradigma dan fashions
(kebiasaan) saat ini.
- Secara
empiris, analisa kritis masalah sosial biasa multidisciplinary.
- Bukan hanya
menjelaskan struktur wacana, tetapi ini mencoba menjelaskan pengertian
interaksi sosial dan khususnya struktur sosial.
- Lebih khusus
lagi, CDA memfokuskan pada struktur wacana yang membuat, mengkonfirmasikan,
melegitimasi, mereproduksi, atau menentang hubungan power (kekuasaan) dan
dominasi dalam masyarakat.
Fairclough dan Wodak (1997:271-280) menyimpulkan prinsip utama CDA
sebagai berikut:
1. CDA tertuju pada
masalah sosial
2. Hubungan
power itu diskursif
3. Wacana
membentuk masyarakat dan budaya
4. Wacana
mengkaji (melakukan kerja) ideologi
5. Wacana itu
historis
6. Keterkaitan
antara teks dan masyarakat itu termediasi
7. Analisa
wacana itu interpretif dan eksplanatori
8. Wacana
adalah sebuah bentuk social action
Untuk memahami tema ini dengan lebih sistematis lihat
Caldas-Coulthard & Coulthard, 1996; Faircloug, 1995; Fairclough &
Wodak, 1997; Fowler, Hodge, Kress & Trew, 1979; van Dijk, 1993 b.
Kerangka Konseptual dan Teoritis
Karena banyak
jenis CDA, sehingga ini menjadi sangat beragam secara teoritis dan analitis.
Analisa Konversasi/percakapan (conversation) kritis sangat berbeda
analisa berita atau belajar/mengajar. Tetapi sebenarnya ada perspektif dan
tujuan CDA yang sama yaitu tentang struktur wacana yang berkaitan dengan
reproduksi dominasi sosial, apakah itu berbentuk konversasi atau berita atau
genre dan konteks lainnya. Dan untuk kata-kata yang sering menjadi pembahasan
CDA yaitu power (kekuasaan), dominasi, hegemoni, ideologi, kelas, gender, ras,
diskriminasi, kepentingan, reproduksi, institusi, struktur sosial atau tatanan
sosial. Boleh jadi jika riset CDA sering merujuk pada ilmuan dan filosof sosial
kritis ternama –seperti Frankfurt School, Habermas, Foucault dsb. atau aliran
neo-marxist- ketika ingin menteorikan dan memahaminya. Lalu untuk menemukan
kerangka teoritis sebaiknya fokus pada konsep dasar yang berkaitan dengan discourse,
cognition, dan society.
Makro versus
Mikro
Penggunaan
bahasa, wacana, interaksi verbal, dan komunikasi termasuk pada analisa micro-level
dari tatanan sosial (social order). Power, dominasi dan ketidaksetaraan
antara kelompok sosial termasuk pada analisa macro-level. CDA (sebagai meso-level)
secara teoritis bertugas menutup ‘gap’ antara pendekatan makro dan mikro
tersebut atau untuk mencapai keutuhan analisa (unified whole)
(Alexander, et al, 1987; Knorr-Cetina & Cicourel, 1981).
Dalam mencapai unified
critical analysis, ada tiga hal yang sangat penting untuk dianalisa,yaitu:
a. Members-Groups;
penguna bahasa (language user) yang menggunakan wacana dianggap sebagai
anggota social group, organisasi, atau institusi; dan sebaliknya
kelompok tersebut bertindak berdasarkan anggotanya.
b. Action-Process;
social act seorang individu menjadi bagian konstituen tindakan kelompok
dan proses sosial, seperti legislasi, pemberitaan atau reproduksi rasisme.
c. Context-Social
Structure; situasi interaksi diskursif sama halnya dengan struktur sosial,
seperti press confrence, ini termasuk konteks ‘lokal’ dan untuk konteks
‘global’ seperti pembatasan wacana.
d. Personal
and Social Cognition; pengguna bahasa memiliki personal and social
cognition: personal memory, pengetahuan, dan opini. Kognisi ini
mempengaruhi interaksi dan wacana seseorang.
Power sebagai
Kontrol
Power
(kekuasaan), atau lebih khusus lagi social power, adalah kajian sentral
dari critical discourse. Social power dapat didefiniskan dengan istilah control.
Power digunakan untuk mengkontrol tindakan (act) dan pikiran (mind)
anggota kelompok tersebut, sehingga ini juga membutuhkan power base
dalam bentuk seperti uang, force, status, popularitas (fame),
pengetahuan, informasi, budaya, atau yang terpenting ‘public discourse’ dan
komunikasi (lihat Lukes, 1986; Wrong, 1978).
Power dibedakan
berdasarkan pada sumberdaya yang menggunakannya seperti orang kaya selalu
memiliki power karena uangnya yang banyak, profesor memiliki power karena
pengetahuannya, dsb. power pada dasarnya tidak bersifat mutlak (seldom
absolute). Dan untuk power yang dimiliki oleh dominant group (kelompok
dominan) biasanya terintegrasi dalam bentuk hukum, peraturan, norma, kebiasaan,
dan juga konsensus atau disebut oleh Gramsci yaitu ‘hegemony’ (Gramsci, 1971).
Dominasi kelas, sexisme, dan rasisme adalah contoh hegemoni. Di sisi lain juga,
sebenarnya bahwa power tidak selalu digunakan untuk kegiatan abusif
(penyalahgunaan), karena dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan taken-for-granted
action (tidakan yang dianggap benar). Demikian pula, tidak semua anggota powerful
group (kelompok yang berkuasa) lebih powerful daripada anggota dominated
group (kelompok terdominasi); power disini dimiliki oleh semua kelompok.
Untuk analisa
hubungan antara wacana dan power, pertama, harus dilihat pada power
resource (sumber kekuasaan) seperti politik, media, atau ilmu. Kedua,
proses mempengaruhi pikiran seseorang dan secara tidak langsung mengkontrol
tindakannya. Dan ketiga, ketika pikiran seseorang terpengaruh oleh teks
dan pembicaraan, ini sebenarnya didapati bahwa wacana setidak-tidaknya secara
tidak langsung mengkontrol tindakan orang tesebut –melalui persuasi dan
manipulasi.
CDA memfokuskan
pada abuse of power, dan khususnya pada dominasi, yaitu bahwa adanya discourse
control yang digunakan untuk mengkontrol keyakinan dan tindakan
seseorang. ‘Abuse’ ini disebut juga norm-violation (pelanggaran norma)
dan untuk dominasi didefinisikan sebagai illegitimate exercise of power
(penggunaan power yang tak sah/benar).
Ada tiga pertanyaan
tentang hal ini dalam riset CDA yaitu:
1. apakah
powerful group mengkontrol public discourse?
2. bagaimana
wacana tersebut mengkontrol pikiran dan tindakan powerful group, dan apa
konsekuensi sosial dari kontrol tersebut, misalnya social inequality ?
3. bagaimana
dominated group secara diskursif menentang power tersebut?
Akses dan
Kontrol Wacana
Kebanyakan
orang melakukan active control atas pembicaraan keluarga, teman atau
kolega dan untuk passive control dalam hal penggunaan media. Dan untuk public
discourse, biasanya yang memiliki akses dan yang melakukan kontrol tersebut
adalah kaum elit dari social group. Misalnya seorang profesor mengkontrol scholarly
discourse (wacana ilmiah), jurnalist media discourse (wacana media
jurnalis), politician policy (kebijakan politikus), dsb.
Pengertian discourse
access (akses wacana) dan discourse control (kontrol wacana) adalah
sangat general, dan ini menjadi salah tugas CDA untuk mengartikan bentuk
power itu sendiri. Jadi, jika wacana didefinisikan dalam istilah complex
communicative events (peristiwa komunikatif yang kompleks), maka akses dan
kontrol dapat didefinisikan baik sebagai konteks dan/atau struktur teks dan
pembicaraan.
Kontrol Konteks
Konteks
didefinisikan sebagai struktur (terrepresentasikan secara mental) dari sifat
situasi sosial yang relevan untuk produksi atau komprehensi wacana (Duranti
& Goodwin, 1992; van Dijk, 1998). Ini terdiri dari kategori seperti
situasi, setting (waktu atau tempat), tindakan yang terjadi (meliputi wacana
dan genre wacana), peserta dalam berbagai peran komunikatif, sosial, atau
institusional, serta mental representation: tujuan, pengetahuan, opini,
sikap, dan ideologi.
Kontrol Teks
dan Pembicaraan
Group power
(kekuasaan kelompok) digunakan untuk mengkontrol struktur teks dan pembicaraan
dan ini dapat menentukan genre wacana atau speech act atas suatu
kejadian. Misalnya seorang guru meminta jawaban langsung dari siswa (Wodak,
1984a, 1996). Tetapi seringkali terjadi bahwa powerful speaker melakukan
abuse of power.
Dalam kontrol
wacana terdapat hal yang kontekstual atau global, kejelasan makna, pilihan lexical
items atau jargon dalam suatu kondisi atau tempat tertentu (Martin Rojo,
1994). Misalnya, dalam suatu budaya menginginkan agar wanita menjadi silenced
(pendiam) dan ini dianggap baik (Houston & Kramare, 1991). Tapi di sisi
lain juga, ada budaya yang mengharuskan agar orang ‘mumble’ (cerewet) sebagai
bentuk respek (Albert, 1992).
Jadi
mengkontrol wacana adalah kegiatan utama power dan ini merupakan bentuk
reproduksi dominasi dan hegemoni –dimana penerima sepenuhnya termanipulasi.
Tetapi dalam riset psikologi dan komunikasi massa dinyatakan bahwa penerima
sangat otonom (memiliki alternatif atau freedom) dalam menginterpretasikan
dan menggunakan teks dan pembicaraan, ini merupakan fungsi gender, kelas, atau
budaya (Liebes & Katz, 1990). Dan yang jelas bahwa keyakinan atau
pengetahuan kita tentang dunia diperoleh melalui discourse dan komunikasi.
Menganalisa
Pikiran
Agar dapat
menganalisa bagaimana wacana mengkontrol pikiran seseorang, maka harus
dipisahkan antara mental representation dan cognitive operation
(yang dipelajari dalam cognitive science). (untuk lebih jelasnya lihat,
seperti, Graeser & Brower, 1990; van Dijk & Kinstch, 1983; van
Oostendorp & Zwaan, 1994; dan Weaver, Mannes & Fletcher, 1995).
Pemisahan
tersebut menghasilkan dua hal yaitu pertama memori pribadi dan memori
sosial yang merupakan tempat pengalaman atau subjective representations, ini
disebut mental model, yang terdiri dari pengetahuan dan opini yang
terakumulasi selama hidupnya atau ini juga disebut context model (van
Dijk, 1998b). dan, kedua, social representation seperti pengetahuan
sosio-budaya, sikap atau ideologi, atau ini merupakan pengalaman kolektif atau specific
historical event.
Kontrol
tersebut akan menjadi sebuah bentuk dominasi (power abuse) jika ini
merupakan kepentingan dari powerful group dan mengabaikan kepentingan yang
lainnya (terjadinya manipulasi). Dalam riset CDA dinyatakan bahwa kontrol
tersebut mempengaruhi pengetahuan (factual beliefs) dan socially
shared opinions (evaluative beliefs) seperti sikap dan ideologi kelompok.
Strategi Wacana
dalam Mengkontrol Pikiran
Wacana dalam
mengkontrol pikiran seseorang, dilakukan melalui struktur teks dan pembicaraan
serta bersifat kontekstual. Ini dikarenakan bahwa orang tidak hanya memahami
dan merepresentasikan teks dan pembicaraan saja, tetapi juga menciptakan communicative
situation/event (Giles & Coupland, 1991). Communicative event juga
ternyata dapat mengkontrol pikiran seseorang (Martin Rojo & van Dijk,
1997).
Struktur wacana
mempengaruhi mental representation dapat dilihat pada dua level yaitu
global dan lokal. Contoh level global seperti tema headline berita mempengaruhi
pikiran orang dengan lebih powerful, karena ini dianggap sebagai informasi yang
sangat penting. Peristiwa ini dinamakan preferred mental model (Duin, et
al., 1998; van Dijk, 1991). Dan untuk level lokal, dimana dinyatakan bahwa
wacana secara implisit memberikan keyakinan (belief) atau ini
dikategorikan sebagai jenis manipulasi.
Struktur wacana
dapat berbentuk leksikal dan sintaksis (Gile & Coupland, 1991; Scherer
& Gile, 1979). Contoh kata leksikal yang sangat terkenal dalam politik
seperti ‘freedom fighter’ vs ‘terorist’. Untuk sintaksis biasanya menggunakan
‘critical linguistics’ yang memfokuskan pada pengunaan kata yang terbiaskan (biased),
yang sangat mempangaruhi opini penerima seperti metapora, kiasan, hiperbola,
atau eufemisme.
Kompilasi
Seperti
dijelaskan di atas, dominant group, khususnya kaum elit, sangat powerful dalam
mengkontrol wacana publik dan strukturnya (melalui dominasi atau abuse of
power), tetapi yang sebenarnya terjadi bahwa tidak selalu setiap orang
dapat terpengaruh oleh teks atau apa yang dibicarakan. Ini menunjukan ternyata
struktur wacana tidak dapat sepenuhnya mempengaruhi formasi dan merubah mental
model serta social representation. Inilah yang disebut kompilasi.
Jadi yang
menghubungkan wacana dan masyarakat itu ialah kognisi (cognition), dan
ini memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Karena dalam masyarakat ada
banyak kolusi, konsensus, legitimasi, dan bahkan joint production dalam
ketidaksetraan (inequality). Kompleksitas ini menjadi menarik dalam
analisa wacana –dalam mencapai keutuhan gambaran sosial.
Riset dalam CDA
Teori hubungan
antara wacana dan ketidaksetaraan sosial yang dituliskan di atas memperbolehkan
kita untuk menguji dan mengevaluasinya dalam bentuk sebuah riset yang
berkerangka CDA (lihat Caldas-Coulthard & Coulthard, 1996; Fairclough,
1995; Fairclough & Wodak, 1997; van Dijk, 1993).
Dalam
persepektif CDA, selain power, dominasi, dan ketidaksetaraan, gender (feminist)
juga menjadi satu kajian yang menarik, bahkan feminist ini menjadi satu
paradigma dalam CDA –ketika ada dominasi dan ketidaksetaraan sosial (lihat
Cameron, 1990, 1992; Kotthoff & Wodak, 1997; Seidel, 1988; Thorne, Kramae
& Henley, 1983; dan Wodak, 1997).
Dalam studi
feminist ada beberapa isu-isu yang menarik seperti:
- Power
membedakan interaksi konvensasional dalam kehidupan sehari-hari antara lelaki
dan perempuan.
- Rangsangan
seksual verbal pada perempuan.
- Ketidaksetaraan
gender dalam teks dan pembicaraan birokratis dan profesional.
- Akses
terbatas dan kontrol pada berbagai bentuk wacana media.
- Diskriminasi
pada promosi (perempuan seringkali menjadi bintang sebagai daya tarik audiens)
yang dilakukan oleh organisasi yang memproduksi wacana seperti industri media
dan percetakan.
- Representasi
sexis dan stereotip perempuan dalam wacana yang terdominasi lelaki pada
umumnya, dan media massa pada khususnya.
Etnosentrisme,
Antisemitisme, Nasionalisme, dan Rasisme
Pada tahun
1960-an ada gerakan oposisi menetang ketidaksetaraan etnis dan rasial, ini
menjadi bahasan (materi) CDA yaitu fokus pada representasi etnosentris dan
rasis dalam media massa, literatur, dan film (Unisco, 1977; Wilson &
Gutierrez, 1985; Hartman & Husband, 1974; van Dijk, 1991). Ini diakibatkan
pada adanya keterbatasan sosio-ekonomi dan sosio-budaya. Dominant group
mencitrakan bangsa Afrika dan Amerika-Afrika (orang negro) diadaptasikan pada
sosio-ekonomi perbudakan, pengasingan, perlawan, penurut (affirmative action),
dianggap pemalas, suka pamer, suka memberontak, keras, jahat, dan sekarang ini
terkait narkoba dan hidup sejahtera. Keterbatasan sosio-budaya seperti ini akan
merubah (melanggar) norma dan nilai tentang hubungan etnis. Selain kedua hal
tersebut, ada juga keterbatasan lain yaitu keterbatasan sosio-politik, seperti
perang terorisme.
Ini menunjukan
bagaimana wacana menggambarkan dan mereproduksi representasi sosial dalam
konteks sosial dan politik. Ter Wal 1997), misalnya, telah melakukan studi
tentang wacana media politik Italia yang secara bertahap berubah dari anti-racist
commitment dan representasi extra-communitary (Non-Eropa) menjadi
gambaran yang lebih stereotip dan negatif tentang imigran dengan istilah
kejahatan, penyimpangan, dan ancaman.
Selain Ter Wal,
ada banyak para ahli yang melakukan penelitian seperti:
- Siegfreid
Jager mengkaji struktur wacana dalam pembicaran sehari-hari, serta wacana
politik dan media tentang orang Turki dan imigran lainnya di Jerman.
- Ruth
Wodak (1990), di Austria, meneliti wacana antisemitik masa lalu dan sekarang
terhadap masalah Waldheim. Analisanya menilai banyak genre, obrolan warung kopi
(street talk) yang spontan, hingga berita TV dan wacana politik. Selain
itu juga ia dengan paradigma wacana historis memfokuskan pada representasi
imigran dari Rumania dan tentang nasionalisme.
- Wetherell
& Potter (1992), dengan kerangka psikologi diskursif, merekonstruksi
representasi tersangka Pakeha (orang kulit putih Selandia Baru) tentang Moaris.
Mereka memfokuskan pada praktek diskursif dan tindakan interpretatif (interpretative
repertoires), dan menguji bagaimana ketidaksetaraan dan eksploitasi
minoritas aborigin terlegitimasi dalam obrolan sehari-hari.
Dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa:
- adanya
perbedaan sosio-budaya
- deviasi
(penyelewengan) norma dan nilai dominan
- adanya
kekerasan dan ancaman
sehingga
permasalahan seperti teritorial, nasionalitas, lingkungan, ruang (space),
pendapatan, perumahan (housing), pekerjaan, bahasa, agama, kesejahteraan,
dsb. menjadi sangat perlu diperhatikan dalam CDA (lihat Whillock & Slayden,
1995).
Dari Dominasi
Kelompok ke Power Profesional dan Institusional
Selain mengkaji
dominasi kelompok dalam kehidupan masyarakat, ada banyak studi kritis yang
memfokuskan pada berbagai genre wacana institusional dan profesional seperti
teks dan pembicaraan dalam ruang pengadilan, wacana politik, wacana ilmiah,
wacana korporat, wacana media, dsb. Semua hal itu, dimana power dan dominasi
diasosiasikan pada social domain tertentu (yaitu politik, media, hukum,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dsb.) –yang berbasis profesionalisme dan
institusional. Untuk memahami konteks ini dengan benar, maka harus dilihat
bahwa sebenarnya elit profesional dan institusional serta peraturan dan kebiasaannya
yang melatarbelakangi reproduksi diskursif power seperti domain dan institusi
tersebut. Kondisi menyatakan akan pentingnya ‘critical studies’ pada bahasa,
wacana, dan komunikasi.
Wacana Media
Media memiliki
power yang nyata (pengaruh) pada masyarakat dan ini juga telah menginspirasikan
banyak ‘critical studies’ dalam berbagai disiplin ilmu, setidak-tidaknya untuk
bidang komunikasi massa, dan selain itu juga, untuk studi linguistik,
semiotika, pragmatika (pragmatics) dan wacana atas pemberitaan atau
program TV. Mengenai representasi perempuan dan kaum minoritas di media, dalam
‘critical media studies’ ada pendekatan tradisional (content-analytical)
yang menganalisa citra terbiaskan (biased image), stereotip-sexis atau
rasis di media, baik dalam teks serta ilustrasi dan photo (gambar). Critical
media studies ini adalah studi yang paling menarik dan banyak dilakukan di
Negara Inggris.
Meskipun riset
media termasuk dalam discourse studies tetapi Stuart Hall menggkaji
media dengan cultural studies paradigm (untuk referensi studi wacana
lihat Hal, et al., 1980; dan critical cultural studies lihat Angger,
1992). Studi media ini sebenarnya didasari pada kombinasi Neo-Marxis Eropa
(Gramsci, Althusser, Pecheux) dengan pendekatan sosio-budaya Inggris (Richard
Hoggart, E.P. Thompson, Raymond Williams) dan analisa film (Screen). Mereka
mengabungkan analisa teks dengan analisa citra (images) dalam pendekatan
budaya yang luas pada media. Analisa kritis wacana media di sini berkaitan
dengan perspektif budaya lebih luas seperti dialektika antara kesadaran sosial
dan mahluk sosial (social being) (Hall), seperti praktek sosial
–termasuk signifying practices yang memproduksi budaya dan ideologi-
terkait dengan yang praktek yang lainnya, dan bagaimana orang mengalami (merasakan)
kondisi sosialnya.
Banyak ahli
yang melakukan studi media dengan critical paradigm seperti:
- Studi
linguistik dan wacana, pertama kali, dilakukan oleh Roger Fowler (lihat Fowler,
Hodge, Kress & Trew, 1997). Ia juga fokus pada media. Di Inggris dan
Australia, ada studi yang menggunakan paradigma ini seperti studi
‘transitivity’ pola kalimat sintaksis yang menggunakan kerangka teoritis
grammar fungsional-sistemik Halliday (Fowler, 1991; Hodge & Kress, 1993;
van Dijk, 1991).
- Fowler
(1991) dengan menggunakan paradigma ‘cultural studies’ Inggris mendefinisikan
bahwa berita bukan seperti refleksi realitas, tetapi sebuah produk yang
terbentuk oleh kekuatan politik, ekonomi, dan budaya. Selain itu, dia juga
fokus pada alat (tool) linguistik untuk studi kritis tersebut seperti
analisa transivititas dalam sintaksis, struktur leksikal, modalitas, dan speech
act.
- Van
Dijk (1988) juga mengaplikasikan teori wacana berita dalam ‘critical stides’
tentang berita internasional, rasisme dalam pers dan cara pemberitaan
gelandangan (squatters) di Amsterdam.
Selain riset
media tersebut di atas, di Amerika Serikat, Chomsky dan Herman mengkaji
struktur wacana seperti dalam propaganda model yang sangat mengkritik
media AS yang berkolusi dengan Pejabat AS dalam kebijakan luar negeri, dan
jelas mereka merujuk pada penggunaan kata persuasif dan terbiaskan (seperti
eufemisme atas kekejaman yang dilakukan AS dan negara sekutunya) yang tidak
mengemukakan analisa wacana media yang sebenarnya (lihat Herman & Chomsky,
1988).
Wacana
Politik
Wacana politik
memiliki peran dalam membentuk, mereproduksi, dan melegitimasi power dan
dominasi. Ini ternyata telah memunculkan banyak harapan atas kehadiran
‘critical discourse studies’ pada teks dan pembicaraan politik. Studi tersebut
dapat dilakukan melalui analisa linguistik sebab ilmu politik hampir mirip
dengan disiplin ilmu sosial, dimana ilmu sosial sangat memungkinkan untuk
penggunaan pendekataan postmodernisme atas wacananya (Derian & Shepiro,
1989; Fox & Miller, 1995). Ini tidak bermaksud menyatakan bahwa ilmu
politik tidak mengenal ‘citical studies’ atas wacana politik, tetapi biasanya
ilmu politik sering dibatasi pada studi kata dan konsep terisolasi (isolated),
dan jarang studi teks politik yang sistematis (lihat Edelman, 1977, 1985). Dan
untuk studi ilmu komunikasi, tentunya ada juga banyak studi komunikasi politik
dan retorika politik, ini sering terjadi overlap (antara ilmu politik
dan ilmu komunikasi) dalam discourse analytical approach-nya (Nemmo
& Sanders, 1981).
Ada satu hal yang
dapat lebih mendekatkan pada analisa wacana teks dan pembicaraan politik yaitu frames
approach (satu pengertian yang dipinjam dari ilmu kognitif) (Gramson,
1992). ‘Frames’ tersebut adalah struktur konseptual atau sekumpulan keyakinan
yang mengorganisir pemikiran, kebijakan, dan wacana politik, dan sama hal
dengan pengertian (super)struktur skematik yaitu ketegori standard dalam
persepsi dan analisa tentang sebuah isu. Contoh gerakan sosial dianalisa dalam
terminologi collective action, ini terbentuk karena adanya ketidakadilan
(injustice), agency, dan identitas.
Selain studi
wacana politik dengan pendekatan frames, ada juga pendekatan lainnya
seperti linguistik, pragmatika (pragmatics), sosioliguistik, dsb. Yang
digunakan para ahli, yaitu:
- Geis
(1987) melakukan studi linguistik antara media dan politik, yaitu bagaimana
politik diliput atau diberitakan oleh media Amerika Serikat. Ia terpengaruh
pada pemikiran Murray Edelman (yaitu Mythic Themes tema-tema dongeng
seperti ‘The Conspirational Enemy’). Dalam studinya ini, ia fokus pada bahasa
politik yang secara tidak langsung berpengaruh (indirect impact) lebih
kuat pada pemikiran politik seseorang daripada pikiran yang lainnya.
- Wilson
(1990) dengan, pendekatan pragmatika, melakukan studi pada sejumlah fenomena
dalam wacana politik seperti penggunaan metafora; pertanyaan, jawaban, dan
pengingkaran (evasion); implikasi dan perkiraan (presupposition);
dan referensi, inklusi (inclusion), eksklusi (exclusion), dan
kesetiaan (allegiances) kelompok.
- Ruth
Wodak (1988), di Austria, meneliti antisemitisme dan nasionalisme dalam wacana
politik. Ia mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dan analisa dalam bentuk discourse-historical
approach, meliputi psikologi (sosial dan kognitif), sosio-linguistik dan
sejarah (history).
- Di
Jerman, banyak studi wacana politik yang telah dilakukan seperti di Jerman
Barat Zimmerman (1969) meneliti politikus Bonn dan di Jerman Timur, yang
pertama kali, Klaus (1971) meneliti wacana politik sehingga menciptakan semiotic-materialist
theory (lihat Bachem, 1979). Kemudian, Pasierbsk (1983) melakukan studi
bahasa perang dan damai, dan Holly (1990) mengkaji speech act dalam
wacana politik. Selain itu juga ada tradisi yang kuat untuk mempelajari bahasa
dan wacana fasis (facist) seperti dalam bentuk lexicon
(kosakata), propaganda, media, dan politik bahasa (Ehlich, 1989).
- Di
spanyol dan khususnya di Amerika Latin telah banyak dilakukan studi wacana
politik kritis, seperti yang sangat terkenal yaitu, studi Donald Duck dengan
semiotika kritis (anticolonialist) oleh Dorfman & Mattelart (1972)
di Chili. Lavandera, et al. (1986, 1987), di Argentina, dengan menggunakan sociolinguistics
approach dalam tipologi wacana otoriter (authoriterian discourse).
Ini kemudian dikembangkan oleh Pardo (1996) dalam wacana hukum (legal
discourse). Kemudian Sierra (1992), di Mexico, dengan menggunakan wacana
ethnogarfi dalam mengkaji proses pembuatan keputusan dan otoritas lokal.
Diantara banyak critical studies dalam bidang politik di Amerika Latin, ada
yang perlu diperhatikan yaitu Teresa Carbo (1995), di Mexico, dengan
menggunakan parliementary discourse (wacana parlemen).
Wacana dan
Rasisme
Sistem rasisme
terdiri dari dua dimensi utama yaitu kognitif dan sosial. Dimensi kognitif dari
representasi sosial prejudiced (tersangka) yang dibuat oleh kelompok
atau orang dominan (orang kulit putih, bangsa Eropa, dan terkadang yang
lainnya), berdasarkan pada ideologi superioritas dan perbedaan. Dan pengertian
dimensi sosial memiliki dua level yaitu level lokal dan level global. Untuk
level lokal (mikro), ini didefinisikan dalam istilah everyday racism
(rasisme sehari-hari) (Essed, 1991) yaitu adanya banyak ketidaksetaraan
interaksional sehari-hari dan bentuk discriminatory exclusion,
marginalization, dan problematization terhadap minoritas etnis atau
orang asing (foreigners). Sedangkan untuk level global (makro) rasisme,
kita dihadapkan pada organisasi ketidaksetaraan etnis, seperti sistem Apartheid
dan Segregation (pengasinngan), dan sekarang melaluui kebijakan imigrasi,
liputan media terbiaskan, teksbook dan pendidikan yang monokultural dan
stereotip (lihat Davido & Gaertner, 1986; Katz & Taylor, 1988; Miles,
1989; Solomos & Wrench, 1993; Wellman, 1993).
Sedangkan
D’Souza mendefinisikan rasisme sebagai ideologi rasional dan ilmiah untuk
menjelaskan perbedaan besar dalam pengembangan peradaban (civilization
development) yang tidak dijelaskan oleh lingkungan (environment).
Tetapi jika dilihat dalam konsep rasisme bernilai negatif, adalah apa yang
dijelaskan dalam istilah ilmu dan rasionalitas positif, yaitu sebagai bentuk (hallmarks)
dari peradaban Barat (western civilization) –yang diagung-agungkan.
CDA merupakan jenis discourse analytical research yang
terutama mempelajari social power abuse, dominasi, dan ketidaksetaraan (inequality)
yang terbentuk, diproduksi, dan ditentang oleh teks dan pembicaraan (talks)
dalam konteks sosial dan politik. Prinsip-prinsip (tenets) CDA sudah
ditemukan dalam critical theory dari Frankfurt School sebelum
Perang Dunia II (Rasmussen, 1996). Aliran ini fokus pada bahasa dan discourse
yang diinisiasikan dengan ‘critical linguistics’ yang muncul (terutama di
Inggris dan Australia) pada akhir tahun 1970-an (Fowler Hodge, Kress &
Treww, 1979; lihat juga Mey, 1985). CDA meliputi seperti pragmatics,
conversation analysis, narative analysis, rhetorics, sociolinguistics,
ethnography, dan media analysis.
Analisa Wacana dan Masyarakat
Fungsi analis wacana kritis bagi masyarakat yaitu memberikan
kesadaran nyata (explicit awareness) atas peran mereka. Pemikiran ini
bersumber dari bahwa ilmu itu ‘value-free’.
Critical Discourse Research (CDR) harus memenuhi prasyarat sebagai
berikut, agar efektif dalam mencapai tujuannya, yaitu:
- Karena
termasuk riset yang marginal, CDR harus menjadi lebih baik daripada riset
lainnya agar dapat diterima.
- Fokus
utamanya pada permasalahan sosial dan isu-isu politik, daripada paradigma dan fashions
(kebiasaan) saat ini.
- Secara
empiris, analisa kritis masalah sosial biasa multidisciplinary.
- Bukan hanya
menjelaskan struktur wacana, tetapi ini mencoba menjelaskan pengertian
interaksi sosial dan khususnya struktur sosial.
- Lebih khusus
lagi, CDA memfokuskan pada struktur wacana yang membuat, mengkonfirmasikan,
melegitimasi, mereproduksi, atau menentang hubungan power (kekuasaan) dan
dominasi dalam masyarakat.
Fairclough dan Wodak (1997:271-280) menyimpulkan prinsip utama CDA
sebagai berikut:
1. CDA tertuju
pada masalah sosial
2. Hubungan
power itu diskursif
3. Wacana
membentuk masyarakat dan budaya
4. Wacana
mengkaji (melakukan kerja) ideologi
5. Wacana itu
historis
6. Keterkaitan
antara teks dan masyarakat itu termediasi
7. Analisa
wacana itu interpretif dan eksplanatori
8. Wacana
adalah sebuah bentuk social action
Untuk memahami tema ini dengan lebih sistematis lihat
Caldas-Coulthard & Coulthard, 1996; Faircloug, 1995; Fairclough &
Wodak, 1997; Fowler, Hodge, Kress & Trew, 1979; van Dijk, 1993 b.
Kerangka Konseptual dan Teoritis
Karena banyak
jenis CDA, sehingga ini menjadi sangat beragam secara teoritis dan analitis.
Analisa Konversasi/percakapan (conversation) kritis sangat berbeda
analisa berita atau belajar/mengajar. Tetapi sebenarnya ada perspektif dan
tujuan CDA yang sama yaitu tentang struktur wacana yang berkaitan dengan
reproduksi dominasi sosial, apakah itu berbentuk konversasi atau berita atau
genre dan konteks lainnya. Dan untuk kata-kata yang sering menjadi pembahasan
CDA yaitu power (kekuasaan), dominasi, hegemoni, ideologi, kelas, gender, ras,
diskriminasi, kepentingan, reproduksi, institusi, struktur sosial atau tatanan
sosial. Boleh jadi jika riset CDA sering merujuk pada ilmuan dan filosof sosial
kritis ternama –seperti Frankfurt School, Habermas, Foucault dsb. atau aliran
neo-marxist- ketika ingin menteorikan dan memahaminya. Lalu untuk menemukan
kerangka teoritis sebaiknya fokus pada konsep dasar yang berkaitan dengan discourse,
cognition, dan society.
Makro versus
Mikro
Penggunaan
bahasa, wacana, interaksi verbal, dan komunikasi termasuk pada analisa micro-level
dari tatanan sosial (social order). Power, dominasi dan ketidaksetaraan
antara kelompok sosial termasuk pada analisa macro-level. CDA (sebagai meso-level)
secara teoritis bertugas menutup ‘gap’ antara pendekatan makro dan mikro
tersebut atau untuk mencapai keutuhan analisa (unified whole)
(Alexander, et al, 1987; Knorr-Cetina & Cicourel, 1981).
Dalam mencapai unified
critical analysis, ada tiga hal yang sangat penting untuk dianalisa,yaitu:
a. Members-Groups;
penguna bahasa (language user) yang menggunakan wacana dianggap sebagai
anggota social group, organisasi, atau institusi; dan sebaliknya
kelompok tersebut bertindak berdasarkan anggotanya.
b. Action-Process;
social act seorang individu menjadi bagian konstituen tindakan kelompok
dan proses sosial, seperti legislasi, pemberitaan atau reproduksi rasisme.
c. Context-Social
Structure; situasi interaksi diskursif sama halnya dengan struktur sosial,
seperti press confrence, ini termasuk konteks ‘lokal’ dan untuk konteks
‘global’ seperti pembatasan wacana.
d. Personal
and Social Cognition; pengguna bahasa memiliki personal and social
cognition: personal memory, pengetahuan, dan opini. Kognisi ini
mempengaruhi interaksi dan wacana seseorang.
Power sebagai
Kontrol
Power
(kekuasaan), atau lebih khusus lagi social power, adalah kajian sentral
dari critical discourse. Social power dapat didefiniskan dengan istilah control.
Power digunakan untuk mengkontrol tindakan (act) dan pikiran (mind)
anggota kelompok tersebut, sehingga ini juga membutuhkan power base
dalam bentuk seperti uang, force, status, popularitas (fame), pengetahuan,
informasi, budaya, atau yang terpenting ‘public discourse’ dan komunikasi
(lihat Lukes, 1986; Wrong, 1978).
Power dibedakan
berdasarkan pada sumberdaya yang menggunakannya seperti orang kaya selalu
memiliki power karena uangnya yang banyak, profesor memiliki power karena
pengetahuannya, dsb. power pada dasarnya tidak bersifat mutlak (seldom
absolute). Dan untuk power yang dimiliki oleh dominant group (kelompok
dominan) biasanya terintegrasi dalam bentuk hukum, peraturan, norma, kebiasaan,
dan juga konsensus atau disebut oleh Gramsci yaitu ‘hegemony’ (Gramsci, 1971).
Dominasi kelas, sexisme, dan rasisme adalah contoh hegemoni. Di sisi lain juga,
sebenarnya bahwa power tidak selalu digunakan untuk kegiatan abusif
(penyalahgunaan), karena dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan taken-for-granted
action (tidakan yang dianggap benar). Demikian pula, tidak semua anggota powerful
group (kelompok yang berkuasa) lebih powerful daripada anggota dominated
group (kelompok terdominasi); power disini dimiliki oleh semua kelompok.
Untuk analisa
hubungan antara wacana dan power, pertama, harus dilihat pada power
resource (sumber kekuasaan) seperti politik, media, atau ilmu. Kedua,
proses mempengaruhi pikiran seseorang dan secara tidak langsung mengkontrol tindakannya.
Dan ketiga, ketika pikiran seseorang terpengaruh oleh teks dan
pembicaraan, ini sebenarnya didapati bahwa wacana setidak-tidaknya secara tidak
langsung mengkontrol tindakan orang tesebut –melalui persuasi dan manipulasi.
CDA memfokuskan
pada abuse of power, dan khususnya pada dominasi, yaitu bahwa adanya discourse
control yang digunakan untuk mengkontrol keyakinan dan tindakan
seseorang. ‘Abuse’ ini disebut juga norm-violation (pelanggaran norma)
dan untuk dominasi didefinisikan sebagai illegitimate exercise of power
(penggunaan power yang tak sah/benar).
Ada tiga
pertanyaan tentang hal ini dalam riset CDA yaitu:
1. apakah
powerful group mengkontrol public discourse?
2. bagaimana
wacana tersebut mengkontrol pikiran dan tindakan powerful group, dan apa
konsekuensi sosial dari kontrol tersebut, misalnya social inequality ?
3. bagaimana
dominated group secara diskursif menentang power tersebut?
Akses dan
Kontrol Wacana
Kebanyakan
orang melakukan active control atas pembicaraan keluarga, teman atau
kolega dan untuk passive control dalam hal penggunaan media. Dan untuk public
discourse, biasanya yang memiliki akses dan yang melakukan kontrol tersebut
adalah kaum elit dari social group. Misalnya seorang profesor mengkontrol scholarly
discourse (wacana ilmiah), jurnalist media discourse (wacana media
jurnalis), politician policy (kebijakan politikus), dsb.
Pengertian discourse
access (akses wacana) dan discourse control (kontrol wacana) adalah
sangat general, dan ini menjadi salah tugas CDA untuk mengartikan bentuk
power itu sendiri. Jadi, jika wacana didefinisikan dalam istilah complex
communicative events (peristiwa komunikatif yang kompleks), maka akses dan
kontrol dapat didefinisikan baik sebagai konteks dan/atau struktur teks dan
pembicaraan.
Kontrol Konteks
Konteks
didefinisikan sebagai struktur (terrepresentasikan secara mental) dari sifat
situasi sosial yang relevan untuk produksi atau komprehensi wacana (Duranti
& Goodwin, 1992; van Dijk, 1998). Ini terdiri dari kategori seperti
situasi, setting (waktu atau tempat), tindakan yang terjadi (meliputi wacana
dan genre wacana), peserta dalam berbagai peran komunikatif, sosial, atau
institusional, serta mental representation: tujuan, pengetahuan, opini,
sikap, dan ideologi.
Kontrol Teks
dan Pembicaraan
Group power
(kekuasaan kelompok) digunakan untuk mengkontrol struktur teks dan pembicaraan
dan ini dapat menentukan genre wacana atau speech act atas suatu
kejadian. Misalnya seorang guru meminta jawaban langsung dari siswa (Wodak,
1984a, 1996). Tetapi seringkali terjadi bahwa powerful speaker melakukan
abuse of power.
Dalam kontrol
wacana terdapat hal yang kontekstual atau global, kejelasan makna, pilihan lexical
items atau jargon dalam suatu kondisi atau tempat tertentu (Martin Rojo,
1994). Misalnya, dalam suatu budaya menginginkan agar wanita menjadi silenced
(pendiam) dan ini dianggap baik (Houston & Kramare, 1991). Tapi di sisi
lain juga, ada budaya yang mengharuskan agar orang ‘mumble’ (cerewet) sebagai
bentuk respek (Albert, 1992).
Jadi
mengkontrol wacana adalah kegiatan utama power dan ini merupakan bentuk
reproduksi dominasi dan hegemoni –dimana penerima sepenuhnya termanipulasi.
Tetapi dalam riset psikologi dan komunikasi massa dinyatakan bahwa penerima
sangat otonom (memiliki alternatif atau freedom) dalam
menginterpretasikan dan menggunakan teks dan pembicaraan, ini merupakan fungsi
gender, kelas, atau budaya (Liebes & Katz, 1990). Dan yang jelas bahwa
keyakinan atau pengetahuan kita tentang dunia diperoleh melalui discourse dan
komunikasi.
Menganalisa
Pikiran
Agar dapat
menganalisa bagaimana wacana mengkontrol pikiran seseorang, maka harus
dipisahkan antara mental representation dan cognitive operation
(yang dipelajari dalam cognitive science). (untuk lebih jelasnya lihat,
seperti, Graeser & Brower, 1990; van Dijk & Kinstch, 1983; van
Oostendorp & Zwaan, 1994; dan Weaver, Mannes & Fletcher, 1995).
Pemisahan
tersebut menghasilkan dua hal yaitu pertama memori pribadi dan memori
sosial yang merupakan tempat pengalaman atau subjective representations, ini
disebut mental model, yang terdiri dari pengetahuan dan opini yang
terakumulasi selama hidupnya atau ini juga disebut context model (van
Dijk, 1998b). dan, kedua, social representation seperti pengetahuan sosio-budaya,
sikap atau ideologi, atau ini merupakan pengalaman kolektif atau specific
historical event.
Kontrol
tersebut akan menjadi sebuah bentuk dominasi (power abuse) jika ini
merupakan kepentingan dari powerful group dan mengabaikan kepentingan yang lainnya
(terjadinya manipulasi). Dalam riset CDA dinyatakan bahwa kontrol tersebut
mempengaruhi pengetahuan (factual beliefs) dan socially shared
opinions (evaluative beliefs) seperti sikap dan ideologi kelompok.
Strategi Wacana
dalam Mengkontrol Pikiran
Wacana dalam
mengkontrol pikiran seseorang, dilakukan melalui struktur teks dan pembicaraan
serta bersifat kontekstual. Ini dikarenakan bahwa orang tidak hanya memahami
dan merepresentasikan teks dan pembicaraan saja, tetapi juga menciptakan communicative
situation/event (Giles & Coupland, 1991). Communicative event juga
ternyata dapat mengkontrol pikiran seseorang (Martin Rojo & van Dijk,
1997).
Struktur wacana
mempengaruhi mental representation dapat dilihat pada dua level yaitu
global dan lokal. Contoh level global seperti tema headline berita mempengaruhi
pikiran orang dengan lebih powerful, karena ini dianggap sebagai informasi yang
sangat penting. Peristiwa ini dinamakan preferred mental model (Duin, et
al., 1998; van Dijk, 1991). Dan untuk level lokal, dimana dinyatakan bahwa
wacana secara implisit memberikan keyakinan (belief) atau ini
dikategorikan sebagai jenis manipulasi.
Struktur wacana
dapat berbentuk leksikal dan sintaksis (Gile & Coupland, 1991; Scherer
& Gile, 1979). Contoh kata leksikal yang sangat terkenal dalam politik
seperti ‘freedom fighter’ vs ‘terorist’. Untuk sintaksis biasanya menggunakan
‘critical linguistics’ yang memfokuskan pada pengunaan kata yang terbiaskan (biased),
yang sangat mempangaruhi opini penerima seperti metapora, kiasan, hiperbola,
atau eufemisme.
Kompilasi
Seperti
dijelaskan di atas, dominant group, khususnya kaum elit, sangat powerful dalam
mengkontrol wacana publik dan strukturnya (melalui dominasi atau abuse of
power), tetapi yang sebenarnya terjadi bahwa tidak selalu setiap orang
dapat terpengaruh oleh teks atau apa yang dibicarakan. Ini menunjukan ternyata
struktur wacana tidak dapat sepenuhnya mempengaruhi formasi dan merubah mental
model serta social representation. Inilah yang disebut kompilasi.
Jadi yang
menghubungkan wacana dan masyarakat itu ialah kognisi (cognition), dan
ini memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Karena dalam masyarakat ada
banyak kolusi, konsensus, legitimasi, dan bahkan joint production dalam
ketidaksetraan (inequality). Kompleksitas ini menjadi menarik dalam
analisa wacana –dalam mencapai keutuhan gambaran sosial.
Riset dalam CDA
Teori hubungan
antara wacana dan ketidaksetaraan sosial yang dituliskan di atas memperbolehkan
kita untuk menguji dan mengevaluasinya dalam bentuk sebuah riset yang
berkerangka CDA (lihat Caldas-Coulthard & Coulthard, 1996; Fairclough,
1995; Fairclough & Wodak, 1997; van Dijk, 1993).
Dalam
persepektif CDA, selain power, dominasi, dan ketidaksetaraan, gender (feminist)
juga menjadi satu kajian yang menarik, bahkan feminist ini menjadi satu
paradigma dalam CDA –ketika ada dominasi dan ketidaksetaraan sosial (lihat
Cameron, 1990, 1992; Kotthoff & Wodak, 1997; Seidel, 1988; Thorne, Kramae
& Henley, 1983; dan Wodak, 1997).
Dalam studi
feminist ada beberapa isu-isu yang menarik seperti:
- Power
membedakan interaksi konvensasional dalam kehidupan sehari-hari antara lelaki
dan perempuan.
- Rangsangan
seksual verbal pada perempuan.
- Ketidaksetaraan
gender dalam teks dan pembicaraan birokratis dan profesional.
- Akses
terbatas dan kontrol pada berbagai bentuk wacana media.
- Diskriminasi
pada promosi (perempuan seringkali menjadi bintang sebagai daya tarik audiens)
yang dilakukan oleh organisasi yang memproduksi wacana seperti industri media
dan percetakan.
- Representasi
sexis dan stereotip perempuan dalam wacana yang terdominasi lelaki pada
umumnya, dan media massa pada khususnya.
Etnosentrisme,
Antisemitisme, Nasionalisme, dan Rasisme
Pada tahun
1960-an ada gerakan oposisi menetang ketidaksetaraan etnis dan rasial, ini
menjadi bahasan (materi) CDA yaitu fokus pada representasi etnosentris dan
rasis dalam media massa, literatur, dan film (Unisco, 1977; Wilson &
Gutierrez, 1985; Hartman & Husband, 1974; van Dijk, 1991). Ini diakibatkan
pada adanya keterbatasan sosio-ekonomi dan sosio-budaya. Dominant group
mencitrakan bangsa Afrika dan Amerika-Afrika (orang negro) diadaptasikan pada
sosio-ekonomi perbudakan, pengasingan, perlawan, penurut (affirmative action),
dianggap pemalas, suka pamer, suka memberontak, keras, jahat, dan sekarang ini
terkait narkoba dan hidup sejahtera. Keterbatasan sosio-budaya seperti ini akan
merubah (melanggar) norma dan nilai tentang hubungan etnis. Selain kedua hal
tersebut, ada juga keterbatasan lain yaitu keterbatasan sosio-politik, seperti
perang terorisme.
Ini menunjukan
bagaimana wacana menggambarkan dan mereproduksi representasi sosial dalam
konteks sosial dan politik. Ter Wal 1997), misalnya, telah melakukan studi
tentang wacana media politik Italia yang secara bertahap berubah dari anti-racist
commitment dan representasi extra-communitary (Non-Eropa) menjadi
gambaran yang lebih stereotip dan negatif tentang imigran dengan istilah
kejahatan, penyimpangan, dan ancaman.
Selain Ter Wal,
ada banyak para ahli yang melakukan penelitian seperti:
- Siegfreid
Jager mengkaji struktur wacana dalam pembicaran sehari-hari, serta wacana
politik dan media tentang orang Turki dan imigran lainnya di Jerman.
- Ruth
Wodak (1990), di Austria, meneliti wacana antisemitik masa lalu dan sekarang
terhadap masalah Waldheim. Analisanya menilai banyak genre, obrolan warung kopi
(street talk) yang spontan, hingga berita TV dan wacana politik. Selain
itu juga ia dengan paradigma wacana historis memfokuskan pada representasi
imigran dari Rumania dan tentang nasionalisme.
- Wetherell
& Potter (1992), dengan kerangka psikologi diskursif, merekonstruksi
representasi tersangka Pakeha (orang kulit putih Selandia Baru) tentang Moaris.
Mereka memfokuskan pada praktek diskursif dan tindakan interpretatif (interpretative
repertoires), dan menguji bagaimana ketidaksetaraan dan eksploitasi
minoritas aborigin terlegitimasi dalam obrolan sehari-hari.
Dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa:
- adanya
perbedaan sosio-budaya
- deviasi
(penyelewengan) norma dan nilai dominan
- adanya
kekerasan dan ancaman
sehingga
permasalahan seperti teritorial, nasionalitas, lingkungan, ruang (space),
pendapatan, perumahan (housing), pekerjaan, bahasa, agama,
kesejahteraan, dsb. menjadi sangat perlu diperhatikan dalam CDA (lihat Whillock
& Slayden, 1995).
Dari Dominasi
Kelompok ke Power Profesional dan Institusional
Selain mengkaji
dominasi kelompok dalam kehidupan masyarakat, ada banyak studi kritis yang
memfokuskan pada berbagai genre wacana institusional dan profesional seperti
teks dan pembicaraan dalam ruang pengadilan, wacana politik, wacana ilmiah,
wacana korporat, wacana media, dsb. Semua hal itu, dimana power dan dominasi
diasosiasikan pada social domain tertentu (yaitu politik, media, hukum,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dsb.) –yang berbasis profesionalisme dan
institusional. Untuk memahami konteks ini dengan benar, maka harus dilihat
bahwa sebenarnya elit profesional dan institusional serta peraturan dan
kebiasaannya yang melatarbelakangi reproduksi diskursif power seperti domain
dan institusi tersebut. Kondisi menyatakan akan pentingnya ‘critical studies’
pada bahasa, wacana, dan komunikasi.
Wacana Media
Media memiliki
power yang nyata (pengaruh) pada masyarakat dan ini juga telah menginspirasikan
banyak ‘critical studies’ dalam berbagai disiplin ilmu, setidak-tidaknya untuk
bidang komunikasi massa, dan selain itu juga, untuk studi linguistik,
semiotika, pragmatika (pragmatics) dan wacana atas pemberitaan atau
program TV. Mengenai representasi perempuan dan kaum minoritas di media, dalam
‘critical media studies’ ada pendekatan tradisional (content-analytical)
yang menganalisa citra terbiaskan (biased image), stereotip-sexis atau
rasis di media, baik dalam teks serta ilustrasi dan photo (gambar). Critical
media studies ini adalah studi yang paling menarik dan banyak dilakukan di
Negara Inggris.
Meskipun riset
media termasuk dalam discourse studies tetapi Stuart Hall menggkaji
media dengan cultural studies paradigm (untuk referensi studi wacana
lihat Hal, et al., 1980; dan critical cultural studies lihat Angger,
1992). Studi media ini sebenarnya didasari pada kombinasi Neo-Marxis Eropa
(Gramsci, Althusser, Pecheux) dengan pendekatan sosio-budaya Inggris (Richard
Hoggart, E.P. Thompson, Raymond Williams) dan analisa film (Screen). Mereka
mengabungkan analisa teks dengan analisa citra (images) dalam pendekatan
budaya yang luas pada media. Analisa kritis wacana media di sini berkaitan
dengan perspektif budaya lebih luas seperti dialektika antara kesadaran sosial
dan mahluk sosial (social being) (Hall), seperti praktek sosial
–termasuk signifying practices yang memproduksi budaya dan ideologi-
terkait dengan yang praktek yang lainnya, dan bagaimana orang mengalami
(merasakan) kondisi sosialnya.
Banyak ahli
yang melakukan studi media dengan critical paradigm seperti:
- Studi
linguistik dan wacana, pertama kali, dilakukan oleh Roger Fowler (lihat Fowler,
Hodge, Kress & Trew, 1997). Ia juga fokus pada media. Di Inggris dan
Australia, ada studi yang menggunakan paradigma ini seperti studi
‘transitivity’ pola kalimat sintaksis yang menggunakan kerangka teoritis
grammar fungsional-sistemik Halliday (Fowler, 1991; Hodge & Kress, 1993;
van Dijk, 1991).
- Fowler
(1991) dengan menggunakan paradigma ‘cultural studies’ Inggris mendefinisikan
bahwa berita bukan seperti refleksi realitas, tetapi sebuah produk yang
terbentuk oleh kekuatan politik, ekonomi, dan budaya. Selain itu, dia juga
fokus pada alat (tool) linguistik untuk studi kritis tersebut seperti
analisa transivititas dalam sintaksis, struktur leksikal, modalitas, dan speech
act.
- Van
Dijk (1988) juga mengaplikasikan teori wacana berita dalam ‘critical stides’
tentang berita internasional, rasisme dalam pers dan cara pemberitaan
gelandangan (squatters) di Amsterdam.
Selain riset
media tersebut di atas, di Amerika Serikat, Chomsky dan Herman mengkaji
struktur wacana seperti dalam propaganda model yang sangat mengkritik
media AS yang berkolusi dengan Pejabat AS dalam kebijakan luar negeri, dan
jelas mereka merujuk pada penggunaan kata persuasif dan terbiaskan (seperti
eufemisme atas kekejaman yang dilakukan AS dan negara sekutunya) yang tidak mengemukakan
analisa wacana media yang sebenarnya (lihat Herman & Chomsky, 1988).
Wacana Politik
Wacana politik
memiliki peran dalam membentuk, mereproduksi, dan melegitimasi power dan
dominasi. Ini ternyata telah memunculkan banyak harapan atas kehadiran ‘critical
discourse studies’ pada teks dan pembicaraan politik. Studi tersebut dapat
dilakukan melalui analisa linguistik sebab ilmu politik hampir mirip dengan
disiplin ilmu sosial, dimana ilmu sosial sangat memungkinkan untuk penggunaan
pendekataan postmodernisme atas wacananya (Derian & Shepiro, 1989; Fox
& Miller, 1995). Ini tidak bermaksud menyatakan bahwa ilmu politik tidak
mengenal ‘citical studies’ atas wacana politik, tetapi biasanya ilmu politik
sering dibatasi pada studi kata dan konsep terisolasi (isolated), dan
jarang studi teks politik yang sistematis (lihat Edelman, 1977, 1985). Dan
untuk studi ilmu komunikasi, tentunya ada juga banyak studi komunikasi politik
dan retorika politik, ini sering terjadi overlap (antara ilmu politik
dan ilmu komunikasi) dalam discourse analytical approach-nya (Nemmo
& Sanders, 1981).
Ada satu hal
yang dapat lebih mendekatkan pada analisa wacana teks dan pembicaraan politik
yaitu frames approach (satu pengertian yang dipinjam dari ilmu kognitif)
(Gramson, 1992). ‘Frames’ tersebut adalah struktur konseptual atau sekumpulan
keyakinan yang mengorganisir pemikiran, kebijakan, dan wacana politik, dan sama
hal dengan pengertian (super)struktur skematik yaitu ketegori standard dalam
persepsi dan analisa tentang sebuah isu. Contoh gerakan sosial dianalisa dalam
terminologi collective action, ini terbentuk karena adanya ketidakadilan
(injustice), agency, dan identitas.
Selain studi
wacana politik dengan pendekatan frames, ada juga pendekatan lainnya
seperti linguistik, pragmatika (pragmatics), sosioliguistik, dsb. Yang
digunakan para ahli, yaitu:
- Geis
(1987) melakukan studi linguistik antara media dan politik, yaitu bagaimana
politik diliput atau diberitakan oleh media Amerika Serikat. Ia terpengaruh
pada pemikiran Murray Edelman (yaitu Mythic Themes tema-tema dongeng
seperti ‘The Conspirational Enemy’). Dalam studinya ini, ia fokus pada bahasa
politik yang secara tidak langsung berpengaruh (indirect impact) lebih
kuat pada pemikiran politik seseorang daripada pikiran yang lainnya.
- Wilson
(1990) dengan, pendekatan pragmatika, melakukan studi pada sejumlah fenomena
dalam wacana politik seperti penggunaan metafora; pertanyaan, jawaban, dan
pengingkaran (evasion); implikasi dan perkiraan (presupposition);
dan referensi, inklusi (inclusion), eksklusi (exclusion), dan
kesetiaan (allegiances) kelompok.
- Ruth
Wodak (1988), di Austria, meneliti antisemitisme dan nasionalisme dalam wacana
politik. Ia mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dan analisa dalam bentuk discourse-historical
approach, meliputi psikologi (sosial dan kognitif), sosio-linguistik dan
sejarah (history).
- Di
Jerman, banyak studi wacana politik yang telah dilakukan seperti di Jerman
Barat Zimmerman (1969) meneliti politikus Bonn dan di Jerman Timur, yang
pertama kali, Klaus (1971) meneliti wacana politik sehingga menciptakan semiotic-materialist
theory (lihat Bachem, 1979). Kemudian, Pasierbsk (1983) melakukan studi
bahasa perang dan damai, dan Holly (1990) mengkaji speech act dalam
wacana politik. Selain itu juga ada tradisi yang kuat untuk mempelajari bahasa
dan wacana fasis (facist) seperti dalam bentuk lexicon
(kosakata), propaganda, media, dan politik bahasa (Ehlich, 1989).
- Di
spanyol dan khususnya di Amerika Latin telah banyak dilakukan studi wacana
politik kritis, seperti yang sangat terkenal yaitu, studi Donald Duck dengan
semiotika kritis (anticolonialist) oleh Dorfman & Mattelart (1972)
di Chili. Lavandera, et al. (1986, 1987), di Argentina, dengan menggunakan sociolinguistics
approach dalam tipologi wacana otoriter (authoriterian discourse).
Ini kemudian dikembangkan oleh Pardo (1996) dalam wacana hukum (legal
discourse). Kemudian Sierra (1992), di Mexico, dengan menggunakan wacana
ethnogarfi dalam mengkaji proses pembuatan keputusan dan otoritas lokal.
Diantara banyak critical studies dalam bidang politik di Amerika Latin, ada
yang perlu diperhatikan yaitu Teresa Carbo (1995), di Mexico, dengan
menggunakan parliementary discourse (wacana parlemen).
Wacana dan
Rasisme
Sistem rasisme
terdiri dari dua dimensi utama yaitu kognitif dan sosial. Dimensi kognitif dari
representasi sosial prejudiced (tersangka) yang dibuat oleh kelompok
atau orang dominan (orang kulit putih, bangsa Eropa, dan terkadang yang
lainnya), berdasarkan pada ideologi superioritas dan perbedaan. Dan pengertian
dimensi sosial memiliki dua level yaitu level lokal dan level global. Untuk
level lokal (mikro), ini didefinisikan dalam istilah everyday racism
(rasisme sehari-hari) (Essed, 1991) yaitu adanya banyak ketidaksetaraan
interaksional sehari-hari dan bentuk discriminatory exclusion,
marginalization, dan problematization terhadap minoritas etnis atau
orang asing (foreigners). Sedangkan untuk level global (makro) rasisme,
kita dihadapkan pada organisasi ketidaksetaraan etnis, seperti sistem Apartheid
dan Segregation (pengasinngan), dan sekarang melaluui kebijakan imigrasi,
liputan media terbiaskan, teksbook dan pendidikan yang monokultural dan
stereotip (lihat Davido & Gaertner, 1986; Katz & Taylor, 1988; Miles,
1989; Solomos & Wrench, 1993; Wellman, 1993).
Sedangkan
D’Souza mendefinisikan rasisme sebagai ideologi rasional dan ilmiah untuk
menjelaskan perbedaan besar dalam pengembangan peradaban (civilization development)
yang tidak dijelaskan oleh lingkungan (environment). Tetapi jika dilihat
dalam konsep rasisme bernilai negatif, adalah apa yang dijelaskan dalam istilah
ilmu dan rasionalitas positif, yaitu sebagai bentuk (hallmarks) dari
peradaban Barat (western civilization) –yang diagung-agungkan.
1 komentar:
Hello there! This is kind of off topic but I need
some help from an established blog. Is it tough to set up your own blog?
I'm not very techincal but I can figure things out pretty quick. I'm thinking about making my own
but I'm not sure where to start. Do you have any ideas or suggestions? Thank you
Here is my web page: zcode system picks
Posting Komentar