Sabtu, 08 Oktober 2011

Islam Sosialis


Umat Islam dalam menghadapi peradaban modern, diperlukan penyegaran dan pembaruan pemikiran keagamaan. Tantangan yang dihadapi kaum muslim pada jaman ini benar-benar memiliki implikasi serius terhadap masa depan agamanya. Permasalahan sosio-ekonomi yang dihadapi umat di era modern ini sangat kompleks, sehingga atas dasar keyakinan agama yang kuat, para pembaru Islam berkeinginan untuk menampilkan Islam sebagai kekuatan alternatif dalam menghadapi masalah sosio-ekonomi umat.
Disamping menghadapi berbagai serangan dari kritikus Barat dan benturan kebudayaan, kaum muslim juga berhadapan dengan Barat dengan status sebagai bangsa yang terjajah. Strategi umat Islam menghadapi peradaban modern memerlukan ‘penanganan’ agama yang serius. Penyegaran dan pembaharuan pemikiran keagamaan, serta hadirnya sejumlah pembaharu di dunia Islam merupakan suatu keharusan. Tanpa hal itu, akan berakibat yang tidak dapat dibayangkan bagi masa depan Islam dan umatnya, yaitu Islam sebagai agama, lama-kelamaan akan ditinggalkan oleh pemeluknya. Sebab, Islam dianggap tidak dapat menjawab permasalahan yang terjadi pada zaman sekarang (modern).
Setelah kemerdekaan diraih oleh hampir seluruh negara-negara Islam yang terjajah, para pembaru berupaya untuk menata segala aspek kehidupan, baik aspek ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Dalam aspek sosio-ekonomi, pada saat itu muncul konsep sosialisme Islam. Sosialisme Islam menurut Syaihk Muhammad Al-Ghazali merupakan sistem ekonomi alternatif yang didasarkan atas nilai-nilai Islam. Ia bertujuan untuk menata kehidupan umat Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup di dunia ini dan di akhirat, namun tetap sesuai dengan ajaran-Nya. Disamping itu sosialisme Islam muncul sebagai reaksi atas sistem ekonomi kapitalis dan sistem sosialis komunis yang kurang mencerminkan nilai-nilai Islam. (Syaikh Mahmud, 1989).
Pandangan Islam tentang kehidupan, diwarnai oleh kepastian, keselarasan dan dinamisme. Seluruh karakteristik ini berasal dari filsafat Islam asli, yaitu yang berusaha memadukan berbagai segi kehidupan manusia lewat aksioma etikanya yang universal, yaitu kesatuan (tauhid), bukannya membeda-bedakan. Islam menganut sistem keseimbangan, kehendak bebas dan pertanggungjawaban dalam segala aspek kehidupannya. Keseluruhan aksioma etika ini terbentuk dari sistem Islam, yang selanjutnya mengalami proses dan berevolusinya kehidupan manusia. Jelasnya, kegiatan ekonomi manusia harus tunduk kepada tujuan moral yang dominan dalam semua aksioma etika ini. Karena adanya masalah tersebut, pandangan Islam mengenai ilmu ekonomi menyusut menjadi sub-himpunan dari rangkaian pandangan etika ekonominya mengenai kehidupan pada umumnya.
Sjafruddin Prawiranegara sebagai salah satu pembaharu Islam Indonesia dalam bidang ekonomi, berusaha untuk menuangkan pemikiran sosialisme Islam sebagai jawaban atas permasalahan sosio-ekonomi yang dihadapi umat Islam Indonesia. Atas dasar keyakinan agama yang kuat, Sjafruddin berkeinginan untuk menampilkan Islam sebagai kekuatan alternatif dalam menghadapi masalah sosio-ekonomi umat. Ia berpendapat bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, selalu menjunjung tinggi prinsip ketuhanan dalam segala bidang kehidupannya. Oleh karena itu, walaupun dalam mengatur kesejahteraan sosial, kelihatan prinsip-prinsip pemikiran sosialistis (pasal 33), namun negara Republik Indonesia bukan negara sosialis yang anti Tuhan, tetapi sosialisme yang berdasarkan pada religiusitas.
Maka ketika mengutip Alexander Miller dalam bukunya The Christian Significance of Karl Marx, Sjafruddin menegaskan bahwa ada jurang pemisah yang sangat dalam antara faham Marxisme dengan agama manapun juga. Oleh karena itu, haruslah diketahui oleh orang-orang yang menamakan dirinya komunis atau sosialis, bahwa dasar-dasar Marxisme itu yang penting di antaranya ialah histories materialism yang sama sekali bertentangan dengan faham ketuhanan dari tiap agama. Agama dipandang oleh Marxisme sebagai suatu dongengan yang hanya dipergunakan oleh beberapa orang dan golongan untuk mempertahankan kedudukannya dan menyembunyikan kejahatannya.
Bertentangan dengan Marxisme
Setelah Muhammad, tidak ada orang di dunia ini yang telah menggoncangkan pikiran manusia begitu kuat seperti Marx. Dan tidak ada satu ajaran yang dapat mengadakan perubahan yang begitu radikal di seperenam bagian dunia ini, seperti ajaran Marx. Apabila Marx itu tidak terang-terangan memungkiri adanya Tuhan dan memusuhi agama, mungkin ia di pandang sebagai seorang nabi oleh sebagian umat manusia. Sekalipun ia tidak dipandang sebagai nabi, namun oleh orang-orang komunis dan sosialis ia dihormati dan dijunjung, dan boleh dikatakan hampir sama dengan seorang nabi, sedang sosialisme itu bagi mereka seolah-olah sebagai ganti dari agama.
Jasa Marx dan murid-muridnya seperti Lenin, Stalin dan Mao Zedong kepada manusia bukan hanya terletak dalam bidang ekonomi, seperti perbaikan hidup berjuta-juta kaum gembel, melainkan juga dalam bidang kebatinan dan kerohanian. Sebab hanya dengan demikianlah dapat memahami ketahanan dan semangat pengorbanan dari berjuta-juta manusia yang sanggup menderita dari segala macam percobaan, hingga pada mati untuk cita-cita sosialisme. Katanya lebih lanjut, seluruh riwayat perjuangan sosialis di Rusia dan Tiongkok adalah bukti nyata bahwa, bukan benda yang primer yang menentukan semangat dan jiwa manusia, seperti diajarkan oleh histories materialism, tetapi sebaliknya: roh, akal, dan semangat manusialah yang memberi dasar kepada hidupnya dan yang sanggup menciptakan dunia baru. “Semangat”lah yang menguasai benda, bukan sebaliknya dan semangat itu beserta benda diciptakan oleh Tuhan.
Ada banyak arti yang dapat diletakkan kepada sosialisme, dan di antaranya banyak yang saling berbeda seperti bumi dengan langit. Maka sosialisme yang berdasarkan kepada dasar agama, berlainan dengan sosialisme Marxis. Untuk itu, para Pembaru Islam mempergunakan istilah sosialisme religius (religius socialism), yang berlainan sekali dengan sosialisme Marxis, bahkan bertentangan.
Menurut Sjafruddin, Marx hanya mengemukakan separo kebenaran saja. Alam benda memang penting untuk hidup manusia, tetapi bukan berarti bahwa di samping atau di atas alam benda itu tidak mungkin ada lagi sesuatu yang lebih kuasa terhadap manusia. Untuk hidup sebagai manusia, ia tidak cukup hanya seperti binatang belaka, manusia memerlukan norma-norma yang tidak terdapat dalam alam benda, tetapi diberikan oleh religi (agama) dan rasa ketuhanan.
Perbedaan itu diperlihatkan pula dengan memperbandingkan cara-cara mengarungi kehidupan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dengan cara-cara yang dilakukan oleh para pengikut Marx. Sementara Nabi Muhammad dan para sahabat memperlihatkan perasaan kasih sayang terhadap sesama manusia, bahkan sampai kepada mereka yang dipandang sebagai musuh yaitu dengan menjauhkan perasaan, perbuatan dendam dan benci, revolusi yang dibangkitkan oleh Lenin dan Stalin, dijalankan dengan tidak mengenal perikemanusiaan.
Islam Sosialis di Indonesia
Menurut Nurcholish Madjid, dimensi lebih mendalam dari sosialisme religius ialah dikukuhkannya dasar moral cita-cita kemasyarakatan. Pelaksanaan cita-cita tersebut menjadi tidak hanya karena dorongan kehendak berkehidupan yang lebih bahagia di dunia saja, tetapi juga kehidupan yang lebih kekal di akhirat. Sosialisme religius tidak hanya komitmen kemanusiaan, tetapi juga ketuhanan. Sosialisme di Indonesia muncul dari nilai-niali agama. Sosialisme religius menolak pandangan hidup materialisme sebagaimana yang menjadi tujuan sosialisme Marxis. Sosialisme religius tidak juga hasil hukum dialektika, tetapi ia tampil sebagai tuntutan hati nurani, sebagai pergaulan hidup yang menjamin kemakmuran bagi semua orang, memberikan kesejahteraan yang merata, bebas dari segala macam penindasan. (Nurcholish Madjid, 1989).
Sosialisme religius Sjafruddin didasarkan atas tujuan hidup manusia yang dihimpun dari ayat-ayat al-Qur'an dan sunnah Nabi. Pertama, tujuan hidup manusia itu bukanlah mengejar kemakmuran akan materi, melainkan mencari Ridlo Allah Swt. Kedua, berhubungan dengan tujuan hidup manusia, maka Islam mengajarkan bahwa benda-benda itu hanyalah alat belaka, yang akan membantu manusia untuk hidup dan berbakti kepada Tuhannya.
Ketiga, di dalam al-Qur'an dan Hadis terdapat banyak sekali pernyataan-pernyataan, bahwa harta kekayaan itu wajib dibelanjakan di jalan Allah; yakni untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat bagi sesama manusia. Keempat, perintah Allah untuk tidak takut dan ragu-ragu membelanjakan harta kekayaan guna tujuan-tujuan yang diridhai Allah, tujuan-tujuan yang bermanfaat bagi sesama manusia, disertai janji Tuhan dalam al-Qur'an (QS. al-A'raf: 96) dan (QS. al-Baqarah: 261).
Undang-undang Dasar 1945 juga mengamanatkan agar pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia ini haruslah tetap mempertahankan nilai-nilai moralitas religius sebagai landasannya. Pemikiran sosialisme di Indonesia adalah dalam rangka untuk memberikan landasan moral religius bagi pembangunan bangsa dan negara terutama dalam pembangunan sosio-ekonomi, sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai amanat konstitusi dapat direalisasikan.
Pada masa sulit seperti sekarang ini, sebagai akibat dari peninggalan rezim Orde Baru yang ditandai dengan adanya krisis moneter, krisis ekonomi dan krisis kepercayaan meyebabkan lemahnya partisipasi masyarakat untuk merespon pembangunan nasional, bahkan tidak jarang karena adanya kesenjangan sosial mengancam bangsa ini menuju pada disintegrasi yang sangat membahayakan. Krisis ekonomi dan politik di Indonesia ini pada hakikatnya merupakan geloofs dan morele crisis (krisis keimanan dan krisis moral), yang tidak dapat diobati dengan alat dan cara lain melainkan hanya dengan kembali kepada Tuhan melalui norma agama dan moral, yang menyuruh manusia bukan untuk mengejar kekayaan, melainkan untuk mengabdi dan berkorban guna kepentingan sesama manusia. Wallahualam Bishawab. []
Reposisi Islam-Sosialis
Oleh: Irfan Anshari SP*
BEBERAPA waktu lalu—dalam harian ini—terdapat beberapa tulisan yang mengangkat wacana seputar masalah Islam dan sosialisme. Pembahasan berkisar pada tataran konsepsi teoritik maupun praksis. Wacana ini memang menarik seiring dengan eskalasi politik internasional yang saat ini begitu hegemonik dan eksploitatif dibawah kendali negara-negara besar yang despotik. Tesis Francis Fukuyama—dalam The End of History and The Last Man—yang menyatakan Kapitalisme sebagai babak akhir sejarah, memang benar-benar patut dipertanyakan. Bagaimanapun, praktik kapitalisme dengan berbagai bungkusnya telah memperlihatkan wajah yang sebenarnya. Globalisasi yang selama ini begitu diagung-agungkan dan diyakini akan memberikan welfare equality bagi dunia ternyata isapan jempol belaka.
Sehingga wajar, praktik kapitalisme—yang meniscayakan adanya imperialisme—tersebut menumbuhkan kebencian kolektif serta perlawanan dari seluruh kawasan dunia. Yang menarik, perlawanan ini ternyata dapat mempersatukan golongan yang selama ini memiliki background ajaran yang berbeda, yaitu kelompok Islamis dan kelompok sosialis Sebelumnya penulis ingin menekankan, baik Islam maupun sosialisme merupakan ideologi, yang karenanya memiliki potensi untuk diterapkan. Di sini, penulis mencoba sedikit menelusuri falsafah dasar dari kedua ideologi ini dan bagaimanakah seharusnya kita menyikapi permasalahan ini dalam konteks menuju sebuah kemenangan yang dicita-citakan.
Islam Sebagai Ideologi
DR Samih ‘Athif az Zayn dalam bukunya Al Islam Wa Idiyulujiyyah al-Insan mendefinisikan Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya. Hafidz Abdurrahman (2004) memberikan deskripsi menarik mengenai definisi di atas, bahwa Batasan Islam sebagai “agama yang diturunkan oleh Allah Swt” telah memproteksi agama yang tidak diturunkan oleh Allah Swt. Ini meliputi agama apapun yang tidak diturunkan oleh Allah Swt, baik Hindu, Budha, Sintoisme, ataupun yang lain. Sedangkan batasan “kepada Nabi Muhammad Saw” telah memproteksi agama lain selain agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik agama yang diturunkan kepada Nabi Musa, Nabi Isa maupun yang lain, apakah Kristen, Yahudi ataupun agama-agama Nabi dan Rasul yang lain. Mengenai batasan “yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya” merupakan deskripsi yang komprehensif meliputi seluruh aspek, mulai dari urusan dunia sampai akhirat, baik yang menyangkut dosa, pahala, surga, neraka, maupun akidah, ibadah, ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan dan sebagainya.
Penjelasan di atas sudah lebih dari cukup untuk menegaskan, Islam merupakan ideologi. Sebuah ideologi bukan hanya memiliki sekumpulan pemikiran (fikrah/tought) yang dapat memberikan solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi manusia, tapi juga bagaimana mewujudkan solusi tersebut di tengah-tengah kehidupan (thoriqoh/method). Perintah untuk melaksanakan hukum Islam juga disertai dengan penjelasan bagaiman pelaksanaan hukum tersebut, siapa yang memiliki otoritas untuk melaksanakannya, dsb.
Dialektika Materialisme
Sosialisme juga memenuhi syarat sebagai sebuah ideologi. Karena ia memiliki ide dasar sekaligus metode pemecahan terhadap berbagai masalah kehidupan (terlepas dari sesuai tidaknya pemecahan tersebut dengan fitrah manusia). Secara historis, gagasan sosialisme—include komunisme—merupakan antitesis dari kekuatan hegemonik di Eropa era aufklarung. Dalam Manifesto Communist, Marx mencita-citakan masyarakat tanpa kelas. Teori Dialektika materialisme menjadi metode baku yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Ghanim Abduh (2003), Dialektika materialisme merupakan cara pandang peristiwa alam yang bersifat dialogue, yaitu metode pembahasan dan penelitian yang membongkar kontradiksi pemikiran dan benturan antar berbagai pandangan melalui diskusi atau dialog. Di samping karena argumentasi dan pandangannya terhadap berbagai peristiwa alam ini bersifat materi. Cara pandang seperti ini juga diimplementasikan dalam pembahasan tentang kehidupan masyarakat berikut berbagai kasus yang terjadi di dalamnya.
Teori Marx telah memberikan inspirasi besar bagi orang-orang kritis waktu itu. Puncaknya, Vladimir Illich Ulyanov (Lenin) mendirikan negara Komunis pertama—Uni Soviet—dengan sebuah revolusi berdarah menggulingkan kekuasaan Tsar. Sebagai ideolog komunis terkemuka, Lenin telah meletakkan dasar-dasar pemerintahan komunis dengan tangan besinya. Semangat perlawanan ala Lenin juga diikuti oleh rezim-rezim komunis lainnya. Jutaan nyawa harus meregang akibat pemerintahan otoriter yang dipraktikkan oleh mereka. Amartya Sen dalam The Black Book of Communism memperkirakan jumlah orang yang tewas akibat sosialisme-komunisme mencapai angka 100 juta (Chomsky, 2003). Cita-cita sosialisme—menghapus penindasan kapitalisme—ternyata diganti dengan penindasan ala komunis yang tidak kalah mengerikan. Sentralisasi kekuasaan yang absolut melahirkan slogan “negara adalah saya”. Karena kelemahan internal yang akut inilah akhirnya Uni soviet runtuh.
Dalam perkembangannya, bermunculan berbagai varian pemikiran dari ideologi sosialisme ini. Hanya saja—sepanjang pengamatan penulis, mereka tetap disatukan oleh metode baku dalam perjuangan dan penerapannya. Perbedaan antar golongan kiri ini tidak menyentuh fundament dasar gerakan.
Mempertegas Diferensiasi
Tidak dapat dipungkiri, ada beberapa konsep Islam yang memiliki kemiripan dengan konsep ajaran—baik agama ataupun ideologi—lain. Ajaran saling kasih sayang antarsesama manusia jelas bukan monopoli Islam. Larangan penumpukan kapital oleh individu atau swasta mungkin berbanding lurus dengan konsep inti ajaran ideologi sosialis. Hanya saja, persamaan perkara cabang (furu’iyah) seperti ini tidak secara otomatis membuat kedua ideologi ini identik. Masing-masing ideologi memiliki perbedaan fundamental. Ajaran Islam berasal dari Allah Swt, sementara ajaran sosialisme murni dari hasil karya cipta manusia. Asas tauhid (dua kalimat syahadat) tentu berseberangan secara diametral dengan dialektika materialisme yang melihat segala sesuatu secara kebendaan (materi). Konsekuensinya, sistem yang lahir dari kedua rahim ideologi ini juga mutlak berbeda. Adanya beberapa kesamaan hanya merupakan sebuah “kebetulan” . Sehingga secara ‘itiqodi (keyakinan hati), setiap muslim wajib meyakini hal ini dengan sebenar-benarnya agar kemurnian aqidahnya tetap terjaga.
Kita juga seharusnya hati-hati dalam menggunakan istilah. Secara terma, istilah Sosialisme Islam—sebagaimana halnya Demokrasi Islam—adalah frase yang kontradiktif. Reposisi istilah dirasa perlu untuk menghindari berbagai kerancuan yang sering terjadi. Bahwa setiap istilah memiliki makna khusus sehingga tidak bisa disandingkan begitu saja dengan istilah lainnya (An Nabhani, 2004). Apalagi jika masing-masing istilah terkait dengan pandangan hidup (world view, weltanschauung) tertentu. Hal ini juga berlaku dalam tataran metode operasional.
Dalam berbagai Kitab Sierah, kita bisa melihat bagaimana Nabi Muhammad Saw melakukan sebuah revolusi dalam masyarakat Arab jahiliyah waktu itu. Perjuangan Rasulullah Saw bukannya tanpa halangan. Dari cacian, penganiayaan fisik, pemboikotan, sampai bujuk rayuan dari para pembesar Quraisy. Mereka menawarkan kedudukan, harta, dsb, untuk menghentikan aktifitas Rasulullah, tapi beliau menolak secara tegas (Sierah Ibnu Hisyam, I/261). Rasulullah juga tidak mengenal kata kompromi dalam perjuangannya. Manuver politik yang beliau lakukan sama sekali tidak menunjukkan kompromi beliau dengan pemahaman atau pemikiran lain dalam memperjuangan dan menyebarluaskan risalah yang beliau emban (Qol’ahji, 2005). Karena sesungguhnya, kebenaran hanya ada pada risalah yang beliau bawa, yaitu Islam. Memang banyak riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah pernah berhubungan dan bekerjasama dengan orang-orang kafir. Tapi beliau melakukannya dalam perspektif kemanusiaan yang hukumnya mubah.
Realitas juga menunjukkan, koalisi antara gerakan Islam dengan gerakan lainnya berpotensi melahirkan sikap kompromistik dan pragmatis. Akhirnya, yang hak bercampur dengan yang bathil. Padahal, amal yang diterima oleh-Nya harus benar-benar murni, tidak setitikpun ada noktah. Kita khawatir, idealisme perjuangan mengalami degradasi dan perlahan hilang karena harus menempuh “jalan tengah”. Selain itu, solusi yang ditawarkan oleh kedua ideologi ini juga berbeda. Bahkan sangat jelas perbedaannya.
Mengamati konstelasi politik internasional, mungkin kita bisa mafhum kenapa Presiden Iran (Mahmood Ahmadinejad) dan pemimpin Hizbullah (Sayyid Husain Nasrallah) melakukan “koalisi” dengan beberapa pemimpin Amerika Latin yang sosialis. Mereka mungkin “putus asa” karena pemimpin negeri-negeri Islam yang lain ternyata hanya bungkam melihat kesewenang-wenangan yang dipraktikkan dengan sangat vulgar oleh AS, serta anak emasnya Israel. Apa yang dilakukan oleh negara-negara Arab dan negeri muslim yang lain ketika AS dan sekutunya (NATO) menginvasi Afghanistan dan Irak? Atau ketika Israel membunuhi secara brutal warga Palestina dan membombardir Lebanon dengan alasan ingin membebaskan seorang kopralnya? Bukannya memberikan bantuan, mereka malah mengokohkan cengkeraman imprialisme di wilayah Timur Tengah dengan menyediakan pangkalan militer bagi negara penjajah. Selain itu mereka juga memfasilitasi berbagai perundingan damai yang sepenuhnya menguntungkan negara-negara penjajah.
Disinilah relevansi pentingnya difusi negeri-negeri Islam. Sekat-sekat nationstate yang ada selama ini terbukti membuat kaum muslimin lemah dan begitu mudah dikuasai. Mereka disibukkan oleh berbagai masalah dalam negeri, sehingga acuh terhadap penderitaan saudara mereka di belahan bumi lain. Adanya kesatuan—atas dasar Islam—akan membuat kaum muslimin memiliki sebuah negera adidaya yang mampu mengimbangi kekuatan imperialisme global saat ini. Seluruh kaum muslimin dari berbagai elemen harus memadukan potensi yang ada untuk bersama-sama memperjuangkannya. Apalagi, kemenangan Islam merupakan sebuah keniscayaan (lihat QS An Nuur (24) ayat 55). Alhasil, kaum muslimin tidak perlu berkolaborasi dengan negara atau gerakan perlawanan apapun—yang secara ideologis berbeda—untuk mencapai kemenangan tersebut.***

0 komentar:

Posting Komentar