Abstract:
Epistemological and methodological basic of
science are
very important
to reduce the negative aspects of scientific
development.
This paper was written with major theme both Auguste
Comte
verifiable and Karl Raimund Popper falsifiable methodes. they
introduced the
important epistemology and methodology which should
be applicated
to the scientific progress in order to make better result.
Kata Kunci: Ambivalen, epistemologi, metodologi, metode verifiable, metode
falcifiable.
Di
tengah-tengah maraknya kemajuan technoscience yang sangat spektakuler
serta dampaknya yang ambivalen, masalah landasan epistemologis dan metodologis
mempunyai arti dan kedudukan yang sentral dan strategis. Auguste Comte dan Karl
Raimund Popper adalah dua sosok filsuf besar dan berpengaruh serta secara
kualitatif berbeda dan kontroversial. Auguste Comte hidup di abad ke-19
mengalami secara langsung revolusi Perancis dengan segala akibatnya.
Positivisme merupakan aliran produk pemikirannya yang kemudian di abad ke-20
ini dikembangluaskan oleh filsuf kelompok Wina dengan alirannya Neo-Positivisme
(Positivisme-Logis). Popper adalah sosok filsuf kontemporer yang pola
pemikirannya sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh konstelasi zamannya.
Falsifikasionisme merupakan aliran ynng dilahirkannya sebagai jawaban terhadap
problem-problem epistemologi, filsafat,ilmu, sosial, politik, sejarah, dan
metodologi. Popper mempunyai peimikiran yang sangat luas, orisinal, aktual,dan
kontroversial (Kuper, 1987: 91).
Problem
utama Comte dan Popper berkenaan dengan masalah demarkasi untuk membedakan
antara ilmu dengan yang bukan ilmu (pseudo-science). Bagi Comte, garis
demarkasi tersebut adalah verifiable, sedangkan bagi Popper adalah falcifiable
(Flew, 1985: 281). Kemajuan technoscience dewasa ini bersifat mendasar,
menyeluruh, dan cepat dengan dampaknya yang bersifat ambivalen, ternyata di
dalamnya telah meredam problem epistemologi dan metodologi yang sangat
mendasar. Membahas pemikiran Comte dan Popper secara komparatif sama artinya
dengan menguak sisi-sisi kelemahan dan kekuatan landasan epistemologis dan metodologis
technoscience dewasa ini.
MASALAH
EPISTEMOLOGI DAN METODOLOGI
Tulisan
ini bersifat tematik, artinya memusatkan perhatian kepada tematema atau
tokoh-tokoh yang mewakilinya dalam bentuk pumikiran untuk kemudian dianalisis
dan dikomparasikan dalam rangka mengungkapkan buah pikiran yang terkandung
dalam tema-tema tersebut. Kebenaran merupakan kata kunci yang di dalamnya
terkandung intensitas pengetahuan manusia, sedangkan kata metode menunjuk
kepada suatu cara untuk memperoleh pengetahuan. Adapun masalah evidensi dan
kepastian pengetahuan, banyak tergantung kepada sejauhmana intensitas hubungan
antara subjek dengan objek untuk memperoleh kebenaran yang diinginkan. Oleh
sebab itu, masalah perolehan pengetahuan menjadi aspek yang sangat mendasar dan
aktua1. sepanjang sejarah permikiran kefilsafatan dan dunia keilimuan sampai
sekarang. Sejarah telah melukiskan bahwa masalah perolehan pengetahuan menjadi problem
aktual yang melahirkan aliran Rasionalisme dan Empirisme yang pada gilirannya
telah melahirkan aliran Kritisisme sebagai alternatif dan solusi terhadap
pertikaian dua aliran besar tersebut. Positivme dan Neo-positivisme merupakan
representasi jawaban berikutnya terhadap problem-problen mendasar tersebut.
Propper tampil diantara pertikaian besar tersebut dengan alirannya Falsifikasionisme
yang bertumpu di atas landasan epistemologis Rasionalismekritis dan
Empirisme-kritis. Menyimak isi pemikirannya, Popper memang pantas untuk
disejajarkan dengan Rene Descartes (Rasionalisme), David Hume (Empirisme),
Immanuel Kant (Kritisisme), dan Au'guste Comte (Positivisms) (Dister, 1992:
56).
Kedekatan
hubungan antara epistemologi dengan metodologi tampak bila dikaitkan dengan
pandangan Protagoras (kaum Sophis) yang menyatakan bahwa "man is the
measure of all things" (di dalam segala hal manusia adalah menjadi tolok
ukur) (Hamlyn, DW. , 1967: 8). Epistemologi yang oleh Popper dianggap sebagai
teori ilmu pengetahuan dan metodologi secara kualitatif akan menentukan proses
dan produk ilmiah. Konflik metodologi akan tampak bila dikaitkan dengan jenis
ilmu yakni natural-sciences (ilmu-ilmu pengetahuan alam), social-science
(ilmu-ilmu sosial/humaniora), dan cultural-sciences (ilmu-ilmu
budaya). Persoalannya adalah apakah ilmu-ilmu sosial dan budaya dapat
menggunakan metode-metode yang dipakai oleh ilmu-ilmu pengetahuan alam? apabila
dikaji secara mendalam, maka secara kualitatif-metodologis, setiap pengetahuan
ilmiah senantiasa bergerak antara sifat-sifat "subjectif-kualitatif",
"induktif-deduktif" dan "kuantitatif-kualitatif".
Kecenderungan sikap absolutisme-deterministik terhadap metode, selalu menjadi
sumber pertikaian metodologis (methoderstrijd) dengan bersitegang
mempertahankan dan memperebutkan epistemologi masing-masing. Sebenarnya sikap
yang demikian itu tidak perlu, karena masing-masing mempunyai keunggulan dan
kekurangan sehingga yang diperlukan adalah pengakuan adanya sifat komplementer
danmenghindarkan sikap eksklusif (Pranarka, 1985: 11).
Berdasarkan
atas seluruh uraian tersebut, maka muncul sebagai berikut: Bagaimana pemikiran
Popper mengenai masalah-masalah pokok epistemology dan metodologi
falsifikasionisme? Bagaimana pandangan Comte mengenai masalah-masalah pokok
epistemologi dan metodologi melalui Positivisme? Di mana perbedaan mendasar dan
titik temu antara pemikiran Popper dan Comte mengenai masalah-masalah
epistemologi dan metodologi dikaitkan dengan masalah sosialitas dan
historifiitas manusia ?.
LATAR BELAKANG PEMIKIRAN KARL
RAIMUND POPPER DAN
AUGUSTE COMTE
Untuk
membahas dan mengkomparasikan pemikiran dua tokoh yang berpengaruh ini,
diperlukan beberapa aspek yang nantinya dapat dijadikan titik pijak pembahasan
untuk sampai kepada uraian yang sinkat dan jelas. Titik tinjau tersebut adalah
latar belakang yang membentuk pemikifan kedua tokoh tersebut, dasar pemikiran,
masalah-masalah pokok epistemologi, masalah-masalah metodologi technoscience
(iptek), masalah sosialitas dan historisitas manusia. Comte dan Popper adalah
dua filsuf yang hidup di abad yang berbeda dengan latar belakang konstelasi
zamannya masing-raasing. Sebagai pemikir luas dan berpengaruh luas buah
pikirannya, dua tokoh ini dihadapkan kepada persoalan-persoalan kefilsafatan
dan keilmuan para filsuf sebelumnya dan sezamannya. Maka alternatif dan solusi
yang telah diberikan terhadap persoalan persoalan tersebut sangat berpengartuh
terhadap pemikir-pemikir sezamannya dan sesudahnya. Auguste adalah filsuf dan
warga negara Perancis yang hidup di abad ke-19
setelah revolusi Perancis yang
terkenal itu. Ia menerima dan mengalami secara langsung akibat-akibat negatif
secara langsung revolusi tersebut khususnya dibidang "sosial, ekonomi,
politk, dan pendidikan. Pengalaman pahit yang dilalui dan dialaminya secara
langsung bersama bangsanya itu, memotivaisi dirinya untuk memberikan alternatif
dan solusi ilmiah-filosofis. (epistemologis) dan metodologis sebagaimana buah
pikirannya itu tercermin di dalam aliran Positivisme. Aliran ini menjadi
berkembang dengan subur didukung oleh para elit-ilmiah dan maraknya era
industrialisasi saat itu. Berbeda dengan Karl Ralgiund Popper yang hidup
di-abad ke-2O (kontemporer), yaitu suatu abad yang diawali oleh konflik sosial
secara terbuka yang sifatnya multi nasionial dengan adanya perang dunia I dan
II, sebagai akibat pertentangan totaliterisme dan demokrasi. Popper telah
mewarisi problenproblem filosofis yang telah diwariskan oleh paira filsuf
pendahulunya dan terakumulasi dalam pemikiran filsafat dewasa ini (kontemporer)
dengan sifatnya yang pluralistik dan sedang berrkembang. Pada saat yang sama
Popper juga mengalami langsung kemajuan technoscience (iptek) yang sangat spektakuler
dengan segala implikasinya yang bersifat, ambivalen. Dipandang dari sudut
pendidikan. Popper lebih beruntung dibandingkan Comte, karena ia dapat mencapai
jenjang tertinggi yakni Doktor di bidang filsafat, serta sempat menjabat sebagai
guru besar filsafat dan metodologi di lingkungan yang lebih luas yaitu di Austria,
Inggris, America Serikat, Australia, dan New Zealand. Anehnya kedua filsuf
besar dan berpengaruh ini mempunyai kesukaan ilmu yang sama yakni matematika
dan fisika teoritis, hanya saja Popper lebih menguasai secara mendalam ilmu pengetahuan
alam modern.
FALSIFIKASIONISME
DAN POSITIVISME
Dasar
pemikiram Comte diperoleh secara inspiratif dari Saint Simon, Charles Lyell,
dan Charles Darwin. Selain dari itu, pemikiran Herbert Spencer mengenai hukum
perkembangan juga mempengaruhi pemikirannya. Kata rasional bagi Comte terkait
dengan masalah yang bersifat empirik dan positif yakni pengetahuan riil yang
diperoleh melalui observasi (pengalaman indrawi), eksperimentasi, komparasi,
dan generalisasi-induktif diperoleh hokum yang sifatnya umum sampai kepada
suatu teori. Karena itulah maka bagi positivisme, tuntutan utama adalah
pengetahuan faktual yang dialami oleh subjek, sehingga kata rasional bagi Comte
menunjuk peran utama dan penting rasio untuk mengolah fakta menjadi pengalaman.
Berdasarkan atas pemikiranyang demikian itu, maka sebagai konsekuensinya metode
yang dipakai adalah "Induktif-verifikatif". Popper mempunyai
pandangan yang berbeda dengan Comte mengenai kata rasional ini. Bagi Popper,
kata rasional identik dengan kata intelektual yang ada kaitannya dengan laku
observapi, eksperimentasi, dan komparasi dalam langkah-lanpkah ilmiah, namun
meletakkan kata ini dalam arti mengagungkan akal di atas pengamatan dan
percobaan sehingga pengertiannya menjadi meletakkan tidak bertentangan dengan irrasionalisme,
melainkan dipertentangkan dengan empirisme. Karena itu dalam arti luas,
Rasionalisme
dimaksudkan mencakup di dalamnya
intelektualisme dan Empirisme, dengan catatan Empirisme di sini bukan untuk
meeneguhkan suatu teori, melainkan dalam rangka mengadakan refutasi atau
falsifikasi pada suatu teori.Pemikiran Popper mendasarkan diri pada
Rasionalisme kritis dan Empirisme-kritis yang dalam bentuk metodologinya
disebut "Deduktif-Falsifikatif" dengan realisasimetodologinya Tentang
Problem-Solving. Metode yang demikian itu mengisyaratkan perhatian Popper akan
pentingnya problem sebagai esensisubstansial pengetahuan manusia, karena
menurut pemikirannya, ilmu dimulai oleh problem dan diakhiri pula dengan
problem. Keberadaan(existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan
pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme yakni sebagai suatu yang
jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata
"positif". Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi
suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak
dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat
dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau
oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi
Positivisme selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan
dengan kemanfaatan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban (Koento
Wibisono, 1996; 38). Selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang
demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci,
atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari
pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi, Menurut pemikiran
Popper, kebenaran sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah bukan milik
manusia karena itu kewajiban manusia adalah
Mendekatinya
dengan cara tertentu. Kata cara tertentu menunjuk kepada ajaran Popper
mengenai kebenaran dan sumber diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan
tangkapan manusia terhadap objek melalui rasio dan pengalamannya, namun selalu
bersifat tentatif. Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus
dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan
cara pengujian "trial and error" (proses penyisihan terhadap
kesalahan atau kekeliruan) sehingga kebenaran se1alu dibuktikan melalui jalur
konjektur dan refutasi dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan
pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis. Pandangan Popper mengenai
kebenaran yang demikian itu bukan berarti mengisyaratkan bahwa dirinya
tergolong penganut Relativisme, karena menurut pemikirannya Relativisme sama
sekali tidak mengakui kebenaran sebagai milik dan tangkapan manusia terhadap
suatu objek. Popper mengakui bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan
kebenaran sebagaimana yang diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi
manusia, kebenairan selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka untuk
dihadapkan dengan pengujian. Ada sesuatu yang ada dalam pemikiran Popper,
dimana pada saat para
filsuf dan ilmuwan kontemporer
beramai-ramai mencampakkan metafisika, justru ia mengakui kebenaran metafisik,
dan dikatakannya bahwa kalimat ungkapanungkapan metafisik mengandung makna
(meaningful). Pernyataan tersebut diungkapkan dengan menunjukkan bukti-bukti
sejarah bahwa metafisika mampu memandu dan memberi aspirasi ke dunia
kefilsafatan dan keilmuan selama berabad-abad. Positivisme Comte dan
Neo-Positivisme tetap bersitegang mempertahankan pandangannya bahwa metafisika
sebagai omong kosong (non sense) karena kalimat-kalimat atau
ungkapan-ungkapan yang dikemukakanya tidak faktual dan tidak dapat diterima
oleh akal, dan karena itu maka tidak bermakna (meaningless). Metafisika di
dalam hukum tiga tahap Comte menempati tahap kedua untuk sampai kepada tahap
positif, maka bagi Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna
atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi untuk sampai
kepada kebenaran yang dimaksud (Bertens, K. , 1981: 171). Berbeda dengan
pandangan tersebut, Popper berpendapat bahwa yang menentukan kebenaran itu
bukan perlakuan verifikasi melainkan melalui proses falsifikasi dimana
data-data yang telah diobservasi, dieksperimentasi, dikomparasi dan di
generalisasi-induktif berhenti sampai di situ karena telah dianggap benar dan
baku (positif), melainkan harus dihadapkan dengan pengujian baru. Pendapat
Popper yang demikian itu karena ia bertumpu di atas anggapan dasarnya bahwa
suatu teori, hukum ilmiah atau hipotesis tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan)
secara positif, melainkan dapat disangkal (difalsifikasikan) (Alfons Taryadi,
1989: 27). Pandangan tersebut mengisyaratkan demikian besar dan mendasar
perbedaan pemikiran Comte dengan Popper (Positivisme dan Falsifikasionisme)
yang pada gilirannya mennyentuh persoalan pokok dunia keilmuan yakni demarkasi
antara yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo-science). Bagi Comte, garis
demarkasi tersebut adalah veriviable, sedangkan bagi Popper
adalah falsifiable, dan sebagai
konsekwensinya Comte menggunakan metode
ilmiah
Induktif-Verivikatif, sedangkan Popper menggunakan motode ilmiah Deduktif
Falsifikatif. Sebagai konsekwensi lanjut Comte menggunakan pola operasional
metodologisnya dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan
generalisasi-induktif, sedangkan Popper menggunakan tentatif Problem- Solving
dengan rumusan simboliknya P1 (Problem 1, TS (Tentatif-Solution), EE (Error-Elimination),
dan P2 (Problem 2), yakni langkah-langkah perumusan problem, sebagai penolakan
teori lama, usul penyelesaian, perumusan hukum, usaha refutasi, sampai kepada
hipotesis, teori, hukum ilmiah (walaupun masih selalu bersifat tentatif), dan
ujung muaranya timbul problem baru. Oleh karena landasan epistemologis dan
metodologisnya berbeda, maka pandangan kedua tokoh besar inipun berbeda
mengenai sosialitas, historisitas dan aplikasi-metodologisnya. Comte
berpendapat bahwa perkembangan dan kemajuan besifat "naturalistik-linier-eksklusif"
artinya semuanya berjalan secara alami, bergerak ke depan (sebagaimana spiral),
dan sifatnya tertutup. Pandangan yang demikian merupakan representasi dari
hukum tiga tahap yang dikemukakannya (tahap theologis, metafisis, dan positif).
Sedangkan menurut Popper, perkembangan dan kemajuan itu selalu bersifat "artificial-linier-inklusif"
artinya semuanya berjalan sesuai dengan alur pemikiran yang bersifat
logis-kritis (peran aktif subjek) tetapi selalu bersifat terbuka (kritis). Berpijak
di atas perbedaan pemikiran yang demikian itu, sebenarnya telah tercermin satu
pemikiran kefilsafatan yang juga berbeda secara mendasar yaitu Comte
(Positivisme) bertumpu di atas aliran Determinisme, sedangkan Popper (Falsifikasionisme)
berpijak di atas aliran Indeterminisme. Secara panjang lebar dan sangat
mengagumkan, Popper menjelaskan semuanya itu dalam tulisannya "Open
Society and Its Enemies" Volume I dan II dan "The Poverty of
Historicism" merupakan karya monumentalnya Berdasarkan atas
pandangan Comte yang "Naturalistik Deterministik itu, dalam hal
historisitas manusia ia juga beranggapan bahwa sejarah berjalan secara "linier-eksklusif"
artinya seluruh benda alam ini berjalan menurut hukum atom (law of
nature)sebagaimana bentuk spiral dan tertutup sehingga dapat dipantau secara
kuantitatif, sehingga jalan pikiran, sikap, dan pengalaman manusia berjalan
secara "natural-deterministik". Menurut pandangan Popper, pemikiran
yang demikian itu dapat digolongkan
ke dalam penganut Historisisme dengan pelopornya Plato, GWF Hegel, Karl Marx. Yang
dimaksud dengan Historisisme di sini adalah suatu aliran yang beranggapan bahwa
ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk meramalkan perkembangan sejarah dengan cara
menemukan rithme, pola, hukum, atau trend yang
menentukan jalannya sejarah (Popper,
1985: 3). Historisisme tampaknya berupaya untuk menerapkan metode ilmu pengetahuan
alam ke dalam ilmu-ilmu sosial dan sejarah. Metode ini memberikan penjelasan
(erklaren) dengan mengandalkan observasi-empirik dilanjutkan dengan berbagai
macam eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif
dengan menggabungkan berbagai
hukum-alam nantinya sampai kepada hukumhukum ilmiah (scientific laws,
natural law).
Menurut
pendapat Popper, upaya Historisisme untuk menerapkan metodemotode ilmu-ilmu
pengetahuan alam ke dalam ilmu-ilmu sosial dan sejarah pasti mengalami
kegagalan karena akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam melakukan
generalisasi, eksperimentasi berkenaan dengan kompleksitas fenomena-fenomena
sosial dan sejarah yang hukum kausalitasnya berbeda dengan kausalitas fisika
dan matematika. Perkembangan dan kemajuan dalam kaitannya dengan sosialitas dan
historisitas manusia ditentukan oleh perbuatanperbuatan manusia sendiri yang
bebas namun diwarnai dan dipengarui oleh sosiopsikologis dan sosio-cultural
yang melatarbelakanginya. Mengingat
kompleksitas permasalahan sosialitas
dan historisitas manusia yang demikian itu, maka orang kesulitan melakukan
diagnosis untuk melakukan prediksi yang tepat (pas). Hal-hal seperti itu
menyangkut masalah esensialisme-metodologis (Popper, 1985: 6). Perbedaan yang
sangat prisipiil antara metode ilmu-ilmu pengetahuan alam dengan ilmu-ilmu
humaniora terletak pada persoalan objek forma (point of view/sudut
pandang) dalam kaitannya dengan hubungan sebab akibat, dan persoalan penjelasan
(eksplanasi). Ilmu-ilmu pengetahuan alam membutuhkan penjelasan (erklaren),
sedangkan ilmu-ilmu pengetahuan sosial/budaya (humaniora) menggunakan
penghayatan/keterlibatan (verstehen) atau hermeneutik (interpretasi). Popper
menekankan sifat indeterminitas manusia bahwa historisitas manusia tidak
semata-mata ditentukan oloh hukum alam (law of nature), melainkan juga
dipengaruhi oleh perkembangan pikiran manusia sendiri. Sifat manusia yang
rasional, kritis dan terbuka inilah maka sifat historisitas manusia menjadi
"linier-inklusif" sebagai perwujudan sifat manusia ynng
indeterministik. Kesulitan besar yang terjadi apabila sosialitas dan
historisitas manusia secara metodologis dilakukan generalisasi-induktif untuk
memperoleh hukum manusia yang bersifat universal di dasarkan atas uniformity of
nature (kesatuan hokum alam). Kesulitan tersebut terkait dengan masalah waktu,
tempat, sejarah, dan latar belakang kultur. Menurut Comte, yang diperlukan
adalah hukum yang dapat menghubungkan zaman-zaman. zaman yang munculnya
berurutan, dan inilah yang dimaksud oleh Historisisme adanya hukum yang identik
antara sosiologi dan sejarah sebagaimana tesis yang dikemukakannya bahwa
ilmu-ilmu sosial tak daripada ilmu tentang sejarah (dalam arti sejarah
teoriritis). Dengan demikian, maka tugas pokok para sosiolog menurut faham ini
adalah memperoleh pengertian umum tentang tendensi-tendensi besar yang
mempengaruhi perubahan-perubahan sosial. Pada saat Comte mebicarakan
fisika-sosial dan perkembangannya, dengan itu ia membagi sosialitas manusia
menjadi dua bagian besar yaitu statika-sosial dan dinamika sosial yang diambil
dari teorinya tentang "Geometrical Fenomena of the Heavenly Bondles",
mendapat kecaman yang sangat keras dari Popper. Dikatakannya bahwa pembagian
yang didasarkan atas pembagian dalam ilmu alam yang diterapkan dalam ilmu-ilmn
sosial (sejarah), merupakan pembagian atas dasar pengertian yang salah (Koento
Wibisono, 1996: 51).
Berdasarkan
atas seluruh pembahasan penikiran Popper dan Comte (Falsifikasionisme dan
Positivisme), maka dapatlah diungkapkan tentang adanya perbedaan-perbedaan
pandangan kedua filsuf besar tersebut disamping telah ditemukan
kesamaan-kesamaannya. Perbedaan yang sangat umum dan mendasar pemikiran Comte
dan Popper adalah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Kuper (1987 : 92)
bahwa di saat dunia kefilsafatan dan keilmuan dikuasai oleh positivisme yang
serba induktivis, positivis, subjektivis, dan instrumentalis. Popper berpikir
sebaliknya yakni deduktivis, anti-positivis objektivis dan anti-instrumentalis.
Kedua filsuf ini mempunyai cita-cita yang sama dalam hal kebenaran, perkembangan,
dan kemajuan dalam dunia kefilsafatan dan keilmuan.
EVALUASI KRITIS
Beberapa
hal yang menunjukkan kekuatan dan kelemahan pemikiran kedua filsuf besar dan
ternama ini antara lain dari sudut latar belakag filsafat dimana zaman mereka
hidup yakni akibat negatif revolusi Perancis dan akibat perang Dunia I dan TI
menumbuhkan pemikiran mereka yang orisinal dan actual sekaligus petunjuk
kekuatan berpikir mereka. Sedangkan kelemahannya terletak pada tradisi berpikir
filosof dimana setiap alternatif dan solusi yang timbul dari setiap problem
selalu menimbulkan problem baru. Maka Falsifikasionalisme dan Positivisme
merupakan karya berpikir monumental, orisinal, dan aktual kedua filsuf
tersebut. Kemampuan Popper memunculkan problem dan kebenaran tentative sebagai
esensi-substansial dalam dunia kefilsafatan dan keilmuan menunjukkan kekuatan
berpikirnya sekaligus kelemahannya yakni membuat Popper terjebak dalam dunia
Relativisme. Sebaliknya Comte yang selalu mendasarkan dirinya di atas pemikiran
Empiristik-Positivistik membuat dirinya berpengaruh kuat dalam dunia
epistemologi dan metodologi sesuai dengan sifat alami manusia yang selalu cenderung
realistik, praktis, dan pragmatis, menunjuk kepada kekuatan berpikirnya.
Sedangkan kelemahannya terletak pada kelemahan-kelemahan dalam penggunaan
metode Induktif-Verifikatif dalam hal kualitas kebenaran yang sifatnya
probabilistik-generalistik. Selain dari itu, Pemikiran Popper yang bertumpu di
atas Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis dengan metodenya Falsifikasionisme
menunjukkan kekuatan dan orisinalitas berpikirnya, namun membawa kepada
kelemahannya yakni lebih banyak berputar-putar dalam analisis teoritis, dan
cenderung meremehkan program-penelitian induktif yang nota bene juga
mengungkapkan kebenaran faktual.
KESIMPULAN
Berdasarkan atas seluruh uraian
mengenai pemikiran Popper dan Auguste Comte, maka kesimpulan yang dapat
diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Pemikiran Popper bertumpu di atas
landasan epistemologi Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis dengan metodologi
Deduktif-falsifikatif serta
dengan rumus simboliknya PI, TS, EE,
dan P2 (Problem 1, Tentatif-Solution, Error-Elimination, dan Problem 2).
Tentatif Problem Solving mempunyai sifat objektif, rasional,
realistis, kritis, evolusioner, pluralistis, dan imajinatif. Adapun
pandangan Popper mengenai perkembangan, kemajuan, sosialitas, dan historisitas
manusia, bersifat "Artifisial (logis)-Linier-Inklusif (Indeterministik)".
2. Comte mendasarkan pemikiran
epistemologisnya kepada Empirisme- Positivistik dengan metodologinya
Induktif-Verifikatif serta andalan operasional-metodologisnya observasi,
eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif sehigga kebenaran yang
diperolehnya bersifat generalisasi-probabilistik dan positifistik. Sedangkan
pandangan mongenai perkembangan, kemajuan, sosialitas, dan historisitas manusia
bersifat "Natural-Linier-eksklusif (deterministik)".
3. Perbedaan yang sangat mendasar
antara pemikiran Popper dengan Comte selain landasan epistemologinya, juga
metodologinya. Di saat para filsuf dan ilmuwan dikuasai oleh pemikiran Comte
(Positivisme/Neo-Positivisme) yang induktivis, subjektivis, positivis, dan
instrumentalis, maka pemikiran Popper bersifat kontroversial yakni deduktivis,
objektivis (realis), anti-positivis, dan anti-instrumentalis. Permikiran Popper
mengenai perkembangan, kemajuan, sosialitas, dan historisitas manusia bersifat
"Artifisial (logis)-Linier-inklusif (indeterministis)", sedangkan
Comte pandangannya bersifat "Natural-Liniereksklusif (deterministik)".
Adapun kesamaan (titik temu) pandangan kedua filsuf ini bahwa keduanya
sama-sama mendambakan kebenaran sebagai tujuan pertama dan utama pengetahuan
manusia. Selain dari itu, keduanya sama-sama mendambakan perkembangan dan
kemajuan demi ilmu, kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Alfons Taryadi, 1989, Epistemologi
Pemecahan Masalah, PT Gramedia, Jakarta.
Bertens, K. , 1981, Filsafat Barat
Dalam Abad XX, Jilid I, PT Gramedia, Jakarta.
Dister, Nico Syukur, 1992, Descartes.
Hume, dan Kant, Tiga Tonggak Filsafat
Modern dalam Para Filsuf Penentu
Zaman, Muji Sutrisno, FX Budi
Hardiman F, (Editor), Kanisius,
Yogyakarta.
Flew, Anthony, 1983, Dictionary of
Philosophy, The Macmilan Press, New York.
Hamlyn, DW., 1967, Epistemology,
History of, dalam Encyclopedia of
Philosophy, Vol. 3, (Editor: Paul
Edward ), The Macmillan Company &
The Free Press, New York, Collier
Macmillan Ltd. London (hal. 8-38).
Koento Wibisono, 1996, Arti
Perkembangan menurut Positivisme Comte, Gadjah
Mada University Press, Cetakan ke-2,
Yogyakarta.
Kuper, Jessica. , 1987, Methode,
Ethics and Models, Roudledge & Kegan Paul
Ltd. London.
Popper, Karl R. , 1985, Gagalnya
Historisme. Terjemahan Nana Suprapto (judul
asli The Poverty of Historicism), PT
Temprint, Jakarta.
Ichwan S Azis, Karl Raimund Popper
dan Comte
261
Popper, Karl R., 1974, Conjectures
and Refutation, Harper & Row, New York,
London, Fifth Edition.
Popper, Karl R., 1966, The Open
Society and Its Enemies, Vol. I & II, Roudledge
& Kegan Paul Ltd. London, Fifth
Edition.
Pranarka, AMW, 1985, Sejarah
Pemikiran tentang Pancasila, Centre for
Strategic and International Study,
Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar