Sekarang, manusia telah mengalami kemajuan yang sedemikian pesat.
Modernitas manusia sudah tidak terelakkan lagi. Manusia dalam titik kemajuan
modernitas, telah dihantar pada sebuah situasi yang sedemikian krusial.
Modernitas telah membawa manusia pada kemajuan teknologi yang sedemikian pesat.
Teknologi modern sudah menjadi alat perpanjangan tangan manusia. Manusia
semakin dipermudah oleh sarana-sarana teknologi yang ada.
Bahkan, teknologi telah merasuki simpul-simpul kesenangan dan
simbolisasi manusia. Kehidupan manusia bisa sedemikian nyaman dan aman sehingga
manusia “bisa tidur nyenyak” dalam keterbatasannya sebagai manusia. Giddens
pernah menyatakan situasi semacam ini sebagai ontological security.
Modernitas, komunikasi dan teknologi modern telah melahirkan kisah kebebasan
beragama, kemajuan transpotasi, perkembangan teknologi informasi, keterjaminan
pangan, penerangan listrik, komunitas melting pot, dan masih banyak
lagi. Teknologi, komunikasi dan modernitas telah mencanangkan janji dan
ideologi kehidupan manusia yang lebih baik, membuat manusia semakin pintar,
lebih bahagia dan sebagainya1.
Tapi di lain pihak, modernitas, komunikasi dan teknologi tidak bisa
dipisahkan dengan aspek-aspek negatif yang dihasilkannya. Modernitas yang
menjanjikan kebahagiaan juga tetap meninggalkan jejak pengasingan manusia2.
Dalam akumulasi kemajuan teknologi yang ada, tetap dilihat sebuah proses di
mana manusia dibuat mabuk kepayang oleh modernitas, komunikasi dan teknologi
modern. Segala teknologi, industri komunikasi dan gaya hidup modern bisa
mengucilkan, memencilkan, mengaburkan dan menghancurkan martabat manusia.
Industri dan modernitas bisa membawa pada keterasingan manusia.
Maka diperlukan sebuah sarana untuk menjadi pisau analisa untuk
bisa mengkritisi dan melihat secara arif kemajuan demi kemajuan yang telah
manusia peroleh. Manusia boleh memanfaatkan kemajuan kehidupan modern, tapi
manusia tetap menjadi subjek dalam setiap proses kemajuan yang ada. Sejarah
ilmu pengetahuan pada umumnya, dan filsafat pada khususnya – mencatat bahwa
Teori Kritis yang berbasis para intelektual Sekolah Frankfurt Jerman telah
memberikan kontribusi yang cukup memadai dalam melihat dan memahami modernitas
manusia.
Kehadiran Max Horkheimer, Theodor. W. Adorno, Herbert Marcuse,
Jurgen Habermas dan kawan-kawan telah memberikan angin segar penuh dengan
kebijakan yang kritis atas seluruh fenomena modernitas yang menjanjikan tapi
juga kalau tidak hati-hati –menjerumuskan. Meski sumbangan Teori
Kritis begitu menyolok bagi orang modern, tetap saja tidak bisa
dipungkiri bahwa Teori Kritis tetap memuat keterbatasan-keterbatasan
epistemologis dan metodologis.
Untuk memahami secara lebih luas Teori Kritis, penulis mencoba
untuk membuat wacana kecil yang didasarkan dari buku Seyla Benhabib yang
berjudul “CRITIQUE, NORM, AND UTOPIA: A Study of The Foundations of
Critical Theory” (selanjutnya akan disebut CNU). Buku Seyla Benhabib
ini dipilih karena dalam buku ini termuat beberapa argumen inti pemahaman Seyla
Benhabib terhadap Teori Kritis. Argumentasi Seyla Benhabib begitu solid dan
komprehensif mengkritisi beberapa kata kunci dalam aliran Teori Kritis.
Penulis akan membagi tulisan dalam makalah ini dalam tiga bagian
inti. Bagian pertama penulis akan lebih banyak menulis tentang Teori Kritis
dari tinjauan historis dan beberapa istilah dan pemahaman kunci dalam Teori
Kritis. Bagian kedua, penulis mencoba untuk melihat secara ringkas pandangan
Seyla Benhabib beberapa aspek teknis dan metodologis penulisan buku. Bagian
ketiga, meski dalam bentuk yang sangat sederhana, penulis mencoba
merekonstruksi bangun argumentasi Seyla Benhabib mengenai dasar-dasar Teori
Kritis dalam buku tersebut. Pada bagian ini juga, penulis memberikan beberapa konsiderasi
kritis atas bangun argumentasi yang dibangun oleh Seyla Benhabib3.
ALIRAN FRANKFURT, Teori Kritis (critical theory):
Sejarah dan Asumsi-Asumsi Kunci
Aliran Frankfurt atau sering dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (die
Frankfurter Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari
lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para
pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai masyarakat
pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan
mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut. Aliran Frankfurt dipelopori oleh
Felix Weil pada tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika
aliran Frankfurt dipimpin oleh Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick
Pollock (ahli Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H. Marcuse
(murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August
Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya4.
Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik
masyarakat atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori
ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Khas pula
apabila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak
menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan
aliran-aliran besar filsafat – khususnya filsafat sosial pada waktu itu5. Sejak
semula, Sekolah Frankfurt menjadikan pemikiran Marx
sebagai titik tolak pemikiran sosialnya. Tapi yang perlu harus diingat
adalah bahwa Sekolah Frankfurt tetap mengambil semangat dan alur dasar
pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme
ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis
dialektisnya Georg William Friederich Hegel. Dengan sangat cerdas, sebagian
besar pemikir dalam sekolah Franfurt berdialog dengan Karl Marx, Hegel dan I.
Kant.
Jadi dapat dikatakan bahwa pemikiran dialektis materialis ekonomi
Karl Marx, pemikiran ideal rasional historis Hegel dan perspektif normatif
subjek otonom Immanuel Kant bukan merupakan barang-barang yang asing dalam
pemikiran Teori Kritis. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Max Horkheimer
menjabat direktur Sekolah Frankfurt, pelan-pelan ia memasukkan pemikiran
psikoanalisa Sigmund Freud ke dalam pemikiran sosial Teori Kritis (meskipun
dengan hal ini, pemikiran kritis menuai kritik tajam sebagai pengkhianatan
terhadap orthodoxi marxisme).
Lalu, bagaimana empat inspirasi intelektualisme memberikan
pendasaran asumtif di atas dengan pemikiran Teori Kritis ? Dapat dikatakan
bahwa Teori Kritis mendasarkan inspirasi refleksi sosial kritisnya pada
subjektivisme kritis Kant, dialektika Hegel, refleksi ekonomi politik Karl Marx
dan kritik ideologi psikoanalisa Freud.
Pertama, Sekolah Frankfurt menghargai
Immanuel Kant, karena Kant telah memberikan prioritas otonomi subjek dalam
membentuk pengetahuannya. Dengan demikian, pengertian kritis dapat dikatakan
sebagai pengembalian peran subjek dalam menentukan pengetahuan. Pengetahuan
tidak ditentukan oleh objek tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan tersebut.
Manusia tidak perlu lagi memahami alam sebagai semata-mata alamiah, tapi alam
dilihat sebagai kebudayaan, yaitu alam yang sudah dirasionalisasikan manusia.
Tapi masalahnya, Teori Kritis melihat bahwa Kant melupakan
pengetahuan manusia yang bersifat historis. Pengetahuan harus terikat pada
ruang dan waktu tertentu. Jika pengetahuan bebas dari seluruh kontekstualitas
kesejarahannya maka pengetahuan akan bersifat abstrak dan kosong. Faktor ekstra
rasio manusia tidak diperhitungkan oleh Kant, karena ketika faktor itu
diperhatikan pada saat itu pula filsafat Kant menjadi inkonsisten. Rasionalitas
Kant sangat bersifat formal. Formalitas pengetahuan Kant hanya sekedar
menyentuh pada soal syarat kebenaran tapi meleset jauh dari soal isi kebenaran
objektif. Hal inilah yang menyebabkan bahwa filsafat Kant tidak lagi mencukupi
pemikiran teori kritis yang mau lebih mengeksplorasi aktivitas pengetahuan
subjektif manusiawi. Itulah sebabnya juga, Teori Kritis mulai menengok pada
pemikiran Idealisme Hegel sebagai suplemen teoritis yang dipakai sebagai cara
menutupi kelemahan epistemologi kritisisme Kant.
Kedua, Kelemahan Kant yang dilihat oleh
Teori Kritis adalah realisasi otonomi rasio manusia. Teori otonomi rasio
manusia mengalami kemandegan. Konsistensi epistemologi Kant justru menempatkan
rasio tetap subjektif tapi tidak serta merta objektif. Seharusnya, rasio harus
semakin meneguhkan atau mengafirmasikan diri dalam bentuk Roh yang Sempurna.
Teori Kritis lebih melihat dialektika Hegel sebagai usaha dimensi rasionalitas
manusia yang menyejarah. Setidaknya ada empat unsur pemikiran dialektika yang
diambil oleh Teori Kritis sebagai dasar pemikirannya. Keempat unsur itu adalah
proses dialektika sebagai sebuah totalitas, realitas dilihat sebagai prinsip working
reality, pikiran dialektis sebagai pikiran yang berperspektif
empiris-historis, dan pikiran dialektis dalam kerangka berpikir praksis dan
teoritis. Ada sebagian pemikir kiri melihat bahwa Sekolah Frankfurt adalah
simbol kebangkitan kaum Hegelian Kiri abad XX (Martin Jay, pp. 42).
Masalahnya, pemikiran kesadaran Roh Absolut dan prinsip berpikir
dialektis juga tetap tidak begitu adekuat untuk mendukung rancang bangun
pemikiran Teori Kritis. Hegel memang bisa merealisasikan pemikiran subjektif
apriori Kant dan mendamaikan realitas – kesadaran, tapi asumsi Hegel mengenai
kesadaran Roh Absolut justru membawa pemikiran rekonsiliatif Hegel ini hanya
berlaku dalam pemahaman saja. Kompleksitas kesadaran dan realitas yang
dirangkum dalam kesadaran Roh, tidak serta merta mengakibatkan realitas konkret
Roh itu sendiri. Teori Kritis justru melihat bahwa filsafat Hegel bersifat
transfiguratif belaka. Dalam filsafat Hegel, penderitaan-penindasan-dominasi
telah diabstraksikan pada tingkat yang lebih tinggi. Abstraksi ini membuat
problematika manusia hanya dipahami atau dilampaui (aufheben). Padahal,
problematika manusia justru tetap tinggal menjadi kenyataan dan tetap ada. Hal
ini yang tidak bisa dijelaskan secara memadai oleh Hegel. Oleh sebab itu, Teori
Kritis mencoba mengeksplorasi pemikiran Karl Marx dalam usaha menjelaskan dan
merefleksikan kenyataan sosial dan sejarah manusia.
Ketiga, kemacetan pemikiran Hegel atas
kesadaran teoritis dengan praksis sosial menjadi sebab utama Teori Kritis mulai
meninjau pemikiran filsafat sosial Karl Marx. Teori Kritis berinspirasi pada
kekuatan materialisme dialektis ekonomi politik Karl Marx yang mencoba untuk
membangun sikap kritis bahwa kesadaran harus bersifat mengubah realitas sosial.
Dari inspirasi kritik kapitalisme Marx dalam bukunya yang berjudul “Das
Kapital”, Teori Kritis menurunkan makna kritik dalam pengertian emansipatorik.
Pada dasarnya, proyek emansipasi sosial Marx lebih ingin menyatakan bahwa
filsafat tidak hanya merefleksikan kerangka determinisme ekonomi tapi juga
membuka kerangka kekuatan untuk melakukan pembebasan manusia dan penindasan
dengan memanfaatkan determinisme ekonomis.
Teori Kritis mengambil pengertian emansipatoris sebagai proyek
utama seluruh teori dari Sekolah Frankfurt. Tentu saja pengertian kritik dalam
perspektif Marx adalah pengertian kritik yang selalu mengarah pada tindakan
praksis. Maka pembebasan yang diproyekkan oleh Teori Kritis lebih
merupakan pendasaran pembebasan dan pemerdekaan dalam seluruh
bidang kehidupan manusia atas praksis kapitalistis.
Persoalan menjadi muncul ketika hukum baja prediksi Karl Marx
justru meleset dalam situasi kapitalisme modern. Konteks sejarah pendirian
Teori Kritis memperlihatkan bahwa era kapitalisme monopolis telah menggusur
dengan sukses kapitalisme liberal. Prediksi Marx yang menyatakan bahwa
kapitalisme mengalami kebangkrutan tidak terbukti. Kapitalisme justru dengan
sukses mengalami “rekonfigurasi” sehingga kapitalisme bisa beradaptasi dengan
situasi modern.
Hal tersebut menjadikan Teori Kritis menyatakan bahwa ternyata
faktor utama perubahan sosial tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi
ada faktor-faktor lain, seperti politik – sosiologi dan kebudayaan yang turut
juga mempengaruhi dinamika sosial masyarakat dan individu. Adagium ini semakin
diperkuat dengan realitas sosial modern yang sangat bersifat teknologistik.
Dengan demikian, kembali lagi permasalahannya terletak pada konsep rasio
manusia. Teori Kritis melihat bahwa konsep rasio manusia modern justru sangat
bersifat instrumental. Segi instrumentalisasi rasio manusia dilihat sampai pada
pengaruh atas isi individu yang paling dalam, yaitu kesadaran psikis manusia.
Fenomena psikologi manusia yang berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan
menjadikan pemikiran Marx tidak cukup untuk menjelaskan fenomena kapitalisme
modern yang semakin kompleks.
Keempat, Teori kritis mencoba untuk melihat
pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud untuk memberikan kontribusi pemikiran
tentang energi psikologi atas seluruh proses sosial manusia. Pemikiran Freud
semakin signifikan untuk dipakai Teori Kritis ketika refleksi Marx juga
menyangkut soal ideologi. Dalam praksis masyarakat modern, makna ideologi
sebagai beragam. Tapi yang menjadi jelas adalah bahwa ideologi menyangkut dan
mempengaruhi cara berpikir manusia6. Namun kritik ideologi Marx kurang
memberikan alasan secara persis mengapa kesadaran langsung ditentukan oleh
kenyataan (Fromm, 1974). Ini berarti ada “sesuatu yang hilang” pada ruang
bangunan atas yang sarat ideologi dengan basis yang bersifat sosio-ekonomis
dalam pengertian Karl Marx. Ada persoalan yang nantinya oleh Marcuse sebagai
“kesadaran palsu”.
Teori Kritis melihat bahwa psikoanalisa cukup memberikan penjelasan
yang memadai dalam melihat missing link antara bangunan atas dan
basis-nya Karl Marx. Sekolah Frankfurt melihat integrasi antara Freud dan Marx
tentang naluri psikologis yang terangkum dalam usaha rasionalisasi sosial bisa
menjelaskan proses ideologisme dalam seorang individual – dalam tataran mikro –
dan masyarakat – dalam tataran makro sosial kolektif. Latar pengaruh pemikiran
Freud dalam karya Teori Kritis terlihat dalam penyelidikan empirik Teori Kritis
“ Studien über Autorität und Famili” (Sindhunata, 1983).
Setelah mengetahui beberapa asumsi dasar dalam Teori Kritis, maka
sebetulnya ada beberapa sasaran yang menjadi proyek utama Teori Kritis pada
seluruh bangunan teori dan filsafatnya. Aliran Frankfurt ingin memperjelas
secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri dan melihat
akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan.
Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertolak dari pemahaman
rasio instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur
dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang
keliru tentang rasionalitas.
Sasaran atau objek kritik rasionalitas ini melandaskan pemikiran
rasionalitas pada masa pencerahan. Rasionalitas pada masa pencerahan adalah
rasionalitas yang membebaskan manusia dari keterbatasan manusia atas
cengkeraman alam dan pengembangan tatanan sosial yang melaksanakan kebebasan
dan keadilan. Sasaran pencerahan rasionalitas adalah pembebasan manusia atas
perbudakan alam dan manusia dikembalikan sebagai tuan atas alam serta dirinya
sendiri. Teori Kritis melihat pencerahan sebagai proses dialektika.
Masalahnya adalah Aufklarung yang sesungguhnya tidak
berhasil menghilangkan mitos. Pada titik tertentu, Aufklarung malah
menjadi mitos. Dalam Era Pencerahan, mitos menjadi rasional. Mitos mengandung
representasi dari yang Illahi. Aufklarung mewarisi pendapat Francis
Bacon tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus bersifat operasional.
Sikap tersebut akhirnya diteruskan oleh positivisme dan pragmatisme yang tidak
percaya akan kebenaran dalam dirinya sendiri. Kebenaran disebut kebenaran
apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi ilmu pengetahuan justru
menjadi tujuan pada dirinya sendiri (Horkheimer, 1973 selanjutnya buku Dialectics
of Enlightment (selanjutnya akan disebut DoE).
Selain bahwa pencerahan mengalami kegagalan maka kritik yang lain
dari Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern
pasca industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami satu dimensi7 (Marcuse,
One Dimensional Man, 1964 selanjutnya buku Marcuse akan disebut ODM).
Hal ini tampak dalam aspek sehari-hari, ilmu pengetahuan, seni, filsafat,
sistem politik dan lainya. Dalam masyarakat modern, baik manusia maupun
realitas, direduksi menjadi sesuatu yang sangat fungsional, terlepas dari
otonomi. Manusia modern kehilangan prinsip kritis. Konsep kritis dan kebenaran
harus dikembalikan pada tataran normatif, mengatasi taraf empirisme dan
formalitas logika Aristotelian. Kebenaran normatif bersifat dialektis dan emansipatorik.
RANCANG BANGUN Seyla Benhabib DALAM BUKU
CRITIQUE, NORM AND UTOPIA
Seyla Benhabib (seorang perempuan) adalah seorang pemikir teori
kritis. Dia merupakan intelektual sistematik yang mempelajari seluk beluk Teori
Kritis. Dia adalah penerima bea siswa Alexander von Humboldt dari juni 1979
sampai Desember 1981 pada Max Planck Institutes fur Erforschung der Leben. Seyla
Benhabib belajar langsung di bawah bimbingan Jurgen Habermas dan C.F. von
Weizsacker. Seyla Benhabib menulis buku ini dengan membagi dua bagian besar
buku yang mempunyai isi yang berbeda. Meski berbeda tapi dua bagian besar itu
tetap memperlihatkan hubungan yang sangat erat.
Bagian pertama buku ini lebih banyak berisi pandangan dan
perspektif Seyla Benhabib atas konsep kritik dalam karya Hegel berikut
transformasi pengertian kritik dalam pandangan Karl Marx. Dalam bagian kedua,
Seyla lebih banyak menyatakan transformasi konsep kritik dalam pengertian Hegel
dan Marx diradikalisasikan oleh Sekolah Frankfurt, khususnya dalam pandangan Horkheimer
dan Adorno. Pada bagian ini, Seyla Benhabib juga menambahkan refleksi kritik
akal budi fungsionalis dalam masyarakat pasca-kapitalis yang dikembangkan oleh
Jurgen Habermas.
Seyla Benhabib dalam buku ini lebih kuat dalam penalaran
penelusuran tematik yang dibicarakannya dengan menyertakan konteks sosial,
historis, konseptual dari ragam teori yang dibicarakan.
Seyla Benhabib berkata:
…in general, to understand a philosophical
argument and to evaluate its cogency, it is necessary to know the questions and
puzxles which such an argument proposes to answer. To understand these
questions and puzzles, in turn, it is necessary to reconstruct those social,
historical dan conceptual contexts which form the horizon of inquiry of
different theories. (CNU, hal. x)
Tujuan utama penulisan buku ini adalah pengembalian dan penyusunan
kembali “ketidakjelasan-ketidakjelasan” dalam proyek-proyek Teori Kritis
terutama dalam konteks perkembangan teoritis yang ada8.
Seyla Benhabib memulai diskusi proyek Teori Kritis dengan mencoba
untuk menarik kilas dasar metode kritik imanen Hegelian. Dalam wacana filsafat
modern, metode imanen sering disebut dengan metode penelitian filsafat non
kriteriologis. Metode non kriteriologis ini menarik untuk dibahas karena
peneliti diperkenankan untuk mengkritisi argumen kontra dengan memperlihatkan
inkonsistensi internal atau kontradiksi internal yang ada dalam setiap teks
proposisi filosofis yang dikritisi. Hegel mengkritisi teori hak kodrat dengan
mengkritisi aspek internalnya. Sedemikian juga halnya, Marx mengkritisi teori
hak kodrat modern John Locke dan Kant sebagai hal yang preskriptif dan
ideologis.
Bab kedua memperlihatkan dasar temuan Hegelian atas makna kerja dan
prinsip emansipasi. Seyla Benhabib lebih condong memprioritaskan tulisannya
pada tulisan Hegel yang berjudul “The phenomenology of Spirit”. Secara
umum, tulisan pada bab II ini lebih banyak mendiskusikan filsafat subjek.
Filsafat subjek tidak ditolak tapi justru dipertegas melalui tulisan Marx dalam
Manuscripts 1844. Model tindakan sosial manusia dan dasar rasionalitas
kritik sangat diperlukan dalam seluruh pemahaman Teori Kritis. Model kerja
tersebut sebetulnya telah diperkenalkan oleh Hegel dalam proses eksternalisasi
manusia, tapi hal itu diubah oleh Karl Marx sebagai produksi9.
Tindakan kerja manusia ini juga akan menjadi tema utama dalam Teori Kritis.
Pengembangan lebih lanjut filsafat subjek yang akhirnya menempatkan kerja
sebagai unsur vital dalam Teori Kritis selain dalam pemikiran Marxisme Ortodox.
Bab keempat buku Seyla Benhabib lebih banyak berisi argumentasi
Seyla Benhabib melawan makna tindakan dan filsafat subjek. Dalam
argumentasinya, Seyla Benhabib mencoba membagi dua dimensi inti argumennya,
yaitu dimensi klarifikasi filosofis atas konsep tindakan, interpretasi dan
otonomi. Dimensi lainnya adalah dimensi kritik Seyla Benhabib atas model kerja
dari tindakan dan filsafat subjek berikut implikasinya terhadap teori sosial
yang ada. Kritik Seyla Benhabib ini terpecah dalam soal analisis Marx atas
kapitalisme, diagnose Aliran Frankfurt atas masyarakat state-capitalist dan
teori Habermas atas masyarakat kapitalisme lanjut.
Tataran wacana terakhir akan menyatakan pandangan Seyla Benhabib
tentang pertanyaan: apa yang bisa dipelajari dari kritik Hegel atas teori Kant
dalam konteks pengembangan program etika komunikatif dan otonomi ? Keberatan
Hegel atas prinsip universalibitas Kant menjadi pegangan teks terakhir ini.
Dalam kaitan ini, prinsip kritik Hegel ini akan dielaborasikan dengan prinsip
keadilan prosedural John Rawls sebagai penganut neo-kantisme (Rawls, 1974)10.
Konsep norma dan utopia selalu mengandaikan politik pemenuhan dan
politik transfigurasi. Dalam hal ini, Seyla Benhabib melihat bahwa politik
pemenuhan dan politik transfigurasi juga mempengaruhi pola pandangan Teori
Kritis dalam seluruh perkembangannya. Hal-hal di atas merupakan beberapa hal
pokok terutama ketika kita melihat beberapa konsep kunci yang diperlihatkan
oleh Seyla Benhabib. Seyla Benhabib sebagai seorang penulis tidak hanya sekedar
menulis mengenai apa saja dasar-dasar Teori Kritis tapi secara jeli juga
memberikan penilaian kritis terhadap Teori Kritis itu sendiri. Itulah sifat
kritik imanen yang dikembangkan terus oleh Seyla Benhabib dalam bukunya.
BEBERAPA WACANA KUNCI ARGUMENTASI Seyla Benhabib:
Kritik, Norma Etis dan Utopia
Setelah kita melihat rancang bangun buku yang ditulis oleh Seyla
Benhabib, maka penulis akan mencoba untuk mendalami beberapa argumentasi yang
dia bangun secara sistematis. Dalam bukunya ini, Seyla Benhabib banyak
mengandaikan kemampuan pembaca untuk berdialog dengan para pemikir Jerman baik
dalam era Aufklarung maupun era Modern.
Wacana Pratama: KRITIK
Berbicara tentang Teori Kritis tidak bisa dipisahkan dengan wacana
kritik. Kekuatan Teori Kritis terletak pada kemampuan elaborasi kritik dalam
situasi dan kondisi tertentu. Sudah sejak awal Teori Kritis mengambil sikap
kritis terhadap ilmu pengetahuan dalam hal ini teori tradisional dan
masyarakat. Teori Kritis secara lengkap memberikan pendasaran kritik pada krisis
teori tradisional yang melulu mempertahankan status quo yang ada, teori yang
memisahkan teori dan praksis – tidak berkecimpung dalam penerapan praktis
sistem teoritis konseptualnya. Oleh sebab itu, penolakan Teori Kritis terhadap
preskriptivisme dan filsafat sosial tradisional merupakan warisan Hegel.
Kritik imanen menjadi sangat krusial dalam seluruh pembangunan
sebuah teori yang akhirnya memerdekakan manusia. Kritik imanen adalah kritik
yang pertama dan utama atas dogmatisme dan formalisme pengetahuan yang ada.
Kritik imanen yang dikembangkan oleh Teori Kritis adalah kritik dogmatisme
positivisme yang mendasarkan pada pemikiran August Comte dan Francis Bacon,
juga kritik atas formalisme deduktif Aristotelianisme yang kaku. Kritik imanen
mau mengatakan bahwa isi dan bentuk, yang apa adanya dan seharusnya, harus
direfleksikan pada dasar kesadaran yang terikat pada bentuk kehidupan.
Seyla Benhabib mengatakan bahwa Hegel mengkritisi bifurkasi (entzweiung)
masyarakat modern yang tercermin melalui teori hak kodrati dari titik pijak
utopia yang retrospektif. Menurut Marx, bifurkasi lebih bersifat prospektif:
penyatuan yang universal dengan yang partikular. Dalam dua kasus tersebut,
masyarakat modern dan teori hak kodrati dikritik dalam dalih atas nama idea kebersatuan.
Kritik dalam pengertian Hegel dipengaruhi oleh keberadaan polis. Sementara itu,
kritik Marx dilihat dalam kondisi medan sosial yang antagonistik. Seyla
Benhabib melihat bahwa proses berpikir bifurkasi – de-diferensiasi Hegel dan
Marx untuk konteks di atas tetap tidak dapat dipisahkan dari pandangan
kehidupan etis dan politis yang de fakto antagonistik dalam masyarakat modern.
Seyla Benhabib berpendapat bahwa pemahaman yang luas warisan Hegel dan ajaran
Marx di atas harus dipahami dalam kritik yang lebih konkret. Maka Seyla
Benhabib memberikan beberapa tesis pelengkap atas kritik yang ada. Pertama
adalah fakta kritik Hegelian atas teori preskripsi normatif yang ada dan memang
terjadi perubahan mendasar dari pemikiran praktis Aristotelian menuju filsafat
praksis. Maka, Seyla Benhabib menambahkan konsep intersubjektivitas dan transubjektivitas11
dalam wacana subjek Hegelian. Tidak berhenti di situ saja, Seyla Benhabib
juga memberikan kritik tajam atas pandangan Marx tentang emansipasi.
Menurutnya, emansipasi harus dibagi dalam dua pengertian yang jelas: pemenuhan
dan transfigurasi.
Terminologi pemenuhan (fulfillment) dan transfigurasi adalah
konsep yang berbeda dengan emansipasi. Terminologi pemenuhan dan transfigurasi
lebih bersifat substantif dan normatif. Sifat yang sama juga dialami oleh term
intersubjektivitas dan transubjektivitas. Terminologi pemenuhan lebih mengacu
pada nilai Marxian sementara transfigurasi lebih mengacu pada ide Hegel.
Intersubjektivitas dan transubjektivitas lebih bersifat konstitutif pada negara
modern. Dalam masyarakat seperti inilah, wilayah tindakan dilembagakan dan
dilaksanakan melalui hukum yang terbuat secara tidak sengaja oleh agen sosial
atau hanya bisa diselidiki oleh subjek transubjektif.
Menurut Seyla Benhabib, Teori Kritis bermaksud untuk
mendemistifikasikan kekuatan domain sosial tersebut atas kehidupan individu,
dan mengembalikan seluruh interpretasi dan tindakan sosial pada masing-masing
individu itu sendiri. Seyla Benhabib berpendapat bahwa kelemahan pandangan Marx
dalam hal ini lebih terletak pada term re-approsiasi. Re-approsiasi lebih
bermakna ketika filsafat subjek dikembalikan lagi pada posisi sosialnya dari
pada hanya sekedar mengedepankan intersubjektivitas.
Seyla Benhabib mengembangkan argumentasi intersubjektivitas dan
transubjektivitas. Tesis Seyla Benhabib adalah diskursus intersubjektivitas dan
transubjektivitas menjadi pokok masalah dalam pembahasan Teori Kritis. Hegel
dan Marx tidak mengasumsikan kerja sebagai karya individu yang terisolasi. Kerja
selalu bersifat sosial. Oleh sebab itu, kerja sebagai proses realisasi diri
tidak dipahami sebagai kerja individual tapi komutatif atau kolektif. Hegel dan
Marx ternyata justru bersifat transubjektif dalam melihat kerja kolektif .
Kritik Hegelian dan keberatan atas teori hak kodrati merupakan
kesatuan bersama pada tingkatan kehidupan etis. Menurut Seyla Benhabib, Hegel
melihat sejarah sebagai keniscayaan sosial, etika dan idealisme nilai. Filsafat
sebetulnya dipakai untuk mengurangi bifurkasi dalam kehidupan manusia. Tapi
masalah dalam epistemologinya, Hegel tidak memberikan pandangan yang utuh atas
seluruh proses manusia, termasuk di dalamnya cara pandang, tata nilai,
interpretasi dan tindakan sosial. Kritik anthropologis Marx terhadap Hegel
lebih memanusiakan filsafat sejarah Hegel. Tapi tetap saja, kritik Marx
merupakan model normatif atas emansipasi. Ketidakakurasian kategori Marxian
atas objektifikasi untuk mengkarakterisasikan aktivitas komunikatif dan
kegagalan paradigma Hegel atas nilai eksternalisasi membawa pengaruh yang tidak
sedikit dalam pemahaman Teori Kritis. Objektifikasi dan eksternalisasi
didasarkan pada model teleologis intensional tindakan manusia.
Wacana II: Norma dan Transformasi Kritik
Dalam wacana selanjutnya, Seyla Benhabib mencoba mencatat tingkat
radikalisasi dan transformasi kritik Hegel dan Marx yang dilakukan oleh Max
Horkheimer dan Theodor Adorno. Dalam kaitan dengan kritik rasionalitas, Teori
Kritis jelas telah mengambil sikap dalam empat karakter utama, yaitu Teori
Kritis selalu bersifat historis. Perkembangan Teori Kritis selalu mengacu pada
situasi masyarakat yang konkret dan berpijak dan tidak berjarak dari realitas,
Teori Kritis disusun dalam keterlibatan aktif dan historis dari para
pemikirnya, Teori Kritis tersusun dalam proses kecurigaan kirtis terhadap
masyarakat aktual, yang bermaksud untuk menelanjangi manipulasi-manipulasi
ideologi – ketimpangan dan kontradiksi dalam masyarakat. Teori Kritis, terutama
ditujukan untuk menjadi teori yang bertujuan praktis. Teori Kritis mengambil
sikap untuk tidak netral.
Seyla Benhabib pada bagian ini lebih mau mendiskusikan posisi Teori
Kritis dalam seluruh konteks transformasi kritik Hegelian dan Marxian dalam
perspektif Teori Kritis. Keterbatasan dan kelemahan metodologis epistemologi
Hegel dan Karl Marx memperlihatkan perlunya penjernihan makna kritik dan norma
sosial. Kelemahan kedua filsuf itu terletak pada ketidakmampuan kedua filsuf
tersebut membumikan proses kritik imanen dan pencerahan yang sebetulnya menjadi
cita-cita teori yang mereka buat. Dengan demikian perlu ada eksplorasi
transformasi proyek kritik dengan menggunakan konsep kritik imanen, kritik
defetishsasi dan kritik sebagai diagnosa krisis. Pola dominan yang dipunyai
Teori Kritis dalam pembahasan ini adalah bahwa kritik Hegelian dan Marxian
ditransformasikan menjadi kritik atas rasio instrumental12.
Inti kritik rasio instrumental Horkheimer, menurut Seyla Benhabib,
adalah bahwa telah terjadi penjerumusan akal budi objektif dengan mengemukakan
akal budi yang semata-mata instrumental. Usaha manusia untuk semakin dikuasai
oleh rasionalitas justru membuat manusia masuk pada kehancuran diri (self-destruction).
Untuk itu, manusia mengusahakan akal budi yang murni subjektif. Akal budi
subjektif adalah akal budi yang mengarah pada manfaat.
Akal budi subjektif, dalam pandangan Seyla Benhabib, selalu
mengandaikan dan melanggengkan self-preservation13, di mana akal
dimanfaatkan untuk menjadi alat perhitungan kemungkinan-kemungkinan tercapainya
tujuan subjek14 (Horkheimer, 1964). Lawan akal budi subjektif (instrumental)
adalah akal budi objektif. Seyla Benhabib melihat bahwa Horkheimer berpendapat
bahwa akal budi
objektif mempunyai wewenang terhadap manusia. Rasio objektif tidak
netral. Dengan demikian, Horkheimer menurut Seyla Benhabib mengandaikan otonomi
moral dan reflektivitas moralitas yang tangguh dalam seluruh proses pemilihan
tindakan sosial yang ada. Akal budi instrumentalis pada dasarnya netral karena
rasio instrumental bisa digunakan sebagai tujuan di luar dirinya sendiri15 (Sindhunata,
1983).
Pada proses selanjutnya, manusia tidak lagi percaya pada konsep
nilai dalam rasio objektif. Akal budi diformalitaskan. Formalisasi akal budi
memudahkan terjadi instrumentalisasi akal budi manusia. Hal ini terjadi ketika
akal budi manusia dimasukkan dalam proses kapitalisasi kolektif dalam
perspektif ekonomi politik Karl Marx. Pergeseran demi pergeseran mengubah
manusia dalam kungkungan ideologi di mana manusia tidak bisa lagi kritis dengan
keadaan sekitarnya bahkan terhadap dirinya sendiri. Masalahnya, Seyla Benhabib
mencatat adanya ambivalensi posisi Teori Kritis dalam kritik rasio
instrumentalis. Di satu pihak, Teori Kritis memang menangkap maksud pemikiran
Weberian dalam proses rasionalisasi tapi di lain pihak Teori Kritis juga menerapkan
utopia rasionalisasi kemasyarakatan dan kebudayaan.
Berkaitan dengan konteks di atas, Seyla Benhabib melihat bahwa
konsep self-preservation mengimplikasikan cara berelasi, keperluan dan
keinginan diri sebagai sesuatu yang tidak berubah dan ahistoris. Meskipun
demikian konsep self-preservation tetap memperhatikan kondisi sosial,
sejarah. Otonomi manusia mangandaikan tindakan reflektif. Tindakan reflektif
ini akan dinilai oleh prinsip etis sosial yang terkait dengan latar belakang
kolektif yang ada. Menurut Seyla Benhabib, Horkheimer mempertahankan wacana
etika formalisme Kantian. Pada dasarnya, Teori Kritis mengembangkan etika
material atas nilai. Horkheimer mencoba memperlihatkan dan mengeksplorasi
seperangkat norma yang seharusnya memberikan makna kehidupan manusia apa
adanya.
Maka dapat dikatakan bahwa dalam seluruh wacana II ini dapat
diperlihatkan bahwa terjadi kompleksitas baru dalam pandangan Horkheimer,
Adorno, Marcuse dan lainnya. Tetap terjadi ketegangan antara filsafat yang
praksis dengan pemikiran yang memperlihatkan momen emansipasi tidak terbatas
lagi dalam aktivitas konkret individu tapi juga dalam tataran nilai yang
mempengaruhi rasio dan sistem nilai orang atau individu.
Dalam Negative Dialectics, Adorno mencoba membuka untuk
melihat secara jelas posisi premis kesejarahan dalam seluruh pengalaman manusia
individual. Harus ada posisi sosial yang memberikan pengaruh pada pemikiran
identitas. Kritik filsafat anthropologi Teori Kritis tidak bisa dilihat lagi
sebagai filsafat kesejarahan. Konsep otonomi tidak bisa dilihat sebagai
kategori aktualisasi diri. Otonomi seharusnya dilihat dalam perspektif
anthropologi filosofis atau filsafat sejarah. Yang jelas problem
otonomi manusia harus dilihat dalam dua tahap yang jelas, yaitu
tahapan bahwa otonomi melampaui soal preservasi diri.
Wacana III: Transformasi Kritik dan Tranformasi Etika Komunikatif
Dalam pandangan Seyla Benhabib, di sana-sini terjadi kebuntuan
dalam Teori Kritis dalam memahami proses kritik sosial. Perkembangan filsafat
sosial sejak zaman Marx sudah disibukkan dengan usaha mempertautkan teori dan
praksis. Soalnya adalah bagaimana pengetahuan manusia tentang masyarakat dan
sejarah itu bukan hanya sebuah kontemplasi, melainkan mendorong praksis
perubahan sosial. Praksis bukan merupakan tingkah laku buta atas naluri belaka,
melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Jadi praksis diterangi
oleh kesadaran rasional.
Seyla Benhabib melihat bahwa Habermas sudah meneliti bahwa Hegel
menjadi pelopor tradisi ilmu sosial kritis untuk memahami praksis bukan hanya
sebagai “kerja” tapi juga merupakan proses “tindakan komunikatif”. Praksis
dilandasi oleh kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam aktivitas
menaklukkan alam dengan kerja, melainkan juga dalam interaksi intersubjektif
dengan bahasa sehari-hari. Jadi, seperti halnya kerja membuat orang berdistansi
dari alamnya, bahasa memungkinkan distansi dari persepsi langsung sehingga baik
kerja maupun bahasa berhubungan tidak hanya dengan praksis, tetapi juga dengan
rasionalitas.
Seyla Benhabib juga melihat bahwa Habermas tidak hanya berpendapat
bahwa paham ilmu kritis juga menampakkan kebuntuan dengan kepentingan
emansipatorisnya. Sesungguhnya teori ini ingin membantu manusia untuk semakin
otonom dan dewasa. Otonomi kolektif berhubungan dengan pencapaian konsensus
bebas dominasi. Konsensus bisa dicapai dalam masyarakat yang reflektif dan
berhasil melakukan komunikasi secara memuaskan. Tentu saja paradigma komunikasi
meliputi klaim kesahihan yang terdiri dari klaim kebenaran, klaim ketepatan,
klaim otentisitas dan klaim komprehensibilitas (Habermas, 1983).
Dalam wacana ini, Seyla Benhabib berpendapat bahwa Habermas
memberikan tawaran wacana komunikatif untuk “menambal” kelemahan Teori Kritis
dalam menghadapi masalah modernitas. Teori Kritis, meski demikian,
memperlihatkan rasio yang dikondisikan secara kontekstual. Teori Kritis tetap
memperlihatkan pencerahan tidak bisa diatasi dengan meninggalkan kompleksitas
sosial modern tapi dengan pencerahan lebih lanjut. Menurut Seyla Benhabib,
Habermas tetap konsisten mengatakan bahwa negasi tetap atas rasio yang berpusat
pada subjek dengan rasio yang dipahami sebagai tindakan komunikatif.
Rasio komunikatif merupakan sikap mengobjektifkan yang membuat
subjek pengetahuan memandang dirinya sebagai entitas-entitas di dunilai luar
tidak lagi terprevilegikan. Hubungan ambivalensi dari subjek kepada dirinya
dihancurkan oleh intersubjektivitas yang memungkinkan. Rasio tidak
mengasimilasikan diri pada kekuasaan tapi lebih langsung atau tidak langsung
berasimilasi pada klaim kebenaran, ketepatan normatif, otentisitas dan
keselarasan estetik. Seyla Benhabib melihat bahwa titik tolak Habermas atas
rasionalisasi selalu menghasilkan tiga segi. Segi pertama adalah reproduksi
kultural yang menjamin bahwa dalam situasi-situasi baru yang muncul, tetap ada
kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan
konsensus. Segi kedua adalah integrasi sosial yang menjamin bahwa dalam situasi
baru, koordinasi tindakan tetap terpelihara dengan sarana hubungan antar
pribadi yang diatur secara legitim. Segi ketiga adalah sosialisasi yang
menjamin bahwa dalam situasi baru, perolehan kemampuan umum untuk bertindak
bagi generasi mendatang tetap terjamin.
Refleksi:
Wacana Alternatif
Setelah membaca buku Seyla Benhabib ini ada beberapa konsiderasi
reflektif yang mungkin perlu diungkapkan sebagai usaha proses pendalaman isi
reflektif buku yang dibaca. Pertama, salah satu maksud praktis dari Teori
Kritis adalah membantu proses refleksi diri masyarakat atas proses pembentukan
diri masyarakat itu. Proses rasionalitas adalah proses menuju otonomi dan
kedewasaan. Dalam hal ini Teori Kritis berhutang besar pada “patron sosiologi”
Max Weber atas sumbangan tentang proyek rasionalisasi masyarakat. Pada titik
yang sama juga, Teori Kritis juga mengalami kebuntuan teoritis atas seluruh
proses rasionalitas. Teori Kritis melalui Habermas dan Seyla Benhabib mencoba
untuk membuka dimensi rasionalitas dengan rasio fungsionalis yang tercermin
dalam tindak komunikasi. Teori Kritis mengkritisi modernitas ketika mereka mau
mengabsolutkan rasio instrumental dalam bentuk kekuasaan dan kemakmuran
ekonomis. Dalam tindak komunikatif, ada bentuk rasionalitas lain yang perlu
dibangun, yaitu rasionalitas praktis moral. Tapi hal itu tidak pernah bisa
berkembang. Dalam hal ini proyek emansipatoris mengalami hambatan yang luar
biasa dalam hal tersebut. Sejauh mana rasionalitas praktis-moral mendapat nilai
untuk dijadikan konsensus sosial yang terbuka bagi masyarakat.
Seyla Benhabib tidak melihat secara komprehensif potensi krisis
yang dialami oleh masyarakat. Seyla Benhabib secara jelas mencoba mengikuti
Profesornya, yaitu Habermas, bahwa ancaman krisis yang paling mencolok adalah
krisis sosio-kultural. Meminjam istilah Habermas, krisis legitimasi dimulai
dengan krisis motivasi. Dalam pengalaman empiris, Seyla Benhabib mengikuti
Habermas menunjukkan bahwa krisis legitimasi negara telah menguras energi
utopianya untuk membangun masyarakat emansipatoris. Utopia atas kerja sosial
memang habis. Tapi apakah utopia sudah lenyap dari sejarah ? Kiranya justru
sekarang utopia bergeser pada arah komunikasi sosial. Teori Kritis mencoba
untuk menghitung dan memprediksi kritik, tataran norma dan utopia pada
masyarakat kapitalisme lanjut.
Masihkah perjuangan sosial harus diteruskan dan disuarakan ?
Tetapkah energi pemikiran kritis tetap aktual bagi masyarakat sekarang ?
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arato, T.W. 1976, The Essential Frankfurt School Reader, Oxford,
Basil Blackwell
Benhabib, Seyla, 1986, CRITIQUE, NORM, AND UTOPIA: A Study of
The Foundation of Critical Theory, New York, Columbia University Press
Bertens, K., 1983, Filsafat Barat Abad XX: Inggris dan Jerman, Jakarta,
Gramedia.
Habermas, J, 1979, Communication and The Evolution of Society, London,
Heinemann
Hardiman, Budi, F., 2004, KRITIK IDEOLOGI: Menyingkap
Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta, Penerbit Buku
Baik
_________________, 1993, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu,
Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta,
Kanisius
Horkheimer, M., 1973, The Dialetical of Enlightment, London,
Allen Lane
Jay, M., 1973, The Dialectical Imagination, London,
Heinemann
Kolakowski, L., 1978, Main Currents of Marxism: Its Origin,
Growth and Dissolution, Vol III, Oxford, Clarendon
Magnis-Suseno, Franz, 1992, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta,
Kanisius
Marcuse, 1964, One Dimensional Man: Studies in The Ideology of
Advanced Industrial Society, London, Routledge
Sindhunata,
1983, Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta, Gramedia
CATATAN AKHIR
1 Ideologi modernitas lebih melihat bahwa kemajuan tidak terelakkan.
Manusia bergerak maju tanpa pernah ada kata mundur. Linearitas perkembangan ini
menandakan dinamika linear kebudayaan manusia. Manusia adalah penguasa alam.
Manusia adalah pencipta teknologi. Segala daya upaya dilakukan untuk
mendapatkan situasi macam itu.
2 Keterasingan
manusia dalam kemajuan teknologi sudah dimulai ketika manusia berorientasi pada
teknologi itu sendiri. Keterasingan manusia dikaitkan dengan proses
industrialisasi yang semakin menempatkan kerja manusia tidak dihargai. Kerja
bukan dilihat sebagai ekspresi kemanusiaan tapi justru diubah menjadi komoditas
kapitalistik belaka.
3 Meskipun demikian, penulis juga akan memberikan
konsiderasi-konsiderasi kritis pada setiap bagian yang dibahas dalam makalah
ini.
4 Dari keragaman tokoh Teori Kritis yang beragam pula induk
pengetahuannya, maka terlihat jelas dari sejak awal aliran Frankfurt merupakan
aliran pemikiran sosial yang interdisipliner.
5 Filsafat abad ke 20 diwarnai oleh empat aliran besar filsafat:
fenomenologi dan Eksistensialisme, Neo Thomisme, Filsafat Analitis dan Aliran
Neo Marxisme. Teori Kritis termasuk pada aliran yang terakhir.
6 Menurut Marx, ideologi itu adalah ilusi atau kesadaran yang palsu.
Ideologi tidak menggambarkan situasi nyata mnusia secara apa adanya. Ideologi
menggambarkan kenyataan yang terdistorsi. Bukan artinya bahwa ideologi keliru
menggambarkan kenyataan, tapi bahwa ideologi menggambarkan kenyataan dan
interpretasi yang dibalik. Apa yang tidak baik dan tidak wajar dikatakan dan
diusahakan sedemikian rupa sehingga tampak baik dan wajar.
7 Pandangan
manusia satu dimensi ini lebih banyak direfleksikan oleh Herbert Marcuse.
Menurutnya, masyarakat modern adalah masyarakat yang tidak sehat. Masyarakat
satu dimensi bersifat represif dan totaliter. Artinya manusia modern tidak bisa
lepas dari penguasaan kapitalisme dan peraturan logika kapitalistik
8 ……..From the
beginning there was a lack of clarity concerning the normative foundation of
Marxian social theory. This theory was not meant to renuew the ontological
claims of classical natural law nor to vincate the descriptive claims on
nomological sciences; it was supposed to be a critical social theory but only
to the extent that it could avoid the naturalistic fallacies of implicitly
evaluative theories. Marx believed he had solved this problem with a coup de
main, namely, with a declaredly materialist appropriatiion of Hegellian logic.
Of course, he did no have to occupy himself especially with this task; for his
practical research pruposes he could be conten to take at its word and to
criticize immanently…… (Jurgen Habermas)
9 Kerja menurut
Hegel memang dipahami sebagai ekspresi eksternalisasi roh yang ada dalam diri
manusia. Pendapat itu semakin diradikalkan oleh Marx yang menyatakan bahwa
kerja merupakan ekspresi total manusia untuk memproduksi supaya dirinya tidak
teralienasikan.
10 Prinsip otonomi
dan subjektivitas menjadi hal yang penting dalam seluruh bangunan teori
keadilan John Rawls. Prosedur keadilan ditarik dalam tingkat universal.
11 Intersubjektivitas
dan transubjektivitas ini berkaitan dengan kesadaran yang menjadi bagian pokok
argumentasi Hegel. Seyla Benhabib memberikan presuposisi dalam menanggapi hal
tersebut, yaitu kesatuan model tindakan, model subjek yang transubjektif,
sejarah sebagai cerita transubjektif dan identitas subjektivitas yang
terkonstitutif. Argumen pokoknya adalah bahwa empat presuposisi ini terkandung
dalam seluruh pembahasan filsafat subjek.
12 Sebetulnya
tradisi rasio instrumental berangkat dari pemikiran Max Weber yang menyatakan
ada dua rasionalitas, yakni rasionalitas instrumental yang formal dan rasional
pilihan yang bersifat substantif dan strategis.
13 Konsep self-preservation
juga mengandaikan pemahaman yang jelas atas otonomi manusia dalam sense
moral yang ada dan dianut. Tujuan preservasi diri adalah fakta pencapaian
kemandirian, kesesuaian hukum alam yang ada. Pemikiran Hobbes, Locke dan
lainnya akan mengarahkan preservasi diri dalam proses rasionalitas subjektif
14 Tradisi self-preservation
semakin dikukuhkan oleh tradisi empirisme positivistis.
15 Horkheimer
menyejajarkan pendapat tentang perbedaan akal budi instrumental dengan akal
budi objektif dengan pendapat Weber tentang perbedaan rasionalitas fungsional
dengan rasional substansial. Rasionalitas fungsional merupakan reduksi
rasionalitas manusia pada tingkat instrumentalnya. Rasionalitas substantif
adalah rasionalitas yang kaya makna dalam dirinya.
0 komentar:
Posting Komentar