Judul di
belakang Islam dan Marxisme dalam catatan ini diambil dari salah satu karangan
Mohamad Hatta. Sosialisme yang akan dibahas pula bukan hanya sosialisme Marxis,
tetapi juga faham ekonomi lain yang lebih relevan bagi masyarakat Indonesia
yang sebagian besar penduduknya menganut suatu agama, khususnya Islam.
Khususnya seperti dikemukakan Bung Hatta di Indonesia dan Muhammad Husein
Heikal di Mesir.
Pemikiran
sosialisme seperti inilah yang mendasari gagasan Ekonomi Terpimpin Bung Hatta
dan Mubyarto. Mereka berpendapat bahwa tatanan ekonomi terbaik yang mesti
dijalankan di Indonesia haruslah berdasarkan keadilan sosial dan kian jauh dari
praktek kapitalisme liberal.
Sebagai faham
ekonomi, sosialisme mulai berkembang pada akhir abad ke-18 dan 19 M di Eropa.
Ketika itu tatanan masyarakat feodal mulai runtuh sebagai akibat revolusi
industri, yang memunculkan kelas penguasa baru di bidang ekonomi, yaitu kaum
kapitalis. Sosialisme muncul sebagai reaksi terhadap kapitalisme.
Faham ini mulai
muncul di Inggeris dan Perancis menjelang Revolusi Perancis, dan mencapai
puncaknya pada akhir abad ke-19 dengan munculnya tokoh-tokoh besar seperti
Proudhon, Karl Marx, Engels, Bakunin, Karl Kautsky, Plekhaniv, Lenin dan lain
sebagainya.
Walaupun faham
sosialisme atheis seperti yang diajarkan oleh Marx dan Lenin ditolak oleh para
cendikiawan dan ulama sebagai faham kemasyarakatan dan ekonomi yang
bertentangan Islam, sejumlah cendekiawan Muslim sendiri memandang bahwa dalam
Islam sebenarnya terkandung ajaran “semacam sosialisme”. Ajaran ini tidak hanya
terpendam sebagai cita-cita, tetapi malah telah dipraktekkan pada masa hidup
Nabi dan khalifah al-rasyidin. Di antara cendikiawan Muslim abad ke-20 yang
mengemukakan hal ini ialah Mohamad Hatta dan Muhammad Husein Heikal.
Persoalannya:
relevankah sosialisme sebagai faham ekonomi dan kemasyarakatan bagi kita di
Indonesia sekarang? Ajaran sosialisme seperti apa yang diajarkan Islam? Mengapa
para pemuka Islam itu menolak faham sosialisme komunis atau Marxisme Leninisme?
Latar Belakang
dan Penganjur Sosialisme
Sosialisme
muncul sebagai faham ekonomi dan kemasyarakatan pada akhir abad ke-18 dan awal
abad ke-19 M di Eropa. Revolusi industri yang terjadi di Inggris telah
memunculkan kelas baru dalam masyarakat, yaitu kaum borjuis yang menguasai
sarana produksi karena penguasaan modal bertimbun di tangan mereka. Di
sebelahnya sebagian besar masyarakat kota hidup sebagai buruh yang tenaga
kerjanya diperas dan semakin miskin. Kekayaan yang dihasilkan karena kerja
keras kaum pekerja ini hanya bisa dinikmati oleh kaum borjuis kapitalis yang
jumlahnya tidak besar. Dari waktu ke waktu kesenjangan sosial dan ekonomi
semakin ketara. Ketika itulah individualisme tumbuh.
Gereja sebagai
lembaga sosial keagamaan yang masih berpengaruh ketika itu bersekutu pula
dengan kaum kapitalis dalam mengeruk kekayaan yang sebenarnya merupakan hak
rakyat banyak, karena merekalah sebenarnya yang bekerja keras. Sebagai akibat
dari pesatnya perkembangan invidualisme dan kapitalisme ini hukum yang berlaku
hanyalah hukum rimba. Undang-undang dibuat semata-mata demi kepentingan
golongan borjuis (bandingkan dengan undang-undang yang dbuat VOC dan pemerintah
Hindia Belanda di Indonesia, dan juga dengan keadaan sekarang). Secara ringkas,
sosialisme merupakan reaksi terhadap keadaan ini
Sosialisme,
seperrti telah dikemukakan, mula-mula muncul sebagai sebagai reaksi terhadap
kondisi buruk yang dialami rakyat di bawah sistem kapitalisme liberal yang
tamak dan murtad. Kondisi buruk terutama dialami kaum pekerja atau buruh yang
bekerja di pabrik-pabrik dan pusat-pusat sarana produksi dan transportasi.
Sejumlah kaum cendekiawan muncul untuk membela hak-hak kaum buruh dan
menyerukan persamaan hak bagi semua lapisan, golongan dan kelas masyarakat
dalam menikmati kesejahteraan, kekayaan dan kemakmuran. Mereka menginginkan
pembagian keadilan dalam ekonomi Di antara tokoh-tokoh awal penganjur
sosialisme dapat disebut antara lain: St. Simon (1769-1873), Fourisee (1770-1837)
, Robert Owen (1771-1858) dan Louise Blane (1813-1882). Setelah itu baru muncul
tokoh-tokoh seperti Proudhon, Marx, Engels, Bakunin dan lain sebagainya.
St. Simon
dipandang sebagai bapak sosialisme karena dialah orang pertama yang menyerukan
perlunya sarana-sarana produksi dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah/negara.
Gagasannya merupakan benih awal lahirnya sistem Kapitalisme Negara (state
capitalism). Fourie, tokoh sosialis berikutnya, adalah orang pertama di Eropa
yang merasa prihatin melihat pertarungan tersembunyi antara kaum kapitalis dan
buruh. Dia mengusulkan pada pemerintah Perancis agar membangun kompleks
perumahan yang memisahkan kelompok-kelompok politik dan ekonomi, yang dapat
menampung empat hingga lima ratus kepala keluarga. Ia menganjurkan hal ini
untuk menghentikan pertarungan dan pertentangan ekonomi antara kaum kapitalis
dan buruh. Pandangan ini tidak mendapat tanggapan positif, sedangkan ajaran St
Simon banyak mendapat pengikut serta mendorong lahirnya Marxisme di kemudian
hari.
Robert Owen,
seorang ahli ekonomi yang berpandangan sama dengan Fouriee. Tetapi pandangan
kurang bulat dibanding pandangan para pendahulunya. Ia mengajarkan pentingnya
perbaikan ekonomi seluruh lapisan masyarakat dan penyelesaian masalah yang
timbul antara kaum kapitalis dan buruh. Caranya melalui berbagai kebijakan yang
dapat mengendalikan timbulnya kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial. Ia
sendiri pernah menjadi manager sebuah pabrik. Pengalamannya sebagai manager
sangat mempengaruhi pemikiran ekonominya. Sekalipun demikian ide-idenya dianut
banyak orang di Inggeris.
Louis Blanc
adalah tokoh yang revolusioner dan ikut membidani meletusnya Revolusi Perancis.
Menurutnya salah satu kewajiban negara ialah mendirikan pabrik-pabrik yang
dilengkapi dengan segala sarana dan bahan produksi, termasuk
peraturan-peraturan yang mengikat. Selanjutnya jika pabrik itu telah berjalan
dengan baik diserahkan pengurusannya kepada para buruh dan pegawainya untuk
mengatur dan mengembangkannya secara bebas. Organisasi dan managemen pabrik
seluruhnya dibebankan kepada buruh, begitu pula kewenangan memajukan produksi,
mencari pasar dan pembagian keuntungan. Sosialisme yang dianjurkan Louis Blanc
disebut sosialisme kooperatif. Menurutnya kapitalisme akan hilang dengan
sendirinya apabila gagasan-gagasannya itu diwujudkan. Sayang, apa yang
diserukannya itu kurang mendapat tanggapan khalayak. Bahkan ia ditentang keras
oleh para politisi dan ekonom. Pada tahun 1882 di Inggeris berdiri kelompok
Fabian Society yang menganjurkan sosialisme berdasarkan gilde.
Tetapi pada
akhir abad ke-19 sosialisme dan berbagai alirannya yang berbeda-beda, mulai
mendapat penerimaan luas di Eropa. Ini disebabkan karena mereka tidak hanya
melontarkan ide-ide dan mengembangkan wacana di kalangan intelektual dan kelas menengah,
tetapi juga terutama karena mengorganisir gerakan-gerakan bawah tanah yang
radikal dan bahkan revolusioner.
Pierre J.
Proudhon (1809-1865) adalah penganjur sosialisme generasi kedua di Perancis
setelah generasi St. Simon dan Louis Blanc. Tetapi berbeda dengan para
penganjur sosialisme lain yang cenderung menghapuskan hak-hak individual atas
sarana-sarana produksi, termasuk hak petani untuk memiliki tanah garapan,
Proudhon justru bersikeras memperjuangkan dipertahankan hak-hak individual
secara terbatas, termasuk hak petani untuk memiliki dan menggarap tanahnya,
sebagai juga hak pengusaha kecil untuk mengembangkan usahanya. Jadi ia menolak
ide kolektivisme penuh dari kaum sosialis radikal seperti Marx. Bagi Marx hak
individual harus dihapus, termasuk hak pemilikan tanah. Di samping itu kaum
tani bukan golongan yang penting dalam masyarakat yang bergerak menuju
masyarakat sosialis sejati.
Marx
berpendapat demikian karena faham dialektika materialismenya, yang menganggap
bahwa sejarah bisa berubah hanya disebabkan oleh faktor-faktor produksi dan
penguasaan sarana produksi oleh kaum proletar yang selama ini diperas oleh kaum
kapitalis. Perbedaan pandangan antara Prodhoun dan Marx inilah yang membuat
gerakan sosialis internasional mengalami perpecahan pada akhir abad ke-19, dan
sosialisme pun pecah ke dalam berbagai aliran seperti sosialisme demokrat,
komunisme ala Marx, sosialisme anarkis ala Bakunin, Marxisme-Leninisme,
sosialisme ala Kautsky , sosialisme Kristen, dan lain-lain.
Kecuali itu
ketidak berhasilan sosialisme memperoleh pengikut yang signifikan pada masa
awal, tidak pula berhasil melakukan perubahan mendasar dalam kehidupan
masyarakat terutama disebabkan karena para penganjurnya berkampanye di kalangan
kaum elite dan intelektual. Khususnya dengan cara menggugah sentimen moral
mereka, padahal mereka “khususnya kaum borjuis kapitalis” dengan semangat
individualismenya yang tinggi tidak mengacuhkan masalah-masalah moral dan
implikasi moral bagi tindakan-tindakan merejka. Rasa keadilan jauh dari pandangan
hidup mereka. Yang penting menimbun kekayaan sebanyak-banyaknya dengan
“menghalalkan segala cara”.
Karl Marx
berbeda dengan penganjur sosialisme lain sebelumnya. Ia tidak membangun
gerakan. Ia tidak memberi ampun sama sekali terhadap hak-hak individual dalam
pemilikan sarana produksi. Ia berpendapat bahwa kekayaan individual bukan
sesuatu yang terhormat dan dapat mengangkat martabat atau harkat seseorang.
Karena dalam kenyataan ia diperoleh dengan cara memeras habis tenaga dan
menindas hak-hak kolektif rakyat, terutama kaum yang merupakan lapisan terbesar
dalam masyarakat industrial. Kakayaan individual ityu justru membuat jatuhnya
martabat dan kehormatan seseorang. Karena ia diperoleh dengan jalan yang tidak
bermoral, tanpa rasa malu dan rasa bersalah. Melalui korupsi, penipuan dan
berbagai penyelewengan terhadap hukum.
Dehumanisasi
yang dilakukan oleh kaum borjuis dan kapitalisme mencapai puncaknya pada akhir
abad ke-19. Marx lantas menulis bukunya Manifesto Komunis, Das Kapital dan
lain-lain. Dia menyerukan agar kaum buruh sedunia bersatu di bawah panji-panji
perjuangan “menghapus kelas”. Ia yakin bahwa kedudukan seorang buruh sebenarnya
jauh lebih mulia dibanding seorang kapitalis. Alasannya karena buruhlah yang
secara langsung memproduksi kekayaan bagi semua orang.
Melalui
seruannya Karl Marx berhasil membangkitkan semangat kaum buruh untuk berjuang.
Kini mereka sadar bahwa upah yang mereka teria sebagai imbalan jerih payahnya
itu lebih mulia dibanding penghasilkan kaum kapitalis yang diperoleh dengan
cara-cara yang jahat dan tidak berperikemanusiaan. Di tangan Marx, sosialisme
menjadi semacam “kepastian sejarah” dan pisau kritik yang tajam terhadap
perkembangan masyarakat industrial dan kapitalisme liberal yang menghalalkan
segala cara. Kemunculan gagasannya sangat tepat waktu, yaitu ketika wabah
kapitalisme sedang merajelala di Eropa dan imperialisme Eropa menguasai
negeri-negeri Asia dan Afrika. Wabah ini menimbulkan penyakit di mana-mana
berupa kerusakan tatanan sosial, kehidupan moral dan keagamaan, kezaliman dan
kedurjanaan. Dengan demikian sosialisme revolusioner dan komunisme yang lahir
dari ajaran Karl Marx adalah buah simalakama dari perkembangan kapitalisme
sendiri.
Tetapi ada pula
bentuk sosialisme lain yang sangat radikal. Seandainya saja tidak muncul ajaran
sosialisme yang dikemukakan oleh Karl Marx dan para pengikutnya, tentulah
sosialisme yang lain inilah yang merajelala. Sosialisme yang disebut terakhir
ini berasal dari ajaran Bakunin, tokoh sosialis yang pernah bersahabat dengan
Marx dan sama-sama berguru kepada Proudhon. Bakunin (1814-1876) mengajarkan
faham sosialisme yang tidak kalah radikal dengan berasaskan pengacauan dan
anarkisme. Dia menyerukan agar rakyat yang tertindas melakukan tindakan apa
saja untuk membuat perubahan. Baginya setiap orang memiliki kebebasan untuk
berbuat seperti itu. Manusia tidak perlu tunduk pada norma-norma sosial, dan
undang-undang serta hukum positif yang berlaku dalam masyarakat.
Gerakan anarkis
terutama berkembang di Rusia pada abad ke-19, tanah kelahiran pencetusnya. Dari
faham ini tumbuh berbagai gerakan radikal dan atheis revolusioner yang
menghalalkan segala cara. Novel-novel Dostoyevski seperti Notes from the
Undergrpund, Devil atau The Possessed, Karamasov Brothers, dll. banyak
memberikan gambaran tentang gerakan dan kejiwaan kaum anarkis dan sosialis
revolusioner Rusia abad ke-19.
Sosialisme Marx
Sosialisme Marx
pada mulanya merupakan sebuah aliran pemikiran ekonomi, namun kemudian
disebabkan oleh tuntutan sejarah lantas berkembang menjadi aliran pemikiran
kemasyarakatan dan ideologi politik yang revolusioner. Pada mulanya pula,
dibanding dengan ajaran yang dikemukakan oleh Robert Owen dan Bakunin, ia
dipandang sayap moderat dari sosialisme. Namun ia segera menjadi revolusioner
setelah daripadanya timbul gerakan-gerakan buruh dan sosialisme internasional.
Sebagai aliran
pemikiran ekonomi Marxisme menggariskan tatanan kehidupan ekonomi tanpa kelas,
yang di dalamnya kepemilikan sarana produksi bersifat kolektif. Tujuan itu bisa
dicapai dengan menghapuskan pemilikanpribadi dan mendistribusikan kekayaan
beserta sumber-sumbernya kepada rakyat banyak secara merata. Pandangan ini
kemudian diperluas menjadi sistem nilai yang mencakup semua aspek kehidupan.
Apabila tidak demikian maka perubahan sosial dan ekonomi tidak bisa digerakkan.
Ajaran Marx berubah secara dramatik menjadi ideologi politik dan kenegaraan
yang revolusioner pada akhir abad ke-19, dan mencetuskan timbulnya
gerakan-gerakan revolusioner, khususnya di Rusia. Apalagi setelah diolah oleh
Lenin yang mengharuskan adanya sebuah partai yang memperjuangkan ide-ide
komunisme Marx.
Karena
pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan revolusi itulah Karl Marx menyusun
suatu falsafah kehidupan untuk menopang faham sosialismenya di bidang ekonomi
dan politik. Sebagaimana telah diketahui, sosialisme Marx menumpukan perhatian
pada masalah kebendaan dan perut. Dengan demikian ajarannya termasuk ke daam
faham materialisme dengan memasukkan masalah sosial ekonomi, yaitu masalah
pertarungan kelas dan suprlus nilai, ke dalamnya. Masalah yang bersifat
kerohanian tersingkir jauh dari ajarannya. Pandangannya itu kemudian dikenal
sebagai faham materialisme historis atau materialisme dialektik (dialectical
materialism).
Ia mengecam
sosialisme Fourier dan Robert Owen sebagai utopia karena tidak menunjukkan
jalan bagaimana mencapainya. Marx sendiri sebenarnya juga tidak menunjukkan
jalan, kecuali memberikan dasar-dasar ilmiah dan menjelaskan syarat-syarat
dalam mencapai masyarakat sosialis.
Arah kebendaan
dan kecenderungan sosialis pemikiran tokoh ini sangat dipengaruhi oleh
perjalanan dan pengalaman hidupnya yang pahit, khususnya semenjak ia
menyelesaikan kuliah di Universitas Berlin. Ia mendalami pemikiran-pemikiran
falsafah yang sedang naik daun pada masanya, khususnya falsafah Hegel. Ia
mendalami teori-teori ekonomi David Ricardo dan Adam Smith, serta pemikiran
politik Voltaire dan Rousseau. Ia tertarik dengan pemikiran sosialisme yang
berkembang di Perancis. Semua itu mempengaruhi jalan pikirannya yang radikal.
Jika hendak dirumuskan ada unsur pokok dalam kehidupan ekonomi yang begitu
menarik perhatian Marx untuk dipecahkan: (1) Materialisme dialektik yang
menggerakkan perubahan sosial dalam sejarah umat manusia; (2) Pertarungan kelas
antara kaum kapitalis dan kaum buruh atau proletar; (3) Surplus nilai dalam
ekwnomi.
Ia pernah
tinggal di Paris dan berguru pada Proudhon. Dia pernah menjalin persahabatan
dengan Bakunin di kota ini, walaupun kemudian bertikai disebabkan perbedaan
pandangan dalam menyusun strategi perjuangan. Tetapi ia juga bertemu dengan
pemuda bernama Engels, seorang anak pengusaha besar, yang mengagumi ide-idenya
dan sekaligus menjadi sahabat seperjuangan dalam mengembangkan sosialisme. Ia
menyusun buku bersama Engels, yang membantu membiayai hidupnya selama tinggal
di Inggeris dan menyusun buku-bukunya yang monumental seperti Manifesto
Komunis. Karya monumentalnya Das Kapital ditulis dalam bahasa Jerman.
Materialisme
dialektik (dialectical materialism) adalah faham yang menyakini bahwa asas
kehidupan sepenuhnya bersifat kebendaan. Karena itu sejarah juga berkembang dan
berubah disebabkan faktor-faktor dialektik dari hal-hal yang bersifat
kebendaan. Karenanya itu teori Marx juga disebut historical materialism atau
teori kebendaan sejarah.
Kata-kata
dialectics atau dialectical berasal dari kata Yunani dialeces, yang artinya
ialah mematahkan argumentasi lawan dengan menggunakan pendapat yang
bertentangan. Ini dianggap sebagai cara terbaik dalam mencapai kebenaran atau
hakekat dari suatu kebenaran. Kaum sosialis menggunakan istilah ini untuk
memahami rahasia alam dan kekuatan-kekuatan yang tersembunyi di dalamnya serta
saling bertentangan. Di masa modern, untuk pertama kalinya istilah dialektik
digunakan kembali oleh Hegel untuk menguraikan faham “idealisme dialektik”nya.
Dalam pandangan
Hegel, wujud alam ini merupakan akibat dari adanya gerakan evolusi dari ide-ide
yang saling bertentangan (thesa dan antithesa), tetapi dalam perkembangan
puncaknya kedua hal yang saling bertentangan itu berpadu menjadi satu (sinthesa).
Dalam pemikiran benda-benda atau segala sesuatu yang tampak di atas dunia ini
tidak mempunyai eksistensi yang sebenarnya sebab semua itu hanyalah bayangan
atau gambaran dari ide-ide yang tersembunyi. Semua itu maujud disebabkan proses
dialektik dari ide-ide yang bekerja di belakang realitas.
Walaupun Marx
mendasarkan falsafahnya pada idealisme Hagel, tetapi ia membalikkannya menjadi
materialisme dialektik. Menurut Marx yang hakiki bersifat kebendaan, bukan yang
bersifat kerohanian seperti ide. Perarungan dua unsur kekuatan dalam diri benda
ditafsir oleh Marx sebagai gambaran pertarungan benda untuk mempertahankan
kekekalannya dalam alam. Marx mengingari kewujudan roh atau kehidupan yang
tidak dapat ditangkap oleh indera, karena baginya benda adalah dasar dari
segala kehidupan. Di sini ia mengikuti pandangan Lametrie d Feurbach, dua
filosof materialis yang hidup pada masa Hegel.
Berdasarkan
faham materialisme dialektiknya itu dia menganalisa kejadian-kejadian sejarah .
Dia menganggap benda sebagai asal-usul terjadinya sesuatu. Dari sinilah lahir
thesisnya tentang “pertarungan kelas” (class struggle) dalam masyarakat
industrial di Eropa pada abad ke-19 M. Menurut Marx, dalam setiap tatanan
ekonomi, apabila perkembangan dan kemajuannya telah sampai pada fase tertentu,
maka akan muncul kekuatan produksi. Kekuatan baru ini akan bertarung melawan
kekuatan produksi yang lain, yang muncul bersamaan dengannya. Perkembangan
tersebut pada saatnya akan melahirkan suatu kelas baru dalam masyarakat, yaitu
setelah tatanan ekonomi yang sedang berjalan itu lenyap. Setelah itu akan
terjadi perubahan yang bersifat integral, yaitu munculnya peraturan baru tetang
kepemilikan yang menghambat kemajuan yang dicapai sebelumnya. Sudah dapat
dipastikan bahwa perubahan ini akan menamatkan riwayat golongan yang sebelumnya
menguasai sarana produksi dan kekayaan yang ditimbulkan bekerjanya
sarana-sarana produksi. Golongan ini, yaitru golongan borjuis dan kapitalis,
telah ditakdirkan oleh sejarah dialektik kebendaan untuk menguasai dan menikmati
kekayaan yang dihasilkan oleh kelas pekerja yang teraniaya, tertipu dan
tertindas.
Dibayangi oleh
rasa takut akan lahirnya revolusi atau perubahan radikal yang membalikkan nasib
mereka, maka mereka membuat tipu muslihat dengan segala macam cara agar tidak
muncul perlawanan dari kaum yang selama ini mereka jadikan sapi perahan untuk
menimbun harta. Kaum penindas diwakili oleh pemilik modal atau kapitalis
borjuis (thesa), sedang lawannya (antithesa) ialah kaum buruh yang disebut
sebagai proletar (rakyat jembel, atau rakyat jelata). Pertempuran atau
pertarungan tersebut akan meletus jika kaum proletar mulai menyadari hak-haknya
yang terampas, dan menyadari pula bahwa sejarah dapat bergerak ke arah yang
berlawanan melalui gerakan revolusioner. Ia akan terus berkembang apabila mampu
mendorong masyarakat memilih kepada kekuatan yang mana mereka akan memihak.
Kemenangan yang akan diraih oleh pemenangnya tidak lain merupakan akibat dari
tatanan ekonomi yang berlaku pada masa itu. Jadi munculnya suatu masyarakat
baru yang bercorak sosialis merupakan sinthesa dari pertarungan kelas kaum
kapitalis borujis vs kaum proletar.
Demikianlah
secara ringkas dapat dikatakan bahwa sosialisme bagi Marx adalah buah yang
tumbuh dari perkembangan masyarakat dalam sejarah di bawah pengaruh hukum
dialektik. Ia tidak dicipta, tetapi merupakan kejadian yang tidak dapat
dielakkan sebagai akibat dari pertentangan dua kelas yang dilahirkan sejarah,
yaitu kaum borejuis dan proletar. Dalam beberapa risalahnya dia menjelaskan
bahwa sosialisme yang dikemukakan tidaklah bertujuan membuat suatu konstruksi
masyarakat dalam suatu sistem yang bentuknya sudah selesai, melainkan
menyelidiki suatu perkembangan sejarah yang menimbulkan kelas yang saling
bertentangan dan kemudian mempelajari faktor-faktor yang membuat pertentangan
itu lenyap. Engels mengatakan bahwa komunisme yang diajarkan Marx berisi uraian
tentang syarat-syarat yang mesti dipenuhi untuk mencapai kemerdekaan kaum
buruh.
Marx sebenarnya
lebih merupakan peletak dasar komunisme dan ajarannya diberikan tafsir yang
beragam oleh para pengikutnya. Setidak-tidaknya ada tiga macam aliran
sosialisme yang berkembang setelah Marx meninggal: (1) Aliran yang mau
memperbaharui teori dan pandangan politiknya, dengan menyesuaikan
prinsip-prinsip ajaran itu dengan kenyataan. Aliran ini disebut revisionisme
dan reformisme. Penganjurnya ialah Bernstein. Ia berusaha memperbaharui teori
Marx dan menganjurkan agar dalam menempuh jalan ke sosialisme dilakukan
reformasi, bukan revolusi. Reformasi yang dimaksud ialah perubahan
berangsur-angsur dengan mengutamakan perjuangan dalam parlemen. Mereka percaya
bahwa pelaksanaan demokrasi kaum buruh lambat laun akan mencapai suara terbesar
dalam parlemen; (2) Aliran yang berpegang teguh pada ajaran Marx, disebut aliran
dogmatik, yang pada mulanya dipimpin oleh Karl Kautsky.; (3) Aliran yang tetap
berpegang pada teori Marx, tetapi dalam politik menempuh jalan yang
revolusioner. Aliran ini dipimpinoleh Lenin. Karena itu kemudian aliran ini
disebut Marxisme Leninisme atau Leninisme saja.
Menurut Lenin,
untuk melaksanakan peralihan dari kapitalisme ke sosialisme, orang tidak perlu
menunggu sampai kapitalisme matang, tetapi setiap ada kesempatan bagi kaum
buruh untuk merebut kekuasaan, kesempatan itu dipergunakan sepenuh-penuhnya.
Aliran yang pertama dan kedua tetap berada di dalam gerakan partai sosial
demokrat. Sebagai sayap kanan dan sayap kiri dari sosialisme, sedangkan Lenin
memisahkan diri, mendirikan organisasi sendiri yang kemudian menjelma Partai
Komunis. Bagi Lenin, untuk mencapai tujuan tidak perlu ada partai massa.
Aksinya didasarkan kepada anggota inti yang sedikit jumlahnya, tetapi bertekad
keras dan berdisplin baja. Stalin mendefinisikan Marxisme Leninisme sebagai
“Marxisme pada masa imperialisme dan revolusi proletar”. Leninisme adalah teori
dan taktik dari sebuah revolusi besar, teori dan taktik menuju tercapai
kediktatoran proletar.
Kritik
Kritik dan
pertanyaan terhadap Marxisme dan komunisme, telah banyak dikemukakan orang
semenjak awal lagi. Setidak-tidaknya ada empat pokok persoalan dari ajaran Marx
dan para pengikutnya yang mendapat sorotan tajam.
Pertama, Marx
mengemukakan bahwa perubahan masyarakat dari tahap yang satu ke tahap
berikutnya mengikuti hukum dialektik kebendaan yang berlangsung tanpa henti dalam
sejarah. Demikianlah di Eropa kaum feodal yang berkuasa dalam masyarakat
pra-industri, dengan tumbuhnya masyarakat industri digantikan kedudukannya oleh
kaum kapitalis sebagai penguasa ekonomi. Ketika kapitalisme matang, maka muncul
kelas baru yang tertindas, yaitu kaum proletar. Apabila kaum proletar menang,
masyarakat sosialis yang tanpa kelas muncul. Pertanyaannya, setelah itu kelas
apa lagi yang dilahirkan dalam masyarakat sosialis? Marx tidak memberi jawaban
jelas.
Kedua, Marx
berpendapat bahwa kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam masyarakat disebabkan
adanya perbedaan kepentingan hidup. Ini akan mengakibatkan terjadinya
pertarungan yang sengit antara kelas yang menindas (kapitalis) dan kelas yang
ditindas (proletar) di seluruh dunia. Jadi di masa depan (abad ke-20 dan abad
ke-21) menurut Marx, konflik yang terjadi di dunia ini akan lebih banyak
ditimbulkan oelah pertarungan kelas. Ramalan ini ternyata meleset. Perang yang
berkesinambungan sejak awal abad ke-20 hingga kini, khususnya Perang Dunia I
dan II, banyak didorong masalah kepentingan nasional dan ideologi dibandingkan
karena motivasi pertarungan kelas. Cina dan Vietnam, sesama negara komunis,
pernah terjun ke kancah peperangan pada akhir 1970-an bukan disebabkan masalah
pertarungan kelas, melainkan disebabkan oleh dorongan nasionalisme yang sempit.
Ketiga, Marx
meramalkan bahwa apabila tidak berjuang dengan gigih nasib kaum buruh akan
menjadi sangat buruk. Kenyataannya tidak selalu demikian. Di negara-negara maju
kaum buruh mengalami perbaikan nasib yang sangat mencengangkan sebagai akibat
adanya revisi terhadap kapitalisme liberal itu sendiri. Di Inggris dan bekas
negara penjajah lain malah kaum buruh bersekutu dengan kapitalis dalam
melakukan praktek penindasan di negeri jajahan mereka atas nama imperialisme
dan perluasan kapitalisme.
Keempat,
berhasilnya revolusi Bolsyewik (komunis Rusia yang berfahaman
Marxisme-Leninisme) di Rusia pada tahun 1917 tidak mampu memperbaiki nasib kaum
proletar seperti yang dijanjikan. Diktator proleariat dijalankan oleh penguasa
partai komunis menindas rakyat jelata. Hal yang sama terjadi di Cina dan bekas
negara komunis yang lain. Kecuali itu di negara-negara kapitalis sendiri
terdapat kecenderungan untuk mempraktekkan sosialisme yang lebih manusiawi,
dibanding di negara yang dahulunya berjuang untuk menciptakan masyarakat
sosialisme ala Marx, Lenin, Stalin dan Mao.
Nurcholis
Madjid (1987:189) misalnya menulis sebagai berikut: “Komunisme adalah bentuk
lain dan lebih tinggi dari sekularisme. Sebab, komunisme adalah sekularisme
yang paling murni dan konsekwen. Dalam komunismelah seseorang menjadi atheis
sempurna. Kaum komunis membenarkan, malah mendasarkan keseluruhannya pada
prinsip persamaan di antara manusia. Tetapi prinsip persamaan dalam komunisme
itu pun mengalami nasib yang sama dengan prinsip kemerdekaan (kebebasan) dalam
kapitalisme. Kaum komunis menodai prinsip persamaan itu sebegitu rupa, sehingga
tinggal semboyan semata-mata. Malahan yang terjadi ialah adanya supremasi
mutlak pihak penguasa atas pihak yang dikuasai, yaitu rakyat pada umumnya.
Diktator proletar, pada hakikatnya, ialah diktator pemimpin-pemimpin dan
penguasa-penguasa.
Kecuali itu,
kita menyaksikan bahwa banyak perubahan dalam masyarakat, bahkan revolusi,
tidak semata-mata dilatar belakangi oleh faktor-faktor materi. Banyak
peperangan pula dilatarbelakangi oleh dorongan nasionalisme, ideologi dan
kebudayaan. Ini membuktikan bahwa asumsi-asumsi Marxis hanya sebagian saja
mengandung kebenaran. Mas’ud an-Nadwi dalam bukunya Al-Isytiraqiyah wa al-Islam
(Sosialisme dan Islam, 1981) mengatakan, Tetapi Marx dan para pengikutnya tidak
mempedulikan faktor-faktor lain di luar kebendaan, oleh sebab mereka itu
menganggap individu bagaikan barang mainan di bawah dominasi sistem ekonomi
yang sedang berkuasa pada zamannya, walaupun kenyataan yang ada jauh dari
teori-teori mereka.
Demikianlah
dapat disimpulkan bahwa sosialisme merupakan paham sosial kemasyarakatan yang
timbul sebagai wujud dari ketidakpuasan terhadap kesenjangan dalam suatu
masyarakat berkenaan dengan masalah pendapatan dan pemerataan kemakmuran
negara. Sosialisme muncul dan dirumuskan sebagai penangkal terhadap kian kian
buruknya akibat disebabkan kesenjangan yang kian menjadi-jadi. Dalam sejarah
akibat buruk yang ditimbulkan oleh kesenjangan tersebut tidak hanya menyulut
kecemburuan dan kebencian sosial, tetapi juga menimbulkan tindakan-tindakan
kekerasan dan kekacauan yang justru merusak tatanan sosial yang ada. Bahkan ia
menimbulkan gelombang revolusi besar yang berhasil menjebol tatanan pemerintahan
dan masyarakat yang telah mapan. Contoh terbaik barangkali ialah apa yang
dialami Rusia pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Kesenjangan
sosial dan ekonomi yang diciptakan Tsar sejak permulaan abad ke-19 M telah
menimbulkan berbagai gejolak sosial. Kesenjangan sosial yang terjadi tidak
ditangani secara bijak. Dipengaruhi oleh berkembangnya gerakan-gerakan sosialis
revolusioner di Eropa Daratan, di Rusia pun muncul kelompok-kelompok sosialis
yang cenderung radikal. Kelompok-kelompok radikal ini sering melakukan
aksi-aksi teror yang memusingkan kepala Tsar. Tetapi semakin gerakan ini
ditindak dengan tegas, dan semakin banyak dari para pemimpinnya yang
dijebloskan ke dalam penjara, semakin banyak pula ia mendapat simpati
masyarakat, terutama kaum muda yang sadar. Pada akhir abad ke-19 gerakan
revolusioner ini mendapat bentuknya yang definitif setelah munculnya Lenin.
Pada tahun 1917, Lenin dan partai komunisnya berhasil menggulingkan
pemerintahan absolut Tsar melalui jalan revolusi berdarah. Sejarah mencatatnya
sebagai Revolusi Bolshewik, karena digerakkan oleh kaum Bolshewik sebutan bagi
kelompok komunis Rusia yang dipimpin oleh Lenin dan Stalin.
Islam dan
Sosialisme
Benih
sosialisme sebenarnya telah lama muncul dalam sejarah masyarakat manusia di dunia
ini. Plato, filosof Yunani abad ke-4 SM, disebut-sebut sebagai Bapak
Sosialisme. Ini berarti bahwa di Yunani telah muncul paham sosialisme
disebabkan kesenjangan sosial disebabkan masalah pendapatan. Meng Tze, abad
ke-3 SM, juga dapat disebut sebagai Bapak Sosialisme Cina karena dia
menghendaki pemerataan kesejahteraan yang ketika itu hanya dinikmati segelintir
orang dalam masyarakat yaitu para jenderal dan kaum bangsawan. Seperti Plato,
Meng Tze menghendaki apa yang kita sebut sekarang ini sebagai “keadilan sosial”
di bidang ekonomi, dengan jaminan hukum dan politik dari negara secara pasti.
Cita-cita akan
keadilan sosial juga dijumpai dalam ajaran agama-agama samawi seperti Yahudi,
Kristen klasik dan Islam. Bahkan juga dalam agama Zoroaster atau Majusi,
khususnya aliran Mazdakisme. Perilaku atau kebijakan ekonomi yang tidak mampu
menopang, apalagi menghalangi terwujudnya keadilan sosial dikutuk dengan keras
dalam kitab suci agama-agama tersebut. Bung Hatta menulis dalam risalahnya
“Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia” (1963), “Sekarang, bagaimana duduknya
sosialisme Indonesia? Cita-cita sosialisme lahir dalam pangkuan pergerakan
kebangsaan Indonesia. Dalam pergerakan yang menuju kebebasan dari penghinaan
diri dan penjajahan, dengan sendirinya orang terpikat oleh tuntutan sosial dan
humanisme “perikemanusiaan” yang disebarkan oleh pergerakan sosialisme di benua
Barat. Tuntutan sosial dan humanisme itu tertangkap pula oleh jiwa Islam, yang
memang menghendaki pelaksanaan perintah Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang
serta Adil, supaya manusia hidup dalam sayang menyayangi dan dalam suasana
persaudaraan dengan tolong-menolong. Sebelumnya Bung Hatta telah menulis
artikel berjudul “Islam dan Sosialisme” untuk menyambut Idul Fitri dalam Pandji
Masjarakat No. 20, 28-Maret-1950.
Bung Hatta
selanjutnya menyatakan, Jiwa Islam berontak terhadap kapitalisme yang menghisap
dan menindas, yang menurunkan derajat manusia, yang membawa sistem yang lebih
jahat daripada perbudakan, daripada feodalisme. Dunia ini kepuyaan Allah
semata-mata yang disediakan untuk tempat kediaman manusia sementara, dalam
perjalanannya menuju dunia baka. Kewajiban manusia tidaklah memiliki dunia,
yang kepunyaan Allah, melainkan memeliharanya sebagaik-baiknya dan
meninggalkannya (mewariskan) kepada angkatan kemudian dalam keadaan yang lebih
baik dari yang diterimanya dari angkatan terdahulu.
Al-Qur’an,
khususnya surat al-Takatsur dan al-Humazah, mengutuk sikap ekonomi yang tidak
produktif dan egois (sebagaimana dipraktekkan kalpitalisme liberal dan
neo-liberalisme sekarang). Dalam surat al-Taubah ayat 34-35 dilukiskan betapa
Islam mengutuk ketidakadilan ekonomi yang terdapat dalam suatu masyarakat,
sebagai berikut:.
“Wahai
orang-orang yang beriman sesungguhnya banyak dari kalangan para rahib dan pertapa
itu yang benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang tidak benar dan
menyimpang dari jalan Allah. Adapun mereka yang menimbun emas dan perak dan
tidak menggunakannya di jalan Allah,maka peringatkanlah mereka itu dengan
adanya siksa yang pedih. Yaitu ketika harta itu dipanaskan dalam api neraka,
kemudian disetrikakan kepada kening, lambung dan pnggung mereka. (lalu
dikatakan kepada mereka): “Inilah yang kamu tumpuk untuk kepentingan kamu
sendiri di dunia, maka sekarang rasakanlah harta yang dulu kamu tumpuk itu.
Tema keadilan
sosial dalam Islam ditopang oleh paham tentang persamaan manusia atau
egalitarianisme yang menekankan kepada persamaan kesempatan, selain persamaan
hak dan kewajiban. Tetapi karena tingkat kemampuan dan ikhtiar manusia berbeda-beda,
maka timbul pula keragaman atas hasil usahanya. Karena itu Islam tidak setuju
dengan paham komunisme yang bersemboyan “sama rata sama rasa” dengan akibat
kebijakan dihapuskan hak-hak individual di atas hak masyarakat. Demikian pula
pemilikan perorangan tetap dihormati, hanya saja diberi batasan agar tidak
menimbulkan kesenjangan. Harta juga harus dibelajankan di jalan Allah, artinya
ia harus dibelanjakan di jalan yang halal, seperti untuk menolong dan membantu
sesama manusia yang memerlukannya disebabkan kekurangan, kemalangan dan lain
sebagainya.
Memang
kecenderungan atheisme yang terdapat dalam faham sosialisme modern dengan
sendirinya akan ditolak oleh masyarakat beragama. Akan tetapi beberapa aspek
dari pemikirsan kaum sosialis seperti keadilan sosial itu tidak ditolak. Di
kalangan cendekiawan Muslim tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa dalam
Islam sebenarnya terdapat pula ajaran yang sejalan dengan pokok-pokok pemikiran
yang dikemukakan oleh sosialisme modern. Di antara tokoh-tokoh Islam yang
berpendapat demikian antara lain ialah Muhammad Iqbal dan Muhammad Husein
Heikal. Di Indonesia, sosialisme religius telah dianjurkan sejak awal abad
ke-20 oleh tokoh-tokoh seperti Cokroaminoto pada tahun 1905 (bukunya Islam dan
Sosialisme) dan K. H. Agus Salim. Cokroaminoto memandang sistem kapitalisme
yang dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia merupakan bentuk dari
“Kapitalisme Murtad”, sekali pun sistem ini menurut Max Weber lahir dari buaian
agama Protestan, yaitu madzab Calvinis.
Tokoh-tokoh
Islam lain yang berpikiran seperti itu dapat disebutkan di sini ialah Muhammad
Hatta, Muhammad Natsir, Syafrudin Prawiranegara, Nurcholis Madjid, Mubyarto dan
lain-lain. K. H. Agus Salim (1920), tokoh Sarekat Islam yang terkemuka,
mengatakan bahwa gagasan tentang sosialisme tercakup dalam ajaran agama,
khususnya Islam. Syafrudin Prawiranegara (1955) mengatakan bahwa seorang Muslim
haruslah sekaligus seorang sosialis. Tidak mengherankan karenanya oleh Kahin
menyebut Masyumi sebagai partai Islam Sosialis, karena tokoh-tokoh sering
mengemukakan bahwa sosialisme telah terdapat dalam ajaran Islam, sebagaimana
dalam agama-agama samawi lain seperti Yahudi dan Kristen klasik, serta dalam
agama Zoroaster, khususnya aliran Mazdak. Perilaku atau kebijakan ekonomi yang
tidak mampu menopang, apalagi menghalangi terwujudnya keadilan sosial dikutuk
dengan keras dalam kitab suci agama-agama tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar