Islam sebagai agama universal
mempunyai ajaran yang bersifat global, berlaku bagi siapa saja, dimana saja dan
kapan saja. Islam sebagai agama, bukan saja monopoli orang-orang Arab, tetapi
milik semua umat Islam di muka bumi ini. Mereka mempunyai keyakinan bahwa Islam
adalah agama yang benar, dapat dijadikan motivasi secara spiritual dan fisik
dalam setiap tingkah laku umatnya.
Al-Qur'an dan Sunnah adalah sumber ajaran yang bersifat universal. Dalam upaya merelevansikan ajaran ini sangat diperlukan peran umat terutama para cendekiawan muslim untuk mengerti sumber Islam (al-Qur'an dan Sunnah) sehingga memiliki cakrawala pandang yang luas, sehingga Islam sebagai agama samawi dapat membumi. Artinya, dapat diaplikasikan dalam kehidupan manusia di segala zaman.
Secara asasi Islam tidak menentang sistem-sistem yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan asas-asas Islam, terlebih dalam rangka pemecahan persoalan yang sedang dihadapi. Ajaran Islam boleh mengambil apa yang terbaik dalam kehidupan masyarakat, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam. (Muhammad Qutb, 1982).
Secara historis umat Islam mengalami proses pertumbuhan, perkembangan dan kemerosotan. Dalam setiap prosesnya, yang dihadapi umat dari masa kemasa berbeda. Pada masa Nabi berbeda dengan umat Islam pada masa kedudukan kolonialis atau pada masa pasca kemerdekaan. Perbedaannya adalah pada kehidupan yang dihadapi umat Islam, baik sosio-ekonomi, sosio-politik maupun sosio-budayanya.
Dari sudut pandang sosiologis, Muhammad hanya meletakkan dasar-dasar suatu masyarakat baru. Di kemudian hari masyarakat itu tumbuh menjadi sebuah komunitas besar yang terdiri dari berbagai bangsa yang berbeda-beda, dari masyarakat pada tingkat perkembangan berlainan sistem agama dan sosial politik yang tidak sama. Pendek kata, dengan Islam memungkinkan terciptanya suatu peradaban yang besar.
Menciptakan peradaban besar, khususnya bagi umat Islam tidak mudah, tetapi memerlukan waktu yang panjang. Pada masa modern ini, perubahan-perubahan kehidupan sosial berlangsung secara besar-besaran, yang salah satunya adalah akibat dari infilterasi kebudayaan Barat yang dibarengi dengan kolonialisasi Barat yang meliputi hampir seluruh dunia Islam. Akibatnya, muncullah sejumlah pembaru yang concern akan relevansi agamanya bagi dunia modern. Harun Nasution mengatakan bahwa: kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama sesudah pembukaan abad IXX, yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan Periode Modern.
Kontak dengan dunia Barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan baru, dan para pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi berbagai persoalan baru itu. Sebagaimana halnya di Barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keaga¬maan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Dengan jalan demikian, para pemimpin Islam mod¬ern berharap akan dapat melepaskan diri dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.
Tantangan yang dihadapi kaum muslim pada jaman modern benar-benar memiliki implikasi serius terhadap masa depan agamanya. Disamping menghadapi berbagai serangan dari kritikus Barat dan benturan-benturan kebudayaan mereka yang memasuki dunia muslim, kaum muslim juga berhadapan dengan Barat dengan status sebagai bangsa yang terjajah. Akibatnya, peralihan kekuasaan kolonial mewariskan nasionalisme di kalangan kaum muslim, sehingga modernisasi di negara-negara muslim pada umumnya berkiblat pada Barat. Lebih jauh, modernisasi negara-negara muslim juga telah memperlancar arus penyerbuan bermacam-macam isme Barat, seperti sosialisme ateistis atau sekularisme dan utilitasi tekhnologi canggih. (Taufik Adnan Amal, 1989).
Untuk menghadapi peradaban modern, diperlukan adanya penanganan agama yang serius. Penyegaran dan pembaharuan pemikiran keagamaan, serta hadirnya sejumlah pembaharu di dunia Islam merupakan suatu keharusan. Tanpa hal itu, akan berakibat yang tidak dapat dibayangkan bagi masa depan Islam dan umatnya, yaitu Islam sebagai agama, lama-kelamaan akan ditinggalkan oleh pemeluknya. Sebab, Islam dianggap tidak dapat menjawab permasalahan yang terjadi pada zaman sekarang (modern).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masuknya dunia Islam ke kancah peradaban modern, tidak akan lepas dari dampak-dampaknya. Baik dampak yang bersifat positif maupun negatif. Berbagai dampak negatif perlu dihindari dan dampak positifnya harus dijunjung tinggi.
Salah satu dampak positif dari peradaban modern yang perlu dihargai adalah kebebasan dalam penggunakan akal atau rasio. Sebab penggunaan rasio yang didukung oleh keyakinan terhadap Tuhan yang kuat, akan membuahkan pemikiran merdeka dan tulus dalam mencari kebenaran. Tipe manusia semacam ini adalah selalu haus akan ilmu pengetahuan dan dia akan selalu mengoptimalkan dalam mendayagunakan potensi paling berharga yang dimiliki manusia. Yaitu otak dan qalbunya. Usaha memperoleh keyakinan yang berkaitan dengan kesadaran qalbu dan pemikiran (rasio), bukanlah suatu yang murah, karena keyakinan itu merupakan hasil tertinggi dari kesanggupan manusia. Dampak positif lain yang diperoleh dari peradaban modern adalah tercapainya taraf hidup manusia yang lebih baik, seperti yang sudah dirasakan oleh sebagian umat Islam.
Sedangkan dampak negatif dari peradaban modern adalah membuat manusia lupa akan nilai-nilai spiritualitas. Mereka mempertajam olah akalnya, sehingga kehidupannya hanya bertumpu pada materi. Sampai-sampai muncul anggapan bahwa agama merupakan hambatan manusia untuk mencapai kemajuan. Oleh karena itu, para pembaharu senantiasa harus selalu melakukan berbagai upaya untuk menafsirkan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan tuntutan zaman. Para pembaharu menatap fenomena yang ada pada masanya, kemudian mencari alternatif jalan keluarnya, baik yang menyangkut masalah politik, sosial budaya maupun masalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi permasalahan yang dihadapi para pembaharu di abad modern tersebut sangat kompleks.
Sebagaimana diketahui, bahwa setelah kemerdekaan diraih oleh hampir seluruh negara-negara Islam yang terjajah, para pembaharu berupaya untuk menata segala aspek kehidupan, baik aspek ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Dalam aspek sosio-ekonomi, pada saat itu muncul konsep sosialisme Islam. Sosialisme Islam Syaihk Muhammad Al-Ghazali merupakan sistem ekonomi alternatif yang didasarkan atas nilai-nilai Islam. Ia bertujuan untuk menata kehidupan umat Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup di dunia ini dan di akhirat, namun tetap sesuai dengan ajaran-Nya. Disamping itu sosialisme Islam muncul sebagai reaksi atas sistem ekonomi kapitalis dan sistem sosialis komunis yang kurang mencerminkan nilai-nilai Islam. (Syaikh Mahmud, 1989).
Sebagaimana kita yakini bahwa pandangan Islam tentang kehidupan diwarnai oleh kepastian, keselarasan dan dinamisme. Seluruh karakteristik ini berasal dari filsafat Islam asli, yaitu yang berusaha memadukan berbagai segi kehidupan manusia lewat aksioma etikanya yang universal, yaitu kesatuan (Tauhid), bukannya membeda-bedakan. Islam menganut sistem keseimbangan, kehendak bebas, dan pertanggung jawaban dalam segala aspek kehidupannya. Keseluruhan aksioma etika ini terbentuk dari sistem Islam, yang selanjutnya mengalami proses dan berevolosinya kehidupan manusia. Jelasnya, kegiatan ekonomi manusia harus tunduk kepada tujuan moral yang dominan dalam kesemua aksioma etika ini. Karena adanya masalah tersebut, pandangan Islam mengenai ilmu ekonomi menyusut menjadi subhimpunan dari rangkaian pandangan etika ekonominya mengenai kehidupan pada umumnya.
Sjafruddin Prawiranegara sebagai salah satu pembaharu Islam Indonesia dalam bidang ekonomi, berusaha untuk menuangkan pemikiran sosialisme Islam sebagai jawaban atas permasalahan sosio-ekonomi yang dihadapi umat Islam Indonesia. Atas dasar keyakinan agama yang kuat, beliau berkeinginan untuk menampilkan Islam sebagai kekuatan alternatif dalam menghadapi masalah sosio ekonomi umat. Sjafruddin berpendapat bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29), akan selalu menjunjung tinggi prisip-prinsip ketuhanan dalam segala bidang kehidupannya. Oleh karena itu, walaupun dalam meng-atur kesejahteraan sosial, kelihatan prinsip-prinsip pemikiran sosialistis (Pasal 33), namun negara Republik Indonesia bukan negara sosialis yang anti Tuhan, tetapi sosialisme yang berdasarkan pada religiusitas.
Maka ketika mengutip Alexander Miller dalam bukunya The Christian Significance of Karl Marx, Sjafruddin Prawiranegara menegaskan bahwa ada jurang pemisah yang sangat dalam antara faham Marxisme dengan agama manapun juga. Oleh karena itu, haruslah diketahui oleh orang-orang yang menamakan dirinya komunis atau sosialis, bahwa dasar-dasar Marxisme itu yang penting di antaranya ialah historis materialisme yang sama sekali bertentangan dengan faham ketuhanan dari tiap-tiap agama. Agama dipandang oleh Marxisme sebagai suatu dongengan yang hanya dipergunakan oleh beberapa orang dan golongan untuk mempertahankan kedudukannya, dan menyembunyikan kejahatannya.
Perlu diketahui, bafewa ada seribu satu arti yang dapat diletakkan kepada sosialisme, seperti telah dikumpulkan olek Griffiths, dan di antaranya banyak yang saling berfeeda seperti bumi dengan langit. Maka sosialisme yang berdasarkan kepada dasar agama, berlainan dengan sosialisme Marxisme. Untuk itu Sjafruddin Prawiranegara mempergunafcan istilah sosialisme religius (Religius Socialism). Sosialisme religius ini berlainan sekali dengan sosialisme Marxistis, bahkan bertentangan, maka pada pendapatnya itidak pada tempatnya apabila seorang religius sosialis mengadakan suatu front dengan seorang marxis terhadap suatu partai yang berdasarkan agama. (Ajip Rosidi, 1986).
Sjafruddin mengakui bahwa setelah Kanjeng Nabi Muhammad Saw, yang menurut agama Islam adalah nabi yang terakhir, tidak ada orang di dunia ini yang telah menggoncangkan pikiran manusia begitu kuat seperti Marx. Dan tidak ada satu ajaran yang dapat mengadakan perubahan yang begitu radikal di seperenam bagian dunia ini, seperti ajaran Marx. Apabila Marx itu tidak terang-terangan memungkiri adanya Tuhan dan memusuhi agama, mungkin ia di pandang sebagai seorang nabi oleh sebagian umat manusia. Sekalipun ia tidak dipandang sebagai nabi, namun oleh orang-orang komunis dan sosialis ia dihormati dan dijunjung, dan boleh dikatakan hampir sama dengan seorang nabi, sedang sosialisme itu bagi mereka seolah-olah sebagai ganti dari agama.
Menurut Sjafruddin, jasa Marx dan murid-muridnya seperti Lenin, Stalin dan Mao Zedong kepada manusia bukan hanya terletak dalam bidang ekonomi, seperti perbaikan hidup berjuta-juta kaum gembel, melainkan juga dalam bidang kebatinan dan kerohanian. Sebab hanya dengan demikianlah dapat memahami ketahanan dan semangat pengorbanan dari berjuta-juta manusia yang sanggup menderita dari segala macam percobaan, hingga pada mati untuk cita-cita sosialisme. Katanya lebih lanjut, seluruh riwayat perjuangan sosialis di Rusia dan Tiongkok adalah bukti yang senyata-nyatanya bahwa, bukan benda yang primer yang menentukan semangat dan jiwa manusia, seperti diajarkan oleh historis materialisme, tetapi sebaliknya: roh, akal, dan semangat manusialah yang memberi dasar kepada hidupnya dan yang sanggup menciptakan dunia baru. Semangatlah (geest) yang menguasai benda, bukan sebaliknya, dan semangat itu beserta benda diciptakan oleh Tuhan.
Menurut Sjafruddin, Marx hanya mengemukakan separo kebenaran saja. Alam benda memang penting untuk hidup manusia, tetapi bukan berarti bahwa di samping atau di atas alam benda itu tidak mungkin ada lagi sesuatu yang lebih kuasa terhadap manusia. Untuk hidup sebagai manusia, ia tidak cukup hanya seperti binatang belaka, manusia memerlukan norma-norma yang tidak terdapat dalam alam benda, tetapi diberikan oleh religi (agama) dan rasa ketuhanan. Sehubungan dengan ini, Sjafruddin mengutip Hadits Nabi yang menganjurkan umatnya bekerja keras untuk kepentingan hidup di dunia ini seakan-akan tidak akan mati, tetapi juga menganjurkan beribadah untuk keperluan akhirat seakan mau mati keesokan harinya. Dengan begitu, dia mengatakan bahwa sangat jelas perbedaan antara Marxisme dengan agama seperti Islam dan Kristen.
Perbedaan itu diperlihatkan pula dengan memperbandingkan cara-cara mengarungi kehidupan yang dicontohkan oleh Rasullullah dengan cara-cara yang dilakukan oleh para pengikut Marx. Sementara Rasulullah dan para sahabat memperlihatkan perasaan kasih sayang terhadap sesama manusia, bahkan sampai kepada mereka yang dipandang sebagai musuh yaitu dengan menjauhkan perasaan, perbuatan dendam, dan benci. Akan tetapi, revolosi yang dibangkitkan oleh Lenin dan Stalin, dijalankan dengan tidak mengenal perikemanusiaan. Kawan dan lawan yang dipandang menghambat atau merugikan revolosi, dibasmi dan disingkirkan dengan tidak ada perasaan kemanusiaan sedikitpun.
Menurut Nurcholis Madjid, bahwa dimensi lebih mendalam dari sosialisme religius ialah dikukuhkannya dasar moral cita-cita kemasyarakatan. Pelaksanaan cita-cita tersebut menjadi tidak hanya karena dorongan kehendak berkehidupan yang lebih bahagia di dunia saj a, tetapi juga kehidupan yang lebih kekal di akherat. Sosialisme religius tidak hanya kometmen kemanusiaan, tetapi juga ketuhanan. Sosialisme di Indonesia muncul dari nilai-niali agama. Sosialisme religius menolak pandangan hidup materialisme sebagaimana yang menjadi tujuan sosialisme Marxis. Sosialisme religius tidak juga hasil hukum dialektika, tetapi ia tampil sebagai tuntutan hati nurani, sebagai pergaulan hidup yang menjamin kemakmuran bagi semua orang, memberikan kesejahteraan yang merata, bebas dari segala macam penindasan. (Nurcholis Madjid, 1989).
Sosialisme religius Sjafruddin didasarkan atas tujuan hidup manusia yang dihimpun dari ayat-ayat al-Qur'an dan sunnah Nabi sebagai berikut:
1. Tujuan hidup manusia itu bukanlah mengejar kemakmuran akan barang-barang benda, melainkan mencari ridha Allah Swt. Berbakti kepada Tuhan dengan berbuat baik kepada sesama manusia, inilah yang diwajibkan kepada umat manusia umumnya dan umat Islam khususnya.
2. Berhubungan dengan tujuan hidup manusia tadi, maka Islam mengajarkan bahwa benda-benda itu hanyalah alat belaka, yang akan membantu manusia untuk hidup dan berbakti kepada Tuhannya. Keka-yaan kebendaan tidak boleh dijadikan tujuan hidup. Penimbunan harta, terutama menimbun-nimbun emas dan perak, alat-alat yang sangat digemari oleh manusia sebagai store of wealth diancam dalam al-Qur'an dengan hukuman-hukuman yang berat.
3. Di dalam al-Qur'an dan Hadis terdapat banyak sekali pernyataan-pernyataan, bahwa harta kekayaan itu wajib dibelanjakan di jalan Allah;yakni untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat bagi sesama manusia.
4. Perintah Allah untuk tidak takut dan ragu-ragu membelanjakan harta kekayaan guna tujuan-tujuan yang diridhai Allah, tujuan-tujuan yang bermanfaat bagi sesama manusia, disertai janji Tuhan dalam al-Qur'an (QS. al-A'raf: 96) dan (QS. al-Baqarah: 261).
Undang-undang Dasar 1945 juga mengamanatkan agar pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia ini haruslah tetap mempertahankan nilai-nilai moralitas religius sebagai landasannya. Pemikiran sosialisme di Indonesia sebagaimana yang dikemukakan oleh Sjafruddin Prawiranegara adalah dalam rangka untuk memberikan landasan moral religius bagi pemba¬ngunan bangsa dan negara terutama dalam pembangunan sosio-ekonomi, sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai amanat konstitusi dapat direalisasikan.
Pada masa sulit seperti sekarangini, sebagai akibat dari peninggalan rezim orde baru yang ditandai dengan adanya krisis moneter, krisis ekonomi dan krisis kepercayaan, meyebabkan lemahnya partisipasi masyarakat untuk merespon pembangunan nasional, bahkan tidak jarang karena adanya kesenjangan sosial mengancam bangsa ini menuju pada disintegrasi yang sangat membahayakan. Jauh sebelum itu Sj afruddin Prawiranegara telah mengingatkan, bahwa: Krisis ekonomi dan Politik di Indonesia ini pada hakikatnya merupakan geloofs dan morele crisis (krisis keimanan dan krisis moral), yangtidakdapat diobati dengan alat-alat dan cara-cara lain melainkan hanya dengan kembali kepada Tuhan melalui norma-norma agama dan moral, yang menyuruh manusia bukan untuk mengejar kekayaan, melainkan untuk mengabdi dan berkorban guna kepentingan sesama manusia. (Sjafruddin Prawiranegara, 1986)
Dengan melihat realitas yang ada seperti sekarang ini barangkali penyebabnya adalah sama, yaitu; melemah-nya nilai-nilai moralitas religius bangsa Indonesia terutama bagi pemegang kebij aksanaan dan para pelaku ekonomi, sehingga keadilan sosial yang seharusnya dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia hanya dirasakan oleh segelintir orang. Oleh karena itu, penulis merasa terpanggil untuk mengangkat tema Islam Sosialis, Pemikiran Sistem Ekonomi Sosialis Religius Sjafruddin Prawiranegara. Sebab pemikiran sosialis religius beliau penuh dengan muatan etik dan moral yang dapat diimplementasikan dalam situasi pelik seperti sekarang ini, terutama untuk menciptakan suatu tatanan sosio-ekonomi yang adil dan merata.*
Al-Qur'an dan Sunnah adalah sumber ajaran yang bersifat universal. Dalam upaya merelevansikan ajaran ini sangat diperlukan peran umat terutama para cendekiawan muslim untuk mengerti sumber Islam (al-Qur'an dan Sunnah) sehingga memiliki cakrawala pandang yang luas, sehingga Islam sebagai agama samawi dapat membumi. Artinya, dapat diaplikasikan dalam kehidupan manusia di segala zaman.
Secara asasi Islam tidak menentang sistem-sistem yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan asas-asas Islam, terlebih dalam rangka pemecahan persoalan yang sedang dihadapi. Ajaran Islam boleh mengambil apa yang terbaik dalam kehidupan masyarakat, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam. (Muhammad Qutb, 1982).
Secara historis umat Islam mengalami proses pertumbuhan, perkembangan dan kemerosotan. Dalam setiap prosesnya, yang dihadapi umat dari masa kemasa berbeda. Pada masa Nabi berbeda dengan umat Islam pada masa kedudukan kolonialis atau pada masa pasca kemerdekaan. Perbedaannya adalah pada kehidupan yang dihadapi umat Islam, baik sosio-ekonomi, sosio-politik maupun sosio-budayanya.
Dari sudut pandang sosiologis, Muhammad hanya meletakkan dasar-dasar suatu masyarakat baru. Di kemudian hari masyarakat itu tumbuh menjadi sebuah komunitas besar yang terdiri dari berbagai bangsa yang berbeda-beda, dari masyarakat pada tingkat perkembangan berlainan sistem agama dan sosial politik yang tidak sama. Pendek kata, dengan Islam memungkinkan terciptanya suatu peradaban yang besar.
Menciptakan peradaban besar, khususnya bagi umat Islam tidak mudah, tetapi memerlukan waktu yang panjang. Pada masa modern ini, perubahan-perubahan kehidupan sosial berlangsung secara besar-besaran, yang salah satunya adalah akibat dari infilterasi kebudayaan Barat yang dibarengi dengan kolonialisasi Barat yang meliputi hampir seluruh dunia Islam. Akibatnya, muncullah sejumlah pembaru yang concern akan relevansi agamanya bagi dunia modern. Harun Nasution mengatakan bahwa: kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama sesudah pembukaan abad IXX, yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan Periode Modern.
Kontak dengan dunia Barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan baru, dan para pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi berbagai persoalan baru itu. Sebagaimana halnya di Barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keaga¬maan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Dengan jalan demikian, para pemimpin Islam mod¬ern berharap akan dapat melepaskan diri dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.
Tantangan yang dihadapi kaum muslim pada jaman modern benar-benar memiliki implikasi serius terhadap masa depan agamanya. Disamping menghadapi berbagai serangan dari kritikus Barat dan benturan-benturan kebudayaan mereka yang memasuki dunia muslim, kaum muslim juga berhadapan dengan Barat dengan status sebagai bangsa yang terjajah. Akibatnya, peralihan kekuasaan kolonial mewariskan nasionalisme di kalangan kaum muslim, sehingga modernisasi di negara-negara muslim pada umumnya berkiblat pada Barat. Lebih jauh, modernisasi negara-negara muslim juga telah memperlancar arus penyerbuan bermacam-macam isme Barat, seperti sosialisme ateistis atau sekularisme dan utilitasi tekhnologi canggih. (Taufik Adnan Amal, 1989).
Untuk menghadapi peradaban modern, diperlukan adanya penanganan agama yang serius. Penyegaran dan pembaharuan pemikiran keagamaan, serta hadirnya sejumlah pembaharu di dunia Islam merupakan suatu keharusan. Tanpa hal itu, akan berakibat yang tidak dapat dibayangkan bagi masa depan Islam dan umatnya, yaitu Islam sebagai agama, lama-kelamaan akan ditinggalkan oleh pemeluknya. Sebab, Islam dianggap tidak dapat menjawab permasalahan yang terjadi pada zaman sekarang (modern).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masuknya dunia Islam ke kancah peradaban modern, tidak akan lepas dari dampak-dampaknya. Baik dampak yang bersifat positif maupun negatif. Berbagai dampak negatif perlu dihindari dan dampak positifnya harus dijunjung tinggi.
Salah satu dampak positif dari peradaban modern yang perlu dihargai adalah kebebasan dalam penggunakan akal atau rasio. Sebab penggunaan rasio yang didukung oleh keyakinan terhadap Tuhan yang kuat, akan membuahkan pemikiran merdeka dan tulus dalam mencari kebenaran. Tipe manusia semacam ini adalah selalu haus akan ilmu pengetahuan dan dia akan selalu mengoptimalkan dalam mendayagunakan potensi paling berharga yang dimiliki manusia. Yaitu otak dan qalbunya. Usaha memperoleh keyakinan yang berkaitan dengan kesadaran qalbu dan pemikiran (rasio), bukanlah suatu yang murah, karena keyakinan itu merupakan hasil tertinggi dari kesanggupan manusia. Dampak positif lain yang diperoleh dari peradaban modern adalah tercapainya taraf hidup manusia yang lebih baik, seperti yang sudah dirasakan oleh sebagian umat Islam.
Sedangkan dampak negatif dari peradaban modern adalah membuat manusia lupa akan nilai-nilai spiritualitas. Mereka mempertajam olah akalnya, sehingga kehidupannya hanya bertumpu pada materi. Sampai-sampai muncul anggapan bahwa agama merupakan hambatan manusia untuk mencapai kemajuan. Oleh karena itu, para pembaharu senantiasa harus selalu melakukan berbagai upaya untuk menafsirkan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan tuntutan zaman. Para pembaharu menatap fenomena yang ada pada masanya, kemudian mencari alternatif jalan keluarnya, baik yang menyangkut masalah politik, sosial budaya maupun masalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi permasalahan yang dihadapi para pembaharu di abad modern tersebut sangat kompleks.
Sebagaimana diketahui, bahwa setelah kemerdekaan diraih oleh hampir seluruh negara-negara Islam yang terjajah, para pembaharu berupaya untuk menata segala aspek kehidupan, baik aspek ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Dalam aspek sosio-ekonomi, pada saat itu muncul konsep sosialisme Islam. Sosialisme Islam Syaihk Muhammad Al-Ghazali merupakan sistem ekonomi alternatif yang didasarkan atas nilai-nilai Islam. Ia bertujuan untuk menata kehidupan umat Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup di dunia ini dan di akhirat, namun tetap sesuai dengan ajaran-Nya. Disamping itu sosialisme Islam muncul sebagai reaksi atas sistem ekonomi kapitalis dan sistem sosialis komunis yang kurang mencerminkan nilai-nilai Islam. (Syaikh Mahmud, 1989).
Sebagaimana kita yakini bahwa pandangan Islam tentang kehidupan diwarnai oleh kepastian, keselarasan dan dinamisme. Seluruh karakteristik ini berasal dari filsafat Islam asli, yaitu yang berusaha memadukan berbagai segi kehidupan manusia lewat aksioma etikanya yang universal, yaitu kesatuan (Tauhid), bukannya membeda-bedakan. Islam menganut sistem keseimbangan, kehendak bebas, dan pertanggung jawaban dalam segala aspek kehidupannya. Keseluruhan aksioma etika ini terbentuk dari sistem Islam, yang selanjutnya mengalami proses dan berevolosinya kehidupan manusia. Jelasnya, kegiatan ekonomi manusia harus tunduk kepada tujuan moral yang dominan dalam kesemua aksioma etika ini. Karena adanya masalah tersebut, pandangan Islam mengenai ilmu ekonomi menyusut menjadi subhimpunan dari rangkaian pandangan etika ekonominya mengenai kehidupan pada umumnya.
Sjafruddin Prawiranegara sebagai salah satu pembaharu Islam Indonesia dalam bidang ekonomi, berusaha untuk menuangkan pemikiran sosialisme Islam sebagai jawaban atas permasalahan sosio-ekonomi yang dihadapi umat Islam Indonesia. Atas dasar keyakinan agama yang kuat, beliau berkeinginan untuk menampilkan Islam sebagai kekuatan alternatif dalam menghadapi masalah sosio ekonomi umat. Sjafruddin berpendapat bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29), akan selalu menjunjung tinggi prisip-prinsip ketuhanan dalam segala bidang kehidupannya. Oleh karena itu, walaupun dalam meng-atur kesejahteraan sosial, kelihatan prinsip-prinsip pemikiran sosialistis (Pasal 33), namun negara Republik Indonesia bukan negara sosialis yang anti Tuhan, tetapi sosialisme yang berdasarkan pada religiusitas.
Maka ketika mengutip Alexander Miller dalam bukunya The Christian Significance of Karl Marx, Sjafruddin Prawiranegara menegaskan bahwa ada jurang pemisah yang sangat dalam antara faham Marxisme dengan agama manapun juga. Oleh karena itu, haruslah diketahui oleh orang-orang yang menamakan dirinya komunis atau sosialis, bahwa dasar-dasar Marxisme itu yang penting di antaranya ialah historis materialisme yang sama sekali bertentangan dengan faham ketuhanan dari tiap-tiap agama. Agama dipandang oleh Marxisme sebagai suatu dongengan yang hanya dipergunakan oleh beberapa orang dan golongan untuk mempertahankan kedudukannya, dan menyembunyikan kejahatannya.
Perlu diketahui, bafewa ada seribu satu arti yang dapat diletakkan kepada sosialisme, seperti telah dikumpulkan olek Griffiths, dan di antaranya banyak yang saling berfeeda seperti bumi dengan langit. Maka sosialisme yang berdasarkan kepada dasar agama, berlainan dengan sosialisme Marxisme. Untuk itu Sjafruddin Prawiranegara mempergunafcan istilah sosialisme religius (Religius Socialism). Sosialisme religius ini berlainan sekali dengan sosialisme Marxistis, bahkan bertentangan, maka pada pendapatnya itidak pada tempatnya apabila seorang religius sosialis mengadakan suatu front dengan seorang marxis terhadap suatu partai yang berdasarkan agama. (Ajip Rosidi, 1986).
Sjafruddin mengakui bahwa setelah Kanjeng Nabi Muhammad Saw, yang menurut agama Islam adalah nabi yang terakhir, tidak ada orang di dunia ini yang telah menggoncangkan pikiran manusia begitu kuat seperti Marx. Dan tidak ada satu ajaran yang dapat mengadakan perubahan yang begitu radikal di seperenam bagian dunia ini, seperti ajaran Marx. Apabila Marx itu tidak terang-terangan memungkiri adanya Tuhan dan memusuhi agama, mungkin ia di pandang sebagai seorang nabi oleh sebagian umat manusia. Sekalipun ia tidak dipandang sebagai nabi, namun oleh orang-orang komunis dan sosialis ia dihormati dan dijunjung, dan boleh dikatakan hampir sama dengan seorang nabi, sedang sosialisme itu bagi mereka seolah-olah sebagai ganti dari agama.
Menurut Sjafruddin, jasa Marx dan murid-muridnya seperti Lenin, Stalin dan Mao Zedong kepada manusia bukan hanya terletak dalam bidang ekonomi, seperti perbaikan hidup berjuta-juta kaum gembel, melainkan juga dalam bidang kebatinan dan kerohanian. Sebab hanya dengan demikianlah dapat memahami ketahanan dan semangat pengorbanan dari berjuta-juta manusia yang sanggup menderita dari segala macam percobaan, hingga pada mati untuk cita-cita sosialisme. Katanya lebih lanjut, seluruh riwayat perjuangan sosialis di Rusia dan Tiongkok adalah bukti yang senyata-nyatanya bahwa, bukan benda yang primer yang menentukan semangat dan jiwa manusia, seperti diajarkan oleh historis materialisme, tetapi sebaliknya: roh, akal, dan semangat manusialah yang memberi dasar kepada hidupnya dan yang sanggup menciptakan dunia baru. Semangatlah (geest) yang menguasai benda, bukan sebaliknya, dan semangat itu beserta benda diciptakan oleh Tuhan.
Menurut Sjafruddin, Marx hanya mengemukakan separo kebenaran saja. Alam benda memang penting untuk hidup manusia, tetapi bukan berarti bahwa di samping atau di atas alam benda itu tidak mungkin ada lagi sesuatu yang lebih kuasa terhadap manusia. Untuk hidup sebagai manusia, ia tidak cukup hanya seperti binatang belaka, manusia memerlukan norma-norma yang tidak terdapat dalam alam benda, tetapi diberikan oleh religi (agama) dan rasa ketuhanan. Sehubungan dengan ini, Sjafruddin mengutip Hadits Nabi yang menganjurkan umatnya bekerja keras untuk kepentingan hidup di dunia ini seakan-akan tidak akan mati, tetapi juga menganjurkan beribadah untuk keperluan akhirat seakan mau mati keesokan harinya. Dengan begitu, dia mengatakan bahwa sangat jelas perbedaan antara Marxisme dengan agama seperti Islam dan Kristen.
Perbedaan itu diperlihatkan pula dengan memperbandingkan cara-cara mengarungi kehidupan yang dicontohkan oleh Rasullullah dengan cara-cara yang dilakukan oleh para pengikut Marx. Sementara Rasulullah dan para sahabat memperlihatkan perasaan kasih sayang terhadap sesama manusia, bahkan sampai kepada mereka yang dipandang sebagai musuh yaitu dengan menjauhkan perasaan, perbuatan dendam, dan benci. Akan tetapi, revolosi yang dibangkitkan oleh Lenin dan Stalin, dijalankan dengan tidak mengenal perikemanusiaan. Kawan dan lawan yang dipandang menghambat atau merugikan revolosi, dibasmi dan disingkirkan dengan tidak ada perasaan kemanusiaan sedikitpun.
Menurut Nurcholis Madjid, bahwa dimensi lebih mendalam dari sosialisme religius ialah dikukuhkannya dasar moral cita-cita kemasyarakatan. Pelaksanaan cita-cita tersebut menjadi tidak hanya karena dorongan kehendak berkehidupan yang lebih bahagia di dunia saj a, tetapi juga kehidupan yang lebih kekal di akherat. Sosialisme religius tidak hanya kometmen kemanusiaan, tetapi juga ketuhanan. Sosialisme di Indonesia muncul dari nilai-niali agama. Sosialisme religius menolak pandangan hidup materialisme sebagaimana yang menjadi tujuan sosialisme Marxis. Sosialisme religius tidak juga hasil hukum dialektika, tetapi ia tampil sebagai tuntutan hati nurani, sebagai pergaulan hidup yang menjamin kemakmuran bagi semua orang, memberikan kesejahteraan yang merata, bebas dari segala macam penindasan. (Nurcholis Madjid, 1989).
Sosialisme religius Sjafruddin didasarkan atas tujuan hidup manusia yang dihimpun dari ayat-ayat al-Qur'an dan sunnah Nabi sebagai berikut:
1. Tujuan hidup manusia itu bukanlah mengejar kemakmuran akan barang-barang benda, melainkan mencari ridha Allah Swt. Berbakti kepada Tuhan dengan berbuat baik kepada sesama manusia, inilah yang diwajibkan kepada umat manusia umumnya dan umat Islam khususnya.
2. Berhubungan dengan tujuan hidup manusia tadi, maka Islam mengajarkan bahwa benda-benda itu hanyalah alat belaka, yang akan membantu manusia untuk hidup dan berbakti kepada Tuhannya. Keka-yaan kebendaan tidak boleh dijadikan tujuan hidup. Penimbunan harta, terutama menimbun-nimbun emas dan perak, alat-alat yang sangat digemari oleh manusia sebagai store of wealth diancam dalam al-Qur'an dengan hukuman-hukuman yang berat.
3. Di dalam al-Qur'an dan Hadis terdapat banyak sekali pernyataan-pernyataan, bahwa harta kekayaan itu wajib dibelanjakan di jalan Allah;yakni untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat bagi sesama manusia.
4. Perintah Allah untuk tidak takut dan ragu-ragu membelanjakan harta kekayaan guna tujuan-tujuan yang diridhai Allah, tujuan-tujuan yang bermanfaat bagi sesama manusia, disertai janji Tuhan dalam al-Qur'an (QS. al-A'raf: 96) dan (QS. al-Baqarah: 261).
Undang-undang Dasar 1945 juga mengamanatkan agar pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia ini haruslah tetap mempertahankan nilai-nilai moralitas religius sebagai landasannya. Pemikiran sosialisme di Indonesia sebagaimana yang dikemukakan oleh Sjafruddin Prawiranegara adalah dalam rangka untuk memberikan landasan moral religius bagi pemba¬ngunan bangsa dan negara terutama dalam pembangunan sosio-ekonomi, sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai amanat konstitusi dapat direalisasikan.
Pada masa sulit seperti sekarangini, sebagai akibat dari peninggalan rezim orde baru yang ditandai dengan adanya krisis moneter, krisis ekonomi dan krisis kepercayaan, meyebabkan lemahnya partisipasi masyarakat untuk merespon pembangunan nasional, bahkan tidak jarang karena adanya kesenjangan sosial mengancam bangsa ini menuju pada disintegrasi yang sangat membahayakan. Jauh sebelum itu Sj afruddin Prawiranegara telah mengingatkan, bahwa: Krisis ekonomi dan Politik di Indonesia ini pada hakikatnya merupakan geloofs dan morele crisis (krisis keimanan dan krisis moral), yangtidakdapat diobati dengan alat-alat dan cara-cara lain melainkan hanya dengan kembali kepada Tuhan melalui norma-norma agama dan moral, yang menyuruh manusia bukan untuk mengejar kekayaan, melainkan untuk mengabdi dan berkorban guna kepentingan sesama manusia. (Sjafruddin Prawiranegara, 1986)
Dengan melihat realitas yang ada seperti sekarang ini barangkali penyebabnya adalah sama, yaitu; melemah-nya nilai-nilai moralitas religius bangsa Indonesia terutama bagi pemegang kebij aksanaan dan para pelaku ekonomi, sehingga keadilan sosial yang seharusnya dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia hanya dirasakan oleh segelintir orang. Oleh karena itu, penulis merasa terpanggil untuk mengangkat tema Islam Sosialis, Pemikiran Sistem Ekonomi Sosialis Religius Sjafruddin Prawiranegara. Sebab pemikiran sosialis religius beliau penuh dengan muatan etik dan moral yang dapat diimplementasikan dalam situasi pelik seperti sekarang ini, terutama untuk menciptakan suatu tatanan sosio-ekonomi yang adil dan merata.*
0 komentar:
Posting Komentar