Ketika realitas kontemporer terkuak
dan kemudian muncul gambaran: kaum lemah berhadapan secara tidak seimbang
dengan kaum kuat, warga negara berbenturan dengan tirani kekuasaan dan masyarakat
teknologi-industrial merasakan keterasingan dahsyat yang mengungkungi
eksistensinya, ini berarti manusia sedang menghadapi problem kemanusiaannya.
Oleh karena itu "pembebasan", yang berarti memanusiakan manusia,
menjadi kata kunci yang paling penting dan mendasar bagi segala upaya solusif
meningkatkan kesejahteraan umat manusia dalam setiap dimensi kehidupannya dan
pada gilirannya mengangkat citra kehidupan itu sendiri pada stage-nya yang
paling tinggi dan mulia.
Upaya pembebasan, dengan demikian,
merupakan agenda utama dan bermoral yang seharusnya mendasari setiap kerja,
baik yang sistemik-institusional maupun imaginatik-improvisasional, dari
berbagai "elemen sejarah kemanusiaan"--yang pada situasi kontemporer
dewasa ini sangat didominasi oleh pasar-ekonomi kapitalistik dan mekanisme
negara-politik totalitarian, dengan segala varian-variannya yang berskala lokal
dan global. Suatu kenyataan-ambiguik yang seringkali mengantarkan kita kepada
situasi yang ironik dan tragik, namun--pada saat yang sama--sesungguhnya
menantang (!) segala potensi kritik dan kreatif-inovatif dari setiap kita untuk
mendayagunakan "yang telah ada" dan membuka kemungkinan-kemungkinan
baru dari "yang belum ada" bagi program kemanusiaan: Pembebasan.
Di sini, akan dengan sendirinya memunculkan
pertanyaan-pertanyaan: di manakah sesungguhnya terdapat jalan pembebasan?
Adakah ia selama ini telah tertimbun oleh debu-debu sejarah sehingga membeku
menjadi fosil? Ataukah ia semacam sungai yang mengalir, yang setiap upaya
membendungnya akan berujung pada problem "genangan" yang selalu
mencari celah-celah untuk keluar, dan bahkan bila terpaksa akan menjebol
bendungan yang menghalanginya?
Asghar Ali Engineer, seorang pemikir
dan aktifis da'i yang memimpin salah satu kelompok Syiah Ismai'liyah, Daudi
Bohras (Guzare Daudi) di Bombay India, bahkan telah melampaui
pertanyaan-pertanyaan itu dan menawarkan agama (Islam) sebagai sebuah jalan
pembebasan, atau dalam bahasanya sendiri: sebagai religiositas yang senantiasa
menyatakan keterlibatan emosi yang tulus dengan visi moral dan spiritual yang
menunjuk kepada pengalaman manusia yang agung untuk memperjuangkan harkat
kemanusiaannya.
Dengan pilihannya ini, Asghar
seperti tampak dalam bukunya yang diterjemahkan: Islam and Its Relevance To Our
Age, tentu harus melakukan kerja keras membongkar berbagai perwujudan tradisi,
pelembagaan ajaran dan bangunan pemikiran keagamaannya sendiri, yang karena
berbagai proses sejarah yang panjang telah mengalami berbagai distorsi dan
dogmatisasi, sehingga agama seringkali justru menjadi faktor irrelevan bagi
suatu gerak pembebasan. Dan dengan sendirinya, melalui buku ini, Asghar
sekaligus membuktikan watak liberatif dan progresif dari agama. Esensi dan
kekuatan Islam terletak pada watak pembebasannya, dan karena esensi itulah
Islam telah ikut memaknai perubahan sosial di berbagai kawasan dunia.
Penerbitan buku Asghar Ali
Engineer--pertama kali dalam edisi Indonesia--ini sebetulnya ingin menambah
hiruk pikuk pencarian pemikiran Islam masa depan.
Kata
Pengantar
Memikirkan Kembali Asumsi Pemikiran Kita
Oleh: Djohan Effendi
Sejak lebih dari dua dekade yang
lalu di kalangan umat Islam Indonesia dihadapkan pada gagasan tentang betapa
perlu menghidupkan kembali "teologi rasional". Usaha menghidupkan
kembali "teologi rasional" itu dianggap perlu untuk mengejar
keterbelakangan umat Islam yang diakibatkan, menurut penganjur gagasan
tersebut, antara lain karena mereka terbelenggu oleh "teologi
tradisional" yang mereka anut. Teologi ini terutama dikaitkan dengan paham
jabariah atau fatalisme, yang dianggap melahirkan sikap pasif, pasrah dan
menyerah pada suratan takdir. Prof. Dr. Harun Nasution adalah salah seorang
penganjur utama "teologi rasional" itu. Karena itu beliau dianggap
sebagai pelopor kebangkitan apa yang disebut sebagai "Neo-Mu'tazilah".
Tentu saja kita bisa mempertanyakan validitas konstatasi tersebut dilihat dari
segi faktual. Bersamaan dengan itu menyembul pula gagasan tentang keperluan
usaha pembaharuan dalam pemikiran umat Islam. Salah seorang penganjur utamanya
adalah Cak Nur (Dr. Nurcholish Madjid) yang mencanangkan ide
"liberalisasi" dan "sekularisasi".
Gagasan pembaharuan itu makin
menggema dengan lontaran-lontaran ide Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Ia
menganggap gerakan "kultural" yang sibuk dalam tataran ide saja belum
cukup, akan tetapi ia juga menentang gerakan "politik" yang cenderung
memanipulasi agama untuk memperoleh kekuasaan. Gus Dur lebih menekankan
perhatian dan pemikirannya pada gerakan "sosio-kultural yang bermuara pada
transformasi sosial umat Islam dalam konteks kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat. Dalam perspektif ini terasa "teologi rasional" saja
tidak memadai dan tidak menjawab tantangan nyata yang dihadapi umat Islam.
Kontroversi antara "teologi rasional" versus "teologi tradisional"
bagi kalangan aktivis yang concern pada berbagai fenomena ketidakadilan dalam
kehidupan masyarakat tidaklah relevan. Dirasakan keperluan untuk merumuskan
sejenis teologi yang lain, "teologi transformatif". Beberapa pemikir
muslim mencoba menggali dan merumuskan "teologi transformatif" itu.
Kesadaran tentang keperluan
"teologi transformatif" itu rupanya tidak hanya muncul di Indonesia,
akan tetapi juga di negeri-negeri muslim lainnya. Kita bisa menyebut Dr. Hassan
Hanafi (Mesir) yang terkenal dengan gagasan Al-Yasari 'l-Islami (Kiri Islam)
dan menulis karya monumental "Mina 'l-Aqidah ila 'l-Thawrah" (Dari
Teologi ke Revolusi) sebanyak 5 jilid. Juga Ziaul Haque (Pakistan, bukan Zia ul
Haq yang mantan Presiden) yang menulis buku yang cukup provokatif, "Revelation
and Revolution in Islam" (Wahyu dan Revolusi dalam Islam). Selain itu
harus pula disebut nama Asghar Ali Engineer (India), yang terjemahan bukunya
"Islam and Its Relevance to Our Age" ada di tangan pembaca sekarang
ini.
Berbeda dengan kedua nama yang
disebutkan di atas, Asghar Ali Engineer bukan hanya seorang pemikir, tetapi
juga seorang aktifis. Kebetulan, ia merupakan pemimpin salah satu kelompok Syi'ah Isma'iliyah,
Daudi Bohras (Guzare Daudi) yang berpusat di Bombay India. Melalui wewenang
keagamaan yang ia miliki, Asghar Ali berusaha menerapkan gagasan-gagasannya.
Untuk itu ia harus menghadapi reaksi generasi tua yang cenderung bersikap
konservatif, mempertahankan kemapanan.
Untuk memahami latar belakang keagamaan
Asghar Ali, ada baiknya diketahui sepintas lalu kelompok Daudi Bohras ini. Para
pengikut Daudi Bohras dipimpin oleh Imam sebagai pengganti Nabi yang dijuluki
Amiru 'l Mukminin. Mereka mengenal 21 orang Imam. Imam mereka yang terakhir
Mawlana Abu 'l-Qasim al-Thayyib yang menghilang pada tahun 526 H. Akan tetapi
mereka masih percaya bahwa ia masih hidup hingga sekarang. Kepemimpinannya
dilanjutkan oleh para Da'i (dari perkataan itu berasal ungkapan Daudi) yang
selalu berhubungan dengan Imam terakhir itu. Untuk diakui sebagai seorang Da'i
tidaklah mudah. Ia harus mempunyai 94 kualifikasi yang diringkas dalam 4
kelompok: (1) kualifikasi-kualifikasi pendidikan; (2) kualifikasi-kualifikasi
administratif; (3) kualifikasi-kualifikasi moral dan teoritikal, dan (4)
kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian. Yang menarik adalah bahwa di
antara kualifikasi itu seorang Da'i harus tampil sebagai pembela umat yang
tertindas dan berjuang melawan kezaliman. Asghar Ali adalah seorang Da'i.
Dengan memahami posisi Asghar di
atas kita tidak heran mengapa Asghar Ali Engineer sangat vokal dalam menyoroti
kezaliman dan penindasan. Ia menganjurkan bukan sekedar merumuskan
"teologi transformatif" akan tetapi lebih dari itu. Asghar Ali
menghimbau generasi muda Islam untuk merekonstruksi "teologi radikal
transformatif". Ketika gagasan Teologi Pembebasan muncul di kalangan
gereja Katolik di Amerika Latin, yang ternyata tidak direstui Vatikan, ia
menulis artikel "Teologi Pembebasan dalam Islam". Tulisan-tulisan
dalam buku ini sarat dengan analisa filosofikal dan historikal untuk merumuskan
"Teologi Pembebasan dalam konteks modern" seperti diinginkan oleh
Asghar Ali.
Berdasarkan telaah kesejarahan
terhadap dakwah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW di masa-masa permulaan, misalnya,
Asghar Ali sampai pada kesimpulan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang
revolusioner, baik dalam ucapan maupun dalam tindakan, dan beliau berjuang
untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal dalam struktur masyarakat di
zamannya. Bertolak dari situ, agaknya, lalu Asghar Ali merevisi konsep dan
pengertian mukmin dan kafir, yang berbeda dengan apa yang umum dipahami oleh
umat Islam sekarang. Ia menulis:
"...orang-orang kafir dalam
arti yang sesungguhnya adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan terus
membiarkan kezaliman dalam masyarakat serta merintangi upaya-upaya menegakkan
keadilan...".
Dengan demikian bagi Asghar Ali,
seorang mukmin sejati bukanlah sekedar orang yang percaya kepada Allah akan
tetapi juga ia harus seorang mujahid yang berjuang menegakkan keadilan, melawan
kezaliman dan penindasan. Jadi, kalau ia tidak berjuang menegakkan keadilan dan
melawan kezaliman serta penindasan, apalagi kalau ia justru mendukung sistem
dan struktur masyarakat yang tidak adil, walaupun ia percaya kepada Tuhan,
orang itu, dalam pandangan Asghar, masih dianggap tergolong kafir.
Pemahaman dan penafsiran konsep
mukmin dan kafir ini, saya rasa, adalah kunci untuk memahami pemikiran Asghar
Ali. Yang pasti, untuk banyak orang akan mengagetkan. Dari situ ia menyodorkan
reinterpretasi dan rekonseptualisasi tentang berbagai terma-terma keagamaan,
dan menawarkan
reevaluasi terhadap berbagai
gerakan-gerakan umat Islam di masa lalu dalam perspektif Teologi Pembebasan
yang menuntut perubahan struktur sosial yang tidak adil dan menindas. Asghar
Ali bahkan memaksa kita untuk memikirkan kembali asumsi-asumsi kepercayaan,
pemikiran dan sikap keberagamaan kita secara radikal. Tulisan-tulisan Asghar
Ali dalam buku ini membantu kita untuk melakukan pemikiran kembali itu. Semoga
bermanfaat.
Asal Usul Islam
Suatu agama, baik yang mengaku
sebagai agama wahyu maupun tidak, tidak bisa lepas dari pengaruh situasi
asal-usulnya yang kompleks. Adanya campur tangan Tuhan sekalipun, tidak bisa
terlepas dari pengaruh-pengaruh ini. Teologi Islam, sebagaimana dinyatakan oleh
Al-Qur'an, tidak mengenal konsep campur tangan Tuhan yang semena-mena, bahkan
dalam teologi Asy'ariah sekalipun. Pernyataan Al-Qur'an dalam masalah ini
sangat jelas.
"Kamu tidak akan pernah
menemukan perubahan apa pun pada sunnah Allah".[1]
Bahkan pahala dan siksa Tuhan,
berbeda dengan teologi Calvinis, bukan atas dasar tindakan Tuhan yang
semena-mena. Al-Qur'an menyatakan,
"Tidak ada sesuatu pun bagi
manusia, kecuali apa yang diupayakan".[2]
Tentu saja, petunjuk Allah (taufiq
min Allah) tidak ditolak, tetapi petunjuk Allah itu, sepanjang perhatian
teologi Al-Qur'an, tidaklah bersifat semena-mena. Taufiq (petunjuk Allah) dalam
teologi Islam sesungguhnya merupakan potensi untuk bertindak yang diciptakan
Tuhan, yang masih mempunyai kemungkinan dapat atau tidak dapat
diaktualisasikan, karena manusia adalah "agen" yang bebas.
Proses historis juga sangat
diperlukan dalam Islam. Sejarah bukanlah mitos, bukan pula suatu proyek
arbitrer yang sama sekali tidak mempunyai kausalitas sosial. Al-Qur'an memang
mempunyai pendekatan teleologis sebagaimana kisah nabi-nabi Israel yang
diceritakan dengan penggambaran yang jelas, tetapi kausalitas tidaklah
diabaikan begitu saja. Kemurkaan Allah kepada suatu bangsa atau seseorang
diberlakukan ketika mereka mengabaikan proses kausalitas sosial dan berbuat
menyimpang dari sunnah-Nya, baik secara fisik (hukum alam) maupun moral
(hukum-hukum etik yang mengacu pada hudud Allah dalam Al-Qur'an). Al-Qur'an
menyatakan:
"Telah banyak negeri yang
Kuhancurkan ketika warganya melakukan kezaliman. Maka reruntuhannya menimpa
atap-atapnya, dan bagaimana telaga dan gedung-gedung (mereka
tinggalkan)."[3]
Dan lagi,
"Dan banyak negeri yang aku
biarkan, sementara warganya berbuat zalim, lalu setelah sampai waktunya, Aku
kenakan siksa bagi mereka..."[4]
Dengan demikian kita melihat bahwa
teologi Islam, sebagaimana dinyatakan Al-Qur'an, sama sekali tidak mengabaikan
determinisme sejarah,[5] tetapi sebaliknya, secara serius memperhatikan
peristiwa sejarah serta pengaruh-pengaruhnya yang menentukan. Islam juga
mencoba menanmkan kesadaran sejarah pada umatnya. Al-Qur'an berkata:
"Apakah mereka tidak pernah
melakukan penjelajahan di muka bumi? Mereka mempunyai hati yang dengannya
mereka dapat memahami, dan mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat
mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta
adalah mata-hati yang ada di dalam dada."[6]
Apa yang dinyatakan secara jelas
adalah bahwa kesadaran yang tepat diperlukan untuk memahami sesuatu dan
mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa sejarah, dan bukan semata-mata
persepsi inderawi yang dimiliki setiap orang.
Sebelum kita membahas lebih lanjut
asal-usul Islam, kiranya kita perlu memahami istilah "determinisme
sejarah" dengan tepat. Hal ini tidak lain untuk menghindari
kesalahpahaman. Istilah ini tidak menafikan lingkup yang sah bagi inisiatif
manusia yang bagaimanapun sesuai dengan persepsi manusia tentang tujuan
ilahiyah.[7]
Menjelang dewasa, Nabi menemukan
situasi yang sangat kacau di Mekkah, tempat Islam dilahirkan. Seorang yang
berperilaku jujur, yang memperoleh gelar Al-Amin, tentulah sangat gelisah
melihat situasi yang ada di hadapannya, dan mencari jalan keluarnya. Seorang
yang sangat rendah hati tapi berhati dan berotak luar biasa cerdas, mulai
mencari jalan keluar yang kemudian menuntunnya untuk menyendiri di gua Hira, di
sebuah pegunungan berbatu di luar kota Mekkah. Muhammad, Nabi Islam itu,
setelah melewati hari-hari meditasi dalam kesendiriannya di gua, akhirnya
memperoleh cahaya wahyu Tuhan. Wahyu, secara essensial, berwatak religius,
namun tetap menaruh perhatian pada situasi yang ada serta memiliki kesadaran
sejarah. Ayat-ayat pertama Al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi, sebagaimana
nanti akan kita lihat, mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap
situasi yang terjadi di Mekkah.
Lalu, bagaimana situasi Mekkah
ketika itu? Mekkah sejak akhir abad kelima telah berkembang menjadi pusat
perdagangan yang penting. "Mekkah menjadi makmur, karena lokasinya berada
pada rute strategis dan menguntungkan dari Arabia Utara ke Arabia Selatan;
Mekkah menjadi jalur utama perdagangan dan menjadi pusat pertemuan para
pedagang dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, Laut Merah melalui Jeddah,
bahkan dari Afrika.[8] Dengan demikian Mekkah berkembang menjadi pusat keuangan
dari kepentingan internasional yang besar. Karena itu, bersamaan dengan
berkembangnya perdagangan dan peredaran uang, suatu pandangan hidup dan cara
pandang baru pun muncul, meskipun belum dinyatakan secara sadar dan tepat. Kerja
komersial tentu mempunyai logikanya sendiri dan mengarahkan masyarakat pada
suatu cara hidup tertentu. Dinamika sosial dalam masyarakat Mekkah yang seperti
itu mengarahkan pada suatu kehidupan yang tidak selaras dengan kehidupan
masyarakat yang beralaskan norma-norma kesukuan.
Pada pasir di sekitar Mekkah yang
tak bersahabat membuat beberapa suku merasa tenang hidup di Mekkah. Namun,
sejalan dengan pertumbuhan ekonomi perdagangan yang sangat cepat, biaya
kehidupan di Mekkah menjadi masalah baru bagi suku-suku itu. Orang-orang Baduy
itu mempunyai cara pandang dan etika kesukuan tertentu, misalnya watak
egalitarian. Mereka terbiasa bebas dari semua bentuk tanggungjawab kecuali
sebatas apa yang menyangkut suku mereka. Suku-suku padang pasir itu hidup
nomadik, karena itu tidak banyak mengembangkan tradisi pemilikan pribadi
kecuali sebatas hewan peliharaan dan persenjataan ringan. Kebutuhan-kebutuhan
mereka pun sangat sederhana sekedar untuk melangsungkan kehidupan dan ditandai
tidak adanya ekonomi uang (cash economy). Oleh karena itu, masalah akumulasi
dan pemusatan kekayaan, tidak muncul.
Di satu sisi, masyarakat pedagang
(yang berdasar pada sirkulasi produk, bukan pada produksinya), tergantung pada
perluasan ekonomi uang. Masyarakat ini mengembangkan lembaga-lembaga pemilikan
pribadi, memperbanyak keuntungan, menumuhkan disparitas ekonomi dan pemusatan
kekayaan. Etika masyarakat perdagangan itu tentu saja bertabrakan dengan etika
masyarakat kesukuan. Kebangkrutan sosial di Mekkah, sesungguhnya berakar pada
konflik-konflik ini. Karena cepatnya perkembangan operasi perdagangan, beberapa
pedagang yang memiliki keahlian yang berasal dari berbagai klan dan suku, terus
menerus memperbanyak kekayaan pribadinya. Bahkan mereka membentuk korporasi
bisnis antar-suku dan menerapkan monopoli pada kawasan bisnis tertentu di
tempat asal mereka. Orang-orang lemah dan tersingkir dari persaingan bebas ini
mencoba membentuk asosiasi yang mereka sebut Hilf al-Fudul (Liga Orang-orang
Tulus).
Nabi tergabung dalam Liga ini dan
selalu merasa bangga dengan persekutuannya dengan Liga tersebut. Berbagai
penjelasan telah ditawarkan untuk pembentukan Liga ini.[9]
Demikian pula orang-orang miskin,
lemah, terlantar dan tak terlindungi yang terjebak dalam proses sosial yang tak
terelakkan itu merebak di pinggiran kota perdagangan Mekkah. Dalam struktur
masyarakat kesukuan, hancurnya struktur masyarakat kesukuan di Mekkah
bertanggungjawab terhadap terbukanya pintu ketegangan sosial.[10] Sementara
itu, monopoli perdagangan sedang muncul di Mekkah.[11]
Agama apapun, sebagaimana telah
dinyatakan di muka, membawa ciri-ciri asal-usul kelahirannya, sekalipun agama
itu agama wahyu. Ajaran Islam sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Qur'an, tanpa
pengecualian juga terkena hukum ini. Tuhan menjanjikan dalam Al-Qur'an untuk
mengutus seorang pembimbing atau seorang pemberi peringatan ketika suatu
masyarakat menghadapi krisis sosial dan krisis moral. Muhammad dipilih sebagai
instrumen kemahabijaksanaan Tuhan untuk membimbing dan membebaskan rakyat
Arabia dari krisis moral dan sosial yang lahir dari penumpukkan kekayaan yang
berlebih-lebihan sehingga menyebabkan kebangkrutan sosial. Islam bangkit dalam
setting sosial Mekkah, sebagai sebuah gerakan keagamaan, namun lebh dari itu,
ia sesungguhnya sebuah gerakan transformasi dengan implikasi sosial ekonomi
yang sangat mendalam. Islam, dengan kata lain, menjadi tantangan serius bagi
kaum monopolis Mekkah.
Harus dicatat, kaum hartawan Mekkah,
bukan tidak mau menerima ajaran-ajaran keagamaan Nabi--sebatas ajaran-ajaran tentang
penyembahan kepada satu Tuhan (Tauhid). Hal itu bukanlah sesuatu yang
merisaukan mereka. Yang merisaukan mereka justru implikasi-implikasi
sosial-ekonomi dari risalah Nabi itu. Seperti diketahui, di sana telah
berkembang kepentingan ekonomi perdagangan yang sangat kuat. Mereka semuanya
merasakan bahwa di dalam risalah Nabi terdapat suatu yang mengancam kepentingan
mereka, yakni kepentingan akumulasi kekayaan yang selama ini berjalan tanpa
rintangan. Namun sekarang ayat-ayat Al-Qur'an mencela penumpukan kekayaan itu.
Salah satu ayat yang diturunkan di Mekkah pada awal-awal Islam mengatakan:
"Celakalah bagi setiap
pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia
mengira bahwa harta itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya
dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthomah. Dan tahukan kamu Huthomah
itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar)
sampai ke ulu hati."[12]
Fakta bahwa Islam lebih dari sekedar
sebuah agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi sosial
dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi, dibuktikan oleh
penekanannya pada shalat dan zakat. Dalam kebanyakan ayat Al-Qur'an, shalat
tidak pernah disebut tanpa diiringi dengan zakat. Zakat, seperti digariskan
Al-Qur'an, dimaksudkan untuk distribusi kekayaan kepada fakir dan miskin, untuk
membebaskan budak-budak, membayar hutang mereka yang berhutang dan memberikan
kemudahan bagi ibnu as-sabil (yang secara harfiah diartikan sebagai
infrastruktur bagi orang-orang yang berpergian). Di Arab ketika itu,
langkah-langkah seperti itu dirasakan sebagai hal baru yang sangat
revolusioner, karena itu masyarakat bisnis Mekkah, yang merasa kepentingannya
terancam melakukan perlawanan terhadap Nabi.
Signifikansi transformatif dari
ajaran Islam, lebih lanjut dibuktikan oleh kenyataan bahwa ajaran-ajaran itu
lahir di dalam polarisasi kekuatan-kekuatan sosial. Budak-budak dan orang-orang
yang tidak pandai berdagang di satu pihak, dan pemuda-pemuda radikal di pihak
lain, bersatu mendukung Nabi. Orang-orang kafir yang menentang risalah Nabi
merasakan hal itu sebagai pukulan keras bagi kepentingan mereka. Masalah ini
diisyaratkan dalam Al-Qur'an ketika ia mengatakan:
"Dan kami tidak mengutus pada
suatu negeri seorang pemberi peringatan, melainkan orang-orang yang hidup mewah
dinegeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus
untuk menyampaikannya."[13]
Tapi Al-Qur'an memperingatkan
orang-orang kaya ini:
"Dan sekali-kali bukanlah harta
dan (bukan) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepadaKu sedikitpun; tetapi
orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh."[14]
Dengan demikian sangat jelas bahwa
orang-orang kafir dalam arti yang sesungguhnya adalah orang-orang yang menumpuk
kekayaan dan menghidupkan terus menerus ketidakadilan serta merintangi
upaya-upaya menegakkan keadilan dalam masyarakat. Keadilan, sebagaimana nanti
akan kita lihat, merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran Islam di
bidang ekonomi.
Karena memperluas jaringan
perdagangan di tingkat internasional, Mekkah siap berada di puncak revolusi
sosial. Namun, hingga munculnya Islam, tidak ada pemimpin terkemuka yang mampu
mengartikulasikan teori yang sistematis dan masuk akal untuk memajukan
masyarakat Mekkah, baik pada dataran spiritual maupun pada dataran fisik.
Muhammad, adalah orang pertama yang memikirkan proses perubahan yang terjadi
dalam masyarakat Mekkah secara serius. Tetapi, visi dan pemikiran Nabi dalam
mengembangkan ajaran-ajarannya itu tidak semata-mata ditentukan oleh situasi
Mekkah saja. Ajaran-ajarannya, yang diekspresikan dalam idiom-idiom
religio-spiritual, sangatlah universal dalam pelaksanaannya dan menimbulkan
restrukturisasi masyarakat secara radikal. Kita akan membahas masalah ini
secara detail, agar kita mampu memahami kekacauan dunia Islam saat ini.
Sebagaimana yang dikemukakan dengan
tepat oleh Muhammad Ahmad Khalfallah, pada dasarnya Nabi Muhammad adalah
seorang revolusioner dalam ucapan maupun dalam perbuatannya. Ia bekerja demi
perubahan radikal pada struktur masyarakat sosial pada masanya.[15] Ia
mengabaikan
kemapanan di kotanya, yang telah
dikuasai oleh orang-orang kaya dan penguasa Mekkah. Rumusan yang didakwahkan,
La ilaha illa Allah, dengan sendirinya sangat revolusioner dalam implikasi
sosial-ekonominya. Kekuatan revolusioner manapun, pertama-tama haruslah
merombak status-quo, sebelum alternatif lainnya bisa berfungsi. Dengan
mendakwahkan La ilaha illa Allah, Nabi Muhammad tidak hanya menolak
berhala-hala yang dipasang di Ka'bah, tetapi juga menolak untuk mengakui
otoritas kelompok kepentingan yang berkuasa dan struktur sosial yang ada pada
masanya.
Orang-orang kafir Mekkah lebih
merasa terusik oleh implikasi-implikasi revolusioner teolog Muhammad ketimbang
dakwahnya yang menantang penyembahan berhala. Semua tokoh penentangnya berasal
dari kelas pedagang kaya yang merasa terancam otoritas dan dominasi mereka.
Ancaman itu dirasakan begitu serius sehingga mereka memutuskan untuk menyiksa
para pengikut Muhammad kapan dan di manapun. Karena alasan tersebutlah, Nabi
memerintahkan para pengikutnya untuk hijrah ke Medinah, tempat di mana dia
memperoleh dukungan dan jaminan tertentu. Bahkan sekelompok pengikutnya ada
yang sudah lebih dulu hijrah ke Ethiopia.
Nabi Muhammad, dengan inspirasi
wahyu ilahiyah menurut formulasi teologis, mengajukan sebuah alternatif tatanan
sosial yang adil dan tidak eksploitatif serta menentang penumpukkan kekayaan di
tangan segelintir orang (oligarki). Memang rumusan Al-Qur'an lebih bersifat
teologis, tidak sosiologis, seperti pada umumnya sistem berpikir yang
dirumuskan pada masa kenabian, tetapi semua orang akan melihat betapa
rumusan-rumusan itu mempunyai implikasi-implikasi sosial yang sangat besar.
Distribusi kekayaan yang berlebih kepada kelompok masyarakat yang lemah
diistilahkan dengan infaq fi sabilillah. Al-Qur'an mengutuk orang-orang yang
menimbun emas dan perak, tidak menafkahkannya di jalan Allah serta meminta Nabi
untuk memperingatkan mereka, bahwa hukuman yang berat menunggu mereka.[16]
Dengan struktur ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ketika itu, maka
satu-satunya jalan untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang lemah
adalah memberi tanggung jawab kepada orang-orang kaya untuk membagikan
kelebihan kekayaan di jalan Allah.
Haruslah diingat, bahwa ketika
revolusi sosial didakwahkan melalui konsep-konsep religius, maka terma yang
demikian itu pasti digunakan. Namun untuk mempertahankan keutuhan ruh dari
ajaran-ajaran teologis ini, maka diskursus teologis ini harus ditafsirkan
kembali dalam terma sosial, politik dan ekonomi modern. Ajakan teologis untuk
membagikan kelebihan kekayaan di jalan Allah, dalam terma sosial modern,
ditransformasikan menjadi penciptaan institusi-institusi yang tepat misalnya
pemilikan alat-alat produksi oleh masyarakat, penarikan pajak melalui negara
untuk pembiayaan berbagai proyek kesejahteraan rakyat, dan institusi-institusi
lain yang mampu memeratakan kekayaan di dalam masyarakat.
Nabi tidak pernah berkeinginan untuk
memutarbalik roda sejarah. Ia sangat keras mengecam praktek riba yang eksploitatif,
namun sama sekali tidak mengharamkan laba yang diperlukan dalam masyarakat
perdagangan. Hanya saja ia memberi batasan-batasan tertentu untuk menghilangkan
praktek-praktek pemerasan dan penghisapan yang dilakukan oleh para pedagang
yang serakah dan tidak jujur. Menghilangkan sama sekali laba akan membuat surut
masyarakat komersial yang sedang berkembang. Tentu saja, semua praktek licik
yang dianggap curang atau mengambil keuntungan yang tak semestinya dari
seseorang sangat dikutuk. Ibnu Hazm, seorang ahli hukum terkenal menyatakan
prinsip transaksi terbuka:
"Penjualan suatu barang yang
fakta-faktanya tidak diketahui oleh penjual tidak dibenarkan, sekalipun
diketahui oleh pembeli; demikian pula untuk komoditas yang tidak jelas bagi
pembeli meskipun penjual mengetahuinya. Transaksi barang-barang yang kedua
belah pihak (penjual dan pembeli) tidak mengetahui fakta-faktanya, juga tidak
diperbolehkan (tidak sah)."[17]
Dalam situasi tertentu, bahkan di
negara-negara sosialis sekali pun, perdagangan swasta, perusahaan bahkan
produksi tetap diperbolehkan pada skala yang terbatas, selama tidak menimbulkan
eksploitasi-eksploitasi terhadap orang lain. Seseorang tidak bisa kaku dalam
masalah-masalah seperti ini. Sangat bergantung pada situasi tempat kita
berurusan. Nabi sadar benar akan situasi dan idealismenya selalu mempunyai
dimensi historis. Karena untuk berhasil, suatu revolusi sosial harus memiliki
kesadaran sejarah dan harus merespon kebutuhan-kebutuhan yang secara sosial
dirasakan oleh orang-orang yang terkena revolusi sosial tersebut. Konsep riba
tersebut (biasanya diterjemahkan sebagai bunga) juga harus dipahami dalam
konteks sejarah yang tepat. Motif nyata untuk melarang riba (persoalan ini akan
dibicarakan secara rinci di bab lain) adalah untuk mengakhiri eksploitasi
terhadap orang-orang yang tidak berdaya, dan bukan merupakan larangan total
terhadap semua bentuk bunga. Konsep riba, menurut saya, juga harus termasuk
keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari 'eksploitasi' tenaga kerja, atau
keuntungan dari penanaman modal yang mengabaikan kebutuhan-kebutuhan dasar
masyarakat.
Al-Qur'an, di samping mendakwahkan
cita-cita Islam, tidak pernah mengabaikan konteks situasinya dan, sebenarnya
hal inilah yang menjadi rahasia keberhasilannya. Misalnya ia tidak mengambil
pendekatan kelas dengan jelas, karena pendekatan itu hampir-hampir tidak akan
berfungsi dalam situasi sejarah berikutnya. Al-Qur'an membenci perbudakan, tapi
tidak segera menghapusnya begitu saja. Perbudakan bukan merupakan bagian
integral dari sistem ekonomi di Mekkah. Meskipun begitu, perbudakan tetap
menjadi masalah yang sangat penting. Terlepas dari dukungan biaya yang bisa
diperoleh Nabi dari tokoh-tokoh penting di Mekkah dan Medinah, penghapusan
perbudakan bisa menimbulkan masalah baru yang tak terpecahkan pada masa
permulaan Islam.[18] Nabi menempuh cara-cara gradual untuk menghapuskan
perbudakan. Nabi juga memberikan hak-hak budak yang sebelumnya terabaikan.
Namun, sayangnya konteks sejarah belum matang untuk pembebasan budak secara
total, dan karenanya, alih-alih melemah, lembaga perbudakan malah semakin
menguat setelah Nabi wafat. Setelah imperium Byzantium dan Persia berhasil
ditaklukkan, Islam berubah menjadi feodal (feudalised) dan menjadi kekuatan
yang eksploitatif yang terlembaga selama tiga dekade serta telah kehilangan
elan pembebasannya. Para ahli hukum Islam berhadapan dengan situasi kesejarahan
yang konkrit, melakukan kodifikasi hukum syari'ah di bawah pengaruh atmosfir
tersebut, dan dengan demikian mereka juga kehilangan elan pembebasan
Islam-awal. "Kerusakan berat" pada elan pembebasan dan progresivitas
Islam ini telah ditimbulkan oleh para ahli teologi dan ahli hukum Islam dengan
cara mengaburkan apa yang diperintah oleh batasan-batasan situasional. Generasi
berikutnya mengikuti mereka secara tidak kritis dan dengan demikian terciptalah
suatu tatanan syari'ah yang kaku dan tidak dapat diubah. Sementara itu, ulama
masa kini--dengan semangat tidak kritis yang sama--menganggap hukum-hukum yang
dirumuskan oleh ulama terdahulu sama dengan kebijaksanaan Ilahi dan mempunyai
validitas abadi. Mereka juga mengabaikan fakta bahwa kebijaksanaan Ilahiyah
bersifat transendental, melampaui batas-batas ruang dan waktu. Salah satu
fungsi Tuhan yang essensial adalah rububiyyah yang didefinisikan oleh Imam
Raghib Asfahani sebagai membimbing ciptaan-Nya melalui tahap-tahap evolusi yang
berbeda ke arah kesempurnaan.[19] Jika kebijaksanaan ilahiyah harus tetap
berlaku, para ulama mestinya berupaya terus menerus untuk memecahkan ketegangan
antara yang aktual dan yang mungkin, yang nyata dan yang ideal, yang sementara
dan yang abadi.
Masalah lain yang juga selalu
disalahpahami adalah makna jihad dalam Islam. Selama ini jihad diartikan
sebagai persetujuan Islam untuk menggunakan cara kekerasan. Kesan, bahwa Islam
mengabsahkan cara kekerasan dalam mencapai tujuannya terus berlangsung. Agama
tidak dapat disebarkan dengan pedang. Ia tersebar karena kesadaran. Orang harus
kembali pada asal-usul Islam jika masalah ini ingin dipahami dalam konteks yang
tepat.
Pada periode permulaan Islam di
Mekkah, kaum muslimin merupakan minoritas kecil yang berhadapan dengan
pedagang-pedagang kaya Mekkah yang mapan dan kuat. Mereka hampir-hampir tidak
bisa mengangkat senjata menghadapi penantang-penantangnya yang kuat itu. Dalam
menghadapi penindasan seperti itu, satu-satunya jalan yang mereka tempuh adalah
pindah ke suatu negeri yang lebih aman dan hal ini dilakukan oleh kaum Muslimin
setelah mendapat perintah Nabi. Mula-mula serombongan kaum Muslimin hijrah ke
Ethiopia dan rombongan berikutnya hijrah ke Medinah. Kemudian Nabi juga ikut
bergabung. Beberapa orang dari suku Aus dan Khazraj bergabung dengan Nabi dan
di sana nabi menyusun kekuatan. Di Medinah juga terdapat beberapa suku Yahudi
yang cukup berpengaruh. Nabi membuat suatu kesepakatan dengan berbagai suku,
termasuk kaum Yahudi, dalam upayanya membentuk sebuah masyarakat yang kohesif.
Di sini, kita harus membedakan
antara perang untuk menyebarkan agama dan perang sebagai sekedar cara untuk
mempertahankan diri ketika berhadapan dengan musuh yang militan. Sejauh
dikaitkan dengan kategori yang pertama, Islam justru tidak percaya pada
penggunaan kekerasan. Sikap Al-Qur'an jelas:
La Ikraha fi al-Din (tidak ada
paksaan dalam agama),[20]
dan selanjutnya ia menyatakan:
"Katakanlah hai orang-orang
kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan engkau tidak akan
menyembah apa yang aku sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku".[21]
Tidak perlu orang dipaksa untuk
menerima suatu agama. Konversi agama mestilah dibebaskan dari ancaman dan
pengaruh. Menurut Al-Qur'an, Tuhan telah membuat jelas jalan yang lurus dan
membedakannya dengan jalan yang salah. Adalah hak seseorang untuk mengikuti
jalan yang benar atau mengikuti jalan yang salah.
"Seseorang boleh melanjutkan
mengikuti thagut, atau percaya kepada Tuhan".[22]
Tidak ada paksaan sama sekali.
Masalahnya menjadi lain, bila
seseorang disiksa, disakiti atau diserang. Islam memperbolehkan penggunaan
kekerasan atau perang hanya dalam kasus-kasus seperti itu. Dr. Khalfallah tetap
berpendapat bahwa orang Islam tidak pernah memaksa untuk membangun kekuasaan
atas orang lain atau untuk merampas kemerdekaannya, atau untuk menganiaya orang
lain, untuk menumpahkan darah orang lain, atau merebut hak orang lain, atau
mengeksploitasi kekayaan orang lain, atau menindas orang lain. Ia selanjutnya
mengatakan, dengan mengutip Muhammad Abduh, bahwa memaksa orang lain untuk
memeluk suatu agama tidak diperbolehkan, begitu pula orang lain tidak boleh
memaksa seseorang untuk meninggalkan agama yang telah dipeluknya.[23] Ketika
seseorang dianiaya atau diusir dari rumahnya sendiri, maka ia harus melawan
tirani itu. Menurut etik Al-Qur'an, melindungi orang-orang yang tertindas
adalah suatu keharusan. Al-Qur'an berkata:
"Mengapa kamu tidak mau
berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki,
perempuan dan anak-anak yang semuanya berdo'a: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami
dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami perlindungan
dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong di sisi-Mu".[24]
Juga dikatakan:
"Dan perangilah mereka, supaya
jangan ada fitnah lagi, dan supaya agama itu semata-mata bagi Allah. Jika
mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah maha melihat atas apa
yang mereka kerjakan.[25]
Dengan demikian jelas, bahwa
berjuang (berperang) diizinkan dalam Al-Qur'an tidak untuk memaksa seseorang
untuk memeluk Islam, tapi untuk mengakhiri penganiayaan dan untuk melindungi
orang-orang lemah dari penindasan orang-orang kuat.
Kajian yang seksama atas Al-Qur'an juga
menunjukkan, bahwa Al-Qur'an berpihak pada posisi orang-orang yang lemah dalam
menghadapi orang-orang yang kuat. Term yang digunakan Al-Qur'an bagi mereka
adalah mustadh'afin (orang-orang yang dilemahkan) dan mustakbirin (orang-orang
yang sombong). Semua Nabi Israel digambarkan di dalam Al-Qur'an sebagai pembela
mustadh'afin menghadapi mustakbirin, yakni orang-orang kaya dan penguasa suatu
negeri. Karena itu, nabi Israel terkemuka, Musa, digambarkan sebagai pembebas
orang-orang yang tertindas (bangsa Israel) dari penindasan Fir'aun
(mustakbirin). Simpati Tuhan pun ditujukan kepada orang-orang yang tertindas
itu. Tuhan berfirman dalam Al-Qur'an:
"Dan Kami hendak memberi
karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan
mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi."[26]
Inilah konsep Al-Qur'an tentang
kepemimpinan bagi orang tertindas.
Pertarungan antara mustadh'afin dan
mustakbirin itu akan terus berlangsung, hingga Din Allah yang berbasis pada
Tauhid menyatukan semua rakyat (tanpa perbedaan lagi antara mustadh'afin dan
mustakbirin, orang-orang yang menindas dan orang-orang yang tertindas,
kaya-miskin) sehingga menjadi suatu masyarakat "tanpa kelas". Dari
perspektif ini jelaslah bahwa Al-Qur'an menghadirkan suatu teologi pembebas dan
dengan demikian membuat teologi yang sebelumnya mengabdi kepada kelompok
penguasa yang eksploitatif menjadi teologi pembebasan. Sayangnya, Islam dalam
fase-fase berikutnya, justru mendukung kemapanan itu. Tugas generasi baru Islamlah
untuk merekonstruksi lagi teologi Islam revolusioner-transformatif dan
membebaskan itu.
Catatan
1 Al-Qur'an (33:62)
2 Al-Qur'an (53:40)
3 Al-Qur'an (21:45)
4 Al-Qur'an (21:48)
5 Konsep determinisme sejarah
digunakan dalam maknanya yang lebih luas dalam buku ini, berbeda dengan
kategori Marxis, tidak mengesampingkan faktor-faktor tujuan ketuhanan. Konsep
ini tidak dengan pengertian mekanis yang sempit.
6 Al-Qur'an (21:46)
7 Saya setuju dengan Paul Tillich
yang mengatakan bahwa "Manusia, sejauh ia membangun dan mengejar
tujuannya, pada dasarnya bebas. Ia mentransendensikan situasi yang ada sambil
meninggalkan kenyataan itu untuk mencari kemungkinan-kemungkinan. Ia tidak
terikat pada situasi tempat ia menemukan dirinya, dan itulah yang disebut
sebagai transendensi diri yang menjadi kualitas dasar kebebasan. Karena itu
tidak ada situasi historis apapun yang bisa membatasi situasi historis lain
secara total. Transisi dari suatu situasi ke situasi lain adalah sebagian
dibatasi oleh reaksi-reaksi kemanusiaan dengan kebebasannya. Sesuai dengan
polaritas kebebasan dan keterbatasan, transendensi itu tidaklah absolut: ia
berasal dari totalitas elemen-elemen masa lampau dan masa keuangan, perdagangan
dan peredaran uang itu, suatu pandangan hidup dan cara pandang baru sedang
berkembang, meskipun belum dinyatakan secara sadar dan jelas. Kerja komersial
tentu mempunyai logikanya sendiri dan mengarahkan masyarakat kepada suatu cara
hidup tertentu. Dinamika sosial dalam masyarakat Mekkah yang seperti itu
mengarahkan pada suatu kehidupan yang tidak selaras dengan kehidupan masyarakat
yang beralaskan norma-norma kesukuan.
8 Asghar Ali Engineer, The Origin
and Development of Islam, Orient and Longman, 1980, hal. 41.
9 Watt mencatat, "Mereka
membentuk suatu aliansi antar klan, yang dapat kita sebut sebagai Liga
orang-orang Tulus--nama-nama lain juga sering kita temukan. Muhammad menghadiri
pertemuan yang pembentukan Liga itu, bahkan ia menyetujui pembentukan liga itu.
Tujuan liga itu adalah untuk menjaga integritas perdagangan, tapi di balik itu,
liga berkepentingan untuk mencegah keluarnya pedagang Yaman dari pasar Mekkah,
karena liga merasakan kesulitan jika harus mengirimkan sendiri kafilah mereka
ke Yaman yang selama ini sangat profesional dalam perdagangan antar kota terutama
Mekkah dan Syria. (M. Montgomery Watt, Muhammad, Prophet and Statesman, London,
1961), hal. 9.
10 HAR. Gibb berkomentar, Mekkah
ketika itu menyimpan sisi gelap. Kejahatan dalam masyarakat pedagang kaya
adalah hal yang biasa, begitu juga kesenjangan yang amat jauh antara kaya dan
miskin, perbudakan dan persewaan manusia dan tajamnya pertentangan kelas-kelas
sosial. Hal ini jelas dari keluhan Nabi Muhammad atas ketidakadilan sosial dan
inilah yang menyebabkan guncangan keras dalam dirinya. (HAR. Gibb, Mohammadanism,
Oxford, 1969), hal. 11 Pada permulaan tahun Masehi, salah satu dari suku-suku
Arab bernama Quraisy menduduki Mekkah. Kota ini terdiri dari wilayah-wilayah,
dan setiap wilayah terdapat klan yang termasuk suku Quraisy. Penduduk Mekkah
ikut serta dalam perdagangan baik ke dalam maupun ke luar, dan inilah yang
menyebabkan kemakmuran kota ini sekaligus menyebabkan kesenjangan oendapatan
yang besar. Dalam suku Quraisy sendiri, terdapat keluarga-keluarga kaya
terlibat dalam perdagangan dan praktek riba. (A.P. Petrovsky, Islam da Iran,
Persian, diterjemahkan oleh Karim Kashawarz, Teheran, 1950) hal. 16.
12 Al-Qur'an (104
13 Al-Qur'an (34:34)
14 Al-Qur'an (34:37)
15 Muhammad Ahmad Khalfallah,
Muhammad wa Quwwa al-Muwadadah (Kairo, 1973) hal. 113-4.
16 Al-Qur'an (9:34)
17 Ibn Hazm, Al-Mahalli, vol. 8 hal.
439, lihat juga Dr. Muhammad Nijatullah Shiddiqi, Economic Enterprise in Islam
(Delhi, 1979) hal. 55.
18 Untuk uraian lengkap mengenai
masalah perbudakan, lihat Asghar Ali Engineer, The Origin and Development of
Islam, op. cit., 19 Lihat Mufradat Imam Raghib; lihat Maulvi Muhammad Taqi
Amini, Islam ka Zar'I Nizam (Delhi, 1981) hal. 13
20 Al-Qur'an (2:256)
21 Al-Qur'an 109
22 Al-Qur'an (2:256)
23 Dr. Muhammad Ahmad Khalfallah,
op. cit., hal. 244.
24 Al-Qur'an (4:75)
25 Al-Qur'an (8:39)
26 Al-Qur'an (28:5)
Islam dan Negara
Konsep masyarakat politik (polity)
dalam Islam terutama haruslah didasarkan pada ajaran Al-Qur'an. Dan sejauh
menyangkut kitab suci ini, dapat dimengerti sepenuhnya bahwa sejak semula
Al-Qur'an tidak memberikan konsep tentang negara, melainkan konsep tentang
masyarakat. Perbedaan ini harus diingat dalam perdebatan tentang negara Islam.
Harus diingat pula, Al-Qur'an lebih bersifat simbolik daripada deskriptif dan
karena itu validitas dan vitalitasnya terletak pada interpretasi dan
reinterpretasi simbol-simbol ini, sesuai dengan perubahan-perubahan situasi
ruang dan waktu.
Ada perbedaan pandangan tentang
konsep negara dan masyarakat politik dalam Islam.[1] Ali Abd al-Raziq dalam
bukunya "Fundamentals of Government" (al-Islam wa ushul al-Hukm)
berpendapat bahwa Islam tidak pernah mengklaim suatu bentuk pemerintahan
duniawi; hal ini diserahkan untuk dipikirkan secara bebas oleh
pemeluk-pemeluknya. Lebih lanjut ia menyebutkan, bahwa Al-Qur'an tidak pernah
menyebut khalifah; artinya kekhalifahan bukanlah bagian dari dogma Islam. Ide
tentang kekhalifahan dibuat oleh kitab-kitab fiqh yang disusun beberapa abad
setelah wafatnya Nabi.[2] Di pihak lain, ada pula pendapat yang umumnya dianut
oleh ulama kita, bahwa agama dan politik merupakan dua hal yang tak dapat
dipisah-pisahkan dalam Islam. Pendapat ini umumnya diterima oleh kaum Muslim
ortodoks. Namun, persoalannya menjadi sangat kompleks dan berjalin dengan
berbagai faktor sehingga sangat sulit dipadukan begitu saja dengan pendapat
lain.
Untuk memahami masalah ini secara
tepat, kita mesti mempertimbangkan beberapa kondisi politik yang ada di Mekkah
sebelum Islam dan bagaimana masyarakat Islam secara bertahap mulai terwujud.
Mekkah, sebagaimana telah dikemukakan pada bab yang lalu, didominasi oleh suku
Quraisy, yang terdiri dari bermacam-maca klan. Tentu, ada beberapa suku lain
selain Quraisy, namun posisi mereka subordinatif dan pinggiran. Menarik untuk
ditelaah, bahwa meskipun merupakan pusat perdagangan internasional, Mekkah
tidak mempunyai struktur pemerintahannya sendiri. Lembaga kerajaan tidak
dikenal, tidak pula ada perangkat negara yang dapat dibandingkan dengan negara
mana pun.
Tidak ada penguasa turun temurun,
juga tidak ada pemerintahan yang dipilih secara formal. Yang ada hanyalah suatu
dewan suku yang dikenal dengan mala' (semacam senat). Senat ini terdiri dari
perwakilan klan yang ada. Hal penting yang mesti dicatat mengenai mala' ini, ia
hanya berupa badan perundingan dan tidak mempunyai badan eksekutif. Di samping
itu, setiap unsur klan yang ada di senat secara teoritik independen, dan karena
itu, keputusan yang dilahirkan tidak mengikat.[3] Mala' tidak mempunyai hak
untuk menarik pajak dan melengkapi dirinya dengan polisi atau angkatan bersenjata,
yang merupakan perangkat bagi sebuah negara untuk menegakkan hukum dan menjaga
ketertiban umum. Namun, perkembangan dunia perdagangan yang begitu pesat, pada
akhirnya menuntut adanya perangkat kenegaraan. Di tengah kekosongan negara
secara institusional, maka tidak ada teori politik yang koheren yang bisa
menjelaskannya. Paling-paling orang hanya bisa mengatakan, bahwa sebelum
kemunculan Islam di Mekkah terdapat demokrasi kesukuan primitif.
Di Medinah lah Nabi mulai memberikan
perhatian yang cukup serius untuk menciptakan suatu organ yang dapat diterima
semua pihak untuk menangani semua urusan yang ada di kota itu. Menarik untuk
dicatat, bahwa masyarakat Medinah adalah masyarakat pluralistik baik dari segi
ras maupun agama. Di sana terdapat campuran ras Yahudi, Arab pengelana,
terutama yang termasuk ke dalam dua suku Aus dan Khazraj, serta kaum Muslimin
emigran dari Mekkah.
Dengan demikian, kita dapat melihat
bahwa heterogenitas masyarakat Medinah waktu itu, sama dengan masyarakat di
negeri-negeri sekuler modern dewasa ini. Negeri dengan ragam ras, suku dan
agama itu dipersatukan di bawah kepemimpinan Nabi dan itulah yang disebut
ummah. Meskipun seringkali kata ummah diterapkan hanya untuk komunitas Muslim,
tapi sulit bagi kita untuk mendukung klaim seperti itu.
Barakat Ahmad mengatakan, "Para
orientalis membeda-bedakan perkembangan istilah Al-Qur'an tersebut. Sebagian
sarjana Muslim menyatakan bahwa istilah ummah menggambarkan masyarakat Muslim,
tapi ini tidak seluruhnya benar. Istilah ini menggambarkan kedudukan secara de
facto. Secara teoritik, penggunaan istilah ummah selama karir kerasulan tidak
terbatas pada komunitas Muslim saja.[4] Nabi membuat suatu masyarakat politik
di Medinah berdasarkan konsensus dari berbagai kelompok dan suku. Konsensus yang
disusun oleh Nabi itulah yang dikenal dengan Piagam Madinah atau Sahifah. Dan
masyarakat yang terikat dengan perjanjian itu disebut "masyarakat
Sahifah".[5]
Bagi masyarakat Arab yang sebelumnya
tidak pernah hidup sebagai komunitas antar-suku dengan kesepakatan bersama,
dokumen seperti itu tentulah sangat revolusioner dan mendukung inisiatif Nabi
untuk membangun basis bagi berlakunya prinsip hidup berdampingan secara damai
(co-existence). Nicholson mengkomentari dokumen ini:
"Tidak ada seorang peneliti pun
yang tidak terkesan pada kejeniusan politik penyusunnya. Nyatalah bahwa
memperbaharui dengan hati-hati dan bijaksana, adalah realitas suatu revolusi.
Muhammad tidak menyerang secara terbuka indenpedensi suku-suku tersebut, tetapi
memusnahkan pengaruhnya dengan mengubah pusat kekuatan dari suku ke masyarakat
..."[6]
Kiranya pada tempatnya, jika kita
perhatikan beberapa ketentuan dari Sahifah itu. Ibnu Hisyam menyampaikan kepada
kita: "Ibnu Ishaq berkata, bahwa Rasulullah menyusun suatu persetujuan
antara Muhajirin dan Anshar, di dalamnya termasuk orang-orang Yahudi.
Orang-orang Yahudi diizinkan untuk tetap memeluk agamanya dan menjaga harta
kekayaan mereka. Dokumen itu dimulai dengan nama Tuhan Maha Pengasih Maha
Penyayang. Ini perjanjian antara Muhammad dan orang-orang mukmin dan Muslim
Quraisy dan Yastrib (Medinah) dan orang-orang yang mengikuti mereka dan
orang-orang yang terikat padanya dan orang-orang yang mendukung mereka. Mereka
adalah umat yang satu yang berbeda dengan umat yang lainnya. Orang-orang Yahudi
akan berbagi tanggungjawab dengan orang-orang Muslim selama mereka berjuang.
Orang-orang Yahudi dari Bani Auf akan menjadi satu Ummah dengan orang-orang
Muslim. Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi Muslim agama mereka
pula..."[7]
Dokumen ini meletakan dasar bagi
komunitas politik di Medinah dengan segala perbedaan yang ada: suku,
kelompok-kelompok dan agama -- dengan menghormati kebebasan untuk mengamalkan
agama mereka masing-masing. Dengan demikian dapat dilihat, bahwa Nabi menyusun
suatu persetujuan yang menetapkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama,
bukan mendirikan sebuah "negara teologis."[8] Semua kelompok agama
dan kelompok suku diberikan otonomi penuh untuk memelihara tradisi dan
kebiasaan mereka masing-masing. Dengan demikian, persetujuan tersebut, lebih
didasarkan pada konsensus daripada berdasarkan pada paksaan dan ini mirip
dengan perkembangan politik negara modern. Berbicara secara historis, suatu
kontrak yang berakar dari tradisi kesukuan, toh demokratis, baik dari segi
semangat maupun prakteknya. Selain itu, aparat negara yang memaksa, belum
berkembang di bagian negeri Arab itu. Meskipun begitu, tekanan-tekanan sosial
sudah berfungsi.
Pendukung "negara
teokratik" sering berdalih bahwa dokumen Piagam Madinah itu dibuat ketika
Muslim masih menjadi minoritas dan hukum Islam memang belum seluruhnya
diwahyukan, dan oleh karena itu terhapus oleh perkembangan-perkembangan
kemudian. Namun dalih ini tidak dapat dipertahankan, terutama jika kita cermati
ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan kemudian secara terbuka. Pertama, dalam hal
lain, sunnah Rasulullah tidak dibatalkan, lebih-lebih lagi dalam persoalan ini,
yang merupakan persoalan yang paling vital dalam kebijakan Islam. Kedua,
ayat-ayat terakhir Al-Qur'an tidak membatalkan apa yang disepakati di dalam
Sahifah. Kalaulah orang-orang Yahudi dihukum, seperti diperintahkan wahyu
terakhir, itu karena mereka mengingkari kesepakatan. Sahifah tidak pernah
dibatalkan. Semangatnya mempunyai validitas hingga sekarang.
Dokumen itu memberikan landasan,
pertama, yang menjamin otonomi bagi kelompok yang beragama, kebebasan untuk
memeluk dan melaksanakan suatu agama, adat dan tradisi, serta persamaan hak
bagi semua orang. Kedua, dokumen itu jelas menekankan pada sisi demokrasi dan
konsensus, bukan pada tekanan dan paksaan. Dari sini, juga penting untuk
dicatat, bahwa dalam masalah politik pemerintahan, Nabi tidak menggunakan
otoritas teologis. Dokumen itu, setelah kita kaji, sama dengan teori kontrak
sosialnya J.J Rousseau. Bagi Rousseau, kebebasan bukanlah kebebasan liberal
atau kebebasan individu 'dari' masyarakat, tapi kebebasan yang dilaksanakan di
dalam dan untuk seluruh masyarakat. Artinya, manusia dibebaskan oleh masyarakat
yang membebaskan. Kebebasan tidak dicapai dengan cara menyingkirkan orang lain,
tapi merupakan implikasi positif dari kebebasan untuk semua.[9]
Seperti disinggung di awal bab ini,
Al-Qur'an memberikan konsep tentang masyarakat, bukan konsep pemerintahan.
Sekali lagi ditegaskan, bahwa Al-Qur'an berangkat dari kesadaran sejarah. Pendekatannya
bersifat temporal, namun juga memperhatikan nuansa spasial. Perintah-perintah
Al-Qur'an di samping bersifat multi-dimensional juga bersifat transendental.
Jika dilihat dalam konteks yang tepat, tidak ada dalam Al-Qur'an sesuatu yang
tidak berlaku. Artinya, validitas Al-Qur'an tetap terjaga dalam kerangka
spasio-temporal. Dalam mengkaji Al-Qur'an, terasa ada ketegangan antara yang
eksistensial dan yang transendental. Dari ketegangan itulah dorongan ke arah
kemajuan dan gerakan yang kreatif dapat terpenuhi. Berikut kita sedikit akan
menguraikan masalah ini
Lalu, apa tujuan 'negara' Islam?
Dengan kata lain, masyarakat yang seperti apa yang ingin diwujudkan Islam?
Dalam karya-karya pemikir Islam abad pertengahan yang diikuti oleh para ulama
hingga sekarang, pusat perhatiannya adalah pada konsep akhirah. Menurut mereka,
seluruh perhatian tertuju pada penciptaan suatu tatanan sosial yang akan
mempersiapkan manusia menuju akhirat itu. Hasi dari interpretasi seperti itu
(yang sudah menjadi jamak pada periode pertengahan), adalah reduksi agama
menjadi murni 'olah spiritual' yang tidak mempunyai muatan transformatif sama
sekali. Sementara itu, elit kekuasaan membangun suatu aparatur negara yang
refresif dan para ulama telah menjadi bagian dari kekuasaan itu. Akibatnya,
Islam harus menjadi 'pelayan' kekuasaan dengan cara melakukan spiritualisasi
dan mistifikasi ajarannya.
Perangkat kenegaraan yang sangat
menindas (yang sangat bertentangan dengan apa yang dicontohkan Nabi dalam
dokumen politiknya) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat
Islam, bahkan sejumlah hadist telah dibuat untuk menjustifikasi situasi itu.
Ayat Al-Qur'an yang terkenal: "Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah
dan taatilah Rasul dan ulil amri (orang-orang yang berkuasa) di antara kamu.
Jika kamu berbeda tentang sesuatu, maka kembalikanlah masalah itu kepada Allah
dan Rasul-Nya, apabila kamu iman kepada Allah dan hari kiamat",[10]
dijadikan argumen, bahwa siapapun yang berkuasa, haruslah ditaati. Dalam
beberapa kasus hadist ini diberi catatan tambahan "sepanjang penguasa itu
tetap melakukan shalat".[11] Ibn al-Muqaffa, seorang pemikir politik Islam
yang besar, mengutip beberapa hadits Nabi untuk menekankan ketaatan yang total
dan tidak bersyarat kepada khalifah. "Siapa yang taat kepadaku", ia
mengutip kata-kata Nabi "sungguh telah mentaati Tuhan; dan siapa yang
mentaati Imam, sungguh telah mentaati aku". (Di sini, "imam"
menunjuk pada khalifah ketika itu). Menurut hadist lain lagi, "Bahkan andai
seorang budak berkulit hitam dijadikan raja, maka dengarkanlah dan taatilah
dia". Ibn Muqaffa lebih lanjut berpendapat bahwa loyalitas terhadap imam
adalah sesuatu yang esensial, bahkan andaipun ia menjadi seorang tiran, karena
imam bagaimanapun berada pada 'pengawasan' karsa Tuhan. Untuk mendukung
pendiriannya, ia menggelar sebuah hadits dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi pernah
berkata:
"Bila Allah bermaksud baik
terhadap suatu masyarakat, Dia mengangkat bagi mereka seorang penguasa yang
baik dan meletakkan harta benda mereka di tangan orang-orang yang toleran; dan
ketika Dia menghendaki memberikan cobaan berat kepada mereka, Dia mengangkat
untuk mereka seorang penguasa yang tiran dan mempercayakan harta benda mereka
di tangan orang-orang serakah."[12]
Namun sulit untuk mendapatkan
dukungan bagi teori-teori politik itu di dalam Al-Qur'an sendiri. Al-Qur'an
secara tuntas menekankan pada penciptaan masyarakat yang adil dan egalitarian.
Ia berulang-ulang memperingatkan orang-orang beriman agar bersikap adil.
"Dan jika engkau memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah di antara
mereka dengan adil, sungguh Allah menyukai orang-orang yang adil", kata
Al-Qur'an.[13] Allah jelas tidak akan memberikan kekhalifahan-Nya kepada
orang-orang yang tidak adil dan para tiran. Lebih lanjut Al-Qur'an mengatakan,
"Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu
Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman; Sesungguhnya aku akan menjadikanmu Imam
bagi seluruh manusia." Dan Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga)
keturunanku (menjadi pemimpin bagi mereka). Allah berfirman: "janjiku
tidak mengenai orang-orang yang dzalim."[14]
Inilah ayat yang paling bermakna
dari Al-Qur'an. Nabi Ibrahim diangkat menjadi pemimpin (imam) hanya setelah
menunaikan perintah Tuhan dan ketika ia berdo'a untuk menyertakan juga
keturunannya agar menjadi pemimpin kelak, maka Tuhan menegaskan bahwa hal itu
tidak mungkin bagi orang-orang yang dzalim dan tiran. Politik Islam,
sebagaimana digambarkan Al-Qur'an, tidak mengizinkan memapankan ketidakadilan
dan kekuasaan yang tiranik. Dzulm (penindasan) dikutuk dengan istilah-istilah
yang sekeras mungkin. "Betapa banyak kota yang telah dihancurkan karena
penduduknya sangat dzalim", kata Al-Qur'an.[15]
Ada kesalahan yang serius mengenai
konsep Islam tentang jihad (perang suci). Jihad tidak dibenarkan untuk
menyebarkan Islam secara paksa, atau untuk menjajah dan memperbudak orang lain.
Apalagi dengan menjarah dan merusak kota. "Dia berkata, sesungguhnya
raja-raja ketika memasuki sebuah negeri niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan
penduduknya yang mulia jadi hina. Dan demikian pulalah yang akan mereka
perbuat.[16] Jihad yang secara harfiah berarti "berusaha keras",
dimaksudkan hanya untuk menegakkan keadilan dan perang harus dilakukan sampai
semua bentuk penindasan berakhir. Al-Qur'an mengizinkan penggunaan kekerasan
dalam perjuangannya melawan kedzaliman dan ketidakadilan. Sebenarnya,
pembalasan terhadap penindasan dan kedzaliman dianggap sebagai sebuah
kebajikan. "...Selamatkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan
banyak menyebut nama Allah dan mendapat kemenangan sesudah mengalami tindak
kedzaliman. Mereka yang berbuat dzalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana
mereka akan kembali", kata Al-Qur'an.[17]
Aspek penting lain dari masyarakat
politik Islam adalah, bahwa Islam menganggap seluruh manusia sama, tanpa
perbedaan warna kulit, ras atau kebangsaan. Kriteria satu-satunya hanyalah
kesalehan (tidak hanya kesalehan religius dengan melaksanakan ritual agama
secara cermat tapi juga kesalehan sosial karena Al-Qur'an mensejajarkan
kesalehan dengan keadilan),[18] tidak ada yang lain. "Yang paling mulia di
sisi Tuhan adalah orang yang takwa,"[19] demikian Al-Qur'an menyatakan
dengan gamblang. Nabi menegaskan hal ini pada saat haji terakhirnya di Mekkah.
Sabdanya:
"Orang Arab tak lebih tinggi
daripada orang ajam, begitu pula orang ajam tidak lebih tinggi daripada orang
Arab; tidak ada perbedaan antara yang hitam dan yang putih, kecuali oleh
tingkat kesalehan yang diperlihatkan dalam hubungannya dengan orang lain...
Janganlah tunjukkan kepadaku kebanggaan keturunanmu, tapi tunjukkan perbuatan
baikmu."[20]
Butir pokok dari masyarakat politik
Islam adalah dorongan bagi kelompok lemah untuk terus berjuang melawan
kekuatan-kekuatan dominan dalam masyarakat. Nabi dalam tingkat tertentu
mengatakan bahwa, "Jihad yang paling baik adalah mengatakan kebenaran di
hadapan penguasa tiranik."[21] Pidato pertama yang diucapkan Abu Bakar,
khalifah pertama yang terpilih setelah wafat Nabi, adalah juga merupakan
pernyataan yang luar biasa dalam masalah ini. Setelah memangku jabatan, ia
berpidato:
"... Orang-orang lemah di
antara kamu bisa menjadi kuat di hadapanku. Aku akan membuat para penindas
menyerahkan hak mereka. Orang-orang kuat di antara kamu, bisa menjadi lemah di
hadapanku. Insya Allah, aku akan melihat orang-orang tertindas memperoleh
hak-haknya kembali."[22]
Adalah dalam semangat untuk
melindungi orang-orang lemah, Nabi dalam pesannya pada haji perpisahan,
membebaskan semua orang yang mempunyai hutang dari pembayaran bunga, walaupun
modal yang dipinjam harus tetap dikembalikan.[23]
Banyak ulama dan teolog
mempertahankan secara dogmatis, bahwa negara Islam adalah negara teokratik, dan
dalam negara demikian, tidak ada tempat bagi inisiatif manusia dalam arena
legislasi, karena Tuhanlah satu-satunya pembuat hukum. Maulana Abul A'la
al-Maududi menggambarkan pemerintahan Islam sebagai "Theo-Demokrasi",
dan dalam bentuk pemerintahan itu, umat Islam hanya memiliki "kedaulatan
rakyat yang terbatas" di bawah kemahakuasaan Allah.[24] Ini adalah posisi
yang hampir tak dapat dipertahankan kecuali kalau seseorang menerima pendapat
ulama' abad pertengahan sebagai suatu kata akhir dan menganggap tertutup semua
pilihan lain. Karya ulama, dengan segala keterbatasan dan kelebihan mereka yang
manusiawi, tidak bisa disamakan dengan firman Tuhan.
Jika ditafsirkan dengan tepat, di
dalam arena legislasi, Islam juga tidak melumpuhkan inisiatif manusia. Bila
syari'ah seperti yang dikompilasikan oleh para teolog zaman-zaman Islam awal
diambil sebagai corpus hukum negara Islam, saya khawatir, kedaulatan Tuhan lalu
akan disamakan dengan kedaulatan ulama'. Ini juga akan menyatakan secara tidak
langsung bahwa semua perkembangan yang akan terjadi di masyarakat sudah
diantisipasi oleh para ulama' dengan kompilasi hukum Islam di zaman awal Islam
ini. Semua sejarawan hukum Islam sepakat bahwa di dalam mengkompilasi hukum
Islam, para fuqaha dipengaruhi secara dalam oleh kondisi zaman dan perkembangan
yang terjadi setelah penaklukan wilayah-wilayah, dan itulah sebabnya, mengapa
terjadi perbedaan mazhab pemikiran hukum.[25]
Faruq Abu Zayd dengan tepat
menjelaskan bahwa Imam Abu Hanifah di Irak dengan pertumbuhan masyarakatnya
yang cepat, lebih dihadapkan dengan problem-problem yang kompleks, daripada
para ahli hukum Hijaz yang lebih dekat dengan kehidupan orang-orang Baduy,
sehingga menghadapi problem yang lebih sederhana. Karena alasan ini Abu Hanifah
seringkali terpaksa menggunakan ra'y danm pertimbangan akal dibandingkan para
ahli hukum Hijaz dalam memutuskan hukum. Bagi orang-orang Hijaz Al-Qur'an dan
Sunnah Rasul sudah mencukupi.[26]
Kini kita berada dalam masyarakat
yang sedang berubah cepat. Revolusi Industri telah menimbulkan problem-problem
yang jauh lebih kompleks. Sebagaimana ahli hukum Irak yang harus berbeda dengan
ahli hukum Hijaz mengingat perbedaan sifat persoalan yang mereka hadapi, maka
sesuai dengan situasi dunia modern yang baru dan jauh lebih kompleks, para ahli
hukum modern harus berusaha merubah, kapan dan di mana perlu, corpus Islam yang
diwariskan kepada mereka. Namun apa yang diperlukan adalah menegakkan semangat
teks wahyu dan tujuan-tujuan yang diinginkannya. Tidak pernah menjadi tujuan
Tuhan untuk memutuskan hubungan dengan yang transenden dan membawa kebekuan
dalam urusan manusia. Fungsi ketuhananlah yang harus membawa pertumbuhan
teologis dan pertumbuhan itu membawa serta perubahan. Pertumbuhan dan perubahan
sosial demikian membutuhkan perubahan dalam hukum yang mencerminkan realitas
sosial zaman permulaan.
Lantas muncul persoalan: Apa yang
masih tersisa dari agama yang membentuk hukum-hukum ini? Jawabannya sederhana
dan jelas: religiositas. Apakah religiositas itu? Tentu hal ini agak abstrak,
namun sama sekali bukan istilah yang mengada-ada. Religiositas menyatakan
secara tidak langsung keterlibatan emosi yang tulus dengan visi moral dan
spiritual yang menyatakan kepada pengalaman yang agung. Setiap agama jelas
menanamkan ke dalam diri pengikutnya suatu visi moral dan spiritual yang unik.
Tekanan-tekanan ke arah perubahan tidaklah mempengaruhi keunikan visi ini.
Fyzee mendefinisikan keunikan Islam ini dengan tiga karakteristik: Kebenaran
(truth), keindahan (beauty) dan kebajikan (goodness).[27] Fyzee mengatakan:
"Islam menekankan kebenaran,
keindahan dan kebajikan, nilai-nilai Platonik. Mengenai kebenaran, sedikit
sekali peradaban telah menyelamatkan sastra, sains dan filsafat seperti yang
telah dilakukan Islam. Ia telah menghasilkan peradaban yang agung.
Sarjana-sarjana Islam telah menerjemahkan buku-buku dari bahasa Yunani dan
bahasa Sanskerta dan ilmu pengetahuan Islam adalah Bapak ilmu pengetahuan
modern. Mengenai keindahan, Islam telah memajukan seni, musik dan arsitektur.
Menyangkut kebajikan, Islam memproklamirkan dan mempraktekkan dengan baik
persaudaraan manusia. Dengan demikian ia telah membuka jalan bagi konsep
demokrasi modern. Ia telah meletakkan fondasi hukum internasional. Pandangan
hidupnya diwujudkan di dalam syari'ah, gudang hukum, agama dan etika yang kaya.
Syari'ah analog dengan Torah di kalangan orang-orang Yahudi dan Dharma di
kalangan orang-orang Hindu."[28]
Tingkat religiositas yang paling
agung adalah pencarian terus menerus bentuk-bentuk baru untuk perwujudan visi
yang unik ini, baik lewat usaha kreatif maupun kemampuan penalaran. Hukum
bersifat empiris, sedangkan visi bersifat transendental. Keseimbangan antara
keduanya akan hilang jika terjadi penekanan hanya pada salah satu sisinya.
Semata-mata menekankan pada empirisme membuat hukum tidak berlaku. Sebaliknya
hanya menekankan aspek transendentalnya saja, membuat ia menjadi terlalu abstrak.
Dulu, para ahli hukum Islam yang besar mencapai keseimbangan antara keduanya di
pandang dari sudut kenyataan empiris pada masa mereka. Sesuai dengan visi
transendental Islam, komponen substantif dari hukum Islam perlu diubah jika
perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sosial menghendakinya. Al-Qur'an
menggunakan dua istilah yang sangat bermakna, ma'ruf dan munkar, yang
menghadirkan kembali substansi (quintessence) moralitas Islam tanpa dirusak
oleh kendala-kendala ruang-waktu.
Ma'ruf adalah sesuatu yang umumnya
dapat diterima masyarakat dan munkar adalah sesuatu yang ditolak masyarakat
demi menjaga tertib moral. Dengan menggunakan konsep-konsep ini, Al-Qur'an
telah membuka peluang yang cukup bagi penafsiran kembali hukum-hukumnya agar
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan tatanan moral yang baik. Konsep ma'ruf
dan munkar akan selalu berubah jika masyarakat berubah, berkembang dan
mengalami kemajuan. Ma'ruf dan mungkar merupakan istilah yang sangat
komprehensif. Dan keindahan serta keabadian Al-Qur'an terletak dalam
pengungkapannya yang abstrak sehingga generasi-generasi penerus dapat
mendefinisikannya menurut kebutuhan dan pengalaman mereka. Istilah-istilah ini,
yang sangat fundamental bagi ajaran Al-Qur'an, juga cukup komprehensif untuk mencakup
moralitas politik. Masyarakat politik (polity) menurut Al-Qur'an adalah
masyarakat politik yang berorientasi moral dan dimaksudkan untuk menekankan
praktek-praktek politik yang akan menghasilkan kebaikan maksimum bagi
masyarakat, yaitu masyarakat Qur'ani yang secara tegas menerima yang ma'ruf dan
menolak yang munkar.
Lagi-lagi untuk membangun tatanan
sosial yang sehat, Al-Qur'an menggunakan dua istilah lain yang sangat bermakna:
mustakbirin dan mustadh'afin yang berarti yang sombong dan yang dilemahkan.
Al-Qur'an mengutuk yang pertama dan bersimpati kepada yang kedua. Al-Qur'an
menyatakan orang-orang yang sombong (mustakbirin) adalah berdosa.[29] Al-Qur'an
juga menegaskan bahwa mustakbirin (mereka yang kuat dan arogan) senantiasa
tidak beriman, yakni berdosa karena kufur. Sedangkan mustadh'afin (mereka yang
tertindas dan dilemahkan) selalu merupakan kelompok yang pertama beriman,
(beriman kepada Tuhan dan melakukan yang ma'ruf). Al-Qur'an menyatakan,
"Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: "Sesungguhnya kami
adalah orang yang tidak percaya pada apa yang kamu imani itu".[30] Dengan
demikian mustakbirin dalam bahasa Al-Qur'an adalah orang kafir sejati,
sementara mustadh'afin adalah orang mukmin sejati.
Kata kafir merupakan kata yang
seringkali disalahartikan. Kata tersebut selalu dipahami dengan pengertian yang
tidak sejalan dengan terminologi Al-Qur'an. Selama ini ia selalu digunakan
dalam pengertian yang formal sekali. Sesungguhnya kata kafir dalam Al-Qur'an
merupakan istilah yang fungsional, bukan formal. Orang kafir yang sesungguhnya
adalah orang yang arogan dan penguasa yang menindas, merampas, melakukan
perbuatan-perbuatan salah dan tidak menegakkan yang ma'ruf, tetapi sebaliknya
membela yang munkar. Demikian juga sebaliknya. Orang mukmin yang sejati, bukan
mereka yang hanya mengucapkan kalimat syahadat saja,[31] tetapi mereka yang
menegakkan keadilan bagi mereka yang tertindas dan lemah, yang tidak pernah
menyalahgunakan posisi kekuasaan mereka atau menindas orang lain atau memeras
tenaga orang lain, yang menegakkan kebaikan dan menolak kejahatan.
Dengan demikian masyarakat Qur'ani
tidak memberikan tempat bagi penindasan dan pemerasan terhadap yang lemah oleh
yang kuat. Perjuangan orang-orang yang lemah (mustadh'afin) akan terus
berlangsung melawan mereka yang berkuasa dan arogan (mustakbirin), selama
perbedaan antara keduanya tidak dihapuskan. Budaya politik Islam didasarkan
pada simpat kepada mereka yang lemah dan dieksploitasi dan benci terhadap
mereka yang berkuasa dan menindas. Dr. Habibullah Payman dari Iran mengatakan,
"dalam Ideologi Islam permanensi dan kesinambungan revolusi (sampai
perbedaan antara yang menindas yang ditindas tidak ada lagi) lebih penting
daripada revolusi itu sendiri. Revolusi merupakan salah satu dari beberapa
alternatif bagi manusia yang bertanggung jawab. Artinya, manusia harus berusaha
mengubah sistem yang didasarkan atas istikbar (keangkuhan kekuasaan dan
eksploitasi) dan istidh'af (yakni penekanan dan penindasan) dan penolakan
terhadap yang munkar (ketidak-adilan). "Revolusi yang permanen"
semacam itu dan perlawanan terhadap arogansi kekuasaan secara terus menerus
merupakan bagian dari kultur politik Islam."[32]
Khalifah Ali, salah seorang dari
beberapa tokoh terbesar yang dilahirkan Islam pada masa awal, menggambarkan
konsep revolusi Islam dengan sangat ringkas dalam salah satu khotbahnya:
(Revolusi Islam akan terus berjalan) sampai mereka yang berada dalam status
paling rendah di antara kamu menjadi yang paling tinggi dan mereka yang paling
tinggi di antara kamu akan menjadi yang paling rendah dan mereka yang melampaui
akan dilampaui".[33]
Dasar-dasar masyarakat politik Islam
yang ideal, sebagaimana yang diderivasikan dari Al-Qur'an, sangat berbeda
dengan apa yang sudah dan masih dilakukan atas nama Islam oleh kelompok
kepentingan yang kuat di negara-negara Islam dewasa ini.
Catatan
1 Lihat Qamaruddin Khan,
Al-Mawardi's Theory on the State, (Lahore, t.t.), hal. 4
2 Ali Abdul Raziq, Al Islam wa Usul
al-Hukm, (Cairo), bandingkan dengan tulisan Islamolog asal Hongaria, Gyula
Germanus, Contribution of Islam to World Civilization and Culture, ed. Cyula
Wojtilla, (Delhi, 1981) hal. 152.
3 Asghar Ali Engineer, The Origin
and Development of Islam, (Bombay, 1980), hal 45-46.
4 Barakat Ahmad, Muhammad and the
Jews, A Re-Examination, (Delhi, 1979), hal. 39. Bandingkan dengan Abul A'la
Maududi, Islamic Way of Life (Delhi, 1967), hal. 17.
5 Barakat Ahmad, op. cit., hal. 39.
6 R.A. Nicholson, A Literary History
of the Arabs, (Cambridge, 1907), hal. 173.
7 Lihat Ibnu Hisyam, Sirah, vol. 1.
(Cairo, 1332 A.H.) Lihat juga Alfred Guillaume, The Life of Muhammad: a
Translation of Ibn Ishaq's Sira Rasul Allah, (London, 1955).
8 Penting dicatat bahwa 'Ulama
Deobandi yang turut serta dalam perjuangan kemerdekaan India bersama dengan
partai Indian National Congress, mengambil inspirasi dari dokumen yang luar
biasa ini untuk membentuk negara sekuler di India dengan minoritas dijamin
hak-haknya untuk memeluk dan mempraktekkan agamanya.
9 Lucio Colleti, From Rousseau to
Lenin - Studies in Ideology and Society, (Delhi, 1978), hal. 151-152.
10 Al-Qur'an 4:59.
11 Asghar Ali Engineer, The Islamic
State, (Delhi, 1980) hal. 69.
12 Lihat Qmaruddin Khan,
Al-Mawardi's Theory of the State, Bazman Iqbal, Lahore, t.t.
13 Al-Qur'an 5:42.
14 Al-Qur'an 2:124.
15 Al-Qur'an 22:45.
16 Al-Qur'an 27:34.
17 Al-Qur'an 26:227.
18 Al-Qur'an 5:8.
19 Al-Qur'an 49:13.
20 Musnad Imam Ahmad bin Hanbal,
Vol. V. hal. 411.
21 Al Fath al-Kabir, Vol. I, hal
208. bandingkan Islam at a Glance, ed. Hakim Abdul Hamid, (Delhi, 1981), "Islam
and Human Rights" oleh V.A. Syed Muhammad, hal. 83.
22 Lihat Ibnu Hisyam, Vol. III,
(Cairo, 1332 A.H.), hal. 473.
23 Tabari, Tarikh, Vol. III (Cairo,
1362), hal. 150.
24 Syed Abul A'la Maududi, Islamic
Riyasat, Dikumpulkan oleh Khursyid Ahmad, Lahore (Lahore, 1974), hal. 129-30.
25 Muhammad al-Khudari, Tarikh at
Tasyri' al-Islam, edisi Urdu diterjemahkan oleh Maulana Abdus Salam Nadwi, Azam
Garth, 1973, dan Faruq Abu Zayd, As Syari'at al-Islami Bayn al-Muhafizin wa
al-Mujaddidin, Cairo, t.t.
26 Dr. Faruq Abu Zayd, op. cit.,
hal. 21.
27 A.A. Fyzee, A Modern Approach to
Islam, Asia Publishing House, (Bombay, 1963), hal. 112.
28 Fyzee, Ibid.
29 Al-Qur'an 7:133.
30 Al-Qur'an 7:76.
31 Formula dasar adalah La ilaha
illa Allah, Muhammad Rasulullah, yakni Tidak ada tuhan selain Allah dan
Muhammad utusan Allah.
32 Dr. Habibullah Payman, Istidh'af
wa Istikbar, Teheran, 1352, hal. 55. Ini adalah terjemahan bebas dari teks
Persia.
33 Lihat Ali Bin Abu Thalib, Nahju
al-Balaghah, tanda nomor 14 dan 15. Bandingkan dengan Inqilab az Didgah-i-Ali,
Teheran, t.t. hal. 20.
0 komentar:
Posting Komentar