Ali Syari’ati
dikenal sebagai pemikir yang multi-dimensi dan, karenanya juga, multi-interpretable.
Tetapi para pengamat juga dapat melihat semacam pandangan dunia (weltanschauung)
yang cukup konsisten dalam tulisan-tulisannya. Pandangan dunia Ali Syari’ati
yang paling menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang
dapat dikatakan menjadi dasar dari ideologi pergerakannya. Dalam konteks ini
Syari’ati dapat disebut pemikir politik-keagamaan (politico religio thinker).
Salah satu tema
sentral dalam ideologi politik keagamaan Syari’ati adalah agama – dalam hal
ini, Islam – dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner
untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara kultural mapun politik.
Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya – yang belum dikuasai kekuatan
konservatif – merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan Dunia Ketiga
dari penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat. Ia merupakan problem akut
yang dimunculkan kolonialisme dan neo-kolonialisme yang mengalienasikan rakyat
dari akar-akar tradisi mereka.Atas dasar ini,
maka banyak pengamat menyebut Syari’ati sebagai “the ideologist of revolt”.
Dalam
pandangan Syari’ati, agama sebagai ideologi diartikan: “suatu keyakinan yang
dililih secara sadar untuk menjawab keperluan-keperluan yang timbul dan
memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat”. Ideologi dibutuhkan, menurut
Syari’ati, untuk mengarahkan suatu masyarakat atau bangsa dalam mencapai
cita-cita dan alat perjuangan. Ideologi dipilih untuk mengubah dan merombak status quo
secara fundamental.
Menurut Ali
Syari’ati, ada dua jenis agama dalam tahap sejarah. Pertama, agama sebagai ideologi dan
kedua,
agama sebagai kumpulan tradisi dan konversi sosial atau juga sebagai semangat
kolektif suatu kelompok. Is menggambarkan kedudukan agama sebagai ideologi
dengan pernyataan:
But one comes to understand Islam in the sense of an ideology in
another way. Islam, as an ideology, is not a scientific specialization but is
the feeling one has in regard to a school of thought as a belief ystem and not
as a culture. It is the perceiving of Islam as an idea and not as a collection
of sciences. It is the understanding of Islam as a human, historical and
intellectual movement, not as a storehouse of cientific and technical
information. And, finally, it is the view of Islam as an ideology in the minds
of an intellectual and not as ancient religious sciences in the mind of a
religious scholar. (Tetapi orang datang untuk memahami
Islam dalam pengertian suatu ideologi di dalam pandangan yang lain. Islam, sebagai
suatu ideologi, bukanlah suatu spesialisasi ilmiah tetapi adalah kepekaan
seseorang yang mempunyai hubungan dengan suatu aliran pikiran lebih sebagai
sistem kepercayaan dan bukan sebagai kultur. Ia memposisikan Islam sebagai
suatu gagasan dan bukan sebagai suatu koleksi ilmu pengetahuan. Islam demikian
mempunyai pandangan yang utuh tentang manusia, pergerakan intelektual dan
sejarah, bukan sebagai suatu gudang informasi teknis dan ilmiah. Dan, pada
akhirnya, Islam sebagai ideologi berada dalam pikiran kaum intelektual dan
bukan sebagai ilmu pengetahuan religius masa lampau yang berada dalam pikiran
ulama.)
Syari’ati
menjelaskan tentang proses berubahan agama dari ideologi menjadi sebuah
institusi sosial. Munculnya agama sebagai ideologi, papar Syari’ati, dimulai
ketika para Nabi muncul di tengah-tengah suku-suku dan pemimpin gerakan-gerakan
historis untuk membangun dan menyadarkan masyarakat. Ketika para nabi itu
memproklamirkan semboyan-semboyah tertentu dalam membantu massa kemanusiaan,
maka para pengikut Nabi kemudian mengelilingi nabi dan menyatakan untuk turut
bersama-sama Nabi dengan sukarela. Dari sinilah, menurut Syari’ati, munculnya agama
sebagai ideologi. Namun kemudian, agama itu kehilangan semangat aslinya dan
mengambil bentuk agama sebagai institusi sosial.
Berangkat dari
asumsi demikian, maka dapat dicari sebuah jawaban dari pertanyaan mengapa Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan cepat dapat diterima oleh masyarakat
Arab. Islam sebagai ideologi yang diusung oleh Muhammad membawa orde sosial
baru yang disandarkan kepada prinsip keadilan dan persamaan dalam stuktur
sosial masyarakat. Islam yang demikian sangat menarik masyarakat Arab yang
sudah lama muak dengan bentuk aristokrasi lama yang memerintah dengan tirani,
ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan monopolisme. Masyarakat kala itu, mulai
menemukan semboyan-semboyan ideologi sebagai obat penyembuhan dari penderitaan
dan kesulitan akibat sistem tirani. Islam sebagai ideologi mampu memberikan
keyakinan baru yang berbasis kepada kemauan bebas manusia untuk melepaskan diri
dari jeratan sistem sosial dan politik tiranik.
Sehingga dapat
dimengerti jika kemudian Syari’ati mencoba merekonstruksi “Islam Syi’ah”
sebagai ideologi revolusioner. Syari’ati menyatakan dengan jelas, bahwa Islam
bukanlah Islam kebudayaan yang melahirkan ulama dan mujtahîd, bukan pula Islam dalam
tradisi umum, tetapi Islam dalam kerangka Abu Zar. Islam lahir
secara progresif dalam upaya merespon problem-problem masyarakat dan memimpin
masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita yang berharga. Dalam hal
ini, Islam dipahami sebagai sebuah pandangan dunia yang komprehensif, dan
diposisikan sebagai “agama pembebasan” yang concern dengan isu-isu sosial-politik seperti
penindasan, diskriminasi, ketidakadilan dan sebagainya. Semangat Islam sebagai
ideologi pembebasan mendorong terjadinya revolusi masyarakat Islam untuk
membangun konstruksi peradaban baru yang progresif, partisipatif, tanpa penindasan
dan ketidakadilan.
Dalam konteks
global Syari’ati melihat ada problem besar masa depan dunia Islam, yaitu
kolonialisme dan neo-kolonialisme oleh Barat. Hal ini telah mengalienasi
masyarakat Muslim dari kebudayaan aslinya (turâts), karena mereka mau tidak mau harus mengikuti
alur kebudayaan dan pola pikir yang telah “dipaksakan” oleh pihak kolonialis
maupun neo-kolonialis. Senada dengan Syari’ati, Hasan Hanafi juga melihat bahwa
kolonialisme atau westernisasi mempunyai pengaruh luas terhadap dunia Timur
(Muslim), tidak hanya pada budaya dan konsepsi tentang alam, tetapi juga
mengancam kemerdekaan peradaban. Bahkan, masih menurut Hanafi, juga merambah
pada gaya kehidupan sehari-hari: bahasa, menifestasi kehidupan umum dan seni
bangunan. Tidak hanya itu, keterbukaan ekonomi memaksa dunia Islam untuk
membuka diri terhadap kapitalisme internasional, demikian juga dengan
keterbukaan bahasa, maka konsekwensinya harus menerima kehadiran bahasa asing.
Syari’ati
memandang saat itu kolonialisme dan westernisasi telah melanda negara Dunia
Ketiga tak terkeculai Iran. Akibat yang timbul dari hal itu adalah munculnya
bentuk-bentuk korporasi multi-nasional, rasisme, penindasan kelas,
ketidakadilan, dan mabuk kepayang terhadap Barat (Westoxication). Ia menyatakan bahwa
kolonialisme Barat dan kepincangan sosial sebagai musuh terbesar masyarakat
yang harus diberantas dalam jangka panjang. Tetapi untuk jangka pendek, menurut
Syari’ati, ada dua musuh yang harus segera dimusnahkan: pertama, Marxisme
vulgal – menjelma terutama dalam Marxisme-Stalinisme – yang banyak digemari
para intelektual dan kaum muda Iran, dan kedua, Islam konservatif sebagaimana
dipahami kaum mullah
yang menyembunyikan Islam revolusioner dalam jubah ketundukan kepada para
penguasa.
Untuk
membebaskan massa dari krisis yang membawa mereka mencapai negara yang merdeka
dan berkeadilan sosial-ekonomi, Syari’ati yakin bukan melalui Liberalisme,
Kapitalisme, ataupun Sosialisme, namun yang bisa mengobati penyakit ini, kata
Syari’ati, hanyalah Islam. Baginya, Islam merupakan satu-satunya solusi yang
akan menyelamatkan negeri Muslim dari segala bentuk tekanan dan penindasan. Hal
ini sangat masuk akal jika Syari’ati menginginkan Islam sebagai penggerak
revolusi. Terlebih lagi dalam konteks Iran, Islam (Syi’ah) justru dijadikan
sebagai agama resmi negara. Dengan latar belakang yang demikian kondusif,
Syari’ati menempuh sejumlah strategi sekaligus mengkonsolidasi masyarakat ke
dalam satu paradigma: Islam adalah solusi. Beberapa strategi tersebut
mengandung muatan yang sama, yakni menyakinkan masyarakat untuk memilih Islam
sebagai jalan perubahan.
Pertama-tama
Syari’ati berusaha melakukan ideologisasi Islam dengan menunjukkan
karakteristik revolusioner Islam. Ia berupaya membuktikan bahwa Islam agama
yang sangat progresif, agama yang menentang penindasan. Syari’ati sangat
antusias untuk membuktikan perlunya suatu reformasi bagi pemahaman Islam yang
benar, sehingga dibutuhkan figur-figur yang mampu memimpin masyarakat kepada
perubahan paradigma dan mental masyarakat. Mereka itulah yang menurut Syari’ati
disebut para pemikir tercerahkan (rausanfikr). Kemudian Syari’ati menunjukkan bahwa Islam
merupakan akar budaya masyarakat Iran yang telah lama mendarah daging. Dengan
demikian masyarakat Iran harus kembali kepada warisan budaya Islam jika
menginginkan perubahan.
Untuk
mengkonstruksi Islam sebagai sebuah ideologi, mula-mula Syari’ati melakukan
redifinisi tentang pemahaman ideologi itu sendiri Syari’ati menjelaskan bahwa
ideologi terdiri dari kata “ideo” yang berarti pemikiran, gagasan, konsep,
keyakinan dan lain-lain, dan kata “logi” yang berarti logika, ilmu atau
pengetahuan. Sehingga ideologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keyakinan
dan cita-cita. Menurut
pengertian ini seorang ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi atau
keyakinan tertentu. Dalam kaitan ini, ideologi terdiri dari berbagai keyakinan
dan cita-cita yang dipeluk oleh suatu kelompok tertentu, suatu kelas sosial
atau suatu bangsa.
Ideologys includes both a belief and the knowing of it. It is to
have a special attitude and consciousness which a person has in relation to
himself, his class position, social base, national situation, world and
historic destiny as well as the destiny of one’s own society which one is
dependent upon… Therefore, ideology is a belief system that interprets the
social, rational and class orientation of a human being as well as one’s system
of values, social order, form of living, ideal individual, social situation and
human life in all its various dimensions. It answers the questions: What are
you like? What do you do? What must you do? What must be?
(Ideologi meliputi suatu kepercayaan dan pengetahuan tentangnya.
Ideologi diperlukan agar seseorang mempunyai kesadaran dan sikap khusus dalam
hubungannya dengan dirinya sendiri, posisi kelasnya, dasar sosial, situasi
nasional, dunia dan tujuan sejarah seperti halnya tujuan masyarakat sebagai
tempat bergantung… Oleh karena itu, ideologi adalah suatu sistem kepercayaan
yang menginterpretasikan kondisi sosial, rasionalitas dan orientasi kelas
seseorang seperti halnya sistem nilai, orde sosial, format individu ideal,
hidup manusia dan situasi sosial dalam berbagai dimensinya . Ideologi menjawab
pertanyaan: Apa yang kamu sukai? Apa yang kamu lakukan? Apa yang kamu harus
lakukan? Harus menjadi apa?)
Syari’ati
berusaha untuk membedakan antara ideologi, ilmu dan filsafat. Ilmu menurutnya
merupakan pengetahuan manusia tentang alam yang kongkret. Ia merupakan penemuan
manusia tentang beberapa hubungan, suatu prinsip, kualitas dan karakteristik di
dalam kehidupan manusia, alam dan benda-benda lainnya. Demikian halnya dengan
ilmu, dapat didefinisikan sebagai pencarian ke arah pemahaman sesuatu yang
bersifat umum, belum diketahui dan tidak terjangkau ilmu. Ia mempersoalkan
kemungkinan-kemungkinan ideal, kebenaran dan substansi, fenomena dan
konsep-konsep yang ada dalam alam pikiran manusia. Tentu saja
pemahaman Syari’ati tentang ideologi, ilmu dan filsafat berbeda dengan
pandangan para penganut aliran postmodernisme dewasa ini. Jürgen Habermas,
misalnya, ia menyatakan bahwa antara ideologi, ilmu, dan filsafat (bahasa
Habermas: Knowledge,
pengetahuan) mempunyai landasan yang sama dalam pengembanganya, yaitu
kepentingan (keberpihakan). Walaupun Habermas berbeda dengan Marx yang
mengatakan bahwa kepentingan itu adalah pasti kepentingan kelompok atas,
Habermas lebih melihat kepentingan itu muncul dari siapa saja (manusia kelompok
manapun) yang terlibat dalam pengembangkan sebuah ilmu, filsafat atau ideologi.
Di
sisi yang berbeda, ideologi menuntut seorang cendekiawan untuk memihak. Bagi
seorang ideolog, ideologinya adalah suatu kepentingan yang mutlak. Setiap
ideologi memulai dengan tahap kritis, kritis terhadap status quo,
kritis terhadap masyarakat dengan berbagai aspek kultural, ekonomi, politik dan
moral yang cenderung melawan perubahan-perubahan yang diinginkan. Berbeda
dengan filsafat maupun ilmu yang sama sekali tidak mempunyai komitmen seperti
itu, ia hanya menggambarkan realitas seperti apa adanya dengan tidak membedakan
apakah ia menolak atau menerima realitas tersebut. Inilah
perbedaan yang menyolok antara ilmu, filsafat dan ideologi. Dengan kata lain,
agar ideologi mampu memposisikan dirinya menjadi landasan perjuangan, maka
keberpihakannya harus jelas. Pada wilayah politik, ia harus mengabdi sehingga
mampu memberikan doktrin-doktrin politik. Pada kekuasaan politik ia harus bisa
menyerang. Inilah sebenarnya, kata Syari’ati, makna sesungguhnya dari ideologi,
yang berarti bukan konsep, landasan berfikir, filsafat, apalagi ilmu. Ideologi
adalah kata lain dari keberpihakan politik, tegas Syari’ati.
Lebih
lanjut Syari’ati mengatakan, baik ilmu maupun filsafat tidak pernah melahirkan
revolusi dalam sejarah walaupun keduanya selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan
dalam perjalanan waktu. Adalah ideologi-ideologi, tegas Syari’ati, yang
senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan mengoganisir
pemberontakan-pemberontakan menakjubkan yang membutuhkan
pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah manusia di berbagai belahan dunia. Hal
ini karena ideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggungjawab,
keterlibatan dan komitmen. Ideologi,
lanjut Syari’ati, menuntut agar kaum intelektual bersikap setia (commited).
Ideologilah yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan filsafat tidak,
arena sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan, tanggungjawab dan
keterlibatan untuk komitmen. Sejarah mengatakan, revolusi, pemberontakan hanya
dapat digerakkan oleh ideologi.
Setelah
mengkonstruksi gagasannya tentang ideologi, Syari’ati menegaskan tentang
urgensi perubahan yang hanya dapat digerakkan oleh masyarakat yang mempunyai
ideologi kokoh. Dalam kondisi keterpurukan untuk konteks Iran, Syari’ati
berfikir bahwa Islam harus mampu menjadi penggerak kesadaran masyarakat. Islam
perlu lebih dipahami sebagai sebuah pandangan dunia komprehensif, sebuah
rencana untuk merealisasikan potensi manusia sepenuhnya, baik secara
perseorangan maupun kolektif, untuk tujuan makhluq secara keseluruhan. Di sinilah
letaknya bahwa Islam berfungsi sebagai ideologi pembebasan:
Ia (Islam) akan membantu dalam memutuskan bentuk perjuangan melawan
kekuasaan tiranik. Ia tidak akan pernah berbaiat (sepakat) dengan kekejaman. Ia
akan merancang kontinuitas sejarah berkesinambungan. Ia akan menegaskan
perjuangan tak kenal henti antara pewaris Adam dan pewaris setan. Asy-syûra
mengingatkan kembali akan ajaran ihwal kenyataan bahwa Islam dewasa ini adalah
Islam kriminal dalam jubah “tradisi” dan bahwa Islam sejati adalah Islam yang
tersembunyi dalam jubah merah kesyahidan.
Syari’ati
berupaya menegaskan perbedaan Islam dengan pemahaman umum tentang agama yang
dikonsepsikan oleh Durkheim. Dalam bentuk yang tidak ideologis, agama seperti
dikemukakan Durkheim sebagai “suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan
perasaan-perasaan pribadi; suatu peniru terhadap modus-modus, agama-agama,
ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek yang secara
sosial telah mantab selama generasi demi generasi. Ia tidak harus merupakan
menifestasi dari semangat ideal kemanusiaan yang sejati”. Jika Islam
dirubah bentuknya dari “madzab ideologi” menjadi sekedar “pengetahuan kultural”
dan sekumpulan pengetahuan agama sebagaimana yang dikonsepsikan Durkheim, ia
akan kehilangan daya dan kekuatannya untuk melakukan gerakan, komitmen, dan
tanggung jawab, serta kesadaran sosial sehingga ia tidak memberi kontribusi apa
pun kepada masyarakat.
Untuk
mencapai tujuan menggerakkan masyarakat melalui ideologisasi Islam, Syari’ati
menempuh beberapa langkah strategis. Syari’ati berupaya untuk melakukan
redifinisi Islam dengan menyajikan tahapan-tahapan ideologi secara detail,
berkenaan dengan cara memahami Tuhan, mengevaluasi segala sesuatu yang
berhubungan dengan ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan mental kognitif
masyarakat, serta metode atau usulan-usulan praktis untuk mengubah status quo
yang tidak memuaskan kehendak masyarakat.
Pada
tahap pertama,
Syari’ati meletakkan pandangan dunia tauhîd sebagai pandangan dasar. Pendangan ini
menyatakan secara langsung bahwa kehidupan merupakan bentuk tunggal, organisme
yang hidup dan sadar, memiliki kehendak, intelejen, perasaan dan tujuan. Hal
demikian berbeda dengan pandangan dunia yang membagi kehidupan dalam kategori
yang berpasangan: dunia dan alam kekal; fisik dan ghaib; substansi dan arti;
rohani dan jasmani. Karena itu
diskriminasi manusia atas dasar ras, kelas, darah, kekayaan, kekuatan dan
lainnya tidak bisa dibiarkan, karena ia dianggap berlawanan dengan nilai-nilai
Ketuhanan.
Pada
tahap kedua,
adalah berkenaan dengan bagaimana memahami dan mengevaluasi pemikiran dan
segala sesuatu yang membentuk lingkungan sosial dan mental. Bagi Syari’ati,
Islam adalah pandangan dunia yang bisa dipahami dengan mempelajari al-Qur’an
sebagai kumpulan ide-ide dan mempelajari sejarah Islam sebagai ringkasan
kemajuan yang pernah dialami dari permulaan misi Nabi sampai pada dunia
kontemporer.
Dengan
berpijak pada al-Qur’an, Syari’ati melihat keseluruhan sejarah sebagai sebuah
konflik kekuatan-kekuatan, sementara itu manusia sendiri menjadi medan perang
antara asal jasmaniahnya yang rendah dan semangat Ketuhanannya. Dialektika
sejarah seperti ini sangat mudah diidentifikasi meminjam konsep dialektika
sejarah Marxis, meskipun tidak secara keseluruhan. Meskipun demikian,
Syari’ati mengklaim bahwa analisisnya mengenai dialektika Qabil dan Habil
sebagai sebuah simbol pertentangan yang terus-menerus adalah pemikiran orisinil
dalam konteks pemahaman Islam yang diambil dari intisari beberapa ayat dalam
al-Qur’an.
Pada
tahap berikutnya, diperlukan suatu ikhtiar bagaimana mencari dan menerapkan
jalan yang praktis untuk menumbangkan status quo. Caranya ialah melengkapi masyarakat dengan
tujuan dan cita-cita yang diinginkan, langkah-langkah praktis berdasarkan
kondisi masyarakat, serta upaya menciptakan perubahan dan kemajuan dalam
aksi-aksi revolusioner. Ideologi harus mengejawantah sebagai suatu amanat yang
sedang dihidupkan kembali untuk membangkitkan kaum yang menderita, bodoh dan
lamban, agar bangun dan menegaskan hak-hak serta identitasnya.
Keseluruhan
langkah yang dikonstruksi Syari’ati pada intinya akan mengerucut pada satu
tujuan, yaitu pembaharuan Islam (protestanism).
To emancipate and guide the people,
to give birth to a new love, faith, and dynamism, and to shed light on people’s
hearts and minds and make them aware of various elements of ignorance,
superstition, cruelty and degeneration in contemporary Islamic societies, an
enlightened person should start with “religion.” By that I mean our peculiar
religious culture and not the one predominant today. He should begin by an
Islamic Protestantism similar to that of Christianity in the Middle Ages,
destroying all the degenerating factors which, in the name of Islam, have
stymied and stupefied the process of thinking and the fate of the society, and
giving birth to new thoughts and new movements. Unlike Christian Protestantism,
which was empty-handed and had to justify its liberationist presentation of
Jesus, Islamic Protestantism has various sources and elements to draw from.
(Untuk membebaskan dan membimbing
rakyat, untuk menciptakan cinta dan keyakinan baru, kedinamisan, dan memberi
kesadaran baru ke dalam hati dan pikiran rakyat, serta mengingatkan mereka akan
berbagai bahaya yang muncul akibat unsur kebodohan, ketahayulan, kejahatan dan
kebobrokan di dalam masyarakat-masyarakat Islam kini, orang tercerahkan harus
mulai dengan “agama” – maksud saya kebudayaan agama dan bukan salah satu budaya
yang dominan sekarang ini. Ini harus dimulai dengan semacam Protestantisme Islam
(pembaharuan Islam) yang mirip dengan Protestantisme Kristen (pembaharuan
Kristen) pada Abad Pertengahan, yang menghancurkan seluruh faktor perusak yang,
dengan mengatasnamakan Islam, telah menghalangi dan membius proses
pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan baru. Tidak seperti Protestantisme
Kristen, yang tak punya apa-apa dan harus membenarkan kehadiran Yesus sebagai
pembebas, maka Protestanisme Islam mempunyai banyak sumber daya dan unsur yang
dapat digunakannya.
Gerakan
Protestanisme Islam, menurut Syari’ati akan mengeluarkan energi yang sangat
besar dan memungkinkan seorang Muslim yang tercerahkan untuk: pertama,
penyaring dan menyuling sumber-sumber daya masyarakat Islam dan mengubah
penyebab kebobrokan dan kemandekan menjadi kekuatan dan gerakan. Kedua,
mengubah konflik antar kelas dan sosial yang ada menjadi kesadaran akan
tanggung jawab sosial. Ketiga, menjembatani kesenjangan yang semakin lebar
antara “pulau yang dihuni oleh orang yang tercerahkan” dengan “pantai rakyat
kebanyakan” dengan menjalin hubungan kekeluargaan dan pemahaman di antara
mereka, dan dengan demikian menempatkan agama – yang datang untuk membangkitkan
dan melahirkan gerakan – untuk kepentingan rakyat. Keempat, mencegah agar senjata
agama tidak jatuh kepada mereka yang tidak patut memilikinya dan yang tujuannya
adalah memanfaatkan agama untuk tujuan-tujuan pribadi, yang dengan cara itu
memperoleh energi yang diperlukan untuk menggerakkan rakyat.
Kelima, mengusahakan suatu kebangkitan kembali agama yang – dengan
kembali kepada agama yang hidup, dinamis, kuat dan adil – melumpuhkan agen-agen
reaksioner dalam masyarakat, sekaligus menyelamatkan rakyat dari unsur-unsur yang
digunakan untuk membius mereka. Keenam, menghilangkan semangat peniruan dan kepatuhan
yang merupakan ciri agama biasa, dan menggantinya dengan semangat pemikiran
bebas (ijtihâd)
yang kritis, revolusioner, dan agresif. Semua ini dapat dicapai melalui gerakan
pembaharuan agama yang akan menyaring dan menyuling cadangan energi yang sangat
besar di dalam masyarakat, dan akan mencerahkan zaman itu serta membangunkan
generasi masa kini. Karena alasan-alasan itulah, Syari’ati berharap, agar orang
yang tercerahkan dapat berhasil mencapai kesadaran diri yang progresif.
0 komentar:
Posting Komentar