I. Pendahuluan
Sapere Aude - Beranilah berpikir sendiri. Inilah semboyan pencerahan yang legendaris. Semboyan ini menekankan peniadaan autoritas dalam usaha pencarian kebenaran karena autoritas sebagai sumber prasangka dianggap merusak rasionalitas. Prasangka, autoritas, tradisi dianggap membelokkan kebenaran sehingga pengetahuan didesak untuk dibebaskan dari segala hal tersebut. Pengetahuan harus bebas nilai. Dalam pendekatan ini tendensi objektivitas sangat kuat sementara subjektivitas dipinggirkan.
Hermeneutika Gadamer merupakan suatu kritik terhadap positivisme dengan menekankan pada subyek yang menafsirkan. Bila melihat pengertian etimologinya, hermeneutik berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo yang artinya mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan atau menafsirkan. Kata kerja ini terkait dengan nama tokoh mitologi Yunani yaitu Hermes yang bertugas menafsirkan kehendak dewata. Pertanyaan yang menarik apakah hermeneutik merupakan sebuah metode untuk memperoleh kebenaran yang setepat-tepatnya tentang realitas/teks ?Pertanyaan di atas bagi saya adalah pertanyaan awal yang menarik terkait dengan problematik positivistik yang menekankan objektivitas dan mengabaikan subjektivitas. Terlebih lagi bila kita hendak memahami realitas sosial. Apakah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dalam upaya memahami realitas sosial dapat dijawab dengan fakta-fakta objektif yang murni ? Bukankah realitas sosial begitu kompleks dan memahaminya lewat fakta-fakta murni hanya akan menyederhanakannya ? Oleh karena itulah saya tertarik untuk mengkaji lebih lanjut pendekatan hermeneutik dari Gadamer. Bagaimana prinsip hermeneutika Gadamer dan apa relevansinya bagi ilmu pengetahuan di Indonesia merupakan pertanyaan yang akan menjadi fokus dari tulisan ini.
Sapere Aude - Beranilah berpikir sendiri. Inilah semboyan pencerahan yang legendaris. Semboyan ini menekankan peniadaan autoritas dalam usaha pencarian kebenaran karena autoritas sebagai sumber prasangka dianggap merusak rasionalitas. Prasangka, autoritas, tradisi dianggap membelokkan kebenaran sehingga pengetahuan didesak untuk dibebaskan dari segala hal tersebut. Pengetahuan harus bebas nilai. Dalam pendekatan ini tendensi objektivitas sangat kuat sementara subjektivitas dipinggirkan.
Hermeneutika Gadamer merupakan suatu kritik terhadap positivisme dengan menekankan pada subyek yang menafsirkan. Bila melihat pengertian etimologinya, hermeneutik berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo yang artinya mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan atau menafsirkan. Kata kerja ini terkait dengan nama tokoh mitologi Yunani yaitu Hermes yang bertugas menafsirkan kehendak dewata. Pertanyaan yang menarik apakah hermeneutik merupakan sebuah metode untuk memperoleh kebenaran yang setepat-tepatnya tentang realitas/teks ?Pertanyaan di atas bagi saya adalah pertanyaan awal yang menarik terkait dengan problematik positivistik yang menekankan objektivitas dan mengabaikan subjektivitas. Terlebih lagi bila kita hendak memahami realitas sosial. Apakah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dalam upaya memahami realitas sosial dapat dijawab dengan fakta-fakta objektif yang murni ? Bukankah realitas sosial begitu kompleks dan memahaminya lewat fakta-fakta murni hanya akan menyederhanakannya ? Oleh karena itulah saya tertarik untuk mengkaji lebih lanjut pendekatan hermeneutik dari Gadamer. Bagaimana prinsip hermeneutika Gadamer dan apa relevansinya bagi ilmu pengetahuan di Indonesia merupakan pertanyaan yang akan menjadi fokus dari tulisan ini.
II. Hermeneutika
Gadamer
Proyek
pencerahan berusaha meniadakan prasangka dimana kita diminta untuk
mengesampingkan asumsi dan bias pikiran kita lalu melihat pertanyaan dan text
secara baru. Semua penafsiran yang benar harus dilindungi dari
khayalan-khayalan arbitrer dan pembatasan-pembatasan yang ditekankan oleh
kebiasaan-kebiasaan pemikiran yang tidak bisa dipahami dan mengarahkan
pandangannya terhadap sesuatu itu sendiri. Namun apakah kita benar-benar dapat
melepaskan diri dari subjektivitas ? Apakah kita dapat benar-benar bebas nilai
? Apakah kita benar-benar dapat berpikir secara baru tanpa titik tolak sama
sekali ? Apakah kita dapat memberi makna pada realitas/teks tanpa dibentuk oleh
kesadaran kita ? Bila demikian bukankah kita hanya akan menyalin fakta dari
teks atau realitas tersebut ? Gadamer melihat hal itu mustahil untuk dilakukan
oleh karena pikiran kita dibentuk oleh sejarah. Ia mengkritik pendapat seperti
itu sebagai prasangka melawan prasangka. Dalam hal ini ia melihat model yang
anti terhadap prasangka ini dimungkinkan oleh suatu prasangka (bahwa prasangka
harus diatasi). Gadamer mengacu pada konsep wirkungsgeschichte (sejarah
efektif) yaitu kenyataan bahwa pengetahuan memiliki efek dalam sejarah sebab
seorang peneliti kritis adalah juga seorang aktor sejarah yang menjadi bagian
dalam kesinambungan proses sejarah dalam tradisinya. Dalam hal inilah ia
menyinggung tentang kesadaran sejarah. Mempunyai kesadaran sejarah adalah
menjelajah dengan sikap tertentu kenaifan alam yang membuat kita menilai masa
lalu dengan apa yang sering disebut skala prioritas tentang masa kini, dalam
perspektif institusi kita dan dari keyakinan nilai-nilai dan kebenaran kita.
Dalam
mempertanyakan bagaimana memberi makna, Gadamer berkonfrontasi dengan
pendahulunya yaitu Scheleirmacher dan Dilthey. Ia mengkritisi pendapat Schleiermacher
yang menyatakan bahwa keasingan suatu teks bagi pembaca perlu diatasi dengan
mencoba mengerti si pengarang, merekonstruksi zaman si pengarang dan
menampilkan kembali keadaan dimana pengarang berada pada saat menulis teksnya.
Menurut Gadamer, tujuan dari membaca sebuah teks adalah untuk mempelajari
mengenai subyek dalam teks. Ia memberi contoh bila ia membaca biografi tentang
seseorang yang bernama James Joyce yang ditulis oleh Richard Ellmann, maka ia
hendak mempelajari tentang James Joyce dan bukan tentang proses mental dari
Richard Ellmann. Ia juga mengkritisi pendapat Dilthey yang melihat hermeneutik
sebagai metode untuk mengerti teks secara benar dalam konteks sejarahnya.
Dilthey berusaha merekonstruksi makna sebuah teks menurut maksud pengarang
dalam konteksnya. Menurut Dilthey, hermeneutik adalah menyusun kembali kerangka
yang dibuat oleh sejarawan agar peristiwa sebenarnya dari kejadian itu dapat
diketahui. Gadamer melihat bagaimana upaya Dilthey sebenarnya sia-sia karena
kita tetap tidak mungkin meniadakan prasangka dan berusaha merepoduksi makna
sebagaimana yang dihayati oleh si pengarang.
Disini saya
melihat bagaimana Dilthey berusaha untuk menemukan arti asli dari teks lalu
menampilkan kembali makna yang dimaksudkan oleh si pengarang. Apa yang
dilakukannya adalah sebatas reproduksi makna. Dalam hal ini Dilthey masih
terpengaruh dengan objektivisme zaman pencerahan yang berusaha meniadakan
prasangka dengan hanya berfokus pada makna seutuhnya dari si pengarang. Bila
makna suatu teks hanya terbatas pada makna di zaman pengarang teks, maka
pertanyaan yang perlu diajukan lebih lanjut menurut saya adalah bagaimana
dengan teks yang dihasilkan oleh si penafsir atau sejarawan tersebut tentang
hasil penafsirannya ? Bila teks tersebut hanya merupakan pemaparan makna
seutuhnya dari pengarang menurut zamannya, bagaimana kita menafsirkan atau
memahami teks dari si penafsir atau sejarawan ? Bukankah tafsiran itu ia
hasilkan dalam konteks zamannya yang memiliki kekhasannya sendiri ? Bila
penafsiran hanya mereproduksi makna si pengarang dalam zamannya, menurut saya
itu berarti teks menutup diri atau mungkin penafsiran yang kita lakukan telah
membatasi teks itu berbicara bagi kita di konteks masa kini. Dalam hal ini
menurut saya, suatu teks sebenarnya tidak hanya terbatas pada zamannya, tapi
juga terbuka berbicara bagi masa kini. Namun menurut saya apa yang diungkapkan
Dilthey mengenai historisitas suatu teks juga baik untuk diperhatikan. Teks
berasal dari konteks tertentu dan oleh karena itu baik juga kita mengerti
konteksnya. Hanya saja teks tidak akan berarti apa-apa tanpa dikomunikasikan
dengan konteks masa kini.
Berkaitan
dengan hal itu, penting bagi kita untuk mengerti apa yang ditekankan Gadamer
mengenai horizon. Ia menekankan bahwa seseorang memahami menurut horizon
sejarah tertentu. Horizon yang dimaksudkan Gadamer adalah bentangan visi yang
meliputi segala sesuatu yang bisa dilihat dari sebuah titik tolak khusus. Kita
selalu berada pada titik tertentu dan dimana kita berada selalu mempengaruhi
apa yang kita lihat. Dengan demikian yang perlu dilakukan adalah memperluas
horizon kita seluas-luasnya serta terbuka terhadap horizon baru.
Menurut saya
pendapat Gadamer tentang memperluas cakrawala pemahaman sangat penting. Proses
memperluas cakrawala pemahaman dalam lingkaran hermeneutis ini tidak pernah
berhenti untuk menghasilkan sebuah kebenaran objektif. Proses ini akan terus
berlanjut, mengembangkan dan memperluas horizon, wawasan kita. Ketika kita
berhadapan dengan orang lain cakrawala wawasan kita akan diperluas melalui
interaksi dan dialog. Dengan demikian kita tidak hanya melihat atau memahami
sesuatu berdasarkan satu perspektif saja yaitu perspektif kita sendiri namun
kita mencoba terbuka untuk mengembangkan wawasan kita melalui dialog. Kita
berdialog dengan orang lain bukan untuk memperoleh kebenaran setepat-tepatnya
tetapi untuk memahaminya. Dalam upaya memaknai tradisi masa lalu, kita akan
memahami dengan wawasan kekinian. Di sini jarak dengan masa lalu tidak diatasi
dengan hanya mengkonstruksi kembali makna di masa lalu tetapi memahaminya
dengan horizon kekinian. Dalam dialog tersebut terjadi perbenturan antara
cakrawala pemikiran kita dengan orang lain. Dalam dialog ini tentunya kita juga
membawa prasangka kita, namun kadangkala prasangka-prasangka kita harus
disimpan untuk mencoba melihat pandangan orang lain. Pandangan orang lain ini
dilihat bukan untuk dinilai sebagai hal yang buruk namun agar kita dapat
memahaminya. Bagaimana dengan prasangka dan tradisi kita ? Bisa saja prasangka
dan tradisi kita menjadi dominan dan kita anggap sebagai kebenaran. Dalam hal
inilah kita perlu tetap untuk bersikap kritis terhadap prasangka dan tradisi.
Kita perlu melihat apakah prasangka kita mengarahkan kita untuk dapat mengerti
ataukah prasangka itu menyembunyikan kita dari pengertian ?
Di sini menurut
saya kita juga perlu mengingat bahwa prasangka kita kadangkala tidak benar.
Untuk itu yang terpenting adalah kita perlu terus memperluas horizon kita
melalui dialog. Mengapa ? Hal ini berkaitan dengan konteks hidup kita yang
dinamis dan kompleks. Pikiran kita dibentuk oleh konteks, tradisi yang selalu
berkembang dan sedemikian kompleksnya sehingga makna yang kita berikan adalah
sesuatu yang berkembang. Apa yang kita alami dalam hidup kita, apa yang kita
lakukan dalam hidup tentunya akan mempengaruhi makna yang kita berikan terhadap
sesuatu. Makna yang kita berikan bukanlah kebenaran yang setepat-tepatnya
tetapi makna sesuai pengalaman, pembentukkan kita.
Terkait dengan
hal ini saya mengingat pengalaman PA lintas budaya bersama dengan teman-teman
di Makassar. Dalam kegiatan tersebut kami membaca satu teks Yohanes 4 : 1 - 42
secara bersama dan menafsirkannya. Kelompok PA di Makassar itu terdiri dari
mahasiswa yang mempunyai latar belakang budaya dan konteks hidup yang berbeda.
Dialog diantara kami menghasilkan berbagai makna. Beberapa diantara kami
berfokus pada moralitas perempuan Samaria dalam teks tersebut, yang lain lebih
berfokus pada pluralitas agama dan etnis. Hasil percakapan kami ini ditukar
dengan penafsiran sebuah kelompok jemaat di Warmond, Belanda yang juga membaca
teks Yohanes 4 : 1-42. Apakah kelompok PA di Warmond menyoroti hal yang sama ?
Ternyata tidak. Kelompok Warmond lebih berfokus pada eksklusivitas dalam teks
Yohanes itu sendiri : dalam Yohanes dikatakan bahwa Yesus adalah mesias dan
bahwa keselamatan hanya ada di dalam Dia. Kelompok Warmond mengidentifikasi
konflik antara orang Yahudi dan Samaria dengan konflik di Timur Tengah antara
Yahudi dan Palestina. Isu tentang pluralitas agama dan etnis (pekerja imigran,
pengungsi) tidak menjadi isu yang disoroti oleh kelompok ini ketika membaca
teks Yohanes 4. Bagaimana kita memahami perbedaan penafsiran ini ? Teks yang
dibaca adalah teks yang sama namun penafsiran yang dihasilkan dari teks
tersebut begitu beragam. Apakah dari keragaman penafsiran itu kita harus
menentukan dan mengambil satu makna yang benar objektif ? Apakah penafsiran
yang benar adalah penafsiran yang menggunakan pendekatan yang ilmiah dan
objektif ? Menurut saya tidak demikian. Keragaman penafsiran itu, menurut saya,
memperlihatkan bagaimana konteks budaya dan pengalaman mempengaruhi penafsiran
serta pemikiran kami. Keragaman pengalaman dan konteks budaya yang kemudian
menghasilkan perbedaan penafsiran tidak seharusnya diatasi hanya dengan sebuah
pendekatan yang objektif untuk memperoleh makna yang setepat-tepatnya. Pikiran
kami dan mereka dibentuk dengan konteks dan pengalaman yang berbeda. Dalam hal
ini saya setuju dengan pendapat Gadamer.
Hal yang
menarik menurut saya adalah bagaimana pengetahuan kita dibentuk oleh konteks,
dengan demikian sebenarnya konteks sangatlah penting untuk memahami makna.
Apakah kemudian makna adalah sesuatu yang terus berubah-rubah ? dalam hal ini
berubah atau tidak berubahnya makna terkait dengan konteks. Oleh karena itulah
kita akan terus menerus dalam proses pemikiran yang tidak mengenal titik akhir
. Menurut Gadamer kita tidak dapat melepaskan diri dari prasangka kita. Ketika
kita hendak memberi makna pada sesuatu, apa yang kita pikirkan tentu terkait
dengan pengalaman, tradisi dan konteks hidup kita. Dengan demikian pikiran kita
sebenarnya tidak bebas nilai. Di samping uraian di atas, saya pikir kita juga
perlu kritis untuk melihat bahwa Gadamer kurang menekankan bagaimana sebenarnya
prasangka dan tradisi tersebut seharusnya tidak melampaui teks atau realitas
yang berusaha dipahami. Kedua-duanya (prasangka/tradisi - teks/realitas) perlu
diletakkan dalam posisi yang sejajar dalam proses dialog .
III. Belajar
dari Hermeneutika Gadamer
Menurut saya
hermeneutik Gadamer cukup relevan bagi ilmu pengetahuan dalam konteks
Indonesia. Dalam hal ini saya pikir sangatlah penting bagi kita untuk belajar
dari Gadamer tentang bagaimana memperluas horizon, wawasan pemikiran kita lewat
dialog. Terkait dengan teologi Kristen, saya melihat bahwa teologi Kristen
sebenarnya tidak berangkat dari satu titik saja yaitu Alkitab tetapi teologi
kristen perlu berdialog dengan kenyataan yang ada dalam konteks di Indonesia.
Perlu disadari bagaimana teologi seharusnya berakar juga dalam konteks
Indonesia. Teologi perlu keluar dari benteng-benteng gereja dan berusaha
memahami dengan baik kenyataan sosial di masyarakat. Bila teologi hanya
terkukung dalam tembok-tembok gereja maka teologi yang mengasingkan diri
seperti ini tidak menjadi kabar baik/kesaksian dalam konteksnya. Teologi
seperti itu cenderung menjadi teologi yang tidak membumi. Dalam hal ini, bukan
jawaban dogmatis yang diharapkan dari teologi seolah-olah teologi mengetahui
semua jawaban secara tepat dan menjawab dengan pendekatan top-down dalam rangka
memberi atau melakukan. Namun yang perlu dilakukan adalah berdialog dengan
masyarakat, peka mendengar jeritan pergumulan mereka dan berusaha memahami
pergumulan mereka, lalu merencanakan dan mengerjakan bersama masyarakat. Dengan
demikian teologi dibentuk oleh konteks nyata dan bukan terpisah dari kenyataan
hidup masyarakat. Ini berarti teologi Kristen perlu berdialog dengan
agama-agama lain, teologi perlu berdialog dengan tradisi kepercayaan dalam
masyarakat, teologi perlu berdialog dengan tradisi dalam kepelbagaian budaya
masyarakat Indonesia, teologi perlu berdialog dengan masyarakat yang saat ini
berada dalam perubahan sosial yang serba cepat.
Dalam konteks pluralisme agama di masyarakat Indonesia, kita perlu berdialog dengan saudara-saudara kita yang berbeda agama. Kita harus berani membongkar batasan-batasan yang memisahkan kita. Seringkali kita mengeluhkan status kristen yang minoritas dan dipinggirkan dalam masyarakat Indonesia. Menurut saya pemikiran seperti ini hanya akan mengasingkan kita dari sesama kita. Apakah perbedaan agama hanya dinilai secara sempit berdasarkan mayoritas dan minoritas ? Oleh karena terjebak dalam pemikiran minoritas, kita tidak berani keluar dari tembok-tembok gereja kita. Akhirnya kita hanya terkukung dalam batasan pemikiran kita saja. Batasan pemikiran yang sempit dan kita menilai segala sesuatu dari pemikiran kita yang sempit itu. Dalam hal ini, menurut saya di sinilah pentingnya kita belajar dari Gadamer tentang perlunya memperluas fusi-fusi horizon, wawasan pemikiran kita melalui dialog dengan orang lain. Apakah tujuan kita berdialog dengan sesama kita ? Apakah untuk melihat siapa yang benar atau salah ? Apakah untuk meyakinkan bahwa kita benar dan kemudian menepuk dada ? Apakah untuk meyakinkan orang lain bahwa kebenaran ada pada kita agar orang lain mengikuti kita atau dalam arti menginjili orang lain ? Dialog kita bertujuan agar kita dapat memahami sesama kita. Dalam hal ini kita perlu rendah hati mengakui bahwa pengetahuan kita terbatas dan oleh karena itu kita perlu berdialog, terbuka pada mereka agar kita memperluas wawasan pikiran kita. Bagaimana dengan kebenaran yang kita yakini ? apakah agar kita dapat berdialog dengan baik kita perlu menyimpan keyakinan kita dan memilih untuk bersikap low profile : kita semua sama, kita semua inklusif, semua agama sama saja benarnya….menekankan persamaan dan menomorduakan perbedaan ( seolah-olah identitas harus dipinggirkan, perbedaan disembunyikan). Menurut saya dalam dialog tidak berarti kita menyembunyikan perbedaan untuk mencari kesamaan universal. Kita bertemu dengan orang lain bukan tanpa pemahaman sama sekali. Dalam situasi seperti itu kita menyadari bahwa cara pandang kita bukanlah satu-satunya cara. Dengan melihat adanya sudut pandang lain atau pemahaman lain, maka kita akan melihat dengan jelas cara pandang atau pemahaman kita sendiri. Dialog yang kita perlukan adalah dialog untuk mengerti sesama kita dan saling belajar dari pandangan masing-masing. Dalam melihat pro dan kontra mengenai syariat Islam misalnya. Bila kita hanya berpikir dalam horizon tertentu saja dan enggan untuk keluar berdialog dengan sesama kita yang lebih memahami syariat Islam, maka mungkin kita akan tenggelam dalam ketakutan kita sendiri dan menilai dengan tegas syariat Islam itu negatif. Mungkin saja kita tidak setuju dengan padangan-pandangan yang menerapkan syariat Islam dalam Perda-perda. Namun bila kita menolak dan tidak setuju terhadap penerapan itu seharusnya kita berusaha untuk mengerti persoalan yang ada di balik penerapan syariat Islam tersebut. Bagaimana kita dapat sungguh-sungguh memahami persoalan tersebut ? Salah satu jalan yang ditawarkan oleh Gadamer adalah melalui dialog. Melalui dialog kita akan mencapai pemahaman. Apakah lantas ini berarti kita berhenti pada upaya memahami saja ? Menurut saya tidak demikian, kita perlu melawan tetapi melawan bukan dalam arti Kristen melawan syariat Islam tetapi kita melawan hal-hal yang menimbulkan ketidakadilan bagi siapapun dari penerapan syariat Islam dalam Perda tersebut. Namun sekali lagi tentunya dengan pemahaman yang baik yang kita peroleh lewat dialog.
Dari pendekatan Gadamer, kita diingatkan bagaimana dalam penafsiran konteks pembaca pun perlu mendapat perhatian. Menurut saya hal ini cukup penting mengingat universalitas dan objektivitas ilmu tafsir Alkitab yang kita kenal selama ini yang menekankan bahwa teks sudah mempunyai konteksnya sendiri. Oleh karena itu penafsiran hanya berangkat dari konteks masa lalu dan bila konteks masa lalu itu tidak jelas yang dilakukan kemudian adalah merekonstruksi kembali masa lalu itu. Dalam pendekatan ini tampaknya ada tendensi yang kuat bahwa dari bangunan rekonstruksi masa lalu tersebut kita akan memperoleh makna yang asli. Namun dari Gadamer kita diingatkan bahwa ketika kita berhadapan dengan teks, kita tidak mungkin melepaskan diri dari prasangka yang dibentuk dalam konteks, sejarah hidup kita. Oleh karena itu apa yang kita perlukan adalah mengakui ruang bagi partisipasi pembaca dalam memaknai teks ketika ia membaca teks. Dalam proses membaca itu akan terjadi dialog antara pembaca dengan konteks kekiniannya dan teks dengan konteksnya yang khas. Di sini makna tidak tergantung dari teks semata, tetapi makna muncul dari dialog antara teks dan si pembaca. Contohnya ketika saya membaca cerita tentang Tamar dalam kejadian 28. Saya dapat menafsirkannya oleh karena saya sudah mempunyai ide bagaimana teks itu berbicara kepada saya dalam konteks saya. Namun itu tidak berarti saya hanya melihat pikiran saya sendiri. Di sinilah terletak pentingnya kesadaran akan prasangka yang sebelumnya saya telah miliki. Kesadaran tersebut saya dialogkan dengan apa yang dikatakan teks dan mungkin saja kemudian saya menghasilkan lima kemungkinan pemahaman baru dari dialog tersebut. Hal yang penting ditekankan di sini adalah bahwa peranan sudut pandang si penafsir diakui dalam proses penafsiran teks tersebut. Namun menurut saya tetap harus juga diperhatikan agar teks itu juga dapat berbicara secara terbuka dari konteksnya. Dialog tidak akan tercapai bila teks berada pada posisi seperti tahanan dalam penjara dan kita adalah penjaganya. Dalam arti penafsir datang dengan sejumlah pertanyaan yang diajukan sementara teks hanya dapat merespon/menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diungkapkan oleh penafsir. Bila demikian yang terjadi, tidakkah kita mengaburkan makna teks ? Dalam hal ini saya melihat bagaimana seorang penafsir perlu untuk menjadi lebih sensitif
Dalam konteks pluralisme agama di masyarakat Indonesia, kita perlu berdialog dengan saudara-saudara kita yang berbeda agama. Kita harus berani membongkar batasan-batasan yang memisahkan kita. Seringkali kita mengeluhkan status kristen yang minoritas dan dipinggirkan dalam masyarakat Indonesia. Menurut saya pemikiran seperti ini hanya akan mengasingkan kita dari sesama kita. Apakah perbedaan agama hanya dinilai secara sempit berdasarkan mayoritas dan minoritas ? Oleh karena terjebak dalam pemikiran minoritas, kita tidak berani keluar dari tembok-tembok gereja kita. Akhirnya kita hanya terkukung dalam batasan pemikiran kita saja. Batasan pemikiran yang sempit dan kita menilai segala sesuatu dari pemikiran kita yang sempit itu. Dalam hal ini, menurut saya di sinilah pentingnya kita belajar dari Gadamer tentang perlunya memperluas fusi-fusi horizon, wawasan pemikiran kita melalui dialog dengan orang lain. Apakah tujuan kita berdialog dengan sesama kita ? Apakah untuk melihat siapa yang benar atau salah ? Apakah untuk meyakinkan bahwa kita benar dan kemudian menepuk dada ? Apakah untuk meyakinkan orang lain bahwa kebenaran ada pada kita agar orang lain mengikuti kita atau dalam arti menginjili orang lain ? Dialog kita bertujuan agar kita dapat memahami sesama kita. Dalam hal ini kita perlu rendah hati mengakui bahwa pengetahuan kita terbatas dan oleh karena itu kita perlu berdialog, terbuka pada mereka agar kita memperluas wawasan pikiran kita. Bagaimana dengan kebenaran yang kita yakini ? apakah agar kita dapat berdialog dengan baik kita perlu menyimpan keyakinan kita dan memilih untuk bersikap low profile : kita semua sama, kita semua inklusif, semua agama sama saja benarnya….menekankan persamaan dan menomorduakan perbedaan ( seolah-olah identitas harus dipinggirkan, perbedaan disembunyikan). Menurut saya dalam dialog tidak berarti kita menyembunyikan perbedaan untuk mencari kesamaan universal. Kita bertemu dengan orang lain bukan tanpa pemahaman sama sekali. Dalam situasi seperti itu kita menyadari bahwa cara pandang kita bukanlah satu-satunya cara. Dengan melihat adanya sudut pandang lain atau pemahaman lain, maka kita akan melihat dengan jelas cara pandang atau pemahaman kita sendiri. Dialog yang kita perlukan adalah dialog untuk mengerti sesama kita dan saling belajar dari pandangan masing-masing. Dalam melihat pro dan kontra mengenai syariat Islam misalnya. Bila kita hanya berpikir dalam horizon tertentu saja dan enggan untuk keluar berdialog dengan sesama kita yang lebih memahami syariat Islam, maka mungkin kita akan tenggelam dalam ketakutan kita sendiri dan menilai dengan tegas syariat Islam itu negatif. Mungkin saja kita tidak setuju dengan padangan-pandangan yang menerapkan syariat Islam dalam Perda-perda. Namun bila kita menolak dan tidak setuju terhadap penerapan itu seharusnya kita berusaha untuk mengerti persoalan yang ada di balik penerapan syariat Islam tersebut. Bagaimana kita dapat sungguh-sungguh memahami persoalan tersebut ? Salah satu jalan yang ditawarkan oleh Gadamer adalah melalui dialog. Melalui dialog kita akan mencapai pemahaman. Apakah lantas ini berarti kita berhenti pada upaya memahami saja ? Menurut saya tidak demikian, kita perlu melawan tetapi melawan bukan dalam arti Kristen melawan syariat Islam tetapi kita melawan hal-hal yang menimbulkan ketidakadilan bagi siapapun dari penerapan syariat Islam dalam Perda tersebut. Namun sekali lagi tentunya dengan pemahaman yang baik yang kita peroleh lewat dialog.
Dari pendekatan Gadamer, kita diingatkan bagaimana dalam penafsiran konteks pembaca pun perlu mendapat perhatian. Menurut saya hal ini cukup penting mengingat universalitas dan objektivitas ilmu tafsir Alkitab yang kita kenal selama ini yang menekankan bahwa teks sudah mempunyai konteksnya sendiri. Oleh karena itu penafsiran hanya berangkat dari konteks masa lalu dan bila konteks masa lalu itu tidak jelas yang dilakukan kemudian adalah merekonstruksi kembali masa lalu itu. Dalam pendekatan ini tampaknya ada tendensi yang kuat bahwa dari bangunan rekonstruksi masa lalu tersebut kita akan memperoleh makna yang asli. Namun dari Gadamer kita diingatkan bahwa ketika kita berhadapan dengan teks, kita tidak mungkin melepaskan diri dari prasangka yang dibentuk dalam konteks, sejarah hidup kita. Oleh karena itu apa yang kita perlukan adalah mengakui ruang bagi partisipasi pembaca dalam memaknai teks ketika ia membaca teks. Dalam proses membaca itu akan terjadi dialog antara pembaca dengan konteks kekiniannya dan teks dengan konteksnya yang khas. Di sini makna tidak tergantung dari teks semata, tetapi makna muncul dari dialog antara teks dan si pembaca. Contohnya ketika saya membaca cerita tentang Tamar dalam kejadian 28. Saya dapat menafsirkannya oleh karena saya sudah mempunyai ide bagaimana teks itu berbicara kepada saya dalam konteks saya. Namun itu tidak berarti saya hanya melihat pikiran saya sendiri. Di sinilah terletak pentingnya kesadaran akan prasangka yang sebelumnya saya telah miliki. Kesadaran tersebut saya dialogkan dengan apa yang dikatakan teks dan mungkin saja kemudian saya menghasilkan lima kemungkinan pemahaman baru dari dialog tersebut. Hal yang penting ditekankan di sini adalah bahwa peranan sudut pandang si penafsir diakui dalam proses penafsiran teks tersebut. Namun menurut saya tetap harus juga diperhatikan agar teks itu juga dapat berbicara secara terbuka dari konteksnya. Dialog tidak akan tercapai bila teks berada pada posisi seperti tahanan dalam penjara dan kita adalah penjaganya. Dalam arti penafsir datang dengan sejumlah pertanyaan yang diajukan sementara teks hanya dapat merespon/menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diungkapkan oleh penafsir. Bila demikian yang terjadi, tidakkah kita mengaburkan makna teks ? Dalam hal ini saya melihat bagaimana seorang penafsir perlu untuk menjadi lebih sensitif
Hans-Georg Gadamer
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Filsuf Barat
Filsafat abad ke-20 |
|
Hans-Georg Gadamer
|
|
Nama:
|
Hans-Georg Gadamer
|
Lahir:
|
|
Meninggal:
|
|
Aliran/tradisi:
|
|
Minat utama:
|
|
Gagasan penting:
|
hermeneutika filosofis, 'filsafat praktis', semua
produk dari tradisi yang berada dalam tradisi tersebut, bahasa sebagai
kesatuan dari antara yang tak terhingga dengan yang terhingga
|
Dipengaruhi:
|
|
Mempengaruhi:
|
Hans-Georg Gadamer (11 Februari
1900 – 13 Maret 2002) adalah seorang filsuf Jerman yang paling
terkenal untuk adi karyanya pada 1960, Kebenaran dan Metode (Wahrheit
und Methode).
Kehidupan
Gadamer dilahirkan di Marburg, Jerman, sebagai
anak seorang kimiawan
farmasi yang belakangan juga menjadi rektor universitas
di sana. Gadamer melawan desakan ayahnya agar mempelajari ilmu-ilmu alam dan makin lama makin
tertarik akan humaniora.
Ia bertumbuh dan belajar di Breslau di bawah Hönigswald, namun tak lama kemudian
kembali ke Marburg untuk belajar dengan para filsuf Neo-Kantian Paul Natorp dan Nicolai Hartmann. Ia mempertahankan
disertasinya
pada 1922.
Tak lama kemudian, Gadamer mengunjungi Freiburg dan
mulai belajar dengan Martin Heidegger, yang saat itu merupakan seorang
sarjana muda yang menjanjikan namun belum memperoleh gelar profesor. Ia
kemudian menjadi salah satu dari kelompok mahasiswa seperti Leo Strauss, Karl Löwith, dan Hannah
Arendt. Ia dan Heidegger menjadi akrab, dan ketika Heidegger mendapatkan
posisi di Marburg,
Gadamer mengikutinya di sana. Pengaruh Heideggerlah yang memberikan Gadamer
pikiran bentuknya yang khas dan menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh
neo-Kantian sebelumnya dari Natorp dan Hartmann.
Gadamer menyusun habilitasinya pada 1929 dan
menghabiskan masa-masa awal 1930-an untuk memberikan kuliah di Marburg. Berbeda
dengan Heidegger, Gadamer sangat anti-Nazi, meskipun
ia tidak aktif secara politik pada masa Reich
Ketiga. Ia tidak memperoleh jabatan yang dibayar pada masa Nazi dan tidak
pernah bergabung dengan partai itu. Hanya menjelang akhir Perang Dunia ia
menerima pengangkatan di Leipzig. Pada 1946, ia terbukti tidak tercemari oleh Naziisme
oleh pasukan pendudukan Amerika dan diangkat menjadi rektor universitas. Jerman
Timur yang komunis pun tidak disukai Gadamer, dibandingkan dengan Reich Ketiga,
dan karena itu ia pindah ke Jerman Barat, pertama-tama menerima posisi di Frankfurt
am Main dan kemudian menggantikan Karl Jaspers di Heidelberg
pada 1949. Ia tetap dalam posisi ini, sebagai emeritus, hingga kematiannya pada
2002.
Pada saat itulah ia menyelesaikan adi
karyanya Truth and Method ("Kebenaran dan Metode") (1960)
dan terlibat dalam perdebatannya yang terkenal dengan Jürgen
Habermas megnenai kemungkinan dalam mentransendensikan sejarah dan
kebudayaan guna menemukan posisi yang benar-benar obyektif yang daripadanya
orang dapat mengkritik masyarakat. Perdebatan ini tidak menemukan
kesimpulannya, tetapi merupakan awal dari hubungan yang hangat antara kedua
orang ini. Gadamerlah yang pertama-tama membuka jalan bagi Habermas untuk
mendapatkan gelar profesornya di Heidelberg.
Upaya yang lain untuk melibatkan Jacques
Derrida ternyata kurang memberikan hasil karena kedua pemikir tidak banyak
memiliki kesamaan. Setelah kematian Gadamer, Derrida menyebut kegagalan mereka
untuk menemukan titik temu sebagai salah satu kegagalan terburuk dalam hidupnya
dan mengungkapkan, dalam obituari utama untuk Gadamer, rasa hormatnya yang
besar baik secara pribadi maupun filosofis.
Karya
Proyek filsafat Gadamer, seperti dijelaskan
dalam Truth and Method, adalah
menguraikan konsep "hermeneutika filosofis", yang dimulai oleh
Heidegger namun tak pernah dibahasnya secara panjang lebar. Tujuan Gadamer
adalah mengungkapkan hakikat pemahaman manusia. Dalam bukunya Gadamer
berargumen bahwa "kebenaran" dan "metode" saling
bertentangan. Ia bersikap kritis terhadap kedua pendekatan terhadap humaniora (Geisteswissenschaften).
Di satu pihak, ia kritis terhadap pendekatan-pendekatan modern terhadap
humaniora yang mengikuti model ilmu-ilmu alam (dan dengan demikian menggunakan
metode-metode ilmiah yang ketat). Di pihak lain, ia mempersoalkan pendekatan
tradisional dalam humaniora, yang muncul dari Wilhelm
Dilthey, yang percaya bahwa penafsiran yang tepat tentang teks berarti
mengungkapkan niat asli si pengarang yang menuliskannya.
Kutipan
- Tak suatupun yang ada kecuali melalui bahasa.
- Pada dasarnya saya hanya membaca buku-buku yang berusia lebih dari 2000 tahun.
- Pada kenyataannya sejarah bukanlah milik kita; melainkan kita adalah milik sejarah. Lama sebelum kita mengerti diri kita melalui proses pemeriksaan diri, kita memahami diri kita dalam cara yang terbukti dengan sendirinya di dalam keluarga, masyarakat, dan negara tempat kita tinggal. Fokus dari subyektivitas adalah cermin yang mendistorsikan. Kesadaran diri dari individu hanyalah berkelip-kelip dalam sirkuit tertutup dari kehidupan historis. Itulah sebabnya prasangka [pra-penilaian (Vorurteil)] dari individu, jauh melebihi penilaiannya, merupakan realitas historis dari keberadaannya. (Gadamer 1989:276-7, tr.)
Kebenaran Menurut Hans Jurgen Gadamer
Kebenaran Menurut Gadamer
Sebuah Pandangan Brilian Tentang Ide Kesejarahan Manusia Lewat Teori Historical Conciousnes Efectif And Prejudice
Sebuah Pandangan Brilian Tentang Ide Kesejarahan Manusia Lewat Teori Historical Conciousnes Efectif And Prejudice
Pendahuluan
Ahem, terkait dengan teori Gadamer tersebut
kita bisa melihat pandangan Gadamer tentang kebenaran yang cenderung membawa
kita kepada kebenaran relativisme dengan konsep “kesadaran historis efektif”
nya, disamping itu pula telah mampu melampaui para pendahulunya lewat gebrakan
yang dilakukannya dalam dunia pengetahuan khususnya dalam perkembangan
metodologi. Hal itu sangat memberikan arti pada penelitian-penelitian dunia
ilmu-ilmu sosial dengan teori terkenalnya itu, sebelum lebih jauh kita menyimak
uraian-uraian teoritisnya pertama-tama ia melayangkan kritik pedasnya kepada
dua sosok pemikir pendahulunya atau kepada dua paradigma penelitian ilmiah yang
masing-masing dipelopori oleh Schleiermacher dan Wilhlem Dilthey, dimana
kedua-duanya, menekankan proses reproduksi makna, yang pertama; Schleirermacher
menekankan pencarian makna lewat pengkajian psikologi pengarang dengan cara
peneliti secara penuh terjun seolah-olah ia adalah pengarang itu sendiri.
“Sebuah upaya rekonstruksi subjektif historis,
dimana bermaksud membahas awal mulanya sebuah pernyataan masuk dalam pikiran
seseorang, memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri”.1
Dengan cara ini seseorang akan mampu melihat
secara objektif makna yang terdapat dalam sebuah karya, mengetahui secara pasti
apa maksud dan tujuan pengarang menuliskan karya-karyanya, sedangkan Wilhlem
Dilthey lebih menekankan makna objektif lewat pencarian otentisitas makna dari
sebuah karya lewat mencari asal usul sejarah penciptaan karya tersebut.
Tetapi kedua pendekatan tersebut oleh Gadamer
belum dirasakan memberikan dan belum mampu menjembatani problem pembacaan yang
selalu bersifat kontinu, sesuai dengan gerak dinamika perjalanan realitas,
artinya kedua pendekatan diatas hanya menyodorkan solusi pembacaan yang
bersifat interior semata yakni melihat pemaknaan yang terpaku pada satu bentuk
wajah yang hanya memberikan informasi mengenai makna lokal temporal saat itu
saja, cara yang ditawarkan oleh Schleiermacher dan wilhlem Dilthey sering
dikenal dengan metode empati, yaitu melibatkan diri secara aktif ke dalam
“teks” disini makna teks dalam studi hermeneutika tidak terbatas pada sesuatu
yang tertuliskan namun juga teks kehidupan, Schleiermacher mengusulkan empati
psikologis, Yaitu peneliti harus mampu masuk ke dalam isi teks sosial (yaitu
pranata-pranata, tingkah laku, interaksi dan seterusnya) atau teks-teks kitab
suci sampai “mengalami kembali” pengalaman-pengalaman pengarangnya, yaitu
pengalaman para pelaku sosial. Penelitian ini menurut Schleiermacher adalah
sebuah upaya reproduksi atau replay pengalaman para pelaku sosial tersebut,
kalau Dilthey mengusulkan bahwa menurutnya terlalu psikologistis.2
Yang direproduksi menurutnya adalah bukanlah
pengalaman pengarang atau pelaku sosial, melainkan bagaimana proses teks sosial
itu terbentuk. Kedua bentuk metode tadi menurut Gadamer tidak akan
menyelesaikan masalah yang dihadapi berikutnya sebab murni melihat objektivitas
makna dari sebuah kasus, tidak kemudian menghadapkannya dengan realitas
berikutnya, oleh karena itu, bagaimana kalau misalnya dua cara tersebut diatas
dihadapkan dengan persoalan realitas persoalan pelik masa selanjutnya dengan
hanya pembacaan yang reproduktif saja? Cara ini masih membutuhkan langkah
penafsiran selanjutnya untuk mensituasikannya dengan persoalan yang sedang
dihadapi. Inilah kemudian oleh Gadamer dilihat kembali signifikansinya dalam
rangka memberikan jalan yang lebih efektif untuk melihat persoalan, cara ini
kemudian dikoreksi oleh Gadamer dengan cara pembacaan secara produktif. Sebab
bagaimanapun teks sosial maupun teks-teks kitab suci tersebut berasal dari masa
lampau, sudah berjarak waktu sangat jauh, bahwa praktek-praktek sosial,
selamatan, gotong royong, sistem kebatinan dan teks-teks kitab suci misalnya
sudah ada sejak ribuan tahun.
Dengan demikian, menurut Gadamer, jarak waktu
yang berabad-abad dan sangat panjang tersebut tidak mungkin untuk dijembatani,
maka solusi yang dikemukan oleh Gadamer sendiri adalah penafsiran secara
kreatif produktif dengan keterbukaan masa kini dan masa depan, yang mana dalam
proses penafsiran tersebut peneliti bukan sekedar mereproduksi teks-teks
tersebut, melainkan menafsirkannya secara kreatif. Jadi, penafsiran adalah
tugas yang tak kunjung selesai dan justru penelitian itu harus dilakukan demi
keterarahannya terhadap masa depan teks-teks tersebut, baik teks-teks kitab
suci maupun teks-teks sosial semuanya.
Kegelisahan inilah yang mendasari Gadamer
sesungguhnya untuk mengemukan satu bentuk pendekatan pemahaman secara
kreatif-produktif, bahwa secara metodologis disini diakui Gadamer kedua metode
yang ditawarkan oleh kedua pendahulunya tersebut dirasakan tidak akomodatif
dengan perkembangan realitas yang begitu pesat dan rumit, sehingga ia ingin
mencoba memberikan tawaran-tawaran metodologis untuk mengatasi celah-celah para
pendahulunya itu, ia ingin melampaui apa yang telah dicetuskan Schleiermacher
dan Dilthey berdua sebagaimana terungkap sedikit diatas.
Problem Hermenutis Gadamer
Bermula dari keberadaan manusia secara
historis, lalu Gadamer mempertanyakan keberadaan manusia sebagai pencipta
simbol, dimana kemudian dikaitkan dengan pemerolehan manusia dengan pengetahuan
yang ada, tidak pernah bisa disangkal bahwa keinginan manusia atau pengetahuan
manusia selalu terbentuk oleh apa yang dinamakan “historical circle” lingkaran
historisitasnya sebagai makhluk sejarah, atau bagian riil sejarah itu sendiri.
Tapi kemudian mempertanyakan ulang, mengapa kemudian proses tersebut bersarang
pada kesadaran manusia yang sama sekali jauh perbedaannya antara kesadaran
praktis dan kesadaran teoritis “awareness practice” dengan “awareness toritic”.
Yang menjadi pertanyaan besar selanjutnya adalah, bagaimanakah kesadaran
praksis memberikan pengaruh terhadap kesadaran teoritis?, tidak hanya itu
problem kesejarahan manusia banyak mengusung pertanyaan yang menyimpan segudang
mutiara jawaban yang mau tak mau tertuju pada historisitas manusia itu sendiri.
Berangkat dari keterkondisian manusia—dalam
hal ini—sejarah hidup dan kehidupannya memicu persoalan kesadaran yang
membentuk pola pikir manusia yang terkurung dalam sejarahnya tersebut. Kita
tidak heran persoalan pengetahuan kemudian dipenjara oleh sebuah realitas
historis manusia, betapapun itu adalah hal yang paling esensial untuk
mengetahui bagaimana sistem berpikir seseorang. Bukan mengklaim bahwa orang ini
berpikir modern atau primitif misalnya, tetapi orang cenderung memperlihatkan
gaya berpikirnya sesuai dengan keberadaan historis mereka dalam epos yang
berbeda-beda.
Persoalan pokok manusia adalah persoalan
“keterkondisiannya pada sejarah” yang berakibat pada disiplin keilmuan mereka
yang ia tekuni, bagaimana tidak latar belakang historis yang imanen menjadi
mentransenden membentuk kesadaran manusia secara otomatis, atau membentuk
spiritualitas pengetahuan manusia sebagai bagian dari kondisi historis yang
melingkupinya. Seseorang tidak bisa mengklaim dirinya bisa menghindar dari
problem ini, sebab ia adalah bagian dari produk sejarah, ia terlahir dari
bentukan sejarahnya sendiri, oleh karenanya mau tak mau ia akan terbawa oleh
kultur kesejarahannya dalam bentuk kekomplekan sejarah tersebut.
Apakah prinsip kesadaran sejarah ini berlaku
pada semua pengetahuan, termasuk wahyu Ilahi yang diturunkan, yang kemudian
kita boleh mengklaim secara riil itu adalah buah kesadaran ilahi terhadap
realitas?
Problem “Memahami”
Memahami adalah sebuah proses mengartikan memaknakan atau menafsirkan atau sering disebut dengan (Verstehen), tentunya dalam hal ini yang ditafsirkan adalah “teks”, teks disini dimaksudkan keseluruhan teks, bukan hanya teks kitab suci tetapi juga teks sosial secara keseluruhan.3
Memahami adalah sebuah proses mengartikan memaknakan atau menafsirkan atau sering disebut dengan (Verstehen), tentunya dalam hal ini yang ditafsirkan adalah “teks”, teks disini dimaksudkan keseluruhan teks, bukan hanya teks kitab suci tetapi juga teks sosial secara keseluruhan.3
Dalam wacana kekinian kita, “memahami” ini
sering dibahasakan dengan hermeneutika yang dibedakan dengan teori exegese
(hanya sebatas komentar-komentar aktual teks), hermeneutik adalah sebuah
disiplin yang pada awalnya dipergunakan hanya pada pembacaan terhadap teks-teks
kitab suci sebagai sebuah upaya untuk memahami pesan-pesan yang disampaikan
secara tersirat oleh teks-teks kitab suci tersebut.
Menurut Gadamer hermeneutik itu adalah:
“Memahami dirinya sendiri bukan sebagai posisi
yang mutlak sebuah pengalaman, melainkan sebagai jalan pengalaman itu, dan ini
menegaskan bahwa tidak ada prinsip yang lebih tinggi daripada mengusahakan diri
tetap terbuka untuk berbicara dengan orang lain”.4
Sebagaimana yang ingin diperlihatkan oleh
Gadamer sendiri bahwa disiplin selalu dapat diterapkan pada keadaan kita saat
ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialektik dan
bahasa. Dengan demikian pemahaman selalu mempunyai posisi, misalnya posisi
pribadi kita sendiri saat ini. Pemahaman tidak pernah bersifat objektif dan
ilmiah. Sebab, pemahaman bukanlah “mengatahui” secara statis dan diluar
kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu, misalnya dalam sejarah.
Semua pengalaman yang hidup itu menyejarah, bahasa dan pemahaman juga
menyejarah.3
Proses memahami dalam makna ini adalah
keterkaitan manusia dengan keterkondisiannya dengan sejarah yang dibuat oleh
manusia sendiri, artinya peta sejarah manusia adalah sebuah upaya
ketidaksadaran manusia dalam bentukan sejarahnya masing-masing, bahwa
pembentukannya secara historis terlibat dalam memberikan inspirasi pemahamannya
terhadap segala sesuatu, tidak hanya itu dampak keterkondisian itu lebih
esensial lagi adalah memperlihatkan tipologi manusia yang dikendalikan oleh
proses yang telah dialaminya dalam rentang sejarah hidupnya, disinilah mungkin
oleh Gadamer adanya proses dialektika yang tidak pernah putus, sehingga
menyebabkan manusia satu sisi tidak terputus dengan pengalaman-pengalaman
hidupnya.
Melihat yang demikian ada satu persoalan yang
sangat diperhatikan oleh Gadamer sendiri yaitu persoalan tradisi, yang tradisi
ini adalah sebuah perluasan dari bagian sejarah yang terbentang di depan dunia
kehidupan manusia, tradisi adalah praktek yang mengisi hidup manusia, membentuk
perilaku bahkan membentuk idiologi mereka, bahwa tradisi adalah faktor yang
sangat esensial untuk masuk ke dalam wilayah pemahaman.
Tradisi dalam hal ini bisa dilihat sebagai
pengalaman-pengalaman yang selalu terus menerus bersifat konfrontatif, ini
mungkin bisa dikaitkan dengan alasan dia yang memasukkan proses dialektika
sebagai tangga pemandu dalam perjalanan hidup manusia yang tidak bisa
terelakkan, manusia dalam konsep ini pada kesimpulannya tidak bisa lari dari
keberadaan tradisi historis yang demikian mempola, ini akan berakibat pada
bagaimana pemahamannya terhadap apa yang ia persepsi dan amati.
Hans Georg gadamer dikenal sebagai seorang guru besar pada universitas tua
di Jerman, Universitas Heidelberg. Latar belakang pendidikan gadamer meliputi
studi filsafat, bahasa dan kebudayaan klasik.
Para pemikir yang memberikan pengaruh bagi Gadamer diantaranya, Plato,
Hegel, Imanuel kant dan Heidegger.
Salah satu karya penting yang melambungkan nama Gadamer, Wahrheit und
methode: Grunzude einer Philosophiscen Hermeneutik.
Dalam pandangan Gadamer, hermeneutika merupakan suatu perjumpaan dengan das
sein lewat bahasa. Ditandaskannya, keberadaan manusia bercirikan
kebahasaan. Dengan demikian Fokus Gadamer mengotak-atik masalah filsafat
tentang hubungan bahasa dengan pemahaman, sejarah, eksistensi dan realitas.
Ketika berbicara tentang geschichtlichkeit des versrehens (pemahaman
historikal) nampaknya Gadamer harus berterima kasih kepada Heidegger dan Hegel
atas sumbangsih vorstruktur (prastruktur) dan historicshe Bewusstein
(Kesadaran historikal) keduanya.
Pemahaman (verstehen) bukan suatu proses subjektif manusia yang
dihadapkan kepada suatu objek, karena bukan suatu metode objektifikasi. Namun,
pemahaman historikal yang bertumpu pada vorstruktur dan historicshe
Bewusstein.
Vorstruktur sebagaimana diyakini Heidegger terdiri dari vorhabe (apa yang sudah
dipunyai sebelumnya), vorsich (apa yang sudah dilihat sebelumnya) dan vorgriff
(apa yang sudah ditangkap sebelumnya).
Bagi Gadamer, hermeneutika di pandang sebagai eine
Theorie der wirklichen Erfahrung sebagai proses ontologis bukan
epistemologis. Disini, Gadamer tidak mengajukan hermeneutika sebagai metode
bahkan lebih dari itu metode dikritik.
Kritik gadamer pada metode de facto,
adalah ketidaksanggupan metode membuka kebenaran baru, karena hanya mampu
mengeksplisitkan kebenaran yang ada dalam metode. sebab dalam metode, de
facto, subjek peneliti yang berperan menuntun objek, mengendalikan dan
memanipulasi.
Menurut Gadamer, semua dan setiap pemahaman senantiasa merupakan peristiwa
historikal, dialektik dan kebahasaan. Kebenaran, bukan dicapai dengan metode,
tapi dengan dialektika. Pendekatan dialektik merupakan antitesa metode.
Berbeda dengan Hegel, kesadaran historikal
Gadamer bukan kesejarahan reflektif, bukan sebagai perantara sejarah dan masa
kini dan bukan pula sebagai proses argumentasi. Namun ia adalah dialektika yang
merupakan struktur pengalaman itu sendiri. Tujuan dialektika ini,
bagaimana realitas yang dijumpai mengungkapkan dirinya. Dengan dialektika, die
sache selbst membuka diri untuk ditanyai dan menyingkapkan dirinya. Dengan
demikian terbuka pemahaman yang lebih luas, karena kunci bagi pemahaman adalah
partisipasi dan keterbukaan, bukan manipulasi dan pengendalian. Demikan Gadamer.
Ketika Gadamer memandang begitu pentingnya
pengalaman dalam hermeneutika, maka akan bersangkutan dengan perihal yang
dijumpai pada (atau didalam) tradisi (ueberlieferung). Lebih dari itu,
bagi Gadamer, tradisi adalah bahasa yang berbicara dari dirinya sendiri.
Tradisi juga dipahami sebagai yang secara intrinsik bersifat
kebahasaan.
Bagaimana cara
Gadamer Memahami? Bertanya dengan dialektika. Bertanya adalah membuka dan
meletakan diri dalam keterbukaan. Pertanyaan bisa salah dan benar. Dengan
pertanyaan yang salah, tidak akan didapatkan jawaban yang benar. Memahami suatu
pertanyaan adalah mengarahkan sendiri kembali pertanyaan tersebut. Tugas
kita adalah keharusan untuk merekontruksi pertanyaan yang atasnya
teks memberikan jawaban.
Lalu
bagaimana bertanya yang benar? Lewat partisipasi, keterbukaan terhadap
penjelasan kedalamnya dari kebekuan menjadi cair, kental dan menghangatkan.
Dari plato, Gadamer memperoleh jurus melancarkan kritik terhadap bahasa teks
tulis beku (Scriftlichkeit) yang perlu dicairkan dan dihangatkan dengan
dialog partisipatif.
Tugas hermeneutika adalah
mengeluarkan teks dari alienasinya, dan mengembalikannya ke dalam dialog yang
riel hidup dimasa kini, menghidupkan pertanyaan dan menghadirkan jawaban
sepanjang masa.
Oleh-oleh
yang disumbangkan Gadamer pada kita adalah melihat kemungkinan-kemungkinan
baru untuk memahami dan menafsirkan tradisi kebudayaan kita, juga cara-cara
baru untuk merumuskan diri dan sejarah pribadi melalui peleburan cakrawala.
Inilah sekuntum bunga yang baru bisa saya petik dari Gadamer.
0 komentar:
Posting Komentar