Hermeneutika (dari bahasa
Yunani Ερμηνεύς hermēneuō: menafsirkan) adalah aliran filsafat yang
bisa didefinisikan sebagai teori interpretasi dan penafsiran sebuah naskah melalui
percobaan. Biasa dipakai untuk menafsirkan Alkitab, terutama
dalam studi kritik mengenai Alkitab.
STUDI HERMENEUTIKA DAN PENERAPANNYA
Istilah hermeneutika merupakan turunan dari
kata kerja Yunani, hermeneuin yang berhubungan dengan kata benda hermenes dan
terkait dengan dewa dalam mitologi Yunani kuno bernama “Hermes”. Hermes
merupakan utusan para dewa untuk membawa pesan Ilahi yang memakai bahasa
“langit” kepada manusia yang menggunakan bahasa “dunia”. Untuk tujuan itulah
maka diperlukan interpretasi. Sebagai turunan dari simbol dewa, hermeneutika
berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu
kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna
secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika
merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi
terhadap sebuah Teks. Karena obyek kajian utamanya adalah pemahaman makna pesan
yang terkandung dalam teks dengan variabelnya, maka tugas utama hermeneutika
adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja suatu teks untuk
memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan makna itu muncul. Melalui
hermeneutika, hasil sebuah analisis bisa berbeda dengan maksud penggagas, namun
juga bisa sama. Sebab, ketika suatu wacana diwujudkan ke dalam bentuk tulisan,
menurut Paul Riceour, yang terjadi sesungguhnya adalah pelestarian "makna
wacana", bukan "peristiwa wacana" itu sendiri. Dengan demikian,
wacana tertulis tersebut memperoleh otonominya yang rangkap tiga: otonom dari
maksud pengarang; otonom dari konteks sosio-historis awal yang melatarinya; dan
otonom dari kelompok sasaran awalnya. Bersamaan dengan itu, wacana tertulis
atau teks menjadi sesuatu yang pasti pada dirinya. Sifat otonomi wacana tertulis
atau teks di atas mempunyai konsekuensi logis bagi siapapun yang bergulat
dengan penafsiran teks. Otonomi teks membuat penafsiran setiap teks terbuka dan
menolak upaya menunggalkan tafsir. Setelah dituliskan, setiap teks memiliki
makna sendiri yang tidak selalu bisa disamakan dengan makna awal maksud
pengarang. Karena itu, di satu sisi teks dapat didekontekstualiasi dan di sisi
lain bisa direkontekstualisasi ke dalam situasi baru, menjumpai para pembaca
baru yang berada di luar kelompok sasaran awal. Itu berarti bahwa teks bisa
memproduksi makna-makna baru sesuai kelompok sasaran barunya. Kendati demikian,
pesan subyek yang mengatakan atau penggagas tetap tersimpan dalam teks sehingga
pesan itu bisa dilacak melalui pembacaan yang bersifat negosiasi antara pembaca
dengan teks. Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks,
apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna
pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda
masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga
kategori hermeneutika: teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika
kritis. Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini
menitikberatkan kajiannya pada problem "pemahaman", yakni bagaimana
memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam
hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Oleh karena
tujuannya memahami secara obyektif maksud penggagas, maka hermeneutika model ini
dianggap juga sebagai hermeneutika romantis yang bertujuan untuk
"merekonstruksi makna". Dalam rangka merekonstruksi makna,
Scheleirmacher, sebagai pencetus hermneutika teoritis, menawarkan dua
pendekatan: pertama, pendekatan linguistik yang mengarah pada analisis teks
secara langsung; kedua pendekatan psikologis yang mengarah pada unsur
psikologis-subyektif sang penggagas sendiri. Dua unsur pendekatan ini dalam
hermeneutika teoritis, dipandang sebagai dua hal yang tidak boleh dipisah.
Memisah salah satunya akan menyebabkan sebuah pemahaman terhadap pemikiran
seseorang menjadi tidak obyektif. Sebab, teks menurut hermeneutika teoritis
sebagai media penyampaian gagasan penggagas kepada audiens. Agar pembaca
memahami makna yang dikehendaki penggagas dalam teks, hermeneutika teoritis
mengasumsikan seorang pembaca harus menyamakan posisi dan pengalamannya dengan
penggagas teks. Dia seolah-olah bayangan penggagas teks. Agar mampu menyamakan
posisinya dengan penggagas, dia harus mengosongkan dirinya dari sejarah hidup
yang membentuk dirinya, dan kemudian memasuki sejarah hidup penggagas dengan
cara berempati kepada penggagas. Sebagai pelanjut gagasan hermeneutika teoritis
Schleiemacher, Wilhelm Dilthey mengawalinya dengan memilah-milah ilmu menjadi
dua disiplin: ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora. Yang pertama menjadikan alam
sebagai obyek penelitiannya, yang kedua manusia. Oleh karena obyek dari ilmu
alam berada di luar subyek, ia diposisikan sebagai sesuatu yang datang kepada
subyek, sebaliknya karena obyek ilmu sosial-humaniora berada di dalam subyek
itu sendiri, keduanya seolah tak terpisah. Yang membedakan kedua disiplin ilmu
ini menurut Dilthey bukan obyeknya semata, tapi juga orientasi dari subyek
pengetahuan, yakni "sikapnya" terhadap obyek. Dengan demikian,
perbedaan kedua disiplin ilmu tersebut bersifat epistemologis, bukan ontologis.
Secara epistemologis, Dilthey menganggap disiplin ilmu alam menggunakan
penjelasan (Erklaren), yakni menjelaskan hukum alam menurut penyebabnya dengan
menggunakan teori. Sebab, pengalaman dengan teori terpisah. Sedang disiplin
ilmu sosial-humaniora mengunakan pemahaman (Verstehen), dengan tujuan untuk
menemukan makna obyek, karena di dalam pemahaman, terjadi pencampuran antara
pengalaman dan pemahaman teoritis. Selanjutnya, dengan mengambil penekanan yang
sedikit berbeda dengan hermeneutika teoritis Schleiermacher yang menekankan
pada pencarian makna obyektif yang dihendaki penggagas, Dilthey menganggap
makna obyektif yang perlu dipahami dari ilmu humaniora adalah makna teks dalam
konteks kesejarahaannya. Sehingga, hermeneutika menurut Dilthey bertujuan untuk
memahami teks sebagai ekspresi sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena
itu, yang perlu direkosntruksi dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari
peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks. Karena itu, berbeda dengan
Schleiemacher, untuk merekonstruksi makna teks, menurut Dilthey tidak harus
menyelam ke dalam pengalaman penggagas. Sebab pengalaman itu dimediasi oleh
karya-karya para tokoh sejarah yang menghayati realitas pada masanya. Hal itu
bisa ditemukan dengan pemahaman terhadap makna budaya yang diproduknya. Di
sinilah sikap empati pembaca terhadap teks menemukan tempatnya. E. Betti
termasuk tokoh hermeneut yang menganut hermeneutika teoritis yang mencoba memadukan
antara teori Schleiemacher dan Wilhelm Dilthey. Sebagaimana pendahulunya,
hermeneutika menurut Betti bertujuan untuk menemukan makna obyektif. Betti
menawarkan empat momen gerakan alam menemukan makna obyektif: pertama, penafsir
melakukan investigasi fenomena linguistik teks, kedua, penafsir harus
mengosongkan dirinya dari segala bentuk kepentingan, tiga, penafsir harus
menempatkan dirinya dalam posisi seorang penggagas melalui kerja imajinasi dan
wawasan, empat, melakukan rekonstruksi untuk memasukkan situasi dan kondisi
untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai dari ungkapan teks. Kedua,
hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana
memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis.
Problem utamannya adalah bagaimana "tindakan memahami" itu sendiri.
Sebagai penggagas hermeneutika filosofis, hermeneutika, menurut Gadamer,
berbicara tentang watak interpretasi, bukan teori interpretasi. Karena itu,
dengan mengambil konsep fenomenologis Heidegger tentang Dasein (ke-Ada-annya di
dunia), Gadamer menganggap hermeneutikanya sebagai risalah ontologi, bukan
metodologi. Dalam rumusan hermeneutikanya, Gadamer menolak anggapan
hermeneutika teoritis yang menggagap hermeneutika bertujuan menemukan makna
obyektif. Gadamer menganggap tidak mungkin diperoleh pemahaman yang obyektif
atau definitif sebuah teks sebagaimana digagas para penggagas hermeneutika
teoritis, karena dua alasan: pertama, orang tidak bisa berharap menempatkan
dirinya dalam posisi pengarang asli teks untuk mengetahui makna aslinya. Kedua,
memahami bukanlah komuni misterius jiwa-jiwa dimana penafsir menggenggam makna
teks yang subyektif. Memahami menurutnya adalah sebuah fusi horizon-horizon:
horizon penafsir dan horizon teks. Sebagai tawarannya, Gadamer merumuskan
hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis:
Pertama, kesadaran terhadap "situasi hermeneutik". Pembaca perlu
menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan melihat seseorang dalam membaca
teks. Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk
"pra-pemahaman" pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca
dalam mendialogkkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam
membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya
terhindar dari kesalahan. Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan
antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus
dikomonikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa
diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki
horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang
akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh
Gadamer disebut "lingkaran hermeneutik". keempat, langkah selanjutnya
adalah menerapkan "makna yang berarti" dari teks, bukan makna
obyektif teks. Bertolak pada asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas dari tradisi
dimana dia hidup, maka setiap pembaca menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan
tradisinya begitu saja ketika hendak membaca sebuah teks. Dalam kegiatan
penafsiran, hermeneutika filosofis mengandaikan seorang penafsir atau pembaca
didahului oleh horizon pembaca yang kemudian membentuk pra pemahaman. Namun
penting digaris bawahi bahwa Gadamer tidak bermaksud memberikan kebebasan
mutlak bagi penafsir. Gadamer tetap memberikan rambu-rambu, yakni agar penafsir
bersikap terbuka pada teks. Penafsir sejatinya membiarkan teks menghadiri
penafsir untuk kemudian diadakan dialog antara keduanya untuk menghilangkan ketegangan.
Sebab, sebagaimana pembaca, teks juga mempunyai sejarahnya sendiri yang disebut
horizon teks. Dengan prinsip makna tidak ditemukan di dalam teks, Gadamer
berpendapat bahwa "memahami" adalah tindakan sirkuler antara teks
dengan pembaca yang disebut the fusion of horison, yakni mempertemukan pra
pemahaman pembaca dengan cakrawala atau horizon teks. Dalam negosiasi itulah,
makna yang dicari bersemayam. Penekanan Gadamer pada fusi horizon dalam
menemukan makna didasarkan pada argumen bahwa seseorang tidak mungkin bisa
melepaskan diri dari tradisi dan prasangkanya dan apalagi memasuki tradisi dan
prasangka orang lain. Menurut Gadamer, keduanya pasti hadir dalam setiap
tindakan menafsir, lantaran keduanya merefleksikan keterkondisian historis umat
manusia. Berbeda dengan hermeneutika teoritis yang hendak "merekonstruksi
makna", tujuan utama hermeneutika filosofis adalah "memproduksi makna
teks", melalui fusi horison pembaca dan horizon teks. Begitu makna
produktif ditemukan, langkah selanjutnya adalah menerapkannya ke dalam konteks
di mana pembaca berada. Tentu makna yang diterapkan bukanlah makna obyektif
sebagaimana dimaksudkan hermeneutika toritis, melainkan "makna yang
berarti" bagi pembaca. Makna itu mempunyai nilai bagi kehidupan pembaca, bukan
bagi kehidupan penggagas. Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini
bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks, dengan tokohnya Habermas.
Kendati memberikan penilaian positif atas gagasan Gadamer yang mempertahankan
dimensi sejarah hidup pembaca, Habermas sebagai penggagas hermeneutika kritis
menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya
yang oleh dua model hermeneutika sebelumnya justru diabaikan. Sesuatu dimaksud
adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks
bukan sebagai medium pemahaman sebagaimana dipahami dua model hermeneutika
sebelumnya, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks
tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks
harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.
LANGKAH-LANGKAH ANALISIS HERMENEUTIKA
A. Sejarah lahirnya hermeneutika? B.
Hermeneutika Teoritis: menawarkan gagasan hermeneutika yang bertujuan menemukan
makna obyektif. Teori hermeneutika teoritis menyarankan pembaca mengosongkan
dirinya dari sejarah hidupnya sendiri dan memasuki sejarah hidup penggagas.
Makna obyektif dimaksud ada tiga: 1. Makna yang dimaksud penggagas dengan
tokohnya Scleimecher: pendekatan linguistik dan psikologis. Pembaca harus
menyamai posisi penggagas. 2. Makna yang dimaksud teks dengan tokohnya Dilthey:
menganalisis sejarah lahirya teks. Dilthey membagi disiplin agama menjadi dua:
alam dan humaniora. Ilmu alam menggunakan Eklaren (penjelasan); sedang
humaniora menggunakan vestehen (memahami). 3. Makna obyektif yang memadukan
antara linguistik dan sejarah dengan tokohnya Betti: Analisis psikologis,
sejarah dan teks
C. Hermeneutika Filosfis: Menurut Gadamer
hermeneutika tidak semata-mata bagaimana menafsiri dengan benar, melainkan
fenomena menafsiri itu sendiri. Interpretation of interpretation. Menurutnya,
hermeneutika teoritis yang menyarankan pengkosongan pembaca dalam menemukan
makna obyektif adalah mustahil. Mustahil manusia bisa megosongkan sejarah
hidupnya yang dia sebut horizon. Yang mungkin adalah menjadikan horizon pembaca
sebagai pijakan dialektika dalam memahami teks. Empat kunci hermeneutika
Gadamer: Pertama, kesadaran terhadap "situasi hermeneutik". Pembaca
perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan seseorang dalam membaca
teks. Karena itu, pembaca harus bisa mengatasi subyektifitasya sendiri dalam
membaca teks dan bersikap toleran terhadap pembaca lain. Kedua, situasi
hermeneutika ini kemudian membentuk "pra-pemahaman" pada diri pembaca
yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkkan teks dengan konteks.
Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer, pembaca harus
selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, pembaca
harus menkomuikasian dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks, agar
ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus
terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab,
teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca.
Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut "lingkaran
hermeneutik". Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan "makna
yang berarti" dari teks, bukan makna obyektif teks.
D. Hermeneutika Kritis: Mengkritik Gadamer,
Habermas menyatakan kendati hermeneutika yang digagas Gadamer benar di satu
sisi, namun menurutnya Gadamer belum mampu melacak kepentingan ideologis di
balik horizon pembaca dan teks. Menurut Habermas, teks bukanlah media netral,
melainkan media dominasi. Karena itu, ia harus selalu dicurigai. 1. Rasio
instruental: melahirkan teknologi: melahirkan penindasan 2. Rasio komunikatif:
akal sebagai media komunikasi: melahirkan emansipasi dan liberasi.
Hermeneutika Al-Qur'an : Keniscayaan atau
Kenistaan?*
Pendahuluan
Hermeneutika telah menjadi
salah satu pemikiran yang laku keras di berbagai perguruan tinggi Islam,
khususnya ketika diedarkan di UIN dan IAIN. Banyak pelanggan telah mengkonsumsi
pemikiran Barat tersebut lalu merasa ketagihan. Ini dikarenakan hermeneutika
menstimulir munculnya rasa bangga lagi hebat pada jiwa pecandunya, seakan-akan
menawarkan sesuatu yang baru, segar, dan spektakuler. Maka hermeneutika
dianggap suatu keniscayaan bagi siapa saja. Sementara yang tidak berhemeneutika
ria, dikecam dengan berbagai stigma negatif. Misalnya dianggap "mau
benarnya sendiri", atau penafsirannya disudutkan sebagai
"kesewenang-wenangan penafsiran" (interpretif despotism) (Amin
Abdullah dalam Faiz, 2005).
Walhasil, hermeneutika
yang semula merupakan tradisi interpretasi Bibel, telah disusupkan secara
ilegal dalam tradisi keilmuan Islam dan diaplikasikan untuk menggantikan metode
tafsir Al-Qur`an. Sebaliknya tradisi Islam yang genuine (asli) seperti metode
penafsiran Al-Qur`an dan tafsir-tafsir klasik menjadi sasaran hujatan dan penistaan
serta mau dibuang begitu saja layaknya sampah. (Husaini, 2005).
Padahal, hermeneutika
semestinya dikaji dengan cermat, tidak ditelan bulat-bulat tanpa menggunakan
otak, atau menggunakan otak tapi telah tercemar dengan polusi ideologi Barat
yang kafir (kapitalisme-sekular). Karena sebenarnya hermeneutika bukan produk
tradisi keilmuan Islam, melainkan berasal dari tradisi Yahudi/Kristen, yang di
kemudian hari diadopsi oleh para teolog dan filsuf Barat modern menjadi metode
interpretasi teks secara umum (Husaini, 2005).
Apa Itu
Hermeneutika?
Hermeneutika secara umum
dapat didefinisikan sebagai teori atau filsafat tentang interpretasi makna
(Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics, London : Routledge and Kegan Paul,
1980, hal. 12). (Triatmoko, 1993).
Kata hermeneutika itu
sendiri berasal dari kata kerja bahasa Yunani, hermeneuin, yang berarti
menafsirkan. Kata bendanya hermeneia. Akar kata itu dekat dengan nama dewa
Yunani yakni Dewa Hermes yang menjadi utusan atau pembawa pesan para dewa. Dewa
Hermes berperan mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk
yang dimengerti manusia. Peranan semacam itulah yang kurang lebih mau dilakukan
oleh para ahli tafsir Kitab Suci (Triatmoko, 1993).
Dalam The New Encyclopedia
Britannica, dikatakan bahwa hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip
umum dalam interpretasi Bible (hermeneutics is the study of the general
principal of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk
menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Dalam sejarah interpretasi
Bible, ada empat model utama interpretasi Bible, yaitu : Pertama, literal
interpretation(1); Kedua, moral interpretation(2); Ketiga, allegorical
interpretation(3), dan keempat; anagogical interpretation(4). Dari model-model
ini, yang menjadi arus utama sejak awal sejarah Kristen adalah model literal
(model Antioch) dan model alegoris (model Alexandria). (Husaini, 2005).
Keempat model interpretasi
Bible tersebut dipraktikkan sejak awal sejarah Kristen (abad ke-4 M), dengan
tokohnya Saint Jerome, hingga berakhirnya Abad Pertengahan (abad ke-16 M)
dengan tokohnya Marthin Luther.
Pada masa modern,
hermeneutika dipelopori oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Tokoh teolog
Protestan ini dikenal sebagai Bapak Hermeneutika Modern yang pertama kali
berusaha membakukan hermeneutika sebagai metode umum interpretasi yang tidak
terbatas pada interpretasi kitab suci atau kitab sastera. Kemudian Dilthey (w.
1911) menerapkannya sebagai metode sejarah, lalu Hans-Georg Gadamer (1900- )
mengembangkannya menjadi ‘filsafat’, Paul Ricoeur menjadikannya sebagai ‘metode
penafsiran fenomenologis-komprehensif’. Selain itu para filosof seperti Jurgen
Habermas, Jacques Derrida, dan Michael Foucault, mengembangkan sebentuk
"kritik hermeneutik", yaitu analisis atas proses pemahaman manusia
yang sering terjebak dalam otoritarianisme, khususnya karena tercampurnya
determinasi sosial-budaya-psikologis dalam kegiatan memahami sesuatu (Faiz,
2005).
Intinya, ada banyak
puspa-ragam hermeneutika. Namun menurut Fahrudin Faiz dalam bukunya
Hermeneutika Al-Qur`an (2005), ada tiga tipe hermeneutika. Pertama,
hermeneutika sebagai cara untuk memahami. Contoh tokohnya adalah
Schleiermacher, Dilthey, dan Emilio Betti. Kedua, hermeneutika sebagai cara
untuk memahami suatu pemahaman. Tokohnya semisal Heidegger (w. 1976) dan
Gadamer. Ketiga, hermeneutika sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman.
Tokohnya semisal Jacques Derrida, Habermas, dan Foucault. (Faiz, 2005:8-10).
Dalam perspektif
pendekatan hermeneutik, menurut Amin Abdullah, variabel pemahaman manusia
sedikitnya melibatkan tiga unsur. Pertama, unsur pengarang (author). Kedua,
unsur teks (text). Ketiga, unsur pembaca (reader). Ketiga elemen pokok inilah
yang dalam studi hermeneutika disebut Triadic Structure (Faiz, 2005).
HERMENEUTIKA: SEBUAH PENGANTAR
Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermenuein,
harmenus yang berarti penafsiran, ungkapan, pemeberitahuan, terjemah. Ia
diambil dari kata hermes, utusan para dewa dalam mitologi Yunani.
Meskipun ia sendiri adalah dewa yang mempunyai peran sebagaimana dewa Mesir
kuno Theth (dewa kata). Kalau dicermati lebih dalam, sebetulnya kedua
dewa ini mempunyai peran yang berbeda. Dewa Theth kata-katanya bersifat naratif
sedangkan Hermes bersifat formatif ilustraif. Agaknya perpaduan ini merupakan
keharusan, karena makna suatu mitos terbentuk dari narasi dan forma.
Theth disebut juga juru tulis para dewa, dewa
tulisan, pencipta pena dan tinta, penutur agung, penguasa tulisan dari Mesir.
Ia juga kata pemula yang menyebabkan alam ini ada. Di samping itu ia berperan
sebagai jaksa di pengadilan akhir hayat. Secara singkat bisa dikatakan bahwa
Theth adalah symbol dari kata, kata pencipta, pengatur, pemusnah alam ini
sekaligus juga yang berperan mengadili. Dan karakteristik kata ini adalah
samar, tidak akan pernah jelas. Sebab dengan kesamaran itu kehidupan bisa
dinamis dan abadi.
Adapun Hermes adalah dewa kata yang fasih. Ia
putra Zeus dan Maya. Ia adalah kata-kata yang menjadi penghubung
(komunikasi) antar manusia dan manusia dengan suatu tempat. Perkataan gaya
Hermes adalah perkataan yng berputar-putar antara kebenaran dan kebohongan.
Hermes memang bersumpah untuk tidak berdusta meskipun ada catatan iapun tidak
berjanji bisa mengungkapkan kebenaran secara sempurna.
Dengan demikian, hermeneutika ala mitologi
Yunani adalah upaya mendapatkan kebenaran hakiki melalui ucapan-ucapan Hermes
yang sifatnya sangat terbatas (tidak mutlak kebenarannya).
Berikut ini penulis akan memaparkan secara
singkat perjalanan hermeneutika.
Abad Pertengahan
Pada masa ini terjadi perpindahan lapangan
penafsiran teks dari humeira (injil Yunani) ke penafsiran injil-injil Romawi.
Para penafsir juga mulai meletakkan pedoman-pedoman, kaidah-kidah unuk
memahami kitab suci, yaitu berpegang pada tekstualitas, tujuan moral dan
kandungan arti spiritual. Augustin membagi arti-arti yang dicari oleh
para penafsir dari kitab suci menjadi 4 yaitu ari tekstual, tujuan moral, arti
simbolik dan penafsiran yang tersembunyi. Dan ketika Martin Luther menampilakn
corak penafsiran barunya dalam gerakan reformasi agama bermuncullah
karya-karya seputar kaidah-kaidah penfsiran. Pada tahun 1654 mulai muncul
karya yang menyebut kata hermeneutika yaitu Hermeneutika sacra sive Methodus
exponent darum sacarum literum (penafsiran kitab suci atau metode
penjelasan teks-teks kitab suci) karya Dannhauuer. Dan pada abad XVIII
corak penafsiran kitab suci bertumpu pada filologi.
Schleler Marcher ( w 1843 )
Oleh Schleler Marcher, hermeneutika dibawa
dari obyek wilayah ketuhanan (kitab suci) ke wilayah ilmu-ilmu pengetahuan
(teks secara umum). Hal ini karena pada masanya terjadi reaksi keras
terhadap faham Hegel yang menfsirkan teks sebagai penjelmaan yang Maha Kuasa di
satu sisi dan faham Feurbagh yang berpandangan bahwa teks keagamaan tidak lain
adalah bentuk alianasi manusia di sisi lain. Bagi marcher, yang penting bukan
Hegel atau Feurbagh, tapi bagaimana memahami teks keagamaan tersebut.
Sebagaimana teks-teks yang lain. Dalam menafsiri teks ia tidak mencukupkan pada
pendekatan filologi saja, tapi dilengkapi dengan pendekatan psikologi dan
sejarah. Secara garis besar ada 2 dasar yang ditawarkan Marcher dalam menafsiri
teks :
- Langkah-langkah
penafsiran (hermeneutika) terhadap teks. Dan langkah ini ada dua cara, pertama
intuitif struktural yang mendasarkan pada arti keseluruhan teks. Kedua adalah
gramatikal historis, analitis, komparatif yang digunakan untuk mengkaji lebih
dalam komponen-komponen teks
- Landasan pemahaman bahwa
teks adalah sarana komunikasi antara penulis (pembuat teks) dan pembaca
(penafsir teks) di satu sisi, dan di sisi lain adalah karakteristik dari
pembuat teks itu sendiri. Dengan demikian, penafsiran hermeneutik adalah upaya
untuk berpadu, menyatu rasa dengan pembuat teks dan mengira-ngira maksud dan
tujuannya di satu sisi. Dan di sisi lain adalah analisa mendalam terhadap teks
itu dari segi gramatika, sejarah yang dengan demikian pembaca (penafsiran)
mempunyai otoritas luas untuk menafsirkan teks tersebut.
Dilthey (1833 – 1911)
Kalau Schleler Marcher tantangannya adalah
Hegelisme dan Feurbaghisme, maka Dilthey adalah ilmu Fisika di satu sisi dan
filsafat idealisme di sisi lain. Masa Dilthey disebut sebagai masa filsafat
positivisme, yang mendasarkan kebenaran pada eksperimen dan rumus-rumus fisika.
Para pengusung positivisme mencela ilmu-ilmu humaniora, karena tidak adanya
kepastian rumus-rumus dan kaidah-kaidah. Dan Dilthey menjawab bahwa ilmu fisika
dan humaniora mempunyai perbedaan obyek, tujuan dan penggarapan. Obyek ilmu
fisika adalah alam, sesuatu yang ada di luar manusia. Sementara humaniora
obyeknya adalah manusia itu sendiri. Dan oleh karena itu, manusia adalah
pengkaji dan obyek sekaligus. Sedangkan tujuan dari ilmu fisika adalah
menguasai alam sementara humaniora adalah upaya memahami manusia. Dengan
demikian, hermeneutika lebih dekat dengat humaniora. Dan hermeneutika ala
Dilthey adalah penafsiran yang mendalam terhadap teks dan bukan sekedar
eksperimen atau pencarian sebab-sebab kemunculan teks.
Heidegger (1889 – 1976)
Bersama Heidegger, hermeneutika mengalami
lompatan besar sebab ia mengaitkannya dengan filsafat yang dalam hal ini adalah
fenomenologi. Keterkaitan ni tidak berarti obyek kajian hermeneutika
adalah hal-hal yang lahiriah atau kulit kalimat. Tapi konsentrasinya justru
pada perspektif kesadaran individu terhadap fenomena itu. Dan ketika obyek
kajian hermeneutika adalah bahasa, sedangkan fenomenologi adalah alam maka
dengan cerdas Heidegger menjelaskan bahwa bahasa adalah ekspresi dari alam. Dan
oleh karena itu, penafsiran teks adalah penafsiran terhadap alam. Fungsi
penafsiran teks adalah (ber)fungsinya kesadaran- kesadaran terhadap alam. Dan
penafsiran teks adalah membaca bahasa alam, mendengar suaranya seakan-akan ia
menjelma di hadapan penafsir.
Heidegger menegaskan bahwa penafsiran dengan
cara ini (dengan hermeneutika) memang memunculkan beragamnya penafsiran, sebab
:
- penafsiran hermeneutik
adalah pengalaman ontologis (upaya pencarian wujud dan hakikat sesuatu).
Padahal keberadaan hakikat tersebut adalah antara ada dan tiada, kesamaran dan
kejelasan. Dan oleh karena itu, penafsiran hermeneutik –dengan tujuan seperti
ini- harus dilakukan terus-menerus. Artinya tidak bisa diklaim bahwa suatu
bentuk atau tahapan penafsiran telah menemukan hakikatnya.
- Penafsiran hermeneutik
adalah penafsiran historis. Artinya pertama ia muncul pada satu titik
dari rangkaian kesejarahan dan terpengaruh oleh kejadian sejarah itu. Kedua pemahaman-pemahaman
yang kita daptkan dari sejarah (kejadian) senantiasa mempengaruhi pemahaman
kita terhadap teks.
- Hakikat sesuatu jauh
melampaui kesadaran kita, lebih panjang dari pada usia dunia, lebih komplek
dari pada potongan sejarah di mana kita hidup. Dan oleh karena itu kesadaran
akan sejarah (realitas) harus dilakukan terus menerus.
Gadammer (1900 - )
Teori Gadammer tentang hermeneutika melalui
pendekatan seni. Ia mengatakan :" Ketika kita menemukan karya seni dengan
ciri khas keindahannya bukan wujud lahirnya . Kita akan merasa bertambah asing.
Sebab karya seni berkaitan dengan kenyataan (wujud karya seni tersebut) dan
persepsi banyak orang sementara itu kita sendiri secara prbadi sulit untuk
menerimanya ". Menanggapi kepelikan semacam ini, Gadammer menawarkan teori
dekomparasi keindahan yang artinya kelangsungan nilai seni. Suatu pemahaman bahwa
karya seni (yang dibuat di masa lalu) mempunyai sifat berkembang, aktual sampai
pada masa kini. Dan dengan hermeneutika hal tersebut bisa diatasi melaui
pemahaman, penafsiran dan dialog. Penafsir dengan cara ini melakukan
pengembaraan untuk menemukan keserasian antara si penafsir tersebut dengan
obyek (teks). Keserasian ini tidak berarti penafsir tergantung pada teks tapi
maksudnya si penafsir membuka diri untuk berdialog dengan yang lain. Meskipun
Gadammer menekankan pada hakikat dan kandungan nilai karya seni, ia tidak
menafikan bentuk lahir. Sebab bentuk lahir merupakan media yang memungkinkan
penafsir (dalam hal ini pengamat seni) melalui eksperimen-eksperimennnya yang
terus menerus- bisa mendapatkan suatu makna yang pasti. Demikian juga dengan adanya
bentuk lahir, generasi mendatang bisa turut memberikan apresiasi terhadap karya
seni tersebut. Dengan kata lain, keberadaan wujud luar mempunyai kekuatan
yang dinamis, dalam arti karya seni tidak hanya dilihat dari sisi keindahan
belaka, tapi juga makna terdalam yang terkandung. Juga beragamnya apresiasi,
pemahaman menjadi lestari tidak akan berhenti pada satu tahapan atau orang
penafsir tertentu.
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa
Gadammer –dalam hermeneutika- menawarkan tiga poros yaitu penulis
(pencipta teks/sejarah/seni), penafsir dan teks dalam pengertian umum. Si
penafsir bergerak merambah dari pemahaman yang ada menjelang kemunculan teks,
beragamnya arti sepanjang sejarah sampai pada arti di mana penafsir hidup, dan
dari penafsir mencoba menyatu rasa dengan penulis (pembuat teks). Dengan
demikian, penafsiran hermeneutik adalah penafsiran yang terus menerus dan
berputar-putar antara penafsir, teks dan pembuat teks.
Jauss
Jauss sebagaimana Gadammer juga menawarkan
teori dialog. Ia mempunyai 3 macam bentuk dialog pertama dialog dengan
para pembaca (penafsir) teks. Kedua dialog antar teks, yaitu teks yang
sedang dikaji penafsir dengan teks-teks yang lain. Ketiga dialog antara
teks puitis dan teks biasa (prosa). Bagi Jauss kemunculan bahasa bukan dari
interaksi individu dengan obyek, tapi interaksi antara individu dengan individu
yang lain. Dan pengertian "faham" bukan monologis ( bagaimana kita
memahami suatu obyek) tapi dialogis (sharing pengertian antara individu dengan
individu lain terhadap suatu obyek). Dan dengan demikian, di hadapan teks kita
tidak dalam posisi tersandera tapi justru sebagai tuan yang mempunyai otoritas
untuk menguasai teks.
Paul Ricoeur
Sebagaimana Michael Faucoult dan Jack Derrida,
pengaruh ricoeur tidak hanya pada bidang sastra dan filsafat saja. Tapi
merambah ke sejarah, agama, politik, mitologi, ideology dan lain-lain. Demikian
juga ia juga berdialog, berinteraksi dengan disiplin-disipli ilmu lain seperti
faham-faham filsafat, psikologi, sosial. Bagi Ricoeur hermeneutika bukanlah
metode yang bertentangan dengan disiplin ilmu lain tapi justru sebagai
penyerap, pengkritik dan bisa membuat ilmu-ilmu lain menjadi jaya. Bersama
analisa psikologik misalnya kita dalam menafsirkan suatu teks berangkat dari
pemahaman awal, keadaan alam bawah sadar kita yang tersembunyi di balik
fenomena. Suatu keadaan di mana kita belum terpengaruh oleh fenomena di luar
kita. Dan dengan analisa fenomenologik penafsir hermeneutik menunjukkan
bagaimana super ego kita memahami fenomena (teks) di hadapan kita. Hermenutika
dalam menafsiri fenomena melalui 2 media, yaitu simbol dan kesadaran. Kesadaran
dalam Hermeneutika bukan hal yang mutlak tapi penting. Sebab hermeneutika
memandang kesadaran adalah palsu pada mulanya. Dan oleh karena itu harus dilanjutkan
dengan memikirkan, memahami simbol-simbol dan dilakukan terus-menerus supaya
teruji dan kepalsuan itu relatif berkurang. Puncak kesadaran yang dicapai
hermeneutic bukan pengetahuan (kebenaran) yang mutlak tapi upaya yang terus
menerus dan terus menyisakan pemahaman yang baru lagi.
Berbeda dengan fenomenologi Herschell dan
Cogito Decart, Riceour memandang bahwa hakikat sesuatu tidak diperoleh dengan
bagaimana fenomena itu menampakkan pada kita, atau hanya dengan sekedar
memikirkannya, tapi bagaimana kita membaca, memahami symbol-simbol dari sesuatu
tersebut. Dengan demikian, dalam hermenutika (penafsiran teks) Ricouer tidak
mengesampingkan symbol dan struktur teks tersebut. Meskipun demikian, struktur
menurutya hanya satu tahapan dari tahapan hermeneutika. Struktur hanya pembuka
dari upaya penafsiran hermeneutic. Teks tidak bisa dipahami secara sempurna
dengan teori strukturalisme sebagus apapun teori itu. Dengan demikian, struktur
bukan puncak dari penafsiran hermeneutic tapi hanya tahapan awal.
Berkait dengan semiotika, Ricouer menganggap
bahwa penafsiran teks harus bergerak dari keasadaran penuh akan tahapan
semiotic (simbol) suatu teks menuju tahapan bahwa teks tersebut mempunyai arti
dan kandungan makna. Kalau semiotika bercirikan teks yang formil dan sederhana,
maka hermeneutika lebih jauh dan lebih dalam dari pada itu, yaitu kedalaman
makna.
Dan kalau dekonstruksi Michel Foucoult
memporak porandakan makna suatu teks, maka hermenutika justru mencari nilai
terdalam yang terkandung dalam teks. Relativitas teks bukan pada factor yang
menyebabkan berbedanya arti dalam suatu teks, tapi pada upaya unifikasi makna
mengingat perbedaan pengalaman dan faktor-faktor lain.
Karakteristik Metode Hermeneutika
Dari uraian singkat di atas penulis mencoba
meringkas beberapa karakteristik dari metode panafsiran yang sekarang lagi
marak :
- Metode hermeneutika adalah metode penafsiran teks atau penafsiran kalimat sebagai symbol. Materi pembahasannya meliputi dua sector yaitu pertama perenungan filsofis tentang dasar-dasar dan syarat-syarat konstruksi pemahaman. Kedua pemahaman dan penafsiran teks itu sndiri melalui media bahasa.
- Metode hermeneutika adalah metode yang mendasarkan pada pengkompromian filsafat dan kritik sastra. Memahami teks sastra, seni, agama atau sejarah adalah paya memahami realitas melalui bahasa atau bentuk keindahan. Keberadaan bentuk ini menjadikan proses pemahaman menjadi mungkin, fleksibel dan lestari.
- Kalau boleh dikatakan bahwa kritik sastra bersifat normatif dan deskriptif maka metode hermeneutik adalah metode pamungkas. Sebab yang di capai oleh hermeneutic adalah makna terdalam atau nilai dari suatu teks. Dan nilai ini tidak berada di belakang teks tapi melanglang ke depan teks. Dengan demikian arti suatu teks menurut metode ini adalah berkelanjutan dan senantiasa baru.
- Metode hermeneutika adalah metode penafsiran individual tapi melebur dengan yang lain. Sebab metode ini mengkompromikan antara historis dan ahistoris, antara individu satu dengan individu yang lain, antara makna lahir dan makna yang tersembunyi.
- Metode hermeneutika mempunyai 2 ciri utama, yaitu optimis dan liberal. Maksudnya penafsir teks -dalam hermeneutika- tidak menganggap teks sebagai guru yang memenjarakan penafsir, tapi penafsir mempunyai otoritas untuk memperlakukan teks. Sementara itu, keoptimisan penafsir adalah karena ia prcaya ada nilai tersembunyi dalam kandungan teks.
- Metode hermeneutika bisa pula dikompromikan dengan ilmu fisika, sebab hermenutika mendasarkan pada :
- Eksperimen terus menerus
yang menjauhkan dari generalisasi sebagaimana pada teori standarisasi –yang
menerapkan pedoman-pedoman yang menyebabkan suatu teks bisa atau tidak bisa
diterima ; atau pada strukturalisme – yang mengembalikan semua teks pada
bingkai kaidah yang baku, atau pada dekonstruksisme –yang mengatakan bahwa
semua teks tidak mempunyai makna atau nilai yang bisa diterima.
- Intuisi pada hermeneutika
bukan emosional bukan pula generalis. Tapi intuisi di sini adalah pertanyaan
kritis terus menerus tentang kebenaran suatu teks. Atau dengan kata lain bahwa
intuisi pada hermeneutika berawal dari dugaan-dugaan kasar menuju suatu
keyakinan.
- Kalau metode ilmiah
mengungkap sesuatu dari ketidak tahuan, dan memperoleh kebenaran dari
eksperimen. Maka metode hermeneutika tidak berangkat dari satu standar yang
paten dan mempeoleh kebenaran dari eksperimen. Makna yang ingin dicapai oleh
hermeneutic dari suatu teks bukan makna final. Setiap analisa Hermeneutic pada
akhirnya selalu menyisakan pertanyaan-pertanyaan baru. Garapan Hermenutika jauh
lebih luas dari pada si penafsir itu, tapi justru ini memacu penafsir untuk
berlomba-lomba, bersungguh-sungguh untuk menemukan makna terdalam dari teks.
Hermeneutika dan Dinamisasi Tafsir
Lahirnya berbagai produk interpretasi yang
tidak lagi sesuai dengan tuntutan nilai-nilai modernitas seperti demokrasi,
HAM, kesetaraan gender dan pluralisme semakin mendesak dilejitkannya paradigma
interpretasi baru yang mampu melampaui metode tafsir yang selama ini dipakai.
Paradigma interpretasi baru yang akhir-akhir ini ditawarkan dan telah
diaplikasikan secara serius oleh para pemikir modern dari Fazlurrahman sampai
Nashr Hamid Abu Zayd adalah hermeneutika.
Sebagai sebuah paradigma interpretasi,
hermeneutika memang muncul dan berkembang di Barat. Berbeda dengan paradigma
tafsir yang dinilai sebagian pemikir telah mengalami stagnasi, hermeneutika
berkembang semenjak Schlemeicher – yang oleh Abu Zayd diklaim sebagai Bapak
Hermeneutika dan representasi hermeneutika klasik – sampai polarisasi
obyektifitasnya Emilio Betti dan subyektifitasnya Gadamer. Perkembangan
hermeneutika telah melewati dialektika tesis, antitesis bahkan sintesa,
sehingga mengkonsekwensikan corak hermeneutika yang begitu beragam, bahkan
kontradiktif.
Menyimak asal usul hermeneutika,
perkembangannya serta madzhab-madzhab hermeneutika memang menarik. Sama
menariknya ketika kita merunut perkembangan tafsir klasik dengan melakukan
kajian kritis terhadap dua arus penting metodologi tafsir yang dibangun
semenjak abad ke ke 9 H sampai 13 H, yaitu tafsir riwayat (bil ma'tsur) dan
pemikiran (bir ra’yi). Atau mencermati pemetaan ala Farmawi yang
mengklasifikasi metode penafsiran al Qur’an menjadi empat: muqâran, ijmâli,
tahlîli, dan mawdhû’i. Semua itu, akan menghantarkan kita
pada suatu kesimpulan betapa semaraknya diskursus tafsir pada waktu itu. Akan
tetapi sayang, kontinuitasnya sebagai paradigma interpretasi yang evolutif
tidak menemukan dinamisasi signifikan oleh kalangan penggiatnya.
Akibatnya ketika hermeneutika ditawarkan, ia
seolah menjadi "oase" di tengah gersangnya tafsir-tafsir yang ada.
Terlebih, di era modern ini kalangan penggiat tafsir kurang agresif
mempopulerkan kekayaan khazanah tafsir sebagai sebuah metode yang khas dalam
Islam. Toby Lester pernah memuji Mu'tazilah yang ia anggap sebagai pioneer
pendekatan rasional dalam studi Islam dan al Qur'an. Lester juga menyebut
kalangan sarjana Islam mutakhir yang merintis dan melanjutkan kajian-kajian
kritis al Qur'an yang dulu dimulai oleh Mu'tazilah, seperti Nashr Hamid Abu
Zayd dan Mohamed Arkoun. Abu Zayd mengaku dalam banyak bukunya bahwa apa yang
dia lakukan adalah melanjutkan studi al Qur'an dengan pendekatan literer yang
telah dimulai oleh murid Muhammad Abduh, yaitu Amin Al Khauli dan istrnya,
A'isyah bint al Syathi'. Bagi penulis, rintisan Abu Zayd merupakan "breakthrough"
dan sangatlah penting ketika akhir-akhir ini yang muncul kepermukaan dan
kerap diekspose oleh media massa adalah model tafsir yang rigid terhadap teks,
sehingga lahir lah berbagai produk interpretasi yang cenderung bias gender,
kurang mengapresiasi HAM dan tidak peka terhadap masalah-masalah sosial.
Upaya dinamisasi tafsir tentu masih mempunyai
harapan. Hal itu bisa dilakukan dengan melakukan analisa kritis dengan pisau
bedah yang mempunyai daya sayat melacak esensi tafsir dan takwil, sejarah
perkembangannya serta pemetaan metode dan berbagai corak tafsir. Analisa kritis
ini lah yang akan menghantarkan para penggiat tafsir pada kondisi dan posisi
obyektif tafsir. Strategi ini kemudian diikuti dengan melakukan kajian
elaboratif dan komprehensif terhadap hermeneutika, pemantauan setiap
perkembangan terbaru dan pemanfaatan terhadapnya.
Dalam hal ini, sikap kritis yang diajarkan
dalam hermeneutika terhadap semua teks jelas menjadi sisi menariknya. Ungkapan
klasik Nietszhe yang sering dijadikan pegangan adalah ''Jangan lihat apa yang
dikatakan, tetapi lihat siapa yang mengatakan dan mengapa itu dikatakan serta
apa kepentingan di balik semua itu.'' Dalam hermeneutika, seorang hermeneut
dituntut untuk tidak sekadar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih
kepada apa yang ada di balik teks.
Lepas dari berbagai varian hermeneutika, ada
kesamaan pola umum mengapresiasi 'kencan' segitiga (triadic) antara
teks, pembuat teks dan pembaca (penafsir teks). Dan dari berbagai madzhab
hermeneutika itu, dapat disimpulkan bahwa dalam memahami obyek, baik berupa
teks-teks keagamaan, karya kesusastraan maupun dokumen-dokumen hukum, hermeneutika
menekankan metode pendekatan linguistik, rekonstruksi historis, psikologis
pengarang, antropologis, komparasi teks, dialogis, dan pembebasan diri
interpreter dari bias subyektifitas. Pemahaman umum yang dikembangkan,
sebuah teks selain produk pengarang, juga merupakan produk budaya (Abu Zayd)
atau episteme suatu masyarakat (Foucault). Karenanya, konteks historis dari
teks menjadi sesuatu yang sangat signifikan untuk dikaji.
Tentu saja, para penggiat tafsir bisa
mengkongklusikan suatu unsur paradigma interpretasi baru dari berbagai madzhab
hermeneutika yang ada. Mereka bisa membaca dan belajar dari titik berat analisa
gramatikal, psikologi, komparasi dan rekontruksi historisnya Schlemeicher,
integralitas konteks hidup dalam sebuah teks ala Dilthey dan Ricoeur. Sedangkan
Husserl, baginya teks hanyalah fenomena yang harus dipahami menurut “kehendak
murni” teks itu sendiri alias “opo onone”. Mereka juga bisa menggandeng
Gadamer yang tampil beda, di mana ia mengandaikan pemaknaan yang tidak hanya
mereproduksi makna yang dikehendaki pembuat teks, tetapi lebih menekankan
interpretasi produktif. Yang terakhir inilah 'cita rasa' hermeneutika Abu Zayd
dalam bukunya Isykâliyyat al-Qirâ’ah wa Aliyyât al-Ta’wîl.
Upaya belajar dari capaian madzhab-madzhab
hermeneutika Barat tidak berarti mengadopsi dan mengaplikasikannya secara total
dengan menanggalkan karakter khusus teks-teks Islam terutama al Qur'an. Jika
para hermeneut Barat berangkat dari problem originality teks Bibel maka
para hermeneut muslim bisa berangkat dari teks al Qur'an yang tidak mempunyai
problem serupa. Begitu juga jika hermeneut Barat berusaha menciptakan
makna yang lebih baik dari kehendak pengarang, maka dalam konteks al Qur'an
tidak ada makna yang lebih baik dari apa yang dikehendaki Tuhan.
Di samping itu, segala ikhtiar interpretasi
terhadap teks-teks Islam dengan tafsir-hermeneutis sebagai paradigmanya
seharusnya berangkat dari berbagai bentuk problematika sosio-politik dan budaya
yang dihadapi umat Islam dengan berbagai 'ciri khas'nya; keadilan,
keterbelakangan, kemiskinan, otoritarianisme, HAM, pluralisme dan seterusnya.
Dengan begitu, bentuk interaksi dengan budaya dan produk intelektual yang
dihasilkan Barat tidak sekedar 'ekspor-impor' secara terbuka atau tertutup
penuh, akan tetapi harus terjalin dalam sebuah proses dialektika yang kritis,
intens dan produktif.
Upaya-upaya di atas bisa dilakukan apabila
kita mempercayai hipotesa yang dikemukakan Nashr Hamid Abu Zayd dalam kitabnya Isykâliyyat
al-Qirâ’ah wa Aliyyât al-Ta’wîl yang menyatakan, "Al-hermeneutika
(al-hermeneuthiqa) – idzan – qadliyyatun qadîmatun wa jadîdatun fi nafs
al-waqti, wa hiya fi tarkiziha ‘ala ‘alaqati al-mufassir bi al-nash laysat
qadliyyatan khasatan bi al-fikri al-gharbi, bal hiya qadliyyatun lahâ wujûduha
al-mulih fi turâtsina al-‘arabi al-qadîm wa al-hadîts ‘ala sawa’."
Artinya: "Hermeneutika – kemudian – adalah diskursus lama sekaligus baru.
Konsentrasi pembahasannya adalah tentang relasi penafsir dengan teks, bukan
hanya diskursus dalam pemikiran Barat, akan tetapi diskursus yang wujudnya juga
ada dalam turats Arab, baik Arab klasik maupun kontemporer. Sehingga,
hermeneutika sebetulnya merupakan kelanjutan saja dari tafsir klasik yang
stagnan.
0 komentar:
Posting Komentar