Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang
Agung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil.
Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar
Macedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di
daerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran
antara orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduk
setempat. Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah
pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari nama
Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta
Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran.
Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke
daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan
Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta
Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini,
dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut,
jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai
dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama
dan bahwa kewajiban orang Islam hanya menyampaikan
ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat
untuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula
terutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi.
Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang
tidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin
menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan
memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka
peroleh dari Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satu
golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis
kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk
itu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani.
Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka
jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam
al-Qur'an dan Sunnah Nabi.
Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam
teologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri
dari teologi rasional ini ialah:
1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka
tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu
yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan
ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil
arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan
arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti
tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil
dalam memahami wahyu.
2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang
kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia
dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil,
mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam
kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara
mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham
qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah
free-will and free-act, yang membawa kepada konsep
manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan
maupun pemikiran.
3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan
konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah
yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka.
Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada
keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam
al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur
perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan
menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu
dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.
Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan
kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir
serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang
membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi
juga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M.
Filsuf besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796-873M)
satu-satunya filsuf Arab dalam Islam. Ia dengan tegas
mengatakan bahwa antara filsafat dan agama tak ada
pertentangan. Filsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang
yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu juga
menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar.
Selanjutnya filsafat dalam pembahasannya memakai akal dan
agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakai
argumen-argumen rasional.
Menurut pemikiran filsafat kalau ada yang benar maka mesti ada
"Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertama
itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat dengan
demikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termulia
dalam pendapat Al-Kindi adalah filsafat ketuhanan atau
teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena
itu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan
tidak dilarang, tetapi wajib.
Dengan filsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha
memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah atau
kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada
di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya
konsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada di
luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat
(kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlah
benda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang penting
adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada
dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals).
Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqah
jaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli,
(haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang
bersifat universal dalam bentuk jenis.
Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi dan
filsafat Islam. Dalam hal ini al-Farabi (870-950 M) memberi
konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan,
Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaannya
yang tak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhan
terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti
banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi
esa, hanya berhubungan dengan yang esa.
Pemurnian tauhid inilah yang menimbulkan filsafat emanasi
(al-faid, pancaran) dari al-Farabi. Yang Maha Esa berfikir
tentang diriNya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atau
energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan daya
yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang
diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I.
Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.
Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti
banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan
pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal
II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan
pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam
Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan
menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan
menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah
gambaran berikut:
Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.
Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.
Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
Akal X menghasilkan hanya Bumi.
Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan
Akal.
Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di
zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri
atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi
menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan
diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang
diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalah
malaikat.
Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat
emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang
banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui
Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya
sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.
Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi
melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat
arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat
al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut
paham emanasi.
Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau
nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan
tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan
sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada.
Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu
yang dipancarkan pemikiran Tuhan.
Karena Tuhan beffikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula,
apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim,
dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain
kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang
empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari
sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik
al-Ghazali. Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filsuf-filsuf Islam ada
pula soal jiwa manusia yang dalam falsafat Islam disebut
al-nafs. Filsafat yang terbaik mengenai ini adalah pemikiran
yang diberikan Ibn Sina (980-1037M). Sama dengan al-Farabi ia
membagi jiwa kepada tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan,
tumbuh dan berkembang biak.
2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah
dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan
pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu
pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra
dalam yang berada di otak dan terdiri dari:
i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang
diperoleh pancaindra.
ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar
dari materi.
iii.Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang
terlindung dalam gambar-gambar tersebut.
v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.
3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu
berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:
a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal
dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam
jiwa binatang.
b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang
tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan
malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang
akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia
terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting
diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu
Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan
arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa
binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal
teoritis akan berkembang dengan baik.
Akal teoritis mempunyai empat tingkatan:
1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi
untuk menangkap arti-arti murni.
2. Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap
arti-arti murni.
3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak
menangkap arti-arti murni.
4. Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya
menangkap arti-arti murni.
Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki
filsuf-filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti
murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.
Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga
yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa
1 komentar:
mana terusannya:)
Posting Komentar