Sabtu, 23 Oktober 2010

FAKTOR PSIKOLOGIS PADA KEHAMILAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG
Islam merupakan agama yang syumul dan merangkumi segala aspek kehidupan.Setiap perbuatan yang dilakukan oleh hamba sama ada berupa kebaikan atau kejahatan, akan diberi ganjaran dan balasan yang setimpal dengan apa yang dilakukan. Semua agama di dunia ini menyeru umatnya melakukan kebaikan dan meninggalkan kejahatan.Tetapi masih ramai penganut agama yang tidak mengikut ajaran yang telah ditetapkan sebaliknya membuat sesuatu sesuka hati tanpa batasan. Akibatnya, lahirlah masyarakat yang mengabaikan aspek akhlak dalam kehidupan.
Jika dunia ini ditadbir oleh para Nabi dan Rasul serta ahli hikmah, tentunya dunia ini seolah-olah tersenyum gembira kerana mereka inilah yang akan mengajak manusia berakhlak mulia dan berbudi luhur. Malangnya dunia ini sentiasa dilanda kekejaman akibat tangan-tangan manusia sendiri sehingga menyebabkan pertumpahan darah. Perkara ini dapat dilihat menerusi firman Allah :

Maksudnya : “ Telah timbul pelbagai kerosakan dan bala
bencana di darat dan di laut dengan sebab apa yang telah
dilakukan oleh tangan manusia; (timbulnya yang demikian)
kerana Allah hendak merasakan mereka sebahagian dari
balasan perbuatan-perbuatan buruk yang mereka telah lakukan,
supaya mereka kembali (insaf dan bertaubat)”.
(al-Rum, 30 : 41)

Masyarakat hari ini mengalami dekadensi moral yang sangat ketara. Ianya
sedang hangat diperkatakan sejak kebelakangan ini. Semua pihak baik ahli akademik,
ahli politik ataupun masyarakat umum banyak membicarakan tentang penurunan nilai
moral masyarakat. Perkara ini perlu ditangani kerana ia melibatkan generasi yang akan lahir di masa akan datang.



Kekalnya sesuatu umat itu adalah kerana ketinggian dan kesempurnaan
akhlaknya. Apabila lenyap dan runtuh akhlaknya maka runtuh dan lenyaplah umat
tersebut. Kata-kata ini adalah pengajaran yang dapat diambil daripada peristiwa sejarah umat Islam terdahulu. Sebuah syair Arab pernah menyebut :

اﻮﺒهذ ﻢﻬﻗﻼﺧا ﺖﺒهذ ﻢﻬﻧﺈﻓ ﺖﻴﻘﺑ ﺎﻣ قﻼﺧﻷا ﻢﻣﻷا ﺎﻤﻧإو
Maksudnya : “Sesungguhnya bangsa itu tergantung kepada
moralnya, bila rosak moral maka binasalah bangsa itu”.
(Muhammad al-Ghazali, 1987 : 71)



1.1  TUJUAN PENULISAN
Dalam pembuatan makalah ini penulis memiliki beberapa macam tujuan diantaranya:
  • Memberi pengetahuan  kepada pembaca tentang metode peningkatan kualitas akhlak
  • Memberikan pengetahuan akan dampak dari orang yang tidak mempunyai akhlak
  • Memberi mekanisme penyelesaian masalah kepada pembaca
  • Meyakinkan bahwasannya setiap masalah pasti ada penyelesaiannya











BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN AKHLAK
Secara etimologi atau bahasa, Aqidah berasal dari kata ngaqoda – ya’qidu – ngaqiidatan yang berarti ikatan, simpul perjanjian yang kokoh. Setelah terbentuk menjadi kata, Aqidah mempunyai arti kata ngaqdun dan ngaqiidah adalah keyakinan yang tersimpul dengan kokoh dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian. Dari sumber lain, Aqidah bisa berarti yang dipercayai hati.
Kata Aqidah seakar dengan kata ngaqdun yang berarti menghubungkan menjadi satu dari semua ujung benda , sehingga menyatu dan menjadi kuat, sehingga sulit untuk dibuka ikatan tersebut. Alas an menggunakan kata Aqidah yang berarti kepercayaan atau keyakinan adalah merupakan pangkal dan sekaligus merupakan tujuan dari semua perbuatan orang mukalaf.
Pengertian Akhlak Menurut Sarjana lslam
 a)  [1]Imam Al-Ghazali   menyebut akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa . Daripada jiwa itu ,timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melakukan pertimbangan fikiran.
b)  [2]Prof. Dr. Ahmad Amin  mendefinasikan akhlak sebagai kehendak yang dibiasakan . Maksudnya, sesuatu yang mencirikan akhlak itu ialah kehendak yang dibiasakanErtinya, kehendak itu apabila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlak. Ahmad Amin menjelaskan erti kehendak itu ialah ketentuan daripada beberapa keinginan manusia. Manakala kebiasaan pula ialah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukanya. Daripada kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan ke arah menimbulkan apa yang disebut sebagai akhlak.
c)   [3]Ibnu Maskawayh mengatakan akhlak ialah suatu keadaan bagi diri atau jiwa yang mendorong (diri atau jiwa itu) untuk melakukan perbuatan  dengan senang tanpa didahului oleh daya pemikiran kerana sudah menjadi kebiasaan.

B.     METODE PENGEMBANGAN AKHLAKUL KARIMAH
[4]Menurut Al Ghazali, pengembangan pribadi pada hakikatnya adalah perbaikan akhlak, dalam artian menumbuh-kembangkan sifat-sifat terpuji (mahmudah) dan sekaligus menghilangkan sifat-sifat tercela (madzmummah) pada diri seseorang. Akhlak manusia benar-benar dapat diperbaiki, bahkan sangat dianjurkan sesuai sabda Rasulullah SAW “Upayakan akhlak kalian menjadi baik” (Hassinuu akhlaqakum). Al Ghazali menaruh perhatian besar pada masalah akhlak serta mengemukakan berbagai metode perbaikan ahlak. Metode peningkatan ahlak yang beliau ungkapkan dalam berbagai buku beliau dapat dikelompokkan atas tiga jenis metode yang berkaitan satu dengan lainnya yang oleh penulis makalah ini dinamakan:

a. Metode Taat Syari’at
Metode ini berupa pembenahan diri, yakni membiasakan diri dalam hidup sehari-hari untuk melakukan kebajikan dan hal-hal bermanfaat sesuai dengan ketentuan syari’at, aturan-aturan negara, dan norma-norma kehidupan bermasyarakat. Disamping itu berusaha untuk menjauhi hal-hal yang dilarang syara’ dan aturan-aturan yang berlaku. Metode ini sederhana dan dapat dilakukan oleh siapa saja dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya akan berkembang sikap dan perilaku positif seperti ketaatan pada agama dan norma-norma masyarakat, hidup tenang dan wajar, senang melakukan kebajikan, pandai menyesuaikan diri dan bebas dari permusuhan.

b. Metode Pengembangan Diri
Metode yang bercorak psiko-edukatif ini didasari oleh kesadaran atas kekuatan dan kelemahan diri yang kemudian melahirkan keinginan untuk meningkatkan sifat-sifat baik dan sekaligus menghilangkan sifat-sifat buruk. Dalam pelaksanaannya dilakukan pula proses pembiasaan (conditioning) seperti pada “Metode Taat Syari’at” ditambah dengan upaya meneladani perbuatan dari pribadi-pribadi yang dikagumi. Membiasakan diri dengan cara hidup seperti ini secara konsisten akan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan dan sifat-sifat terpuji yang terungkap dalam kehidupan pribadi dan kehidupan bermasyarakat. Metode ini sebenarnya mirip dengan metode pertama, hanya saja dilakukan secara lebih sadar, lebih disiplin dan intensif serta lebih personal sifatnya daripada metode pertama.

c. Metode Kesufian
Metode ini bercorak spiritual-religius dan bertujuan untuk meningkat kan kualitas pribadi mendekati citra Insan Ideal (Kamil). Pelatihan disiplin diri ini menurut Al Ghazali dilakukan melalui dua jalan yakni al-mujaahadah dan al-riyaadhah. Al Mujaahadah adalah usaha sungguh-sungguh untuk menghilangkan segala hambatan pribadi (harta, kemegahan, taklid, maksiat). Al-Riyaadhah adalah latihan mendekatkan diri pada Tuhan dengan selalu berusaha meningkatkan kualitas ibadah. Kegiatan sufistik ini berlangsung dibawah bimbingan seorang Guru yang benar-benar berkualitas dalam hal ilmu, kemampuan dan wewenangnya sebagai Mursyid.

            Diantara ketiga metode tersebut, metode kesufian dianggap tertinggi oleh Al Ghazali dalam proses peningkatan derajat keruhanian, khususnya dalam meraih ahlak terpuji.

C.    MENGINTEGRASIKAN KOMPETENSI DAN AKHLAKUL KARIMAH
Mengintegrasikan kompetensi tinggi dengan akhlak terpuji sehingga mewujudkan pribadi-pribadi tangguh, mungkinkah? Adakah contohnya dalam Al Qur’an? Jawabnya: Bukan hal mustahil dan ada contohnya.
Al Qur’an mengungkapkan banyak tipe karakter manusia dan tanda-tandanya. Konon ada 73 tipe karakter manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela. Menurut penulis di antara berbagai karakter manusia yang diungkap Al Qur’an ada sebuah karakter yang paling menggambarakan sinergi antara kompetensi dan akhlak terpuji yaitu Karakter Ulul Albab.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (uulil albaab) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): [5]“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau maka peliharakanlah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali ‘Imran/3: 190-191)
            Ayat itu menggambarkan bahwa Ulul Albab adalah seorang yang senantiasa mengingat Tuhan dalam keadaan apa pun, baik dalam keadaan senang maupun susah. Selain itu ia pun senantiasa memfungsikan akal-budinya untuk mengamati, memikirkan, dan menelaah alam semesta ciptaan Tuhan, serta mampu memahami bahwa alam semesta itu tidak acak-acakan, tetapi teratur karena ada hukum-hukum yang mengaturnya (Sunatullah). Gambaran ini menunjukkan bahwa Ulul Albab adalah pribadi-pribadi yang mendapat dua kurnia sekaligus yakni kecerdasan dan keimanan atau kurnia pikir dan kurnia dzikir.
Dalam tataran psikologi modern Ulul Albab adalah pribadi-pribadi beriman yang mampu memfungsikan secara optimal potensi-potensi rasional (IQ), emosional (EQ) dan spiritual (SQ). Mereka tidak saja mampu bersikap dan berpikir empiris, tetapi juga transendental serta mampu melaksanakan dengan sebaik-baiknya hubungan dengan Tuhan (hablun minallah), hubungan antar pribadi (hablun minannas) termasuk hubungan dengan diri sendiri dan alam sekitar.
Hubungan dengan sesama diwarnai oleh silaturahmi, memperhatikan kepentingan bersama, menghargai pendapat orang, menghormati martabat serta saling menunjang pengembangan potensi diri sendiri dan orang lain, serta berusaha mencegah diri dari permusuhan. Dalam bahasa psikologi hubungan mereka dengan sesama manusia ditandai oleh sikap ke-Kita-an, dan bukan ke-Kami-an atau pun ke-Aku-an.
            Mereka sangat menghargai alam sekitar (benda, flora dan fauna), tak pernah mengabaikan atau merusaknya, tetapi senantiasa berusaha untuk memelihara dan memanfaatkan sebaik-baiknya. Bahkan rasa kagum terhadap alam semesta membuatnya kagum pula kepada Sang Pencipta alam semesta, sehingga makin meningkatkan iman dan taqwa kepadaNya.
Dari gambaran tersebut jelas bahwa karakter Ulul Albab termasuk orang-orang yang dalam dirinya terintegrasi secara sinergik dua potensi insani yakni Kompetensi (IQ, pemikiran mendalam) dan Karakter (EQ dan Akhlakul Karimah) yang bersumber dari Keimanan yang mantap kepada Sang Pencipta (SQ). Itulah salah satu ragam pribadi tangguh yang diungkap Al Qur’an yang layak menjad i salah satu karakter idaman kaum muslimin dan muslimat yang hidup di Abad Teknologi Canggih ini.

D.    PENGEMBANGAN PRIBADI TANGGUH

Proses pengembangan pribadi adalah usaha untuk mengubah kualitas pribadi (a.l. kemampuan, persepsi, karakter, sikap, keyakinan) yang semula kurang baik menjadi baik, atau meningkatkan kualitas-kualitas yang sudah baik menjadi lebih baik lagi. Secara umum pengembangan pribadi ini diawali dengan niat atau motivasi untuk meningkatkan diri, karena menyadari ada kesenjangan antara kondisinya saat ini dengan kondisi yang diidamkan. Hal ini perlu didasari oleh kesadaran bahwa dirinya memiliki berbagai potensi berupa pembawaan, sifat, rasa, kecerdasan, karakter, pola pikir, kemampuan menilai kondisi diri dan “menentukan nasib” dengan segala kekuatan dan kelemahannya.[6] Selanjutnya potensi-potensi ini perlu direalisasikan dalam keseharian dengan menerapkan asas-asas kesuksesan serta mendapat dukungan lingkungan terdekat. Dalam proses ini perlu adanya tokoh keteladanan yaitu seorang pribadi yang dikagumi dengan kualitas pribadi yang patut dicontoh.
Tokoh keteladanan ini berfungsi sebagai sebagai role model yang dicita-citakan (Citra Diri Idaman). Dan tentu saja dalam proses pengembangan pribadi ini agama (Islam) sebagai pedoman dan nilai-nilai rujukan mutlak diperlukan, karena pribadi tangguh yang kita bahas adalah pribadi dengan kompetensi tinggi dan akhlak mulia yang bersumber dari keimanan yang mantap.


Sebuah Formula

Untuk merangkum dan menyederhanakan unsur-unsur pengembangan pribadi tangguh diajukan sebuah formula sebagai berikut:
PT = N x (CDI + NR +T) x (PD + AS) x Dz

PT = Pribadi Tangguh; N = Niat; CDI = Citra Diri Idaman;
NR = Nilai Rujukan; T = Teladan; PD = Potensi Diri; AS = Asas-asas Sukses;
Dz = Dzikrullah

Keterangan:

ü  PT (Pribadi Tangguh) : kualitas pribadi dengan kompetensi tinggi, karakter/akhlak mulia yang didasari keimanan mantap.
ü  N (niat): motivasi atau keinginan untuk meningkatkan kualitas pribadi menjadi lebih baik.
ü  CDI (Citra Diri Idaman): gambaran mengenai kualitas diri yang dicita-citakan.
ü  NR (Nilai Rujukan): nilai-nilai kebaikan yang dijabarkan dari ajaran agama dan nilai-nilai sosial-budaya yang saling menunjang.
ü  T (Teladan): seorang tokoh yang dikagumi dan menimbulkan keinginan untuk mencontoh kebaikannya.
ü  PD (Potensi Diri): kurnia Tuhan pada manusia berupa antara lain pembawaan, bakat, sifat, dan berbagai kemampuan termasuk kemampuan untuk memilih dan menentukan jalan hidup.
ü  AS (Asas-asas Sukses): prinsip-prinsip yang telah teruji untuk keberhasilan meraih suatu tujuan dan cita-cita.
ü  DZ (Dzikrullah): ibadah dan amalan khusus yang merupakan inti ibadah.

            Formula ini hanya berisi pokok-pokoknya saja yang masih dapat dijabarkan dan dirinci sehingga menjadi sebuah modul pelatihan dengan dilengkapi metodologi yang sesuai. Dalam hal ini asas-asas dan metodologi Imam Al Ghazali dapat digunakan karena sesuai dengan asas-asas pelatihan, pendidikan dan pengajaran modern.

BAB III
PENUTUP

  1. KESIMPULAN
Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa . Daripada jiwa itu ,timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melakukan pertimbangan fikiran. Dalam berkehidupan kita dapat mengembangkan akhlak melaui metode seperti yang dikemukakan oleh Imam Ghozali yaitu metode taat syariat, metode pengembangan diri, dan metode kesufian. Dimana diantara ketiganya memiliki perbedaan yang tidak terlalu mendasar. Metode peningkatan akhlak ini dapat dijadikan sebagai sarana menjadi pribadi yang tangguh.
















[1] Imam Al-Ghazali. Akhlak. Hal 19
[2] Prof. Dr. Ahmad Amin. Hal 104
[3] Ibnu Maskawayh. 2005
[4] Imam Al Ghazali, pengembangan pribadi pada akhlak. Hal 25
[5] Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau maka peliharakanlah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali ‘Imran/3: 190-191)


2 komentar:

riyan richardo mengatakan...

wahhhhh... masukan nich... makalah yang bagus.... Riff like it

Unknown mengatakan...

ThanKz Ea .. ??

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates