Sabtu, 23 Oktober 2010

KEKERASAN TERHADAP WANITA DAN ANAK PEKOSAAN


BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

                                                                                 

1.1      KEKERASAN TERHADAP WANITA DAN ANAK
                        Sejauh ini, kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia, semakin lama tidak semakin menurun jumlahnya. Kekerasan terhadap perempuan dan anak seolah-olah menjadi sebuah budaya yang memang berlangsung dengan sendirinya. Berbagai upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan memang telah dilakukan. Namun demikian upaya-upaya tersebut terus menghadapi kendala utama dalam dua hal pertama kultur budaya patriakhi yang masih mengedepankan laki-laki dibandingkan perempuan. Kultur ini tidak hanya terjadi dalam rumah tangga,
namun juga terjadi diruang publik termasuk berkaitan dengan kebijakan-kebijakan
publik. Kendala kedua adalah penegakan hukum yang masih belum sepenuhnya
berjalan dan belum mencerminkan keadilan bagi perlindungan dan penghormatan
terhadap hak-hak perempuan dan perlindungan anak.
                        Kedua masalah tersebut memang sangat mendukung iklim kekerasan terhadap perempuan. Hal ini seperti yang dialami oleh Five Vi, artis sinetron yang telah menjadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya. ?Kekerasan yang saya alami cukup lengkap, mulai dari fisik, psikis, seksual dan ekonomi. Namun
demikian, kenapa saya begitu sulit mendapatkan keadilan atas diri saya. Sampai
saat ini bukannya keadilan yang saya dapat tapi saya merasakan kekerasan itu
dalam tiga tingkatan, pertama oleh lingkungan keluarga saya, lingkungan
masyarakat yang diam saja ketika saya sudah melambaikan tangan ketika minta
tolong dan negara, yang dengan sengaja mempersulit tuntutan-tuntutan saya untuk
mendapatkan keadilan. Aparat justru menilai kekerasan yang saya terima sangat
ringan, akibatnya pelaku mendapatkan hukuman ringan, padahal saya mengalami
sejumlah penderitaan,? ujar Five Vi.
            Selain menolak segala bentuk kekerasan, pernyataan sikap ini juga menuntut pemerintah berperan aktif dan serius dalam mengkampanyekan isu-isu hak-hak perempuan dan anak, serta mau bekerjasama dengan berbagai kalangan dan lembaga untuk melakukan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kepada lembaga peradilan diharapkan mampu menerapkan hukum yang tegas dan berpihak kepada korban dan tidak hanya mengacu pada KUHP, tapi juga berpedoman pada UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan UU No 3 tahun 1997 tentang peradilan Anak serta UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kepada para jurnalis media cetak maupun elektronik, diharapkan lebih meningkatkan kaidah-kaidah jurnalisme berperspektif gender dalam mengangkat masalah-masalah perempuan dan anak. Selanjutnya kepada
masyarakat diminta untuk berperan aktif melawan dan menghentikan berbagai
tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk menuntut pemerintah
untuk memberikan perlindungan dan jaminan hukum dan hak-hak perempuan dan anak.
Kekerasan terhadap perempuan (KTP) :
Segala bentuk kekerasan berbasis jender yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan ; termasuk ancaman dari tindakan tsb, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi dilingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi. (Deklarasi PBB tentang anti kekerasan terhadap perempuan pasal 1, 1983).
Child abuse (Penganiayaan anak) (KTA) :
Perlakuan dari orang dewasa atau anak yang usianya lebih tua dengan menggunakan kekuasaan atau otoritasnya, terhadap anak yang tidak berdaya yang seharusnya berada dibawah tanggung-jawab dan atau pengasuhnya, yang dapat menimbulkan penderitaan, kesengsaraan, bahkan cacad. Penganiayaan bisa fisik, seksual maupun emosional.
Kekerasan dalam rumah-tangga (KDRT) :
Kekerasan fisik maupun psikis yang terjadi dalam rumah-tangga, baik antara suami-istri maupun orang-tua-anak. Pada umumnya korban adalah istri atau anak. Sedangkan pelaku tindak kekerasan terhadap anak biasa ayah atau ibu.

STATISTIKA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
      Menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, pasal 2, disebutkan bahwa jenis-jenis kekerasan terhadap perempuan mencakup, namun tidak terbatas pada :
  1. kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam ranah keluarga termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi
  2. kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa
  3. kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara, dimanapun terjadinya.
Pembagian jenis kekerasan terhadap perempuan dalam laporan ini mengadopsi pembagian dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tersebut, yaitu:
(1)     kekerasan dalam rumah tangga;
(2)     kekerasan dalam wilayah publik;
(3)     kekerasan yang dilakukan oleh negara; dan
(4)     lain-lain
Kategori Lain-lain mencakup kekerasan terhadap perempuan yang belum dapat dikategorikan dalam ketiga kategori lainnya karena minimnya data.

Di antara kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di atas, terdapat hal-hal yang yang penting untuk disimak lebih lanjut.

Tentang Kasus

Selama Januari – Juni 2007, terdapat 149 kasus kekerasan terhdap perempuan dan anak yang menimpa 285 korban (lihat Tabel 1 dan 2).  Pada tabel 1 dapat dilihat besarnya proporsi kasus Kekerasan Dalam Wilayah Publik (KDWP), yaitu sebesar 42%, diikuti dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan oleh negara, yaitu secara berturut-turut 39% dan 17%. Sementara itu dilihat dari jumlah korban, korban terbanyak mengalami kekerasan dalam wilayah publik, yaitu 39%, diikuti kekerasan oleh negara sebesar 33% dan KDRT 28%. Kekerasan oleh negara meliputi trafiking (52%), kematian buruh migran (39%), penjara (9%), dan razia, malpraktik serta hilang kontak masing-masing 4%.

Tabel 1 Jumlah Kasus

No  Jenis Kekerasan                                 Jumlah Kasus                     Prosentase (%)
1     Kekerasan dalam Rumah Tangga      58                                         39
2     Kekerasan dalam Wilayah Publik      62                                         42
3     Kekerasan oleh Negara                      26                                         17
4     Lain-lain                                             3                                           2
       Total                                                  149                                       100

Tabel 2 Jumlah Korban

No  Jenis Kekerasan                               Jumlah Korban                  Prosentase (%)
1     Kekerasan dalam Rumah Tangga      79                                         28
2     Kekerasan dalam Wilayah Publik      110                                       39
3     Kekerasan oleh Negara                      93                                         33
4     Lain-lain                                             3                                           1
       Total                                                  285                                       100

Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang banyak terjadi dalam kasus-kasus KDRT (49%). Demikian halnya dengan kekerasan seksual (26%). Meskipun demikian, data ini juga perlu dikritisi mengingat dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan (khususnya KDRT), korban seringkali mengalami kekerasan berlapis (kekerasan fisik, psikis dan terkadang seksual sekaligus).

Ada Apa di Balik Statistika Kekerasan terhadap Perempuan di Jawa Barat? 
·     Kekerasan terhadap Perempuan sebagai Pelanggaran terhadap Hak Asasi Perempuan
Perempuan merupakan kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan. Dalam kasus kekerasan yang muncul dalam periode ini, perempuan telah mendapatkan dampak kekerasan, yang tidak hanya dampak fisik, psikis, seksual dan ekonomi, namun lebih dari itu, perempuan telah terampas keutuhan martabatnya sebagai manusia.
·     Kemiskinan Ekonomi versus Kekerasan terhadap Perempuan
Kondisi ekonomi memiliki korelasi dengan kekerasan terhadap perempuan. berdasarkan data yang terungkap, kekerasan terhadap perempuan seringkali disebabkan oleh kemiskinan ekonomi.
·     Minimnya Perlindungan terhadap Anak
Dalam periode ini, tercatat jumlah anak di Jawa Barat yang mengalami kasus kekerasan ada 38 kasus. Fakta ini menunjukkan bahwa anak (anak perempuan) merupakan kelompok yang rentan terhadap kekerasan. Anak yang dalam hal ini dianggap berada dalam posisi sub ordinat, acapkali menjadi sasaran kekerasan orang dewasa, baik itu kekerasan fisik, psikis atau seksual.
            Tersangka, D, memperkosa anaknya, S (8 tahun) yang masih duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar. Sebelumnya, D dipenjara selama 8 tahun karena memperkosa N, anak kandungnya yang sekaligus kakak S.
            Hal ini menunjukkan bahwa keluarga, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak dan memberikan perlindungan bagi anak justru menjadi tempat di mana anak mendapatkan tindak kekerasan.
                  Maraknya kasus kekerasan terhadap anak, baik di lingkungan keluarga atau lingkungan umum menunjukkan masih minimnya perlindungan terhadap anak. Hal ini menunjukkan pula masih jauhnya lingkungan yang ramah dan aman bagi anak.
Dampak Kekerasan Terhadap Istri Dan Anak
           
Kekerasan terhadap istri menimbulkan berbagai dampak yang merugikan. Dampak kekerasan terhadap istri yang bersangkutan itu sendiri adalah:
ü  Mengalami sakit fisik
ü  Tekanan mental
ü  Menurunnya rasa percaya diri dan harga diri
ü  Mengalami rasa tidak berdaya
ü  Mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya
ü  Mengalami stress pasca trauma
ü  Mengalami depresi
ü  Keinginan untuk bunuh diri.
ü  Akibat kekerasan yang paling fatal adalah merusak kondisi psikologis yang waktu penyembuhannya tidak pernah dapat dipastikan.

      Dampak kekerasan terhadap pekerjaan si istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan.
            Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.


1.2      PERKOSAAN
A. DEFINISI
                Pemerkosaan didefinisikan sebagai tindakan mengambil sesuatu dengan paksa, dari seseorang kepada orang lain tanpa keinginan orang tersebut. Pemerkosaan mengandung dua unsur ini : adanya hubungan seksual, dan tidak adanya persetujuan dari korban atas tindakan tersebut. Sebagian besar tindak perkosaan mengikutsertakan tindak kekerasan, baik verbal maupun nonverbal.
                 Perkosaan ini merupakan hal yang tabu; sesuatu yang harus disingkiri karena dilarang (Loebis, 1979 : 36). Meski tatanan-tatanan yang sudah berlaku dan diterapkan pada lingkungan sosial pun masih terjadi perkosaan di sana-sini, dan yang menjadi sasaran adalah kaum hawa yang notabene kaum lemah.
     Perkosaan adalah hubungan suksual yang dilakukan seseorang atau lebih tanpa persetujuan korbannya, dan merupakan tindak kekerasan sebagai ekspresi rasa marah, keinginan / dorongan untuk menguasai orang lain dan untuk atau bukan untuk pemuasan seksual. Seks hanya merupakan suatu senjata baginya untuk menjatuhkan martabat suatu kaum / keluarga, dapat dijadikan alat untuk teror dsb. Perkosaan tidak semata-mata sebuah serangan seksual, tetapi juga merupakan sebuah tindakan yang direncanakan dan bertujuan.

B. PENGALAMAN KORBAN PEMERKOSAAN :
                Korban pemerkosaan umumnya terbagi atas tiga kelompok, yaitu
(1) korban pemerkosaan berdasar paksaan,
(2) korban yang tidak mampu untuk memberi ijin,
(3) korban yang berada dalam tekanan situasi seksual di mana pengalaman seksual   yang terjadi melebihi harapan maupun kendali dari korban.
                Korban pemerkosaan umumnya mengalami ketakutan luar biasa akan keselamatan hidupnya. Pengalaman tersebut kemudian dapat mengakibatkan timbulnya rasa tidak berdaya, ketergantungan pada orang lain, kritik yang terus-menerus terhadap diri sendiri, menyalahkan dirinya sendiri, merasa malu, kesulitan dalam menangani amarah dan agresi, serta merasa rentan. Masing-masing korban dapat menimbulkan respon yang berbeda-beda tergantung dari usia, situasi hidup, kondisi saat terjadi pemerkosaan, kepribadian korban, serta respon dari orang-orang yang dia mintai tolong / dukungan.
C. MITOS PEMERKOSAAN :
                Beberapa mitos pemerkosaan yang dapat mempengaruhi tindakan legal / medis adalah :
1.  Perempuan tidak dapat diperkosa kecuali kalau mereka ingin diperkosa.
2.  Pelaku perkosaan adalah laki-laki dengan hasrat seksual yang tidak terpuaskan atau laki-laki yang terganggu kepribadiannya, yang mengalami dorongan seksual secara tiba-tiba dan tidak terkendali.
3.  Pelaku perkosaan adalah orang asing yang tidak dikenal korban.
4.  Pemerkosaan umumnya terjadi di luar rumah.
5.  Perempuan yang diperkosa adalah perempuan ‘nakal’, yang mengenakan pakaian seronok atau bersikap genit.
Melalui sejumlah penelitian, terbukti bahwa mitos-mitos tersebut tidak benar. Korban pemerkosaan tunduk pada pelaku karena nyawanya terancam, dan sebagian besar pemerkosaan yang terjadi sudah direncanakan sebelumnya. Lebih dari separuh tindak pemerkosaan terjadi dalam rumah korban, dan separuh pelaku pemerkosaan adalah orang yang sudah dikenal korban sebelumnya (belum termasuk bila pelaku adalah suami korban sendiri). Kekerasan fisik terjadi pada hampir semua tindak pemerkosaan, mulai dari dorongan, tamparan, hantaman, sampai cekikan (belum termasuk korban yang dibunuh / terbunuh). Dalam kondisi ini, muncul dilema. Apabila korban melawan, dia memiliki kemungkinan untuk kabur dan selamat, namun bila dia gagal melarikan diri, tindak kekerasan yang terjadi padanya dapat lebih hebat.
Pemerkosaan terjadi dalam konteks kekerasan dan bukan hasrat. Pemerkosaan adalah tindakan yang menyimpang karena perilaku agresi yang terkandung di dalamnya, dan bukan karena motifnya yang berupa motif seksual. Pelaku pemerkosaan berbahaya bagi lingkungan bukan karena mereka menyimpang secara seksual, namun karena mereka bertindak agresif dan penuh kekerasan. Pelaku pemerkosaan cenderung merupakan produk dari budaya yang mengekspresikan maskulinitas dengan agresi, salah satunya dengan penaklukan secara seksual terhadap perempuan. Hal ini nampak jelas dari tindak pemerkosaan secara berkelompok.   
Sebagian korban pemerkosaan merasa takut atau malu untuk melapor pada polisi mengenai pemerkosaan yang terjadi padanya, karena mereka umumnya merasa takut dituduh sebagai penyebab terjadinya pemerkosaan, misalnya dengan bertindak provokatif maupun berpartisipasi aktif. Korban takut menghadapi reaksi mapun pandangan dari orang lain, misalnya suami, orangtua, pacar, atau teman, bahkan dari lingkungan sosial. Lebih parah lagi, korban seolah ‘dilegalkan’ sebagai korban pemerkosaan.
Dalam norma budaya, maskulinitas diasosiasikan dengan sikap agresif, dan feminitas diasosiasikan dengan sikap pasif. Perempuan diajarkan untuk tunduk pada perlindungan laki-laki, hingga tidak tahu bagaimana caranya untuk membela diri sendiri dan takut pada kekuatan laki-laki. Selain itu mereka juga diajarkan mitos-mitos bahwa perempuan ‘baik-baik’ tak mungkin diperkosa, hingga mereka harus menjaga diri sendiri agar tidak memancing tindakan pemerkosaan. Di lain pihak, laki-laki dapat bertindak agresif dan eksploitatif terhadap perempuan sebagai kompensasi atas ‘kegagalan’ mereka dalam lingkup sosial maupun ekonomi, hingga tidak menganggap perilaku mereka menyimpang. Pelaku pemerkosaan dapat menganggap bahwa korban memang sudah inferior / berkedudukan lebih rendah, dan layak diperkosa.

D. PERTIMBANGAN LEGAL
                  Dalam penanganan tindak pemerkosaan, banyak kendala yang dihadapi dalam instansi-instansi yang terkait, umumnya sehubungan dengan ketersediaan personel yang terlatih khusus untuk menangani pemerkosaan maupun dalam prosedurnya. Korban umumnya takut untuk melapor karena takut dilecehkan oleh aparat. Sayangnya, hal tersebut kerap terjadi. Aparat lebih sering mempertanyakan kredibilitas korban pemerkosaan dibandingkan dengan korban tindak kejahatan yang lain, karena terdapat asumsi bahwa perempuan korban pemerkosaan akan cenderung membuat tuduhan palsu kepada laki-laki.
                Proses peradilan dalam menghadapi tindak pemerkosaan seringkali membuat korban menjadi enggan untuk menuntut, karena korban diharuskan untuk menceritakan secara detil, berulang-ulang kepada aparat yang berbeda-beda, mengenai pemerkosaan yang terjadi padanya. Korban kerap diinterogasi secara dingin dan tidak mendukung, bahkan kadang kasar dan tidak dipercayai.
                Pembelaan terhadap tindak pemerkosaan umumnya mencakup tiga hal di bawah ini :
1.  Tidak adanya identifikasi, yaitu laki-laki yang dituduh bukan merupakan pelaku tindak pemerkosaan.
2.   Tidak adanya penetrasi, hingga tidak terjadi hubungan seksual.
3.   Adanya persetujuan, yaitu hubungan seksual yang terjadi disetujui oleh pihak perempuan.  
Karena sebagian besar kasus pemerkosaan tidak memiliki saksi mata, maka bukti yang diajukan lebih berupa bukti sirkumstansial. Bukti-bukti tersebut misalnya bukti medis dan kesaksian korban, kondisi emosional korban, kesempatan yang dimiliki tersangka, motif, dst. Pembelaan yang kemudian diajukan dapat berupa menyediakan bukti ketidakseimbangan mental korban, korban pernah berhubungan seksual dengan pelaku sebelumnya, korban pernah melakukan tuduhan pemerkosaan palsu, atau reputasi korban yang ‘buruk’. Bahkan kadang dibutuhkan bukti bahwa korban melawan dengan keras, karena ada asumsi bahwa perempuan yang sehat tidak mungkin dapat diperkosa dengan paksa.
Selain sistem yang rumit tersebut di atas, korban juga memiliki kepercayaan internal yang membuatnya cenderung tidak melapor. Korban umumnya percaya bahwa pelaku adalah orang yang ‘sakit’, juga bahwa korban memiliki andil dalam tindak tersebut.
Tindak pemerkosaan, serta investigasi dan perlakuan terhadap korban pemerkosaan merupakan pengalaman yang sangat tidak menyenangkan, bukan hanya terhadap tubuh perempuan namun terhadap jiwanya juga. Perempuan seringkali diperlakukan sebagai benda, sebagai sepotong bukti. Dia harus menceritakan kembali mengenai tindak pemerkosaan yang terjadi padanya, harus menghadapi rasa tidak percaya dari polisi, harus menghadapi sikap impersonal dari rumah sakit, dan kemudian harus membela dirinya sendiri di pengadilan. Dia kemudian akan mengalami tekanan psikologis yang besar, akibat rasa malu dan bersalah yang dibebankan masyarakat padanya.
Terlihat bahwa ada berbagai macam faktor yang mengakibatkan korban enggan untuk melapor dan menuntut pelaku pemerkosaan sampai ke pengadilan. Yang perlu dilakukan untuk memperbaiki hal ini adalah mengubah aturan hukum mengenai pemerkosaan, misalnya dalam hal saksi, bukti, mengubah prosedur yang dilakukan aparat, membakukan prosedur yang ada hingga tidak tumpang tindih dan lengkap, serta melihat tindak pemerkosaan bukan berdasar tindakan seksual yang terkandung di dalamnya, namun berdasarkan tindak kekerasan yang digunakan. Apabila perubahan-perubahan tersebut dilakukan, maka pembedaan yang ada saat ini antara tindak pemerkosaan dengan tindak kejahatan lainnya akan dapat diminimalisir.

E. TINDAKAN PEMERKOSAAN DAN STRES
                Tindak pemerkosaan bukanlah pemaksaan hubungan seksual semata, namun merupakan kejahatan yang sangat kejam terhadap seorang individu. Dalam tindak pemerkosaan, hak-hak paling pribadi seorang individu dilanggar, serta kendali dan otonomi yang dia miliki dirampas.
                Tindak pemerkosaan dapat dipandang sebagai situasi krisis di mana kejadian eksternal yang sangat traumatik membuat diri tidak mampu untuk beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Situasi tersebut serupa dengan situasi yang dihadapi seseorang saat dia menghadapi perang, operasi medis, maupun bencana. Reaksi stres yang terjadi dapat dilihat melalui empat tahapan ini :
1.        Fase antisipasi atau fase ancaman.
      Pada fase ini, ada rasa cemas yang timbul akibat individu mempersepsi suatu situasi yang dapat menimbulkan ancaman. Adanya rasa cemas ini mengakibatkan individu dapat menghindari situasi tersebut.
2.        Impact phase.
Pada fase ini, disintegrasi terjadi pada individu yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik. Besar-kecilnya disintegrasi yang terjadi tergantung pada besarnya trauma dan kemampuan adaptasi individu.
3.        Fase ‘mundur’, post-trauma.
Pada fase ini, ekspresi emosi, kewaspadaan, ingatan, dan kendali perilaku perlahan-lahan kembali pulih pada diri individu. Individu juga mungkin mempertanyakan reaksi mereka sendiri.
4.        Fase rekonstitusi, post-trauma.
Pada fase ini, korban mencoba menata kembali hidup mereka. Korban mungkin mengalami penurunan self-esteem serta mungkin menyalahkan diri mereka sendiri karena tidak waspada terhadap bahaya.
         
Pada kasus pemerkosaan, terdapat tiga tahap respon dari korban :
1.   Reaksi akut, yang ditandai dengan rasa tertekan yang hebat (termasuk di dalamnya rasa syok, rasa tidak percaya, emotional breakdown, dan terganggunya pola perilaku yang normal). Individu dapat merasa bersalah, takut dengan publisitas, takut dengan kemungkinan hamil atau tertular penyakit kelamin, bingung apakah dia harus melaporkan kejahatan tersebut atau tidak, apakah dia mampu mengidentifikasi pelaku, dan kemungkinan dia akan bertemu dengan pelakunya kembali. Individu juga dapat menyalahkan diri sendiri, merasa malu dan tidak berharga, takut untuk terluka secara fisik maupun tewas.
2.   Penyesuaian luar, yang terjadi selang beberapa hari atau minggu setelah kejadian. Tahap ini ditandai dengan upaya sementara untuk menghindari rasa cemas, misalnya dengan tidak mengakui kesulitan yang dia alami maupun menekan perasaannya sendiri.
3.   Integrasi dan resolusi, yang umumnya ditandai dengan depresi. Korban juga umumnya butuh untuk menceritakan apa yang dia alami, agar dapat merasa lebih jelas mengenai perasaannya terhadap pelaku dan terhadap dirinya sendiri.

F. PERTIMBANGAN TAHAP KEHIDUPAN :
                Reaksi korban tindak pemerkosaan dapat berkaitan dengan tahap kehidupan yang dia jalani, misalnya pada perempuan dewasa muda yang tidak menikah, pada perempuan yang sudah memiliki anak, pada perempuan yang sudah bercerai / menjanda, serta pada perempuan paruh baya.
                Pada perempuan dewasa muda yang tidak menikah, pemerkosaan dapat mengakibatkan mereka mengalami kesulitan untuk memperoleh kemandirian maupun menangani tekanan seorang diri. Mereka juga dapat merasa takut untuk menjalani hubungan selanjutnya dengan laki-laki, terutama bila mereka tidak pernah menjalani hubungan tersebut sebelumnya.
                Pada perempuan yang telah memiliki anak, masalah utama adalah bagaimana, kapan dan apa yang harus dia beritahu pada anak-anaknya, serta pandangan dari lingkungan terhadap dirinya sendiri maupun terhadap anak-anaknya. Bila dia bersuami, dia mungkin merasa tidak lagi diinginkan atau tidak lagi menarik di mata suaminya. Dia juga mungkin merasa benci pada suaminya sebagai laki-laki.
                Pada perempuan yang telah bercerai, masalah timbul karena dia akan dikaitkan dengan gaya hidup yang dia jalani. Dia juga dapat merasa tidak mampu untuk hidup secara independen. Apabila dia memiliki anak, dia mungkin merasa tidak mampu menjadi ibu yang baik untuk menjaga maupun mengasuh anak-anaknya.
                Pada perempuan paruh baya, kendala terjadi karena dia harus menyesuaikan gaya hidupnya kembali (anak-anak keluar rumah), dan suami mungkin tidak lagi suportif padanya.


G. KONSEKUENSI JANGKA PANJANG DARI PEMERKOSAAN :
                Reaksi-reaksi yang mungkin timbul dari korban tindak pemerkosaan adalah:
1.  Tidak percaya pada laki-laki dan cenderung menjauhi atau tidak ingin terlibat dalam suatu hubungan yang mendalam.
2.  Muncul gangguan seksual, misalnya dalam bentuk disfungsi seksual dan konflik dalam pernikahan.
3.   Reaksi phobia yang menetap.
4.   Rasa cemas dan depresi.
5.   Terus menerus merasa cemas dan menghindari pemeriksaan ginekologis.
6.   Bunuh diri atau melakukan percobaan bunuh diri.
7.   Silent rape reaction, yaitu individu tidak segera menampakkan tanda-tanda gangguan. Namun tanda-tanda tersebut dapat timbul di kemudian hari apabila inividu tidak menyelesaikan masalah tersebut.  
               
H. ISU-ISU YANG PATUT DIPERHATIKAN DALAM KONSELING :
                Terdapat tiga kebutuhan utama yang harus dipenuhi dalam program konseling, yaitu
(1) intervensi krisis, untuk mengatasi trauma dan meminimalisir efek psikologis jangka panjang,
(2) dukungan emosional dari orang-orang yang melakukan kontak dengannya selama periode krisis, dan
(3) dukungan emosional untuk keluarga dan teman-teman korban.
                 Pendamping korban pemerkosaan umumnya merupakan orang awam yang kemudian dilatih dan diawasi oleh tenaga profesional. Di sini tenaga kesehatan mental profesional memiliki beragam peran, misalnya sebagai konsultan dalam ruang gawat darurat bersama-sama dengan tenaga medis yang lain, sebagai asisten staf kesehatan lain dalam mendapatkan sejarah kejadian, menilai kondisi emosional dan status ego individu, dan menentukan intervensi jangka panjang seperti apa yang dibutuhkan oleh korban.
                Belakangan ini bermunculan pusat-pusat krisis yang berbasis komunitas. Sebagian besar pusat krisis tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu :
1.  Menyediakan dukungan bagi korban,
2.  Untuk memperbaiki institusi-institusi yang berhubungan dengan korban,
3.  Untuk mendidik diri mereka sendiri dan publik pada isu-isu yang berkaitan dengan pemerkosaan,
4.  Untuk memperbaiki hukum yang ada. 
Pusat-pusat krisis tersebut bertujuan untuk menyediakan informasi, dukungan emosional dan pendampingan langsung kepada korban. Selain itu pusat-pusat krisis tersebut juga menyediakan jasa konsultasi, namun lebih terbatas pada dukungan yang bersifat sementara dan follow-up jangka pendek. Konseling bertujuan untuk mengembalikan fungsi otonomi dan kendali diri. Selain itu, pusat-pusat krisis tersebut juga menyediakan pendampingan apabila korban mendapat perlakuan yang tidak layak dari aparat yang menanganinya.
Peran dari konselor melingkupi aspek-aspek klinis, administratif, pengajaran, pengawasan dan penelitian. Mereka tidak menentukan apakah korban benar-benar diperkosa atau tidak, karena ‘pemerkosaan’ sendiri lebih merupakan istilah legal, bukan medis. Pada kenyataannya, korban dilanggar hak asasinya dan karena itu membutuhkan bantuan.
Segera setelah pemerkosaan terjadi, isu yang penting untuk diperhatikan adalah mengenai keselamatan pribadi dan kendali atas diri sendiri. Korban butuh untuk kembali merasa aman secara fisik dan butuh bantuan untuk kembali merasa memiliki kendali atas dirinya dan apa yang akan terjadi padanya. Di sini, korban tidak boleh dibiarkan sendiri. Korban sebaiknya didorong untuk mengungkapkan perasaannya tanpa merasa bersalah. Agar bantuan yang diberikan efektif, maka konselor harus memiliki pengetahuan mengenai prosedur legal maupun medis untuk kemudian diinformasikan pada korban. Semua keputusan mengenai prosedur yang dia jalani harus berasal dari korban itu sendiri, dan dia tidak boleh dipaksa untuk mengambil keputusan.
Pada dasarnya, konseling diberikan pada korban dengan tujuan untuk mengembalikan korban pada tingkatan fungsinya seperti sebelum dia mengalami tindak pemerkosaan. Terdapat empat area penting dalam kehidupan korban yang terganggu, yaitu fisik, emosional, sosial dan seksual, dan keempat area tersebut harus mendapat perhatian penuh dari konselor.
Terdapat empat area kebutuhan dalam penanganan korban pemerkosaan, yaitu intervensi polisi, intervensi medis, intervensi psikologis dan kontrol emosional. Dalam penanganan terhadap korban, konselor sebaiknya melakukan intervensi dalam tahapan-tahapan sebagai berikut :
1.   Saat penyerangan.
        Yang patut diperhatikan di sini adalah situasi dan kondisi dari terjadinya tindak pemerkosaan, percakapan yang terjadi secara detil, termasuk ancaman fisik maupun verbal, perilaku yang muncul, perlawanan yang muncul, penggunaan obat maupun alkohol oleh pelaku maupunkorban, serta reaksi emosional dan seksual dari korban, kemudian melihat faktor-faktor apakah yang menjadi masalah utama korban.
2.   Perhatian medis.
        Yang termasuk di dalamnya adalah kualitas dari perlakuan terhadap korban di rumah sakit, interaksi dengan petugas medis, luka-luka fisik yang ada, kemungkinan terjadi kehamilan maupun terjangkit penyakit kelamin, serta pemeriksaan pelvis. Banyak korban yang merasa bahwa pemeriksaan pelvis merupakan bentuk pemerkosaan yang lain, dan karenanya perlu dipersiapkan terlebih dahulu untuk menghadapinya.
3.   Penegakan hukum.
        Pertanyaan yang muncul adalah : apakah korban hendak melaporkan tindak pemerkosaan tersebut, kemudian apabila dia melapor, bagaimana dia diperlakukan saat melapor, pertanyaan-pertanyaan apa saja yang diajukan padanya, apakah dia didorong atau malah dihambat untuk menuntut pelaku ? Di sini, korban didorong untuk mengemukakan perasaannya mengenai perlakuan yang dia terima, dan mendapat pembenaran atas perasaannya.
4.   Prosekusi.
        Apakah korban berencana untuk menuntut, mampu bersikap koperatif terhadap investigasi polisi dan muncul di pengadilan, serta bagaimana perasaannya mengenai hal tersebut ? hal ini cukup menyulitkan karena korban diharuskan untuk membuat keputusan dengan cepat, padahal dia berada dalam kondisi di mana dia mengalami kesulitan untuk berpikir secara rasional dan membuat keputusan. Adanya informasi yang konkrit dapat sangat membantu korban, dan konselor berperan untuk membantu korban mengklarifikasi perasaannya sendiri serta memberi dukungan pada keputusan korban, apapun keputusannya.
5.   Sistem dukungan sosial.
        Terdapat tiga pertanyaan mendasar dalam isu ini, yaitu (1) Siapakah orang-orang yang penting dalam kehidupan korban ? (2) Siapakah yang dia rencanakan untuk diberitahu mengenai tindak pemerkosaan tersebut ? (3) Reaksi seperti apa yang dia harapkan ? Adanya tindak pemerkosaan dapat mengubah hubungan yang dimiliki korban dengan orang lain yang dekat dengannya, dan hal ini harus segera ditangani. Di sini, keluarga dan teman-teman korban sebaiknya diberikan kesadaran mengenai makna dari tindak pemerkosaan, hingga mereka dapat memberikan dukungan secara tulus pada korban.
6.   Keselamatan fisik.
        Apakah korban tinggal sendirian ? Apakah korban takut pelaku akan kembali ? (walaupun ada / tidak ada ancaman akan hal tersebut). Mungkin diperlukan tempat tinggal sementara bagi korban untuk kemudian memikirkan mengenai tempat tinggalnya di kemudian hari.
7.   Persiapan terhadap reaksi yang mungkin muncul dari korban.
        Reaksi terhadap tindak pemerkosaan yang terjadi dapat sangat beragam. Dalam hal ini, konselor perlu untuk mempersiapkan korban terhadap kemungkinan reaksi-reaksi yang dapat muncul, hingga korban menyadari perasaannya sendiri dan menyadari juga bahwa tejadinya gangguan tersebut adalah normal. Penting juga untuk membiarkan korban tahu bahwa dia tidak sendirian dan dapat menghubungi konselornya bilamana perlu (dalam periode ini).   

I. PERTIMBANGAN MEDIKOLEGAL :
                Dalam menghadapi korban tindak pemerkosaan, petugas medis harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : pengobatan terhadap luka fisik korban, pencegahan penyakit kelamin menular, pemeriksaan medikolegal yang seksama, dan pencegahan atau penanganan terhadap kerusakan psikologis yang permanen.
                Penanganan medis terhadap korban tindak pemerkosaan umumnya tidak memadai, dan tidak dengan memberikan bantuan psikologis. Kemungkinan bahwa korban hamil maupun tertular penyakit kelamin juga tidak sepenuhnya dipertimbangkan. Selain itu, terdapat masalah dalam pemberian prosedur terhadap korban dan masalah konfidensialitas pasien.
                Terdapat beberapa rekomendasi maupun saran yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas pelayanan rumah sakit terhadap korban tindak pemerkosaan, yang diharapkan mampu untuk memberikan intervensi kepada korban pemerkosaan secara efektif dan sensitif, yaitu :
1.        Paling tidak terdapat satu fasilitas medis dalam suatu komunitas yang memiliki program formal untuk menangani korban tindak pemerkosaan secara menyeluruh.
2.        Petugas hukum dan sosial harus menyadari perlunya pelayanan rumah sakit yang menyeluruh terhadap korban tindak pemerkosaan.
3.        Karena penanganan terhadap korban tindak pemerkosaan melibatkan aspek legal dan medis, maka harus ada kerjasama antar dua instansi tersebut.
4.        Penanganan terhadap korban tindak pemerkosaan harus menjadi prioritas utama, setelah penanganan penyakit berbahaya atau kecelakaan fatal.
5.        Korban sebaiknya ditangani oleh satu tim kerja yang menyeluruh, terdiri atas perawat, dokter, pendamping dan konsultan yang sesuai (misalnya psikolog / terapis, dsb).
6.        Semua personel rumah sakit yang menangani korban tindak pemerkosaan haruslah dilatih terlebih dahulu agar dapat memenuhi kebutuhan spesifik dari korban tindak pemerkosaan tersebut.
7.        Rumah sakit harus memiliki panduan prosedur penanganan korban dan pengumpulan bukti yang spesifik, dengan petugas-petugas yang memiliki peran jelas.
8.        Intervensi krisis harus segera tersedia untuk korban, keluarga mereka dan significant others mereka.
9.        Korban harus sepenuhnya mendapat informasi dan memberikan ijin atas segala prosedur yang dilaksanakan pada dirinya, terutama mengenai pencegahan kehamilan dan penyakit kelamin menular.
10.     Apabila korban disarankan untuk mengikuti pemeriksaan kesehatan mental, maka kepadanya harus dijelaskan pentingnya pemeriksaan tersebut agar dia tidak beranggapan bahwa karena dia diperkosa, maka dia mengalami gangguan jiwa.
11.      Biaya untuk segala pemeriksaan yang dijalani oleh korban sebaiknya ditanggung oleh pemerintah dan bukan oleh korban itu sendiri.
12.     Kerahasiaan korban HARUS dijaga, dan tim pemeriksa harus berhati-hati dalam menuliskan informasi pada rekam medis korban agar tidak ada informasi yang tidak relevan.
13.     Aparat hukum layaknya mengetahui mengenai kejadian dari tindak kejahatan tersebut.     



BAB II
PEMBAHASAN

2.1   IDENTIFIKASI MASALAH

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK
Jawapos
Senin, 8 Mei 2010
“LEBAM DITEMPELANG SUAMI”
GENTENG-Gara-gara menghajar istrinya sendiri, Madari, 65, warga Dusun Krajan, Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng, harus mendekam di sel tahanan Mapolsek Genteng kemarin (8/5).
            Sebelumnya, istrinya yang bernama Siti Mujayanah, 35, melaporkan kasus penganiayaannya tersebut. Siang itu Madari yang dikenal sebagai buruh tani itu langsung digelandang aparat ke Mapolsek Genteng.
            Madari mengaku baru menikahi korban tiga tahun lalu. Dia mengaku kesal dengan ulah istrinya. Sebab, perempuan itu sering nongkrong di jembatan Kalisetailpada malam hari. “Saya benar-benar berang sama dia (Mujayanah), karena sering dibilang tidak nurut.
            Masak setiap malam dia masih saja sobo (nongkrong) di jembatan setail, ujar bapak empat anak dari istri terdahulunya itu.
            Madari mengaku bermaksud mengentas kehidupan lama istrinya. Dia ingin Mujayanah kembali ke jalan yang benar. “Karena ngeyel, saya tempelang kepalanya dan saya jambak rambutnya.” Ujarnya blak-blakan.
            Sementara itu, Mujayanah justru mengaku mendapat amarah dan dihajar gara-gara menjual giwang yang dibelikan suaminya, “Saya ditempeleng di kepala dan rambut ini dijambak,tuturnya seraya menunjukkan lebam dikepala.
            Kendati sudah dihajar, korban mengaku memaafkan suaminya. Bahkan, Mujayanah meminta supaya suaminya segera dibebaskan dari penjara.”Tolong ya Pak.suami saya nanti segera keluarkan? Saya sudah memaafkan kok.”  Tukasnya.
            Kapolsek Genteng, AKP Hery Subagio mengatakan, pihaknya segera mengamankan pelaku supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, “Kita lihat perkembangan hasil pemeriksaan kedua,” ujar Kapolsek.(azi/bay)
Hasil Identifikasi Masalah
1.      Who (Siapa?)
Pelaku : Madari, 65, Suami korban
Korban            : Siti Mujayanah, 35, Istri
2.      What (Apa yang terjadi?)
Istri lebam karena ditempeleng oleh sang suami
3.      Where (Dimana peristiwa itu terjadi?)
Peristiwa ini terjadi di Rumah mereka (Madari-Mujayanah) di Dusun Krajan, Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng.
4.      When (Kapan peristiwa itu terjadi?)
Peristiwa ini terjadi siang hari pada hari Rabu, 8 Mei 2010
5.      Why (Mengapa peristiwa itu bisa terjadi?)
Madari mengaku bermaksud mengentas kehidupan lama istrinya. Dia ingin Mujayanah kembali ke jalan yang benar.
6.      How (Bagaimana peristiwa itu terjadi?)
Madari mengaku kesal dengan ulah istrinya. Sebab, perempuan itu sering nongkrong di jembatan Kalisetail pada malam hari. Karena sering dibilang tidak nurut, Madari menempeleng kepala Mujayanah dan menjambak rambutnya. Madari tidak suka karena setiap malam dia masih saja sobo (nongkrong) di jembatan setail. Madari mengaku bermaksud mengentas kehidupan lama istrinya. Dia ingin Mujayanah kembali ke jalan yang benar. Sementara itu, Mujayanah justru mengaku mendapat amarah dan dihajar gara-gara menjual giwang yang dibelikan suaminya, “Saya ditempeleng di kepala dan rambut ini dijambak,tuturnya seraya menunjukkan lebam dikepala. Kendati sudah dihajar, korban mengaku memaafkan suaminya.


PERKOSAAN
Radar Jember
Rabu, 11 November 2009            
“SISWI SMA FAVORIT ASAL AMBULU DIPERKOSA”
Berawal Perkenalan di Facebook
AMBULU-Berawal dari pertemanan di Facebook, Bunga,17, siswa sebuah SMA Favorit di Jember kini mengalami trauma berat. Bunga yang asal Ambulu itu digarap hingga hamil empat bulan dan kini kondisi kejiwaannya sedang labil. Peristiwa itu terjadi bulan Juni 2009 lalu. Dan baru terkuak, beberapa hari terakhir setelah korban oleh keluarganya dibawa ke RSUD Balung. Bahkan saat ini korbanpun dibawa ke RS Dr. Soetomo Surabaya, karena trauma yang dialami. “Kami harus mengirim ke Surabaya untuk perawatannya. Sebab kondisi korban sangat labil padahal dia dalam kondisi hamil,” kata Dr Moeroed Dokter ahli kandungan RSUD Balung ketika dikonfirmasi.
            Korban yang kost di Sumbersari Jember itu awalnya pergi ke salah satu warnet dijalan Kalimantan. Sambil mencari bahan untuk tugas, korban juga membuka facebook, situs pertemanan yang saat ini sedang digandrungi masyarakat. Diapun asyik berhubungan dengan salah satu temannya. Pertemanan lewat dunia maya itu selanjutnya berlanjut ke pertemuan darat.
            “Entah karena apa tiba-tiba korban langsung mau ketika diajak meninggalkan internetan tersebut,” kata Dr Moeroed dari keterangan Bunga. Bunga langsung tak sadarkan diri ketika dibawa ke sebuah Hotel di Jember. Didalam kamar itulah diduga Bunga digarap oleh lelaki yang belum lama dia kenal.
            Usai melampiaskan nafsunya, pelaku langsung kabur meninggalkan korban. Begitu sadar korban langsung pulang ke Ambulu menemui keluarganya. Dia bercerita kepada ayah dengan keluhannya itu. Akhirnya korban dibawa ke Puskesmas dan oleh petugas dirujuk ke RSUD Balung.
Hasil Identifikasi Masalah                                              
1)      Who
Pelaku : Teman perkenalan lewat Facebook
Korban            : Bunga, 17, siswa sebuah SMA favorit di Jember
2)      What
Siswa SMA favorit asal Ambulu diperkosa oleh teman perkenalan lewat Facebook
3)      Where
Peristiwa terjadi di kamar Hotel yang berada di Jember



4)      When
Peristiwa ini terjadi pada bulan juni 2009 lalu. Ketika korban kesalah satu warnet dijalan Kalimantan mencari bahan diwarnet sambil membuka facebook.
5)      Why
Karena sudah dari pelakunya sendiri pelaku ingin memperkosa korban setelah ditemuinya
6)      How
Korban awalnya pergi ke salah satu warnet dijalan Kalimantan. Sambil mencari bahan untuk tugas, korban juga membuka facebook, situs pertemanan yang saat ini sedang digandrungi masyarakat. Diapun asyik berhubungan dengan salah satu temannya. Pertemanan lewat dunia maya itu selanjutnya berlanjut ke pertemuan darat. Entah karena apa tiba-tiba korban langsung mau ketika diajak meninggalkan internetan tersebut. Bunga langsung tak sadarkan diri ketika dibawa ke sebuah Hotel di Jember. Didalam kamar itulah diduga Bunga digarap oleh lelaki yang belum lama dia kenal.
Usai melampiaskan nafsunya, pelaku langsung kabur meninggalkan korban. Begitu sadar korban langsung pulang ke Ambulu menemui keluarganya. Dia bercerita kepada ayah dengan keluhannya itu. Akhirnya korban dibawa ke Puskesmas dan oleh petugas dirujuk ke RSUD Balung.





2.2      IDENTIFIKASI PENYEBAB MASALAH
Kekerasan Terhadap Wanita Dan Anak
Susan Burdam (34) Aktifis Perempuan asal Manokwari, menilai penyebab tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak kerap diakibatkan karena alasan ekonomi.
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami terhadap istri, antara lain:
a)      Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.
b)      Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
c)      Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah social
d)     Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
e)      Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
f)       Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
g)      Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
h)      Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
i)        Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.
Selain itu, faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap istri berhubungan dengan kekuasaan suami/istri dan diskriminasi gender di masyarakat. Dalam masyarakat, suami memiliki otoritas, memiliki pengaruh terhadap istri dan anggota keluarga yang lain, suami juga berperan sebagai pembuat keputusan. Pembedaan peran dan posisi antara suami dan istri dalam masyarakat diturunkan secara kultural pada setiap generasi, bahkan diyakini sebagai ketentuan agama. Hal ini mengakibatkan suami ditempatkan sebagai orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi daripada istri. Kekuasaan suami terhadap istri juga dipengaruhi oleh penguasaan suami dalam sistem ekonomi, hal ini mengakibatkan masyarakat memandang pekerjaan suami lebih bernilai. Kenyataan juga menunjukkan bahwa kekerasan juga menimpa pada istri yang bekerja, karena keterlibatan istri dalam ekonomi tidak didukung oleh perubahan sistem dan kondisi sosial budaya, sehingga peran istri dalam kegiatan ekonomi masih dianggap sebagai kegiatan sampingan.

Perkosaan
            Faktor penyebab terjadinya pemerkosaan. Antara lain:
1)      Kesalahan dari wanita itu sendiri. Bisa saja wanita itu diperkosa karena senang mengumbar atau mempertontonkan auratnya, sehingga pria tidak tahan melihatnya dan ingin memperkosanya. Karena itu, bagi para wanita, berpenampilanlah yang sopan dan tutuplah bagian tubuh yang bisa merangsang syahwat pria.
2)      Bisa berasal dari orang tua pria pemerkosa yang kurang memperhatikan perilaku anaknya. Seharusnya orang tua selalu memantau kondisi anak dan meluruskan akhlak anak, jangan sampai anak terlibat kasus pelanggaran hukum.
3)      Bisa berasal dari orang tua perempuan korban pemerkosaan, yang sampai lengah dalam mengawasi anaknya. Seharusnya orang tua selalu siap menjaga keamanan anak agar selamat dari segala macam ancaman, termasuk ancaman dari pria bejat.
4)      Bisa berasal dari lingkungan masyarakat. Di zaman modern yang serba bebas seperti sekarang, akses terhadap pornografi dan pornoaksi semakin mudah. Hal ini mendorong peningkatan kasus pemerkosaan.
5)      Bisa berasal dari pemerintah yang kurang tegas memberlakukan hukuman bagi pelanggar hukum, sehingga tidak memberikan efek jera.






2.3      PENANGANAN MASALAH
Kekerasan Terhadap Wanita dan Anak
Perempuan dan anak yang sering menjadi korban kekerasan baik fisik dan mental perlu memiliki wadah perlindungan untuk  menjamin hak-hak dan keselamatan serta memberdayakan mereka dengan cara:
1.      Menyediakan akomodasi sementara yang aman untuk perempuan dan anak-anak yang melarikan diri dari situasi krisis akibat kekerasan yang tidak tertahankan lagi tanpa diskriminasi.
2.      Menyediakan suasana yang mendukung dan nyaman dalam lingkungan yang santai, dan sensitif budaya dimana perempuan bisa mengurus anak-anaknya dan didorong untuk membuat keputusan sendiri.
3.      Menyediakan informasi dan akses kepada pelayanan yang tersedia dikomunitas untuk semua perempuan dan anak-anak.
Dalam penanganan korban adalah dengan adanya kegiatan konseling dan pendampingan yang dilakukan oleh konselor terlatih, baik pendampingan untuk mengakses bantuan medis, bantuan hukum termasuk akses ke mekanisme peradilan dan lembaga rujukan lain, maupun pelayanan di shelter / rumah aman.

Perkosaan
Apabila seorang perempuan diperkosa, meski mungkin ia takut membuka diri karena aib dan cemar, sepatutnya ia mencari perawatan medis yang layak sesegera mungkin. Perawatan yang diberikan haruslah sungguh-sungguh halus dan penuh belas kasih
Sesuai dengan Ethical and Religious Directives for Catholic Health Care Services (no. 36), penanganan terhadap korban perkosaan memiliki empat aspek:
Pertama, korban sepatutnya menerima dukungan rohani dan psikologis, dan mendapatkan konseling untuk membantunya menghadapi trauma serangan. Dukungan dan konseling yang demikian kemungkinan akan terus berlangsung untuk beberapa waktu lamanya.
Kedua, para pelayan kesehatan perlu bekerjasama dengan para petugas pelaksana hukum dalam mengumpulkan bukti-bukti yang dapat dipergunakan untuk mendakwa si pemerkosa.
Ketiga, korban membutuhkan perawatan atas memar atau luka-luka lainnya.
Terakhir, para pelayan kesehatan wajib memberikan perawatan demi mencegah kemungkinan terjangkitnya suatu penyakit kotor dan kehamilan.


2.4      PENCEGAHAN TERHADAP MASALAH
Kekerasan Terhadap Wanita dan Anak
Masalah kekerasan terhadap wanita dan anak, pencegahannya diperlukan sosialisasi guna perubahan pola pikir masyarakat bahwa KTP dan KTA adalah tindakan kejahatan yang merugikan keluaga dan bangsa. Merugikan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. WHO merekomendasi perlunya mempromosikan pencegahan kekerasan dengan pengembangan program sosial, mengurangi ketidakadilan, pemberdayaan polisi, serta sistem peradilan. Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

Perkosaan
Masalah perkosaan adalah masalah kesempatan. Artinya jangan beri kesempatan pada pemerkosa. Ada beberapa cara untuk menghindari perkosaan. Plaing tidak, wanita yang menjadi sasaran sedapat mungkin ada pihak yang mendampingi saat bepergian sendiri, jangan menimbulkan rangsangan-rangsangan, baik itu dalam bentuk perilaku, pakaian, atau gerakan, pada lawan jenisnya. Terhadap anak-anak harus diajarkan untuk berteriak sekeras mungkin bila ada orang yang 'mengganggunya'.
Yang paling mungkin pada wanita dewasa perlu diingat bahwa meskipun alat 'pemerkosa' itu disebut alat perusak, namun sekaligus alat yang paling lemah . kalau mengetahui itu alat yang paling lemah, saat akan diperkosa, diremas saja dengan keras.
























BAB III
PENUTUP


3.1   KESIMPULAN
Kekerasan terhadap wanita dan anak adalah segala bentuk kekerasan berbasis jender yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan ; termasuk ancaman dari tindakan tsb, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi dilingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi. (Deklarasi PBB tentang anti kekerasan terhadap perempuan pasal 1, 1983).
Pemerkosaan didefinisikan sebagai tindakan mengambil sesuatu dengan paksa, dari seseorang kepada orang lain tanpa keinginan orang tersebut. Pemerkosaan mengandung dua unsur ini : adanya hubungan seksual, dan tidak adanya persetujuan dari korban atas tindakan tersebut. Sebagian besar tindak perkosaan mengikutsertakan tindak kekerasan, baik verbal maupun nonverbal.
3.2   KRITIK DAN SARAN
a.       Pemerintah lebih memprioritaskan kebijakan bagi perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan, perkosaan diskriminasi, dan pelanggaran HAM
b.      Pemerintah memprioritaskan program dalam rangka menyebarkan nilai-nilai kesetaraan perempuan dan laki-laki melalui institusi pendidikan, media, institusi lokal dalam masyarakat, dan lain-lain.
c.       Pemerintah melaksanakan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO).
d.      Pemerintah segera mengesahkan peraturan pelaksana UU PTPPO
e.       Pemerintah menyusun dan mengesahkan Peraturan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Pemberantasan Perkosaan.
f.       Pemerintah menganggarkan alokasi dana untuk penyediaan layanan terpadu bagi anak dan perempuan korban kekerasan dan korban perkosaan.

LAMPIRAN

Ø  Kekerasan Terhadap Wanita dan Anak














                                          


Ø  Perkosaan

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates