Pertama, dalam tulisan-tulisan saya yang terdahulu, saya sudah sampaikan
bahwa otak kita ini memang sangat luar biasa sekali. Otak akan merespon
sebuah kata, misalnya kata kerja, sama baiknya dengan kita melakukan kerja
itu sendiri. Begitu kita baru BERNIAT saja untuk melakukan suatu pekerjaan,
sebenarnya otak kita sudah merekamnya sebagai sebuah pekerjaan itu sendiri.
Makanya Rasulullah mewanti-wanti, bahwa sering-seringlah kita memikirkan yang
baik-baik, meniatkan yang baik-baik, Karena kalau kita sudah berniat baik,
maka itu sudah dicatat pahalanya sebagai sebuah perbuatan yang baik.
Sebaliknya Rasulullah masih menghibur kita bahwa kalau kita berniat buruk,
maka dosanya belumlah dicatat sampai perbuatan buruk itu kita lakukan.
Sebenarnya, ungkapan Rasulullah tentang berniat buruk ini sebenarnya hanya
untuk menghibur kita saja. Sebab NIAT BAIK atau NIAT BURUK, sebenarnya
dua-duanya sudah dicatat (direkam) oleh otak kita dalam bentuk memori bahwa
kita sudah melakukan perbuatan baik atau buruk itu, walau intensitas rekaman
itu belum sebesar kalau kita melakukan perbuatan baik atau buruk itu secara
nyata.
Setiap kata, perbuatan, penglihatan, pendengaran, dan rasa yang kita alami
sehari-hari, akan masuk ke dalam otak melalui system syaraf kita dalam bentuk
pesan impuls listrik lemah dan rangsangan pesan kimia yang kemudian setiap
pesan itu membentuk jaringan-jaringan memori. Pesan-pesan yang masuk itu
dengan kecepatan yang mencengangkan akan mencari file memori yang sama untuk
kemudian memori tersebut akan diperkuat dan dipertegas intensitasnya dari
yang sebelumnya. Bahkan file memori berbagai kombinasi baru juga bisa
dihasilkan dengan mudah. Kalau belum ada filenya, maka akan terbentuklah di
dalam otak kita file baru tentang hal itu. Seterusnya begitu, nyaris tanpa
batas. Makanya otak kita ini tidak akan pernah penuh dengan berbagai memori
yang masuk ke dalamnya seumur hidup kita.
Nah…, nanti setiap kita menghadapi sebuah masalah dalam hidup kita, maka
secara otomatis kita akan mencari tempat lari atau jalan keluar dari masalah
itu. Langkah pertama yang terjadi adalah, kita akan lari ke dalam file memori
yang ada di dalam otak kita. Kita, walaupun tanpa sadar, akan mencari: ada
file solusi apa di dalam otak kita, ada file ruang apa di dalam otak kita,
ada file suasana apa yang ada di dalam otak kita. Proses pencarian file
memori di dalam otak kita inilah yang disebut dengan PROSES BERFIKIR.
Tapi sayang sekali…, bahwa selama ini orang menganggap bahwa yang berfikir
itu adalah otak itu sendiri. Kebanyakan orang menganggap bahwa otak kita itu
bekerja dengan sendirinya. Tidak banyak orang yang bisa menyadari bahwa
sebenarnya “ada substansi yang bukan otak” yang sedang beraktivitas menyusur
memori demi memori yang ada di dalam otak itu. Tentang substansi yang bukan
otak ini, lain kali sajalah kita bahas, atau kalau penasaran cobalah lihat
uraian saya dalam buku “Membuka Ruang Spiritual”.
Kembali kepada proses berfikir…!.
Cara kita berfikir, cara kita menghadapi masalah, cara kita bertutur kata,
cara kita bersikap, cara kita berkesimpulan, cara kita berakhlak, cara kita
beradab, cara kita bertindak, sangat-sangat dipengaruhi oleh file macam apa
yang ada di dalam otak kita masing-masing. Setiap kita tidak akan pernah bisa
keluar dari file memori yang ada di dalam otak kita. Begitu kita keluar dari
file memori di otak kita itu, maka kita akan kesulitan, kita akan ketakutan,
kita akan blingsatan, kita akan malu, bahkan kita bisa merasa sangat berdosa,
yang akhirnya kita akan merasa TERSIKSA sendiri.
Misalnya, file memori yang ada di otak orang Papua yang masih hidup di
gunung-gunung dan belum bersentuhan dengan file-file kehidupan modern kota
Jakarta, maka koteka bagi laki-laki dan bertelanjang dada bagi perempuan
dianggap mereka biasa-biasa saja. Akan tetapi bagi orang yang hidup dan besar
di Jakarta, artinya sudah punya file memori tentang peradaban Jakarta, maka
tidak akan ada satupun laki-laki yang mau pakai koteka dan perempuan yang
bertelanjang dada yang berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum.
Perbedaan cara berfikir yang paling gress yang bisa kita lihat adalah saat
bangsa Indonesia menentukan kapan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal
1427 H. Dengan dalil yang sama, alam yang sama, bulan yang sama, matahari yang
sama, tapi dengan pemahaman yang berbeda (artinya file yang dominan di dalam
otak pelaku-pelakunya berbeda dengan sangat signifikan), maka jadilah hari
Raya itu menjadi DUA hari yang berbeda pula. Bahkan ada pula kelompok orang
yang lebarannya sesudah hari yang dua itu.
Dan perbedaan cara berfikir yang super gress saat ini adalah masalah
berpoligaminya seorang da’i kondang dari kota Bandung. Orang-orang heboh, ada
yang menghujat, ada yang simpati, ada yang mencibir, ada yang senyum-senyum
untuk siap-siap menyusul langkah sang da’i kondang tersebut, ada juga yang
malah jadi tersenyum sumringah dengan ulah sang da’i kondang tersebut karena
memperoleh teman seperbuatan sekelas ikan paus.
Tentang poligami ini, ada orang yang setuju, ada yang menolak, dan ada pula
yang biasa-biasa saja menyikapinya. Bahkan dampak dari berpoligaminya sang
da’i kondang tersebut, konon, sampai-sampai mengguncang pula ruang istana
Presiden RI. Sehingga[Q1] ada usaha-usaha pemerintah untuk
memasung perilaku poligami ini, baik bagi PNS maupun masyarakat umum dan
orang-orang terkenal, dengan hukum negara yang cukup berat. Dan tentu saja
usaha-usaha pemerintah ini akan mendapatkan tantangan yang sangat keras pula
dari pihak-pihak yang mendukung poligami ini, atau paling tidak bagi kelompok
yang beranggapan bahwa masalah poligami ini tidak perlu diatur-atur oleh
pemerintah. Ramai dah jadinya…
Perbedaan sikap kita ini lebih disebabkan oleh file macam apa yang ada di
dalam otak kita masing-masing saat berbicara tentang poligami itu. Kalau
dicari dasar hukumnya, ya landasannya masih itu-itu juga dari zaman dulu
sampai sekarang. Tapi lihatlah fenomena betapa dari orang ke orang bisa punya
sikap yang berbeda untuk sebuah ayat yang sama dan contoh yang sama pula dari
Rasulullah.
Memang ada orang yang berkata bahwa kita ini harus berfikir dengan logika
yang jernih. Bahkan ada pula yang menambahkan bahwa logika yang jernih ini
akan semakin mengkilat tatkala dibarengi pula dengan hati nurani yang bening.
Akan tetapi kalau diperhatikan dengan seksama, istilah-istilah yang mentereng
tadi itu (logika yang jernih dan hati nurani yang bening), larinya tetap saja
ke file-file pengetahuan yang ada di dalam otak kita. Tak lebih. Logika
berfikir dari hati nurani yang jernih itu tetap saja tergantung kepada file
pengetahuan yang masuk atau kita masukkan ke dalam otak kita. Buktinya, siapa
yang tidak percaya bahwa hati nurani seorang bayi adalah hati nurani yang
paling bersih???. Tentunya tidak ada. Hati nurani seoran bayi sangatlah
bersih. Akan tetapi lihatlah bagaimana sederhananya logika berfikir
seorang bayi, PASRAH. Dia hanya PASRAH. Otak sang bayi adalah ibarat kertas
putih yang siap untuk ditulisi dengan berbagai masukan. Lalu beragam isi
otaknyalah yang akan menentukan warna dari logika berfikirnya selama hidupnya
nantinya.
Misalnya dalam pergumulan logika berfikir kehidupan beragama, maka ada puluhan
alternatif logika berfikir yang bisa kita masukkan ke dalam otak kita. Kalau
mau berpedoman kepada sejarah awal perkembangan Islam (pasca kehidupan NABI),
maka ada pilihan berupa logika berfikir SUNNI atau SYI’AH berikut dengan
segala turunannya yang juga tak kalah banyaknya. Kalau mau merujuk ke zaman
berikutnya, zaman Al Ghazali dan Rusydi, maka tersedia pilihan logika
berfikir RASIONALIS atau FATALIS. Berikutnya ada pula logika berfikir yang
dibingkai oleh pakem-pakem SUFISTIK atau yang serba SYARI’AT.
Belakangan inipun tersedia pula logika berfikir, yang katanya modern, yang
cenderung mengajak manusia mengembangkan pandangan hidup saintifik yang
diwarnai oleh paham yang katanya sekularisme, rasionalisme, pluraslisme,
kapitalisme, humanisme liberalisme, empirisisme, cara befikir dikhotomis,
desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran agama.
Bahkan pilihan terlawas yang tersedia disebut dengan logika berfikir
Postmodernisme yang telah bergeser kepada paham-paham baru (yang katanya)
berupa: nihilisme, relativisme, pluralisme dan persamaan (equality). Namun ia
dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan
paham liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya.
Lihatlah betapa rumit dan beragamnya alternatif logika berfikir yang tersedia
yang bisa kita pilih. Dan nantinya pilihan-pilihan yang kita ambil itulah
yang akan mewarnai hidup kita sehari-hari.
Dalam beragama, misalnya, ada orang yang otaknya dominan berisi file ilmu
agama yang (katanya) bercorak ekstrim, maka logika berfikir dan bertindaknya
juga akan menjadi ekstrim dalam pandangan orang-orang di sekitarnya yang
(katanya) sedang memilih logika berfikir bercorak moderat. Begitulah, untuk
pembenaran bagi logika berfikirnya itupun akan keluar berbagai alasan yang
terlihat benar dan masuk akal bagi orang-orang yang mempunyai file ilmu
pengetahuan yang sama, atau paling tidak bagi orang-orang yang sudah
memposisikan dirinya untuk BINDING kepada suatu logika berfikir agama
tersebut.
Biasanya bagi orang-orang punya file pengetahuan agama yang banyak, maka
alasan yang paling pamuncak yang diambil orang untuk pembenaran perilakunya
adalah karena hal itu sudah taqdir Tuhan. Yaa…, sabda dan perintah Tuhan lagi
yang kita jadikan sebagai konci pamungkas untuk membenarkan apa-apa yang kita
lakukan dan juga untuk menolak apa-apa yang difikirkan oleh orang lain yang
berbeda dengan file pikiran kita. Oleh sebab itu, hati-hatilah dengan
orang-orang yang tahu banyak tentang hukum, tentang syariat, tentang tafsir,
tentang ilmu, karena orang tersebut akan siap-siap pula menjalankan hukum,
syariat, tafsir, dan ilmu tersebut dengan alasan yang tepat bagi dirinya
maupun kelompoknya, akan tetapi kadangkala dalam pelaksanaannya mempunyai
makna hakiki yang sangat dangkal.
Berbagai jawaban pembenaran itu misalnya: Ini hukum Tuhan, ini sudah taqdir
Tuhan, ini dibolehkan syariat agama, tidak ada larangannya kok, ini
dicontohkan oleh Rasulullah dulu. Dan berbagai alasan hebat lainnya…
Duh…, yakin benar kita bahwa kita bisa paham dengan makna hakiki dari hukum
Tuhan itu, yakin benar kita bahwa kita bisa mengerti suasana DADA Rasulullah
saat Beliau menjalankan hukum-hukum tadi itu. Mungkin tidak banyak kita yang
paham bahwa setiap hukum syariat agama dan contoh-contoh dari Rasulullah itu
ada sunatullahnya, ada fitrahnya, untuk setiap zaman yang berbeda. Dan yang
akan menang atau dominan pengaruhnya adalah syariat atau hukum agama yang
sesuai dengan sunatullah di zamannya.
Mari kita lihat agak sejenak masalah ayat-ayat poligami ini dari
kacamata sunatullah, fitrah…
Kita lihat dulu dasar hukum yang sangat populer dirujuk oleh orang-orang yang
berperang kata tentang poligami ini:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya. (An Nisaa’ 3)
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri
(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (An Nisaa’ 129)
Dari dua ayat yang sederhana ini seharusnya kita juga bisa berfikir tak kalah
sederhananya. Bahwa wajar saja sebenarnya kalau ada yang setuju dengan
poligami ini dan ada pula yang tidak setuju. Dua-duanya sangat-sangat
terwakili oleh ayat 3 surat An Nisaa’ ini. Oleh sebab itu sebenarnya tidak
perlu ada yang marah-marah satu sama lainnya. Siapapun yang setuju poligami
ini nggak usah marah-marah kepada yang tidak setuju. Begitu pula sebaliknya,
siapapun yang tidak setuju poligami ini nggak usahlah maksa-maksa orang lain
untuk berpoligami pula seperti dirinya. Poligami ini logika berfikir kita
saja kok. Dan logika berfikir itu haruslah selaras dengan zamannya. Sebab
kalau tidak maka “alam” di zaman itu sendiri yang akan menolaknya.
Banyak orang mengira bahwa poligami ini adalah suatu perilaku yang
disyariatkan oleh agama Islam. Padahal kalau dicerna ayat diatas sampai
mendapatkan kepahaman, masalah poligami ini nggak ada hubungannya sedikit pun
dengan syariat agama. Poligami itu sudah ada sejak dulu kala, dan akan tetap
ada sampai kapan pun. Jadi ayat-ayat diatas hanyalah bentuk-bentuk jalan
keluar tentang masalah hubungan laki-laki dan perempuan yang mungkin terjadi
yang penyelesaiannya difasilitasi oleh Al Qur’an. Pilihan manapun yang kita
ambil, maka itu akan tetap saja sesuai dengan Al Qur’an.
Jadi orang yang tidak setuju dengan poligami itu tidak berarti bahwa dia
sedang menentang syariat agama. Tidak. Akan tetapi saat itu dia tengah
mengambil alternatif lain yang tersedia, yaitu untuk tidak berpoligami.
Begitu juga sebaliknya, bahwa orang yang tengah menjalankan poligami itu tidak
serta merta dia dianggap telah menjalankan syariat agama dengan baik. Dia
cuma tengah mengambil alterlnatif lain yang difasilitasi Al Qur’an. Jadi
tentang poligami ini, bagi yang menentangnya tidak perlulah marah, kecewa,
dan benci kepada yang mendukung poligami. Dan bagi yang melakukannya tidak
perlu pulalah menjadi sumringah yang berlebihan, mengumbar hujatan kepada
orang-orang yang menentangnya. Ini masalah pilihan saja kok…
Namun, apapun pilihan yang kita ambil, maka ALAM (SUNATULLAH) di zaman kitalah
yang akan menilainya. Disamping itu tiap-tiap diri kita ini punya
sunatullahnya masing-masing pula. Kalau pilihan kita sesuai dengan sunatullah
kita apalagi dengan sunatullah alam di sekitar kita, maka kita akan santai
dan melenggang saja dalam menjalani hidup kita. Akan tetapi tatkala pilihan
yang kita ambil tidak selaras dengan sunatullah kita dan sunatullah di zaman
kita, maka kita akan terseok-seok. Kita akan capek untuk JAIM (jaga image)
dalam setiap tindakan kita. Senyum kita JAIM. Omongan kita JAIM dan pembelaan
diri semata.
Percayalah…, bahwa kita sebenarnya tahu persis tentang apakah kita itu sedang
mengalami kesulitan, atau sedang jaim, atau sedang mendapatkan kemudahan
dalam menjalani hidup kita ini. Kita TAHU PERSIS itu. Ya…, ada yang tahu
terhadap apapun yang menimpa diri kita… Itulah BASHIRAH, Sang diri kita yang
sejati.
“Bahkan pada manusia itu diatas dirinya (NAFS) ada yang tahu (BASHIRAH). (Al
Qiyamah, ayat 14)
Nah…, dalam hal poligami ini, silahkan saja kita masing-masing berlogika
dengan pilihan kita itu. Misalnya, ada yang logikanya lebih mengarah kepada
segi seksologi, atau sosiologi, atau budaya, atau ekonomi, dan
lain-lain sebagainya. Silahkan saja. Dan alasan-alasan seksologi seperti:
lebih baik berpoligami dari pada TTM, atau lebih baik dari pada zina, dan
sejenisnya adalah alasan yang paling rendah dan dangkal sebenarnya. Alasan
hewani.
Kalau kita lanjutkan untuk meneliti ayat 129 surat An Nisaa’ diatas, maka
kita seperti disadarkan oleh Allah tentang sifat dasar seluruh umat manusia,
bahwa tidak ada satu pun diantara kita ini yang akan bisa bersikap ADIL,
walau kita ingin sekali untuk bersikap ADIL itu. Disini Allah tidak
menjelaskan apakah adil itu dari segi materi atau dari segi rasa cinta dan
kasih sayang. Tidak ada penjelasannya. Tapi banyak ulama yang memelintir ayat
ini sehingga adil itu hanyalah sebatas hal-hal yang bersifat lahiriah saja
seperti pakaian, harta, tempat, dan giliran. Mungkin mereka sadar juga bahwa
adil tentang cinta memang tidak akan pernah ada selamanya dalam diri seorang
manusia. Padahal ayat diatas menegaskan bahwa ADIL yang dimaksud Allah itu
adalah ADIL yang UTUH…, PENUH. Dan itu memang tidak akan pernah ada pada diri
umat manusia. Karena ADIL itu memang semata-mata adalah Selendang Allah, Sang
AL ADLU…
Artinya apa…?.
Bahwa ternyata Al Qur’an dengan sangat manis dan halus sekali mengajari kita
tentang sebuah proses revolusi budaya dan peradaban yang sangat hebat di
bidang perkawinan umat manusia. Dahsyat sekali proses perubahan budaya
perkawinan itu digiring oleh Al Qur’an. Dari poligami dengan puluhan wanita
di zaman sebelum Nabi Muhammad SAW, lalu dikurangi oleh Nabi dengan
mencontohkan berpoligami dengan sembilan istri. Delapan diantara istri Beliau
itu dinikahi Beliau setelah Beliau menjalani monogami dengan Bunda Khadijah
selama lebih kurang 26 tahun.
Dalam hal poligami Rasulullah ini, sejarah mencatat bahwa logika berfikir
Rasulullah saat melakukan poligami itu sungguh sangat pas dengan keadaan
masyarakat saat itu. Misalnya, Beliau menikahi janda-janda tua yang umumnya
suaminya mati saat perang membela Islam, atau untuk mengembangkan Islam, dan
sebagainya.
Kemudian Al Qur’an merevolusi budaya dan peradaban umat manusia lagi tentang
poligami ini. Bahwa kalau seorang laki-laki itu bisa ADIL, maka nikah itu
maksimum boleh dengan empat wanita sekaligus, atau tiga, atau dua. Dan kalau
tidak sanggup untuk ADIL, maka nikahilah satu orang wanita saja. Akan tetapi
dalam waktu yang bersamaan, Allah juga menegaskan dengan amat sangat, bahwa
seorang laki-laki TIDAK akan pernah bisa adil, walau sang lelaki ingin sekali
untuk adil itu.
Sungguh luar biasa sekali, bahwa sebenarnya Al Qur’an tengah membawa umat
manusia untuk merevolusi budaya perkawinannya dari budaya POLIGAMI menjadi
budaya MONOGAMI. Indah sekali cara Al Qur’an menggiring kita untuk mau
berbudaya MONOGAMI ini.
Nah…, bagi orang yang ingin berpoligami, setelah mendengarkan ketegasan Allah
diatas, maka semuanya jadi terserah kepada kita masing-masing saja lagi. Apa
kita mau mendengarkan atau tidak terhadap sinyalemen kuat Allah tadi tentang
tidak bisa adilnya umat manusia ini. Ya…, itu terpulang kepada keputusan kita
sendiri saja. Allah tetap membuka ruangan bagi siapa pun juga untuk
berpoligami. Masing-masing keputusan itu sudah ada akibat-akibatnya sendiri
yang mengikutinya. Cuma rasa-rasanya kalau kita tidak ikut petunjuk Allah,
kok kita ini sombong amat ya….
Oleh sebab itu, untuk dasar-dasar berpoligami ini dari sisi KEADILAN
sebenarnya sudah ditutup oleh Allah. Tapi dengan logika berfikir manusia, ada
saja orang yang membukanya. Bahwa adil itu hanyalah adil dalam hal harta, dan
giliran. Bukan dalam hal cinta. Huh…
Dan kalau ada yang masih ngotot untuk berpoligami, dan sunatullahnya sendiri
saat itu tidak mendukung dia untuk berpoligami, maka alam sendiri akan
menentangnya. Orang yang tidak selaras dengan alam, maka dia akan kecapekan
sendiri, paling tidak untuk JAIM (jaga image), atau bahkan PAMER.
Kalau begitu sunatullah poligami itu adakah…?. Ada…
Contohnya adalah sunatullah Rasullullah dalam berpoligami. Dasar poligami
Beliau bersih dari pengaruh dan dorongan HAWA NAFSU Beliau. Posisi Beliau
berada di puncak, yaitu posisi NOL sehingga:
“…dan bukanlah engkau yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang membunuh
mereka. Dan tiadalah engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan
Allah-lah yang melempar …”, (Al Anfal 17)”.
“…Apabila Aku mencintai hambaku, maka Aku merupakan pendengarannya yang ia
pergunakan untuk mendengar, Aku merupakan penglihatan yang ia pergunakan
untuk melihat, Aku merupakan tangan yang ia pergunakan untuk menyerang dan
Aku merupakan kaki yang ia pergunakan untuk berjalan. Seandainya ia memohon
kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya, seandainya ia berlindung
kepada-Ku, niscaya Aku akan melindunginya. ( HR Bukhari)
Pada posisi seperti ini, Beliau hanya tunduk, Wuquf, menunggu perintah dan
tuntunan Allah. Beliau hanya menunggu dengan kerinduan. “Tugas hamba ini
apalagi ya Allah…?”, rintih Beliau dengan penuh harap, rindu, dan gembira.
Sehingga jadilah poligami yang dilakukan Beliau menjadi sebuah proses yang
memberikan kemashlahatan bagi wanita-wanita yang Beliau nikahi serta untuk
memudahkan Islam berkembang saat itu. Umumnya Beliau menikahi janda-janda
yang jauh lebih tua dari istri Beliau Aisyah. Sungguh sebuah posisi yang
sangat sulit untuk diikuti orang-orang saat ini.
Sedangkan dasar-dasar yang lainnya hanyalah dua saja. Pertama, KESEPAKATAN
antara suami istri yang akan menjalankan poligami itu, atau kedua PEMAKSAAN
sepihak seorang suami terhadap istrinya agar mau dimadu. Ya…, pilih
kesepakatan atau pemaksaan… itu saja…
Nah untuk kesepakatan ini, carilah alasan yang cocok dengan masing-masing
kita. Ada sunatullahnya masing-masing. Alasan yang paling banyak dipakai
orang untuk berpoligami adalah karena masalah keturunan. Keluarga yang tidak
punya keturunan, dan wanitanya sudah tidak bisa lagi hamil dan memberikan
keturunan, maka sang suami bisa membuat kesepakatan dengan istrinya agar dia
bisa beristri lagi. Kalau sepakat, maka poligami adalah sebuah hal yang
niscaya saja sebenarnya. Masalah istri tua akan sakit hati, atau merasa
tersiksa dengan adanya madunya tersebut, itu sudah masalah lain lagi. Kalau
tidak sepakat, maka ada lagi sunatullahnya, misalnya, akan sering terjadi
pertengkaran diantara suami istri itu, atau rumah tangganya menjadi dingin,
atau bahkan bisa juga terjadi perceraian. Kalau sudah begini, maka akan ada
pihak yang menderita (istri) dan ada pihak yang beruntung (suami).
Kalau pihak lelakinya yang tidak bisa memberikan keturunan, maka jalan keluar
satu-satunya yang umum kalau tidak mau meneruskan hubungan pernikahan itu
adalah melalui perceraian. Sang istri direlakan oleh sang suami untu menikah
lagi.
Namun sangat banyak pula terdapat keluarga-keluarga yang walaupun mereka
tidak diberikan keturunan, namun mereka tetap SEPAKAT untuk bermonogami. Ya
silahkan saja…!. Selama ada kesepakatan antara suami dan istri tersebut, dan
masing-masing berkomitment dengan kesepakatan itu, maka kebahagiaan juga
adalah hal yang niscaya saja bagi mereka.
Hal-hal lain yang bisa disepakati pula adalah masalah ketidakseimbangan
LIBIDO antara suami dan istri. Ada suami yang libodonya sangat tinggi
sementara libido istrinya hanya biasa-biasa saja. Kalau yang begini, maka
harus ada kesepakatan-kesepakatan yang diambil oleh keduanya. Apakah
kesepakatan itu untuk membolehkan suaminya berpoligami, atau kesepakatan
untuk tetap bermonogami dan membiarkan sang suami berada dalam kesulitan
mengendalikan libidonya, atau kesepakatan terakhir adalah untuk bercerai dan
membiarkan suaminya mengawini wanita lain (karena dia tidak sanggup untuk
dimadu).
Kondisi tidak mampunya seorang istri memberi keturunan (mandul) atau masalah
libido suami yang berlebihan tersebut adalah bentuk sunatullah yang salah
satu jalan penyelesaiaan bisa melalui poligami. Jadi poligami itu hanyalah
salah satu jalan keluar saja, dan bukan jalan keluar satu-satunya.
Nah…, diluar itu, mandul dan libido berlebihan, dasar-dasar poligami yang
terjadi lebih banyak disebabkan oleh tidak kuatnya seorang lelaki menghadapi
godaan dari seorang wanita. Jadi masalah DORONGAN HAWA NAFSU saja sebenarnya
penyebabnya. Biasanya prosesnya diawali dengan pertemuan-pertemuan yang rutin
antara seorang suami dengan wanita lain. Bagi suami yang punya nama
dimasyarakat, pertemuan itu biasanya juga dilakukan secara sembunyi-sembunyi
baik di dalam maupun di luar negeri. Konon kabarnya, seorang yang cukup punya
nama di negara ini, sebelum berpoligami dia pernah bertemu dengan istri
barunya tersebut beberapa kali di Singapore.
Poligami dengan dasar tidak kuatnya seorang suami menahan kuatnya dorongan
hawa nafsu tersebut, biasanya akan berujung pada nikah yang dinamakan NIKAH
SIRRI, nikah yang katanya sah secara agama. Kalau begini, tidak ada kesepakatan
awal yang diambil oleh seorang suami dengan istrinya untuk dia bisa
berpoligami. Akhirnya, seiring dengan waktu, sang suami akhirnya melakukan
PEMAKSAAN kepada istrinya agar istrinya tersebut mau untuk dimadu. Walau pada
awalnya seorang istri akan kaget dan sakit hati mendengarnya, namun pada
akhirnya banyak pula istri yang setuju. Tidak ada jalan lain lagi soalnya.
Apalagi kalau ditambahkan pula dengan pertimbangan kepentingan anak-anak dari
hasil perkawinan mereka. Mau tak mau sang istri akan menerimanya. Dan sebagai
penghibur hati biasanya sang istri akan lari ke dalam istilah-istilah agama.
Misalnya, agar saya bisa menjadi sabar, agar suami tidak menjadi penghalang
saya dalam mencintai Tuhan, dan sebagainya.
Dengan logika berfikir seperti diatas, maka saya sendiri berpendapat bahwa
masalah poligami ini bukanlah masalah halal atau haram, bukan masalah ikut
sunnah Rasul atau tidak, bukan masalah boleh atau tidak, bukan masalah kafir
atau tidak. Tapi poligami itu adalah salah satu alternatif jalan keluar dari
sunatullah yang dihadapi oleh sebuah keluarga, atau bisa juga menjadi sebuah
cermin ketidakberdayaan seorang suami menghadapi dorongan hawa nafsunya
terhadap daya tarik wanita idaman lain. Dan yang tahu alasan-alasan itu
adalah kita sendiri-sendiri…, sebab pada diri kita ini masing-masing ada yang
tahu (bashirah).
Dan kita sendiri jugalah yang tahu atas ada atau tidaknya rasa keangkuhan
saat kita melakukan poligami tersebut. Bahwa kita ini sudah merasa bisa adil
sehingga kita merasa bisa pula untuk berpoligami. Lihatlah alasan-alasan yang
biasanya diungkapkan oleh orang yang berpoligami itu:
Afirmasi dan logika Berfikir
Sekarang marilah kita tengok hubungkan antara keputusan-keputusan yang kita
ambil dengan afirmasi-afirmasi yang kita lakukan terhadap otak kita. …
Salah satu cara untuk menambah dan memperbanyak file keadaan atau suasana
yang ada di dalam otak kita adalah dengan cara kita berulang-ulang kali
mengucapkan sebuah kata, sebuah kalimat, atau ungkapan-ungkapan yang kita
yakini kebenarannya, Afirmasi…!.
Kalau kita lihat, afirmasi itu juga merupakan sebuah proses yang menarik:
Dalam prakteknya, afirmasi ini bisa dalam bentuk pengajian, pelatihan,
membaca buku pengalaman orang lain, dimana aktivitas itu kita lakukan berulangkali.
Atau bahkan hanya dengan sekedar mendengarkan dan melihat sesuatu dengan
tidak sengaja juga bisa menjadi bentuk sebuah afirmasi bagi kita.
Sebuah afirmasi akan memberikan hasil yang sangat baik tatkala kita bisa
menyusun:
Nah…, untuk proses afirmasi itu, setiap orang baik yang berlatar keagamaan
atau tidak, akan mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan afirmasi ini
dengan menggunakan berbagai kalimat, bentuk, rupa, warna, dan sebagainya.
Sedangkan objek fikir untuk afirmasi ini umumnya bagi seseorang adalah
berupa HARTA, TAHTA, WANITA (bagi seorang pria) atau PRIA (bagi seorang
wanita), dan yang tertinggi adalah TUHAN.
Mari kita bahas objek fikir Afirmasi ini sedikit agak detail.
Misalnya, ada orang yang bisa memakai uang (yang bisa mewakili berbagai macam
harta benda) sebagai alat afirmasinya dalam bekerja, sehingga begitu dia
mendapatkan uang yang lebih dari yang dia inginkan, maka otaknya langsung
mengeluarkan enzim kesenangan. Dia menjadi ekstasis. Dan secaca otomatis
pula, memorinya terhadap dominasi peran uang dalam hidupnya akan bertambah
pula di dalam otaknya. Dia akan merasa bahwa kebahagiaan baru bisa dia
dapatkan kalau dia sudah memperolah uang yang berlimpah ruah… Biasanya kalau
afirmasinya adalah dalam bentuk uang atau kebendaan ini, nyaris saja orang
bisa bekerja, berkarya dan berkreasi dengan tanpa batas. Hasilnya pun seperti
mencengangkan kita. Ada energi yang sangat hebat yang mengalir melewati otak
dan dada kita agar kita terus mencari dan mencari harta tersebut.
Akan tetapi, pada suatu saat nanti, kita akan berada pada titik BOSAN. Dimana
harta yang berlimpah ruah itu sudah tidak mampu lagi membuat otak kita
menjadi ekstasis. Walaupun kita tetap rakus dengan uang, akan tetapi kita
mulai merindukan kembali kemasa-masa sulit, kembali ke rumah gubuk, kembali
kealam luas, kembali kemenu makanan yang sangat sederhana, dan kemudian kita
akan bergerak kepada kebutuhan yang bukan materi lagi. Misalnya kepada
aktualisasi diri, dan sebagainya. Berbagai teori manajemen bolehlah dibuka
untuk hal ini. Banyak sekali teori tentang ini. Silahkan lihat dan baca
sendiri …
Tahta dan wanita (pria) juga bisa menjadi alat motivasi kita dalam kegiatan
keseharian kita. Dan pada dasarnya prinsip-prinsip dan pengaruhnya sama saja
dengan afirmasi dengan memakai uang seperti diatas. Jadi dalam tingkat alam
atau kebendaan, siapa saja akan sama hasilnya kalau dia mampu menjadikan alam
atau benda itu sebagai alat baginya dalam mengafirmasi dirinya. Syaratnya
sederhana saja dan hasilnya juga nyaris sama saja. Kalau kita bisa
berkali-kali membenamkan ke dalam otak kita sebuah kata-kata afirmasi yang
terpola rapih dan menimbulkan semangat, tujuan jelas, target terarah, rentang
waktu terukur, reward and punishment jelas, maka hampir dapat dipastikan
bahwa afirmasi itu akan terlaksana dengan baik dan dalam rentang waktu yang
tidak banyak melesetnya dari rencana kita. Cobalah…, sebab tanpa sadar kita
yang sekarang ini sebenarnya adalah produk afirmasi kita di zaman lampau.
Yang lebih menarik sebenarnya untuk dibahas adalah afirmasi dengan memakai
objek fikir yang abstrak. Misalnya kita bisa mengafirmasi diri kita untuk
menjadi baik dan bahkan lebih baik lagi dengan mengulang-ulang membaca,
mengingat, membahas, dan mengurai ayat-ayat Al Qur’an atau hadist-hadist Nabi
yang berkenaan dengan kedahsyatan huru-hara Hari Kiamat. Kita benamkan terus
ke dalam otak kita tentang betapa dahsyatnya hari kiamat itu kelak. Kita
kupas betapa tanda-tandanya sudah sangat banyak muncul saat ini. Akhirnya
kita ketakutan sendiri bahwa jangan-jangan kiamat itu sudah sangat dekat
kejadiannya. Karena takut itu, lalu kita memaksa-maksakan diri kita untuk
beribadah dengan semangat empat lima, untuk berbuat dan beramal dengan baik.
Dalam keseharian pun omongan kita akan menjadi seperti orang yang paling tahu
tentang masalah hari kiamat itu. Kita menjadi si AHLI tentang HARI KIAMAT.
Kita sibuk melihat tanda-tanda kiamat yang katanya sudah sangat dekat. Kita
sibuk berkampanye agar orang-orang menyiapkan diri untuk menghadapi DAJJAL.
Kita siap-siap untuk berperang dengan DAJJAL. Kita juga sibuk menunggu
turunnya IMAM MAHDI dan ISA AL MASIH yang konon kabarnya adalah sosok-sosok
yang akan menjadi pimpinan umat Islam dalam menghadapi DAJJAL kelak. Dalam
masa penantian ini, banyak pula umat Islam yang menjadi utopia, pemimpi di
siang hari, apa-apa yang sudah terpegang ditangan malah sengaja dibuang. Bak
kata pepatah, harapkan burung terbang tinggi, punai ditangan malah
dilepaskan. Sehingga pada akhirnya kita umat Islam ini kembali tertinggal
dalam membangun peradaban di zaman kita sendiri, sementara orang-orang BARAT
yang kita anggap sebagai cikal bakal pasukan DAJJAL itu malah bisa membangun
peradaban dunia dengan kecepatan, kuantitas, dan kualitas yang sangat
mencengangkan.
Itu baru sebuah contoh saja. Padahal seluruh ajaran agama baik itu agama
Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya adalah kumpulan dari berbagai
afirmasi yang akan mempengaruhi hidup penganutnya sepanjang masa. Semakin
kuat afirmasi itu ditanamkan ke dalam otak seseorang, maka semakin sulit pula
orang tersebut untuk merubah kepercayaan yang dia pegang atas kebenaran
ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Apalagi kalau dalam praktek keagamaan
yang dijalankan seseorang tersebut melibatkan pula berbagai macam keajaiban,
miracle, atau mu’jizat. Misalnya, saat seseorang sudah capek berobat
kemana-mana untuk menyembuhkan penyakit yang dia derita, maka dengan sebuah
afirmasi yang kuat, orang tersebut lalu sembuh, maka saat itu pula
kepercayaan orang tersebut atas kebenaran ajaran agama yang dia anut itu akan
bertambah dengan kuat pula. Kita kenal kalimat-kalimat seperti berikut: Ini
berkat Tuhan. Ini dari Tuhan. Ini adalah atas karunia Tuhan. Ini atas kasih
Tuhan Yesus (kata umat Kristen), dan sebagainya.
Kalau sudah begini, maka hanya rahmat Tuhan sajalah yang akan mampu
mengarahkan kita mengantarkan rasa terima kasihnya ke alamat yang tepat.
Banyak memang alamat yang bisa kita pakai sebagai alamat itu. Tapi hanya ada
SATU alamat yang meliputi semua alamat-alamat yang banyak itu. Yaitu alamat
Yang Maha Meliputi segala sesuatu. Kepada Tuhan Yang Hakiki, yang tiada lagi
Tuhan selain Dia. Untuk alamat itu Allah sudah mengisyaratkannya dalam ayat
berikut ini:
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang beriman sangat besar cintanya kepada Allah… (Al Baqarah, 2:165)
Mereka menjadikan orang-orang alim, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan
selain Allah, dan juga mereka mempertuhankan Al Masih putra Maryam, padahal
mereka hanyalah disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain
Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (At Taubah, 9:31)
Keberhasilan Afirmasi…
Sebuah afirmasi dikatakan berhasil tatkala dengan afirmasi itu memunculkan
KEINGINAN atau KEHENDAK di dalam DADA kita untuk melakukan sebuah peran atau
aktivitas sesuai dengan maksud afirmasi tersebut. Kehendak itu seperti
mempunyai DAYA yang begitu besar agar kita segera bergerak, berfikir, ataupun
berkarya, sehingga halangan sebesar apapun rasanya bisa kita terjang dan
lalui dengan mudah. Rasa sakit pun akan bisa sampai tidak terasa
sedikitpun.
Mari kita lihat beberapa contoh berikut ini…
Seringkali kita lihat di acara TV sekelompok orang dari aliran Syiah yang
mengafirmasi dirinya untuk merasakan penderitaan cucu Rasulullah, Al Husein,
yang dibunuh oleh lawan politik Beliau (Mua’wiyah). Untuk itu orang-orang
yang sangat memulyakan Al Husein tersebut, pada peringatan hari Asyura (10
Muharram), melakukan ritual memukuli tubuh mereka dengan rantai besi yang
berat dan kadang-kadang tajam pula. Walau darah bercucuran dipunggung mereka,
tapi mereka malah merasa bahagia, ekstasis. Sebab mereka bertahun-tahun
diafirmasi bahwa dengan melukai tubuh tersebut mereka seperti ikut merasakan
pedihnya penderitaan Al Husein. Dari kecil sampai tua, ritualnya begitu terus
selama bertahun-tahun, sehingga kalau dilarang-larang oleh orang lain, maka mereka
akan melawan mati-matian. Perang pun akan mudah tersulut kalau sebuah ritual
yang menimbulkan rasa ekstasis bagi pelakunya dilarang-larang oleh orang lain
yang tidak setuju dengan ritual tersebut.
Acara yang nyaris serupa juga sering dilakukan oleh umat Kristen untuk
merasakan penderitaan Yesus (Nabi Isa dalam agama Islam) yang konon kabarnya
di paku di tiang salib oleh lawan-lawan politik Beliau. Dengan afirmasi yang
kuat, di Philipina misalnya, ada pula ritual mencontoh keadaan tersalibnya
Yesus tersebut. Walaupun tangan dan kaki mereka berdarah dipaku ke tiang
salib, tapi mereka seperti tidak merasakannya. Dengan afirmasi, mereka
seperti berada diatas RASA SAKIT, sehingga derita sekeras apapun yang menimpa
mereka, mereka seperti sudah tidak merasakannya lagi.
Ritual dalam aliran agama Hindu tertentu pun sangat sering seperti ini.
Menyakiti tubuh. Ada ritual rutin (mungkin) setahun sekali dimana penganut
aliran tersebut berpawai sambil menancapkan pedang ataupun berbagai macam
besi runcing ketubuh mereka. Walau tubuh mereka bolong-bolong ditembus besi
runcing, tapi mereka seperti tidak merasakan kesakitan sedikit pun. Bahkan
setetes darah pun tidak keluar dari bekas tusukan pedang itu. Mirip seperti
debus dan kuda lumping itulah kalau di Indonesia.
Saat ini, model-model peradaban yang mencontoh ritual seperti diatas juga
marak ditengah-tengah masyarakat, yaitu Piercing. Kita sering melihat
anak-anak muda maupun generasi tua yang tubuhnya ditindik disana sini,
dibolongi disana sini. Misalnya di bibir, di lidah, di hidung, di telinga, di
pusar, di payudara, dan bahkan juga di wilayah yang sangat pribadi sekali
pun, ditusuk dan ditempeli dengan berbagai bahan dari metal.
Kalau kita melihat ritual pada aliran tertentu dalam agama Hindu seperti
tersebut diatas dan juga teknik-teknik Piercing, maka ritual Asyura yang
dilakukan oleh penganut aliran Syiah sepertinya sudah ketinggalan dalam hal
“teknologi afirmasi”.
Menurut pemahaman saya sendiri, ada teknologi afirmasi pamuncak yang telah
diwariskan oleh Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia. Hasil
dari teknik afirmasi warisan Nabi Muhammad itu adalah sebuah suasana “laa
khaufun ‘alaihim walaa hum yahzanuun…, suasana tidak ada rasa khawatir, tidak
ada rasa sedih”. Suasana DIATAS SEMUA RASA, yang posisinya berada di AL
A’RAAF (tempat tertinggi). Sebuah alamat yang posisinya adalah diatas Syurga
dan Neraka. Rasulullah saat berada di AL A’RAAF ini bisa melihat dan memahami
Realitas dari kehidupan Syurga dan Neraka (yang disebut juga sebagai alam
Akhirat) dengan begitu gamblangnya.
Afirmasi yang diwariskan oleh Beliau itu sederhana sekali, sangat sederhana
sekali malah, namun begitu Dahsyatnya, sungguh…., yaitu:
ALLAH…, lalu ….. Derrr… !.
Adapun afirmasi-afirmasi yang lainnya, seperti: Laa ilaha illallah,
Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, Laa haulawala quwwata illa billah,
Inna lillahi wa inna ilahi raji’un, dan sebagainya…, pastilah akan membawa
kita kepada ALLAH. Lalu biarkan sajalah kita dituntun-Nya selangkah demi
selangkah menuju kepahaman dan kesaksian (SYAHID) terhadap Diri-Nya Sendiri…
Semuanya itu pastilah akan membawa dan menuntun kesadaran kita menuju
KESAKSIAN kepada-Nya. Kalau sudah bersaksi, maka barulah kita pantas
mengucapkan kesaksian kita langsung ke WAJAH-NYA:
“Asyhadu an laa ilaha illallah, benar…, saya bersaksi bahwa Engkau adalah
Allah, sedangkan apapun yang lainnya yang berada dalam liputan Wajah-Mu,
tidaklah begitu penting lagi bagi saya…. Wa asyhadu anna muhammadan
rasulullah, dan benar ya Allah bahwa ternyata apa yang diajarkan oleh
Muhammad tentang Engkau terbukti bagi saya kebenarannya, maka dengan ini saya
akui bahwa Beliau adalah Rasul-Mu, utusan-Mu. Lalu ajaran-ajaran dan
afirmasi-afirmasi yang lain dari apa yang Beliau wariskan sudah tidak begitu penting
lagi bagi saya…”.
Akan tetapi, kalau afirmasi-afirmasi yang sekian banyak itu itu tidak
menuntun dan menggiring kita kepada ALLAH, Sang Laisa kamistlihi Syai’un,
maka afirmasi itu bisalah disebut sekedar afirmasi angguk-angguk dan
geleng-geleng seperti kata sebuah lagu. “Ngguk angguk angguk, leng geleng
geleng, ngis tangis tangis…”.
Sebab banyak pula orang yang memakai kata ALLAH ini sebagai kalimat
afirmasinya, akan tetapi dia tidak sampai, terhalang, tercover, kafir, untuk
sampai “duduk bersanding dan pandang memandang dengan ALLAH”. Dia memang
tetap memanggil Allah, akan tapi dia hanya sampai ke posisi bersanding dan
saling berpandangan dengan patung. Dia memang memanggil Tuhan, tapi dia malah
bersanding dan saling memandang dengan benda, dengan cahaya, dengan tangisan,
dengan alam, dengan jin, dengan syetan, dengan harta, dengan ilmu, dengan
paham, dengan aliran-aliran, dengan persepsi, dan sebagainya. Semuanya itu
seperti silih berganti melambai-lambaikan tangannya kepada kita agar kita mengikuti
mereka, agar kita datang kepada mereka, agar kita mau menjadi budak
mereka.
Padahal kalau kita sudah ada kepercayaan (Iman) kepada Allah, maka semua
lambaian itu tadi tinggal kita tolak… LAA ILAHA…, tolak semua, abaikan semua.
Lalu saling bersanding dan saling memandanglah dengan WUJUD Yang tidak bisa
ditolak lagi. Di tolak bagaimana pun juga Dia sudah tidak bisa ditolak lagi.
Kalau sudah tidak ada lagi yang bisa kita tolak. Hanya tinggal Wujud Abadi…,
maka teguhkanlah: ILLA ALLAH…, kecuali hanya Engkau saja lagi Yang ADA.
ALLAH…!. Kalau sudah begini barulah kita pantas untuk memanggil Wujud ABADI
tersebut dengan sebutan ALLAH, tanpa kita tersasar-sasar lagi kearah yang
salah.
Kita tinggal memanggil:
ALLAH…, lalu ….. Derrr… !.
Lalu kita amati dengan seluruh kekaguman kita bagaimana Dia Maha Sibuk, Maha
Aktif mengatur segala sesuatu. Kita amati bagaimana Dia mengalirkan berbagai
kehendak-Nya ke dalam dada setiap manusia sehingga manusia itu seakan-akan
punya kehendak dan daya untuk melakukan sesuatu, untuk berkarya. Kita pandang
bagaimana Dia mengalirkan berbagai macam ilmu ke dalam otak kita, ke dalam
otot kita, ke dalam kulit kita. Bahkan kita amati pula bagaimana Dia
mengalirkan Rasa Iman ke dalam tubuh kita, ke dalam kulit kita, ke dalam dada
kita, ke dalam aliran darah kita, sehingga semuanya itu nanti bisa bersaksi
bahwa memang kita adalah orang yang tidak hanya beriman kepada ALLAH,
akan tapi juga telah BERSAKSI (SYAHID) kepada ALLAH. Subhanallah…
Buah Yang mengherankan…
Yang sangat menarik dari afirmasi ini adalah bahwa apa-apa yang kita lakukan
sangatlah terikat erat dengan afirmasi kita itu. Bahwa ternyata
afirmasi-afirmasi yang kita benamkan ke dalam otak kita sepanjang waktu itu,
akan sangat-sangat mempengaruhi aktifitas, perilaku, perbuatan, dan logika
berfikir kita sepanjang waktu.
Seseorang yang sering mengafirmasi dirinya bahwa dirinya adalah seorang ustad
atau ulama penerus dan pewaris Nabi, maka dari waktu kewaktu, dari hari
kehari, setiap saatlah, kalau dia sedang berhadapan dengan orang lain, dia
akan mengungkapkan ungkapan-ungkapan seperti ungkapan Nabi. Dia akan
berda’wah, dia akan mengingatkan orang, dia akan melarang orang untuk
melakukan ini dan itu, dia akan menyuruh orang untuk melakukan ini dan itu.
Walaupun kadangkala dia tidak melakukan apa-apa yang dia sampaikan kepada
orang-orang itu, tapi akibat dia telah mengafirmasi dirinya bahwa dirinya
adalah penerus Nabi dihadapan orang-orang banyak, dia telah belajar agama ,
dia telah dilabeli sebagai seorang ustad, maka dia akan tetap bersikap
sebagai agen pengajak orang lain kearah kebenaran. Dia akan bersikap
seakan-akan dialah orang yang paling tahu tentang syurga dan neraka, tentang
baik dan buruk, tentang hidup dan mati, dan tentang Tuhan tentunya. Paling
nanti saat dia sendirian, dia akan bertanya-tanya sendiri, tadi itu saya
sebenarnya hanya ngomong doang, dan inipun sudah diantisapasi oleh Allah:
bahwa sebenarnya Allah sangat murka kepada orang-orang yang mengatakan
apa-apa yang tidak dia lakukan dan dia tidak paham pula makna hakiki tentang
apa-apa yang dia ucapkan itu.
Orang yang terbiasa mengafirmasi dirinya sebagai seorang yang pluralis, maka
omongannya disetiap saat juga akan tidak jauh-jauh dari pluraslisme itu. Dia
akan bela plurasime, dia akan kampanye tentang pluralisme, dia akan olah dan
kembangkan berbagai logika berfikir dari sudut pandang seorang
pluralis.
Seseorang yang sudah mengafirmasi dirinya bahwa dirinya adalah sebagai
seorang pendeta, seorang gembala, seorang bante, seorang romo, maka hari-harinya,
saat dia berhadapan dengan orang banyak, akan disibukkan pula oleh status
afirmasi tentang status dirinya itu. Dia akan berkhotbah kesana kemari, dia
akan sibuk menggembalakan orang lain yang dianggapnya hanyalah sebagai
domba-domba yang perlu digembalakannya agar tidak tersesat.
Orang yang sudah terbiasa mengafirmasi dirinya sebagai orang yang biasa-biasa
saja ditengah-tengah masyarakat, maka dia juga akan bertindak biasa-biasa
saja. Begitu juga orang yang sudah mengafirmasi dirinya sebagai seorang
spiritualis, atau sebagai seorang pedzikir ulung, atau sebagai seorang yang
bisa mengelola hati, atau sebagai seorang yang mumpuni dibidang spiritual dan
emosional maka diapun akan disibukan pula oleh logika berfikirnya
masing-masing.
Seseorang yang membenamkan afirmasi ke dalam otaknya bahwa dia adalah sebagai
seorang pemburu jin, seorang pemburu hantu, sebagai seorang penyembuh,
sebagai orang yang tahu dan mumpuni dibidang hal-hal yang gaib, maka
hari-harinya akan diisi pula dengan dinia-dunia yang katanya adalah dunia
yang penuh kegaiban.
Akhirnya memang kesemuanya itu terserah kita saja, terpulang kepada
kita. Mau kita afirmasi apa diri kita ini dengan berbagai pilihan yang
ada, it’s up to us… Toh nanti kita sendiri pula yang akan menikmati ataupun
merasakan hasil baik dan buruknya. Sebab Hanya hasilnya nanti itu tidak akan
jauh-jauh dari rasa bahagia disatu sisi dan sengsara disisi yang lain, yang
dalam istilah agamanya disebut sebagai syurga atau neraka.
Lalu kita disibukkan oleh apa…???,
Untuk menjawabnya, tengoklah diri kita masing-masing…, afirmasi macam apa
yang telah dan akan kita benamkan ke dalam otak kita…
Demikian kupasan kita kali ini tentang AFIRMASI…, semoga bermanfaat. Lain
kali kita sambung lagi dengan topik yang lain…
Lhaa…, ini kehendak untuk mengafirmasi diri ini datangnya dari mana ya…?, ada
yang tahu…?
Wassalam
Deka
Jl. Kabel no 16, Cilegon, Banten
Logika Berfikir Admin
February 13, 2008
Install Paket Aplikasi yang Diperlukan Saja
Saudaraku …
Untuk server saja kita mampu memilihkan yang terbaik baginya, lantas bagaimana
untuk diri kita sendiri? Tidakkah kita lupa dengan firman Allah ta’ala
Waktu kita adalah modal kita, waktu di akhirat ibarat kotak-kotak penyimpanan
bekal kita. Satu Jam dari waktu kita ibarat 1 kotak, 1 hari waktu kita
sebanding dengan 24 kotak. Nanti di akhirat kita akan membuka kotak-kotak
perbekalan tersebut, jika jam demi jam waktu kita diisi dengan sesuatu yang
sia-sia, sesuatu yang tidak ada manfaatnya di akhirat, maka kita akan mendapati
kotak tersebut kosong. Jika waku tersebut diisi dengan sesuatu yang bermanfaat
di akhirat, maka kotak tersebut ada isinya. Celaka sekali orang yang ketika
membuka kotak tersebut tetapi selalu mendapat kekecewaan karena isinya kosong.
Jadilah orang yang zuhud yakni orang yang meninggalkan sesuatu yang tidak
bermanfaat di akhirat. Orang yang zuhud seperti admin yang cerdas yang tidak
memasukkan paket aplikasi ke dalam servernya kecuali yang dibutuhkan saja.
Kamis, 22 September 2011
Afirmasi dan Logika Berfikir
Diposting oleh Unknown di 18.45
Afirmasi dan Logika Berfikir
Kali ini saya kan membahas tentang
masalah afirmasi yang ditanyakan oleh salah seorang anggota milis dzikrulah
yang sama-sama kita cintai ini. Saya akan coba ulas melalui sebuah proses
yang terjadi di dalam otak kita yang akan membentuk logika berfikir kita
masing-masing.
Fenomena ini sebenarnya adalah
masalah antara kita dengan otak kita sendiri. Bahwa kita akan ikut saja
apa-apa file memori yang DOMINAN yang ada di dalam otak kita. Oleh sebab itu
semakin banyak file pengetahuan yang ada di dalam otak kita, atau semakin
banyak ruangan tentang keadaan atau suasana yang kita simpan di dalam otak
kita, maka akan semakin banyak pula alternatif berfikir yang akan kita punyai
untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan kita. Dan anehnya lagi,
alasan-alasan pembenaran atas apa-apa yang kita lakukan pun mengalir dengan
sangat meyakinkan sekali. Ada saja alasannya. Berbagai alasan tadi itu
disebut juga sebagai LOGIKA BERFIKIR.
Dan ungkapan-ungkapan diatas akan dibalas pula oleh orang
yang tidak suka poligami dengan ungkapan yang tak kalah serunya. Sehingga
akhirnya kita bermuara pada sebuah ungkapan yang selalu dilantunkan oleh
iblis terhadap umat manusia: Ana khairu minhu…, saya lebih baik dari dia…”,
lalu tahu-tahu kita sudah terjatuh saja menjadi saudara iblis. Tersiksa
sekali tentunya…
Misalnya: dalam bidang olah raga kita INGIN menjadi seorang
juara dalam waktu satu tahun. Kalau gagal maka kita akan terpuruk untuk
selamanya karena ada generasi baru yang siap menggantikan kita. Sebaliknya,
kalau berhasil maka kita bisa bertahan untuk sukses dalam kurun waktu
beberapa tahun lagi. Kalau kondisinya sudah begini, maka kita tinggal buat
sebuah kalimat atau gambaran yang akan menjadikan kita ter-anchor, terbinding
dengan keinginan kita tadi. Bisa jadi kalimatnya hanya sepatah: YESSSS…, atau
hanya sekedar mengepalkan tangan, atau sekedar hirupan nafas yang dalam dan
panjang untuk sesaat. Kalau sudah begini, hampir dapat dipastikan afirmasi itu
akan meningkatkan adrenalin kita yang pada akhir-akhirnya akan menimbulkan
semangat kita untuk berlatih. Tiger Woods, seorang pegolf nomor wahid dunia,
punya cara yang khas untuk afirmasi ini, sehingga di bisa bertahan sebagai
pamuncak olah raga golf dalam waktu yang cukup panjang.
Bismillahirrahmaanirrahiim
Menyiapkan sebuah server merupakan hal biasa bagi seorang
admin. Admin tentu akan menginstall dan mengkonfigurasi server agar resource
yang ada dapat bekerja maksimal serta tidak ada bug-bug yang dapat membahayakan
servernya. Misalkan saja admin diminta untuk menyiapkan server yang akan
digunakan sebagai *web server*. Sistem operasi Linux menjadi pilihannya karena
terkenal sangat stabil.
Pada saat installasi, sampailah admin pada tahapan untuk
menentukan paket aplikasi apa saja yang akan disertakan dalam proses installasi
tersebut.Ada 3 kategori paket aplikasi yang harus admin pilah-pilah:
Admin mulai memilah-milah paket aplikasi yang akan diinstall
Mengapa admin memasukkan program ke server *hanya* yang
diperlukan saja? Dia tidak memasukkan KDE, Mail server, DNS server, dan
seterusnya dari paket-paket yang tidak diperlukan dalam membangun web
servernya? Setidaknya ada 2 alasan penting mengapa admin hanya memasukkan paket
program yang diperlukan saja:
Demikianlah pilihan admin yang cerdas, dia memasukan paket
aplikasi ke dalam servernya hanya paket-paket yang diperlukan saja, apakah
berupa paket utama atau paket pendukungnya. Admin yang cerdas tentu tidak akan
memenuhi servernya dengan paket-paket yang sebenarnya tidak diperlukan.
Mengejar Surga dengan Tenaga Sisa
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali
agar mereka beribadah kepada-Ku” (Adz-Dzariaat: 56)
Mengapa waktu, tenaga, dana dan seluruh resource kita lebih
banyak untuk hal-hal yang bukan tujuan utama kita? Mengapa ketika kita diajak
untuk shalat berjamaah, kita lebih sering mengatakan “Lagi tanggung..”. Ketika
kita diajak untuk menghadiri majelis ilmu syar’i, kita lebih sering mengatakan
“Sedang sibuk…”. Ketika ada kesempatan berinfaq kita mengatakan “Tidak punya
receh..” Kita begitu bersemangat mengejar studi S1, S2 bahkan S3, tetapi tata
cara mandi wajib dan wudlu yang sesuai sunnah saja kita tidak mengetahuinya,
naif sekali bukan?. Coba kita buka agenda kita, adakah tertulis disitu
agenda-agenda untuk akhirat kita?! Wahai manusia yang sangat perlu untuk
dikasihani, engkau berharap surga tetapi mengejarnya dengan sisa-sisa, tidakkah
engkau malu?
Manusia yang cerdas seperti admin yang cerdas yang
menggunakan resource untuk tujuan utamanya, sebagaimana web server maka
resource server digunakan untuk menjalankan fungsi web server. Demikain juga
manusia, manusia mempunyai tugas utama yakni beribadah dengan berbagai
bentuknya.
Saudaraku …
Saudaraku …
Hidup Itu Harus Seimbang
Orang tua kita sering menasehatkan bahwa hidup harus
seimbang, dunia dan akhirat. Nasehat ini sangatlah baik, tetapi seringkali
disalahpahami, ketika seseorang begitu rajin beribadah untuk mengumpulkan bekal
di akhirat, maka orang-orang dengan mencibir mengatakan “Hidup harus seimbang,
jangan akhirat melulu…”Betul sekali bahwa dunia dan akhirat harus seimbang.
Saudaraku, berapa tahun kita akan hidup di dunia? 70 tahunkah? 80 tahunkah?.
Lalu, berapa tahunkah kita akan hidup di akhirat? 1.000 tahunkah? 1.000.000.000
tahunkah? Saudaraku, kita akan hidup di akhirat lebih dari itu, lebih lama dari
1 milyar tahun bahkan kita akan kekal di akhirat kelak.Demi Allah saya tidak
mengatakan “Kalau begitu tinggalkan saja urusan dunia!”. Saya sama sekali tidak
mengatakan demikian, saya hanya mengatakan apakah kita sudah menempatkan
proporsi dunia dan akhirat secara seimbang? Sudahkah kita mempersiapkan untuk
akhirat kita secara semestinya? Atau malah kita hanya mempersiapkan akhirat
kita hanya dengan sisa-sisa, tenaga sisa, waktu sisa, dana sisa…semua serba
sisa-sisa.Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan
dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan
bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai
karunia yang besar” (Al Hadiid: 20-21)
Terakhir Saudaraku, Allah mengingatkan kita dalam sebuah
surat yang Imam Syafi’i rahimahullah berkata tentang surat ini, “Seandainya
Allah tidak menurunkan hujjah kepada manusia kecuali hanya surat ini saja,
niscaya telah mencukupi”, yakni surat Al-Ashr
“Demi waktu. Sesungguhnya semua manusia
benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran”
Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk-Nya sehingga kita
dapat menjadi manusia yang cerdas, manusia yang zuhud, manusia yang sadar diri,
manusia yang mengejar surga dengan resource yang maksimal, bukan dengan
sisa-sisa. Allahu ta’ala a’lam
Afirmasi
dan Logika Berfikir - 2
Memang ada orang yang berkata bahwa kita ini harus
berfikir dengan logika yang jernih. Bahkan ada pula yang
menambahkan bahwa logika yang jernih ini akan semakin mengkilat tatkala dibarengi
pula dengan hati nurani yang bening. Akan tetapi kalau
diperhatikan dengan seksama, istilah-istilah yang mentereng tadi itu (logika
yang jernih dan hati nurani yang bening), larinya tetap saja ke file-file
pengetahuan yang ada di dalam otak kita. Tak lebih. Logika berfikir dari hati
nurani yang jernih itu tetap saja tergantung kepada file pengetahuan yang masuk
atau kita masukkan ke dalam otak kita. Buktinya, siapa yang tidak percaya
bahwa hati nurani seorang bayi adalah hati nurani yang paling bersih???.
Tentunya tidak ada. Hati nurani seoran bayi sangatlah bersih. Akan tetapi
lihatlah bagaimana sederhananya logika berfikir seorang bayi, PASRAH. Dia
hanya PASRAH. Otak sang bayi adalah ibarat kertas putih yang siap untuk
ditulisi dengan berbagai masukan. Lalu beragam isi otaknyalah yang akan
menentukan warna dari logika berfikirnya selama hidupnya nantinya.
Misalnya dalam pergumulan logika berfikir kehidupan
beragama, maka ada puluhan alternatif logika berfikir yang bisa kita masukkan
ke dalam otak kita. Kalau mau berpedoman kepada sejarah awal perkembangan Islam
(pasca kehidupan NABI), maka ada pilihan berupa logika berfikir SUNNI atau
SYI’AH berikut dengan segala turunannya yang juga tak kalah banyaknya. Kalau
mau merujuk ke zaman berikutnya, zaman Al Ghazali dan Rusydi, maka tersedia
pilihan logika berfikir RASIONALIS atau FATALIS. Berikutnya ada pula logika
berfikir yang dibingkai oleh pakem-pakem SUFISTIK atau yang serba SYARI’AT.
Belakangan inipun tersedia pula logika berfikir, yang
katanya modern, yang cenderung mengajak manusia mengembangkan pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham yang
katanya sekularisme, rasionalisme, pluraslisme, kapitalisme, humanisme
liberalisme, empirisisme, cara befikir dikhotomis, desakralisasi, pragamatisme
dan penafian kebenaran agama.
Bahkan pilihan terlawas yang tersedia
disebut dengan logika berfikir Postmodernisme yang telah bergeser kepada
paham-paham baru (yang katanya) berupa: nihilisme, relativisme, pluralisme
dan persamaan (equality). Namun ia dapat dikatakan sebagai
kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme,
rasionalisme dan pluralismenya.
Lihatlah betapa rumit dan beragamnya alternatif logika
berfikir yang tersedia yang bisa kita pilih. Dan nantinya pilihan-pilihan yang
kita ambil itulah yang akan mewarnai hidup kita sehari-hari.
Dalam beragama, misalnya, ada orang yang otaknya
dominan berisi file ilmu agama yang (katanya) bercorak ekstrim, maka logika
berfikir dan bertindaknya juga akan menjadi ekstrim dalam pandangan orang-orang
di sekitarnya yang (katanya) sedang memilih logika berfikir bercorak moderat.
Begitulah, untuk pembenaran bagi logika berfikirnya itupun akan keluar berbagai
alasan yang terlihat benar dan masuk akal bagi orang-orang yang mempunyai file ilmu
pengetahuan yang sama, atau paling tidak bagi orang-orang yang sudah
memposisikan dirinya untuk BINDING kepada suatu logika berfikir agama
tersebut.
Biasanya bagi orang-orang punya file pengetahuan agama
yang banyak, maka alasan yang paling pamuncak yang diambil orang untuk
pembenaran perilakunya adalah karena hal itu sudah taqdir Tuhan. Yaa…, sabda
dan perintah Tuhan lagi yang kita jadikan sebagai konci pamungkas untuk
membenarkan apa-apa yang kita lakukan dan juga untuk menolak apa-apa yang difikirkan
oleh orang lain yang berbeda dengan file pikiran kita. Oleh sebab itu,
hati-hatilah dengan orang-orang yang tahu banyak tentang hukum, tentang
syariat, tentang tafsir, tentang ilmu, karena orang tersebut akan siap-siap
pula menjalankan hukum, syariat, tafsir, dan ilmu tersebut dengan alasan
yang tepat bagi dirinya maupun kelompoknya, akan tetapi kadangkala
dalam pelaksanaannya mempunyai makna hakiki yang sangat dangkal.
Berbagai jawaban pembenaran itu misalnya: Ini hukum
Tuhan, ini sudah taqdir Tuhan, ini dibolehkan syariat agama, tidak ada
larangannya kok, ini dicontohkan oleh Rasulullah dulu. Dan berbagai alasan
hebat lainnya…
Duh…, yakin benar kita bahwa kita bisa paham dengan
makna hakiki dari hukum Tuhan itu, yakin benar kita bahwa kita bisa mengerti
suasana DADA Rasulullah saat Beliau menjalankan hukum-hukum tadi itu. Mungkin
tidak banyak kita yang paham bahwa setiap hukum syariat agama dan contoh-contoh
dari Rasulullah itu ada sunatullahnya, ada fitrahnya,
untuk setiap zaman yang berbeda. Dan yang akan menang atau dominan pengaruhnya
adalah syariat atau hukum agama yang sesuai dengan sunatullah di zamannya.
Mari kita lihat agak
sejenak masalah ayat-ayat poligami ini dari kacamata sunatullah, fitrah…
Kita lihat dulu dasar hukum yang sangat populer
dirujuk oleh orang-orang yang berperang kata tentang poligami ini:
Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An Nisaa’ 3)
Dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An
Nisaa’ 129)
Dari dua ayat yang
sederhana ini seharusnya kita juga bisa berfikir tak kalah sederhananya. Bahwa
wajar saja sebenarnya kalau ada yang setuju dengan poligami ini dan ada pula
yang tidak setuju. Dua-duanya sangat-sangat terwakili oleh ayat 3 surat An
Nisaa’ ini. Oleh sebab itu sebenarnya tidak perlu ada yang marah-marah satu
sama lainnya. Siapapun yang setuju poligami ini nggak usah marah-marah kepada yang
tidak setuju. Begitu pula sebaliknya, siapapun yang tidak setuju poligami ini
nggak usahlah maksa-maksa orang lain untuk berpoligami pula seperti dirinya.
Poligami ini logika berfikir kita saja kok. Dan logika berfikir itu haruslah
selaras dengan zamannya. Sebab kalau tidak maka “alam” di zaman itu sendiri
yang akan menolaknya.
Banyak orang mengira bahwa
poligami ini adalah suatu perilaku yang disyariatkan oleh agama Islam. Padahal
kalau dicerna ayat diatas sampai mendapatkan kepahaman, masalah poligami ini
nggak ada hubungannya sedikit pun dengan syariat agama. Poligami itu sudah ada
sejak dulu kala, dan akan tetap ada sampai kapan pun. Jadi ayat-ayat diatas
hanyalah bentuk-bentuk jalan keluar tentang masalah hubungan laki-laki
dan perempuan yang mungkin terjadi yang penyelesaiannya difasilitasi oleh Al
Qur’an. Pilihan manapun yang kita ambil, maka itu akan tetap saja sesuai dengan
Al Qur’an.
Jadi orang yang tidak
setuju dengan poligami itu tidak berarti bahwa dia sedang menentang syariat
agama. Tidak. Akan tetapi saat itu dia tengah mengambil alternatif lain yang
tersedia, yaitu untuk tidak berpoligami. Begitu juga sebaliknya, bahwa orang
yang tengah menjalankan poligami itu tidak serta merta dia dianggap telah
menjalankan syariat agama dengan baik. Dia cuma tengah mengambil alterlnatif
lain yang difasilitasi Al Qur’an. Jadi tentang poligami ini, bagi yang
menentangnya tidak perlulah marah, kecewa, dan benci kepada yang mendukung
poligami. Dan bagi yang melakukannya tidak perlu pulalah menjadi sumringah yang
berlebihan, mengumbar hujatan kepada orang-orang yang menentangnya. Ini masalah
pilihan saja kok…
Label: NOUNA DHO
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar