Kamis, 22 September 2011

Afirmasi dan Logika Berfikir

Afirmasi dan Logika Berfikir



Kali ini saya kan membahas tentang masalah afirmasi yang ditanyakan oleh salah seorang anggota milis dzikrulah yang sama-sama kita cintai ini. Saya akan coba ulas melalui sebuah proses yang terjadi di dalam otak kita yang akan membentuk logika berfikir kita masing-masing.

Pertama, dalam tulisan-tulisan saya yang terdahulu, saya sudah sampaikan bahwa otak kita ini memang sangat luar biasa sekali. Otak akan merespon sebuah kata, misalnya kata kerja, sama baiknya dengan kita melakukan kerja itu sendiri. Begitu kita baru BERNIAT saja untuk melakukan suatu pekerjaan, sebenarnya otak kita sudah merekamnya sebagai sebuah pekerjaan itu sendiri. Makanya Rasulullah mewanti-wanti, bahwa sering-seringlah kita memikirkan yang baik-baik, meniatkan yang baik-baik, Karena kalau kita sudah berniat baik, maka itu sudah dicatat pahalanya sebagai sebuah perbuatan yang baik.

Sebaliknya Rasulullah masih menghibur kita bahwa kalau kita berniat buruk, maka dosanya belumlah dicatat sampai perbuatan buruk itu kita lakukan. Sebenarnya, ungkapan Rasulullah tentang berniat buruk ini sebenarnya hanya untuk menghibur kita saja. Sebab NIAT BAIK atau NIAT BURUK, sebenarnya dua-duanya sudah dicatat (direkam) oleh otak kita dalam bentuk memori bahwa kita sudah melakukan perbuatan baik atau buruk itu, walau intensitas rekaman itu belum sebesar kalau kita melakukan perbuatan baik atau buruk itu secara nyata.

Setiap kata, perbuatan, penglihatan, pendengaran, dan rasa yang kita alami sehari-hari, akan masuk ke dalam otak melalui system syaraf kita dalam bentuk pesan impuls listrik lemah dan rangsangan pesan kimia yang kemudian setiap pesan itu membentuk jaringan-jaringan memori. Pesan-pesan yang masuk itu dengan kecepatan yang mencengangkan akan mencari file memori yang sama untuk kemudian memori tersebut akan diperkuat dan dipertegas intensitasnya dari yang sebelumnya. Bahkan file memori berbagai kombinasi baru juga bisa dihasilkan dengan mudah. Kalau belum ada filenya, maka akan terbentuklah di dalam otak kita file baru tentang hal itu. Seterusnya begitu, nyaris tanpa batas. Makanya otak kita ini tidak akan pernah penuh dengan berbagai memori yang masuk ke dalamnya seumur hidup  kita.
Nah…, nanti setiap kita menghadapi sebuah masalah dalam hidup kita, maka secara otomatis kita akan mencari tempat lari atau jalan keluar dari masalah itu. Langkah pertama yang terjadi adalah, kita akan lari ke dalam file memori yang ada di dalam otak kita. Kita, walaupun tanpa sadar, akan mencari: ada file solusi apa di dalam otak kita, ada file ruang apa di dalam otak kita, ada file suasana apa yang ada di dalam otak kita. Proses pencarian file memori di dalam otak kita inilah yang disebut dengan PROSES BERFIKIR.

Tapi sayang sekali…, bahwa selama ini orang menganggap bahwa yang berfikir itu adalah otak itu sendiri. Kebanyakan orang menganggap bahwa otak kita itu bekerja dengan sendirinya. Tidak banyak orang yang bisa menyadari bahwa sebenarnya “ada substansi yang bukan otak” yang sedang beraktivitas menyusur memori demi memori yang ada di dalam otak itu. Tentang substansi yang bukan otak ini, lain kali sajalah kita bahas, atau kalau penasaran cobalah lihat uraian saya dalam buku “Membuka Ruang Spiritual”.

Kembali kepada proses berfikir…!.

Cara kita berfikir, cara kita menghadapi masalah, cara kita bertutur kata, cara kita bersikap, cara kita berkesimpulan, cara kita berakhlak, cara kita beradab, cara kita bertindak, sangat-sangat dipengaruhi oleh file macam apa yang ada di dalam otak kita masing-masing. Setiap kita tidak akan pernah bisa keluar dari file memori yang ada di dalam otak kita. Begitu kita keluar dari file memori di otak kita itu, maka kita akan kesulitan, kita akan ketakutan, kita akan blingsatan, kita akan malu, bahkan kita bisa merasa sangat berdosa, yang akhirnya kita akan merasa TERSIKSA sendiri.

Misalnya, file memori yang ada di otak orang Papua yang masih hidup di gunung-gunung dan belum bersentuhan dengan file-file kehidupan modern kota Jakarta, maka koteka bagi laki-laki dan bertelanjang dada bagi perempuan dianggap mereka biasa-biasa saja. Akan tetapi bagi orang yang hidup dan besar di Jakarta, artinya sudah punya file memori tentang peradaban Jakarta, maka tidak akan ada satupun laki-laki yang mau pakai koteka dan perempuan yang bertelanjang dada yang berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum.

Perbedaan cara berfikir yang paling gress yang bisa kita lihat adalah saat bangsa Indonesia menentukan kapan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1427 H. Dengan dalil yang sama, alam yang sama, bulan yang sama, matahari yang sama, tapi dengan pemahaman yang berbeda (artinya file yang dominan di dalam otak pelaku-pelakunya berbeda dengan sangat signifikan), maka jadilah hari Raya itu menjadi DUA hari yang berbeda pula. Bahkan ada pula kelompok orang yang lebarannya sesudah hari yang dua itu.

Dan perbedaan cara berfikir yang super gress saat ini adalah masalah berpoligaminya seorang da’i kondang dari kota Bandung. Orang-orang heboh, ada yang menghujat, ada yang simpati, ada yang mencibir, ada yang senyum-senyum untuk siap-siap menyusul langkah sang da’i kondang tersebut, ada juga yang malah jadi tersenyum sumringah dengan ulah sang da’i kondang tersebut karena memperoleh teman seperbuatan sekelas ikan paus.

Tentang poligami ini, ada orang yang setuju, ada yang menolak, dan ada pula yang biasa-biasa saja menyikapinya. Bahkan dampak dari berpoligaminya sang da’i kondang tersebut, konon, sampai-sampai mengguncang pula ruang istana Presiden RI. Sehingga[Q1]  ada usaha-usaha pemerintah untuk memasung perilaku poligami ini, baik bagi PNS maupun masyarakat umum dan orang-orang terkenal, dengan hukum negara yang cukup berat. Dan tentu saja usaha-usaha pemerintah ini akan mendapatkan tantangan yang sangat keras pula dari pihak-pihak yang mendukung poligami ini, atau paling tidak bagi kelompok yang beranggapan bahwa masalah poligami ini tidak perlu diatur-atur oleh pemerintah. Ramai dah jadinya…

Perbedaan sikap kita ini lebih disebabkan oleh file macam apa yang ada di dalam otak kita masing-masing saat berbicara tentang poligami itu. Kalau dicari dasar hukumnya, ya landasannya masih itu-itu juga dari zaman dulu sampai sekarang. Tapi lihatlah fenomena betapa dari orang ke orang bisa punya sikap yang berbeda untuk sebuah ayat yang sama dan contoh yang sama pula dari Rasulullah.
Fenomena ini sebenarnya adalah masalah antara kita dengan otak kita sendiri. Bahwa kita akan ikut saja apa-apa file memori yang DOMINAN yang ada di dalam otak kita. Oleh sebab itu semakin banyak file pengetahuan yang ada di dalam otak kita, atau semakin banyak ruangan tentang keadaan atau suasana yang kita simpan di dalam otak kita, maka akan semakin banyak pula alternatif berfikir yang akan kita punyai untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan kita. Dan anehnya lagi, alasan-alasan pembenaran atas apa-apa yang kita lakukan pun mengalir dengan sangat meyakinkan sekali. Ada saja alasannya. Berbagai alasan tadi itu disebut juga sebagai LOGIKA BERFIKIR.

Memang ada orang yang berkata bahwa kita ini harus berfikir dengan logika yang jernih. Bahkan ada pula yang menambahkan bahwa logika yang jernih ini akan semakin mengkilat tatkala dibarengi pula dengan hati nurani yang bening. Akan tetapi kalau diperhatikan dengan seksama, istilah-istilah yang mentereng tadi itu (logika yang jernih dan hati nurani yang bening), larinya tetap saja ke file-file pengetahuan yang ada di dalam otak kita. Tak lebih. Logika berfikir dari hati nurani yang jernih itu tetap saja tergantung kepada file pengetahuan yang masuk atau kita masukkan ke dalam otak kita. Buktinya, siapa yang tidak percaya bahwa hati nurani seorang bayi adalah hati nurani yang paling bersih???. Tentunya tidak ada. Hati nurani seoran bayi sangatlah bersih.  Akan tetapi lihatlah bagaimana sederhananya logika berfikir seorang bayi, PASRAH. Dia hanya PASRAH. Otak sang bayi adalah ibarat kertas putih yang siap untuk ditulisi dengan berbagai masukan. Lalu beragam isi otaknyalah yang akan menentukan warna dari logika berfikirnya selama hidupnya nantinya.

Misalnya dalam pergumulan logika berfikir kehidupan beragama, maka ada puluhan alternatif logika berfikir yang bisa kita masukkan ke dalam otak kita. Kalau mau berpedoman kepada sejarah awal perkembangan Islam (pasca kehidupan NABI), maka ada pilihan berupa logika berfikir SUNNI atau SYI’AH berikut dengan segala turunannya yang juga tak kalah banyaknya. Kalau mau merujuk ke zaman berikutnya, zaman Al Ghazali dan Rusydi, maka tersedia pilihan logika berfikir RASIONALIS atau FATALIS. Berikutnya ada pula logika berfikir yang dibingkai oleh pakem-pakem SUFISTIK atau yang serba SYARI’AT.

Belakangan inipun tersedia pula logika berfikir, yang katanya modern, yang cenderung mengajak manusia mengembangkan pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham yang katanya sekularisme, rasionalisme, pluraslisme, kapitalisme, humanisme liberalisme, empirisisme, cara befikir dikhotomis, desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran agama.

Bahkan pilihan terlawas yang tersedia disebut dengan logika berfikir Postmodernisme yang telah bergeser kepada paham-paham baru (yang katanya) berupa: nihilisme, relativisme, pluralisme dan persamaan (equality). Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya.

Lihatlah betapa rumit dan beragamnya alternatif logika berfikir yang tersedia yang bisa kita pilih. Dan nantinya pilihan-pilihan yang kita ambil itulah yang akan mewarnai hidup kita sehari-hari.

Dalam beragama, misalnya, ada orang yang otaknya dominan berisi file ilmu agama yang (katanya) bercorak ekstrim, maka logika berfikir dan bertindaknya juga akan menjadi ekstrim dalam pandangan orang-orang di sekitarnya yang (katanya) sedang memilih logika berfikir bercorak moderat. Begitulah, untuk pembenaran bagi logika berfikirnya itupun akan keluar berbagai alasan yang terlihat benar dan masuk akal bagi orang-orang yang mempunyai file ilmu pengetahuan yang sama, atau paling tidak bagi orang-orang yang sudah memposisikan dirinya untuk BINDING kepada suatu logika berfikir agama tersebut. 

Biasanya bagi orang-orang punya file pengetahuan agama yang banyak, maka alasan yang paling pamuncak yang diambil orang untuk pembenaran perilakunya adalah karena hal itu sudah taqdir Tuhan. Yaa…, sabda dan perintah Tuhan lagi yang kita jadikan sebagai konci pamungkas untuk membenarkan apa-apa yang kita lakukan dan juga untuk menolak apa-apa yang difikirkan oleh orang lain yang berbeda dengan file pikiran kita. Oleh sebab itu, hati-hatilah dengan orang-orang yang tahu banyak tentang hukum, tentang syariat, tentang tafsir, tentang ilmu, karena orang tersebut akan siap-siap pula menjalankan hukum, syariat, tafsir, dan ilmu tersebut dengan alasan yang tepat bagi dirinya maupun kelompoknya, akan tetapi kadangkala dalam pelaksanaannya mempunyai makna hakiki  yang sangat dangkal.

Berbagai jawaban pembenaran itu misalnya: Ini hukum Tuhan, ini sudah taqdir Tuhan, ini dibolehkan syariat agama, tidak ada larangannya kok, ini dicontohkan oleh Rasulullah dulu. Dan berbagai alasan hebat lainnya…

Duh…, yakin benar kita bahwa kita bisa paham dengan makna hakiki dari hukum Tuhan itu, yakin benar kita bahwa kita bisa mengerti suasana DADA Rasulullah saat Beliau menjalankan hukum-hukum tadi itu. Mungkin tidak banyak kita yang paham bahwa setiap hukum syariat agama dan contoh-contoh dari Rasulullah itu ada sunatullahnya, ada fitrahnya, untuk setiap zaman yang berbeda. Dan yang akan menang atau dominan pengaruhnya adalah syariat atau hukum agama yang sesuai dengan sunatullah di zamannya.

Mari kita lihat agak sejenak masalah ayat-ayat poligami ini dari kacamata sunatullah, fitrah…

Kita lihat dulu dasar hukum yang sangat populer dirujuk oleh orang-orang yang berperang kata tentang poligami ini:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An Nisaa’ 3)

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An Nisaa’ 129)

Dari dua ayat yang sederhana ini seharusnya kita juga bisa berfikir tak kalah sederhananya. Bahwa wajar saja sebenarnya kalau ada yang setuju dengan poligami ini dan ada pula yang tidak setuju. Dua-duanya sangat-sangat terwakili oleh ayat 3 surat An Nisaa’ ini. Oleh sebab itu sebenarnya tidak perlu ada yang marah-marah satu sama lainnya. Siapapun yang setuju poligami ini nggak usah marah-marah kepada yang tidak setuju. Begitu pula sebaliknya, siapapun yang tidak setuju poligami ini nggak usahlah maksa-maksa orang lain untuk berpoligami pula seperti dirinya. Poligami ini logika berfikir kita saja kok. Dan logika berfikir itu haruslah selaras dengan zamannya. Sebab kalau tidak maka “alam” di zaman itu sendiri yang akan menolaknya.

Banyak orang mengira bahwa poligami ini adalah suatu perilaku yang disyariatkan oleh agama Islam. Padahal kalau dicerna ayat diatas sampai mendapatkan kepahaman, masalah poligami ini nggak ada hubungannya sedikit pun dengan syariat agama. Poligami itu sudah ada sejak dulu kala, dan akan tetap ada sampai kapan pun. Jadi ayat-ayat diatas hanyalah bentuk-bentuk jalan keluar tentang masalah hubungan laki-laki dan perempuan yang mungkin terjadi yang penyelesaiannya difasilitasi oleh Al Qur’an. Pilihan manapun yang kita ambil, maka itu akan tetap saja sesuai dengan Al Qur’an.

Jadi orang yang tidak setuju dengan poligami itu tidak berarti bahwa dia sedang menentang syariat agama. Tidak. Akan tetapi saat itu dia tengah mengambil alternatif lain yang tersedia, yaitu untuk tidak berpoligami. Begitu juga sebaliknya, bahwa orang yang tengah menjalankan poligami itu tidak serta merta dia dianggap telah menjalankan syariat agama dengan baik. Dia cuma tengah mengambil alterlnatif lain yang difasilitasi Al Qur’an. Jadi tentang poligami ini, bagi yang menentangnya tidak perlulah marah, kecewa, dan benci kepada yang mendukung poligami. Dan bagi yang melakukannya tidak perlu pulalah menjadi sumringah yang berlebihan, mengumbar hujatan kepada orang-orang yang menentangnya. Ini masalah pilihan saja kok…

Namun, apapun pilihan yang kita ambil, maka ALAM (SUNATULLAH) di zaman kitalah yang akan menilainya. Disamping itu tiap-tiap diri kita ini punya sunatullahnya masing-masing pula. Kalau pilihan kita sesuai dengan sunatullah kita apalagi dengan sunatullah alam di sekitar kita, maka kita akan santai dan melenggang saja dalam menjalani hidup kita. Akan tetapi tatkala pilihan yang kita ambil tidak selaras dengan sunatullah kita dan sunatullah di zaman kita, maka kita akan terseok-seok. Kita akan capek untuk JAIM (jaga image) dalam setiap tindakan kita. Senyum kita JAIM. Omongan kita JAIM dan pembelaan diri semata.

Percayalah…, bahwa kita sebenarnya tahu persis tentang apakah kita itu sedang mengalami kesulitan, atau sedang jaim, atau sedang mendapatkan kemudahan dalam menjalani hidup kita ini. Kita TAHU PERSIS itu. Ya…, ada yang tahu terhadap apapun yang menimpa diri kita… Itulah BASHIRAH, Sang diri kita yang sejati.

“Bahkan pada manusia itu diatas dirinya (NAFS) ada yang tahu (BASHIRAH). (Al Qiyamah, ayat 14)

Nah…, dalam hal poligami ini, silahkan saja kita masing-masing berlogika dengan pilihan kita itu. Misalnya, ada yang logikanya lebih mengarah kepada segi seksologi, atau sosiologi, atau budaya, atau ekonomi,  dan lain-lain sebagainya. Silahkan saja. Dan alasan-alasan seksologi seperti: lebih baik berpoligami dari pada TTM, atau lebih baik dari pada zina, dan sejenisnya adalah alasan yang paling rendah dan dangkal sebenarnya. Alasan hewani.

Kalau kita lanjutkan untuk meneliti ayat 129 surat An Nisaa’ diatas, maka kita seperti disadarkan oleh Allah tentang sifat dasar seluruh umat manusia, bahwa tidak ada satu pun diantara kita ini yang akan bisa bersikap ADIL, walau kita ingin sekali untuk bersikap ADIL itu. Disini Allah tidak menjelaskan apakah adil itu dari segi materi atau dari segi rasa cinta dan kasih sayang. Tidak ada penjelasannya. Tapi banyak ulama yang memelintir ayat ini sehingga adil itu hanyalah sebatas hal-hal yang bersifat lahiriah saja seperti pakaian, harta, tempat, dan giliran. Mungkin mereka sadar juga bahwa adil tentang cinta memang tidak akan pernah ada selamanya dalam diri seorang manusia. Padahal ayat diatas menegaskan bahwa ADIL yang dimaksud Allah itu adalah ADIL yang UTUH…, PENUH. Dan itu memang tidak akan pernah ada pada diri umat manusia. Karena ADIL itu memang semata-mata adalah Selendang Allah, Sang AL ADLU…

Artinya apa…?.

Bahwa ternyata Al Qur’an dengan sangat manis dan halus sekali mengajari kita tentang sebuah proses revolusi budaya dan peradaban yang sangat hebat di bidang perkawinan umat manusia. Dahsyat sekali proses perubahan budaya perkawinan itu digiring oleh Al Qur’an. Dari poligami dengan puluhan wanita di zaman sebelum Nabi Muhammad SAW, lalu dikurangi oleh Nabi dengan mencontohkan berpoligami dengan sembilan istri. Delapan diantara istri Beliau itu dinikahi Beliau setelah Beliau menjalani monogami dengan Bunda Khadijah selama lebih kurang 26 tahun.

Dalam hal poligami Rasulullah ini, sejarah mencatat bahwa logika berfikir Rasulullah saat melakukan poligami itu sungguh sangat pas dengan keadaan masyarakat saat itu. Misalnya, Beliau menikahi janda-janda tua yang umumnya suaminya mati saat perang membela Islam, atau untuk mengembangkan Islam, dan sebagainya.

Kemudian Al Qur’an merevolusi budaya dan peradaban umat manusia lagi tentang poligami ini. Bahwa kalau seorang laki-laki itu bisa ADIL, maka nikah itu maksimum boleh dengan empat wanita sekaligus, atau tiga, atau dua. Dan kalau tidak sanggup untuk ADIL, maka nikahilah satu orang wanita saja. Akan tetapi dalam waktu yang bersamaan, Allah juga menegaskan dengan amat sangat, bahwa seorang laki-laki TIDAK akan pernah bisa adil, walau sang lelaki ingin sekali untuk adil itu.

Sungguh luar biasa sekali, bahwa sebenarnya Al Qur’an tengah membawa umat manusia untuk merevolusi budaya perkawinannya dari budaya POLIGAMI menjadi budaya MONOGAMI. Indah sekali cara Al Qur’an menggiring kita untuk mau berbudaya MONOGAMI ini.

Nah…, bagi orang yang ingin berpoligami, setelah mendengarkan ketegasan Allah diatas, maka semuanya jadi terserah kepada kita masing-masing saja lagi. Apa kita mau mendengarkan atau tidak terhadap sinyalemen kuat Allah tadi tentang tidak bisa adilnya umat manusia ini. Ya…, itu terpulang kepada keputusan kita sendiri saja. Allah tetap membuka ruangan bagi siapa pun juga untuk berpoligami. Masing-masing keputusan itu sudah ada akibat-akibatnya sendiri yang mengikutinya. Cuma rasa-rasanya kalau kita tidak ikut petunjuk Allah, kok kita ini sombong amat ya….

Oleh sebab itu, untuk dasar-dasar berpoligami ini dari sisi KEADILAN sebenarnya sudah ditutup oleh Allah. Tapi dengan logika berfikir manusia, ada saja orang yang membukanya. Bahwa adil itu hanyalah adil dalam hal harta, dan giliran. Bukan dalam hal cinta. Huh…

Dan kalau ada yang masih ngotot untuk berpoligami, dan sunatullahnya sendiri saat itu tidak mendukung dia untuk berpoligami, maka alam sendiri akan menentangnya. Orang yang tidak selaras dengan alam, maka dia akan kecapekan sendiri, paling tidak untuk JAIM (jaga image), atau bahkan PAMER.

Kalau begitu sunatullah poligami itu adakah…?. Ada…

Contohnya adalah sunatullah Rasullullah dalam berpoligami. Dasar poligami Beliau bersih dari pengaruh dan dorongan HAWA NAFSU Beliau. Posisi Beliau berada di puncak, yaitu posisi NOL sehingga:

“…dan bukanlah engkau yang membunuh mereka, tetapi Allahlah yang membunuh mereka. Dan tiadalah engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah-lah yang melempar …”, (Al Anfal 17)”.

“…Apabila Aku mencintai hambaku, maka Aku merupakan pendengarannya yang ia pergunakan untuk mendengar, Aku merupakan penglihatan yang ia pergunakan untuk melihat, Aku merupakan tangan yang ia pergunakan untuk menyerang dan Aku merupakan kaki yang ia pergunakan untuk berjalan. Seandainya ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya, seandainya ia berlindung kepada-Ku, niscaya Aku akan melindunginya. ( HR Bukhari)

Pada posisi seperti ini, Beliau hanya tunduk, Wuquf, menunggu perintah dan tuntunan Allah. Beliau hanya menunggu dengan kerinduan. “Tugas hamba ini apalagi ya Allah…?”, rintih Beliau dengan penuh harap, rindu, dan gembira.

Sehingga jadilah poligami yang dilakukan Beliau menjadi sebuah proses yang memberikan kemashlahatan bagi wanita-wanita yang Beliau nikahi serta untuk memudahkan Islam berkembang saat itu. Umumnya Beliau menikahi janda-janda yang jauh lebih tua dari istri Beliau Aisyah. Sungguh sebuah posisi yang sangat sulit untuk diikuti orang-orang saat ini.

Sedangkan dasar-dasar yang lainnya hanyalah dua saja. Pertama, KESEPAKATAN antara suami istri yang akan menjalankan poligami itu, atau kedua PEMAKSAAN sepihak seorang suami terhadap istrinya agar mau dimadu. Ya…, pilih kesepakatan atau pemaksaan… itu saja…

Nah untuk kesepakatan ini, carilah alasan yang cocok dengan masing-masing kita. Ada sunatullahnya masing-masing. Alasan yang paling banyak dipakai orang untuk berpoligami adalah karena masalah keturunan. Keluarga yang tidak punya keturunan, dan wanitanya sudah tidak bisa lagi hamil dan memberikan keturunan, maka sang suami bisa membuat kesepakatan dengan istrinya agar dia bisa beristri lagi. Kalau sepakat, maka poligami adalah sebuah hal yang niscaya saja sebenarnya. Masalah istri tua akan sakit hati, atau merasa tersiksa dengan adanya madunya tersebut, itu sudah masalah lain lagi. Kalau tidak sepakat, maka ada lagi sunatullahnya, misalnya, akan sering terjadi pertengkaran diantara suami istri itu, atau rumah tangganya menjadi dingin, atau bahkan bisa juga terjadi perceraian. Kalau sudah begini, maka akan ada pihak yang menderita (istri) dan ada pihak yang beruntung (suami).

Kalau pihak lelakinya yang tidak bisa memberikan keturunan, maka jalan keluar satu-satunya yang umum kalau tidak mau meneruskan hubungan pernikahan itu adalah melalui perceraian. Sang istri direlakan oleh sang suami untu menikah lagi.

Namun sangat banyak pula terdapat keluarga-keluarga yang walaupun mereka tidak diberikan keturunan, namun mereka tetap SEPAKAT untuk bermonogami. Ya silahkan saja…!. Selama ada kesepakatan antara suami dan istri tersebut, dan masing-masing berkomitment dengan kesepakatan itu, maka kebahagiaan juga adalah hal yang niscaya saja bagi mereka.

Hal-hal lain yang bisa disepakati pula adalah masalah ketidakseimbangan LIBIDO antara suami dan istri. Ada suami yang libodonya sangat tinggi sementara libido istrinya hanya biasa-biasa saja. Kalau yang begini, maka harus ada kesepakatan-kesepakatan yang diambil oleh keduanya. Apakah kesepakatan itu untuk membolehkan suaminya berpoligami, atau kesepakatan untuk tetap bermonogami dan membiarkan sang suami berada dalam kesulitan mengendalikan libidonya, atau kesepakatan terakhir adalah untuk bercerai dan membiarkan suaminya mengawini wanita lain (karena dia tidak sanggup untuk dimadu).

Kondisi tidak mampunya seorang istri memberi keturunan (mandul) atau masalah libido suami yang berlebihan tersebut adalah bentuk sunatullah yang salah satu jalan penyelesaiaan bisa melalui poligami. Jadi poligami itu hanyalah salah satu jalan keluar saja, dan bukan jalan keluar satu-satunya.
  
Nah…, diluar itu, mandul dan libido berlebihan, dasar-dasar poligami yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh tidak kuatnya seorang lelaki menghadapi godaan dari seorang wanita. Jadi masalah DORONGAN HAWA NAFSU saja sebenarnya penyebabnya. Biasanya prosesnya diawali dengan pertemuan-pertemuan yang rutin antara seorang suami dengan wanita lain. Bagi suami yang punya nama dimasyarakat, pertemuan itu biasanya juga dilakukan secara sembunyi-sembunyi baik di dalam maupun di luar negeri. Konon kabarnya, seorang yang cukup punya nama di negara ini, sebelum berpoligami dia pernah bertemu dengan istri barunya tersebut beberapa kali di Singapore.

Poligami dengan dasar tidak kuatnya seorang suami menahan kuatnya dorongan hawa nafsu tersebut, biasanya akan berujung pada nikah yang dinamakan NIKAH SIRRI, nikah yang katanya sah secara agama. Kalau begini, tidak ada kesepakatan awal yang diambil oleh seorang suami dengan istrinya untuk dia bisa berpoligami. Akhirnya, seiring dengan waktu, sang suami akhirnya melakukan PEMAKSAAN kepada istrinya agar istrinya tersebut mau untuk dimadu. Walau pada awalnya seorang istri akan kaget dan sakit hati mendengarnya, namun pada akhirnya banyak pula istri yang setuju. Tidak ada jalan lain lagi soalnya. Apalagi kalau ditambahkan pula dengan pertimbangan kepentingan anak-anak dari hasil perkawinan mereka. Mau tak mau sang istri akan menerimanya. Dan sebagai penghibur hati biasanya sang istri akan lari ke dalam istilah-istilah agama. Misalnya, agar saya bisa menjadi sabar, agar suami tidak menjadi penghalang saya dalam mencintai Tuhan, dan sebagainya.

Dengan logika berfikir seperti diatas, maka saya sendiri berpendapat bahwa masalah poligami ini bukanlah masalah halal atau haram, bukan masalah ikut sunnah Rasul atau tidak, bukan masalah boleh atau tidak, bukan masalah kafir atau tidak. Tapi poligami itu adalah salah satu alternatif jalan keluar dari sunatullah yang dihadapi oleh sebuah keluarga, atau bisa juga menjadi sebuah cermin ketidakberdayaan seorang suami menghadapi dorongan hawa nafsunya terhadap daya tarik wanita idaman lain. Dan yang tahu alasan-alasan itu adalah kita sendiri-sendiri…, sebab pada diri kita ini masing-masing ada yang tahu (bashirah).

Dan kita sendiri jugalah yang tahu atas ada atau tidaknya rasa keangkuhan saat kita melakukan poligami tersebut. Bahwa kita ini sudah merasa bisa adil sehingga kita merasa bisa pula untuk berpoligami. Lihatlah alasan-alasan yang biasanya diungkapkan oleh orang yang berpoligami itu:
  • “Poligami itu berat, tidak sembarang orang yang bisa dan boleh menjalankannya”. Dan…, secara tersirat sebenarnya dia tengah berkata bahwa hanya dia sajalah yang bisa berpoligami itu, karena dia merasa lebih hebat dari orang lain. 
  • “Poligami itu adalah sunah Rasul, bagi yang tidak berpoligami, maka dia tidak menjalankan sunah Rasul”. Dan secara tersirat dia juga tengah berandai-andai bahwa dia lebih baik dari orang yang bermonogami.
  • Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa orang yang tidak berpoligami itu sama dengan kafir…
Dan ungkapan-ungkapan diatas akan dibalas pula oleh orang yang tidak suka poligami dengan ungkapan yang tak kalah serunya. Sehingga akhirnya kita bermuara pada sebuah ungkapan yang selalu dilantunkan oleh iblis terhadap umat manusia: Ana khairu minhu…, saya lebih baik dari dia…”, lalu tahu-tahu kita sudah terjatuh saja menjadi saudara iblis. Tersiksa sekali tentunya…

Afirmasi dan logika Berfikir

Sekarang marilah kita tengok hubungkan antara keputusan-keputusan yang kita ambil dengan afirmasi-afirmasi yang kita lakukan terhadap otak kita. …

Salah satu cara untuk menambah dan memperbanyak file keadaan atau suasana yang ada di dalam otak kita adalah dengan cara kita berulang-ulang kali mengucapkan sebuah kata, sebuah kalimat, atau ungkapan-ungkapan yang kita yakini kebenarannya, Afirmasi…!.

Kalau kita lihat, afirmasi itu juga merupakan sebuah proses yang menarik:
 
  • Ada ungkapan afirmasi itu hanya sekedar penegasan atau pernyataan kita tentang sesuatu.
  • Ada yang berupa konfirmasi, atau pengesahan kita atas sesuatu.
  • Ada yang hanya sekedar deklarasi, proklamasi, pengumuman atas sesuatu yang kita percayai.
  • Ada afirmasi yang kita ucapkan setelah melalui verifikasi (pembuktian) atas apa yang kita ungkapkan itu…
  • Ada pula afirmasi itu kita ungkapkan karena kita telah menyaksikan (witness, testmony, evident) atas sesuatu yang sangat luarbiasa, sehingga akhirnya sesuatu itu mendominasi objek fikir kita dalam keadaan apapun juga. Dan…, afirmasi yang telah melewat proses pembuktian ini, kemudian kita bersaksi pula atas apa yang kita ungkapkan dalam kalimat afirmativ itu, maka pengaruhnya akan sangat kuat sekali. Kita akan dikuasai oleh apa-apa yang kita afirmasikan itu. Setiap ada masalah maka kita akan masuk ke dalam ruangan suasana yang kita afirmasikan itu.

Dalam prakteknya, afirmasi ini bisa dalam bentuk pengajian, pelatihan, membaca buku pengalaman orang lain, dimana aktivitas itu kita lakukan berulangkali. Atau bahkan hanya dengan sekedar mendengarkan dan melihat sesuatu dengan tidak sengaja juga bisa menjadi bentuk sebuah afirmasi bagi kita.

Sebuah afirmasi akan memberikan hasil yang sangat baik tatkala kita bisa menyusun:
  • kata afirmasi yang menimbulkan semangat. 
  • tujuan jelas,
  • target terarah,
  • rentang waktu terukur,
  • reward and punishment jelas,
Misalnya: dalam bidang olah raga kita INGIN menjadi seorang juara dalam waktu satu tahun. Kalau gagal maka kita akan terpuruk untuk selamanya karena ada generasi baru yang siap menggantikan kita. Sebaliknya, kalau berhasil maka kita bisa bertahan untuk sukses dalam kurun waktu beberapa tahun lagi. Kalau kondisinya sudah begini, maka kita tinggal buat sebuah kalimat atau gambaran yang akan menjadikan kita ter-anchor, terbinding dengan keinginan kita tadi. Bisa jadi kalimatnya hanya sepatah: YESSSS…, atau hanya sekedar mengepalkan tangan, atau sekedar hirupan nafas yang dalam dan panjang untuk sesaat. Kalau sudah begini, hampir dapat dipastikan afirmasi itu akan meningkatkan adrenalin kita yang pada akhir-akhirnya akan menimbulkan semangat kita untuk berlatih. Tiger Woods, seorang pegolf nomor wahid dunia, punya cara yang khas untuk afirmasi ini, sehingga di bisa bertahan sebagai pamuncak olah raga golf dalam waktu yang cukup panjang.

Nah…, untuk proses afirmasi itu, setiap orang baik yang berlatar keagamaan atau tidak, akan mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan afirmasi ini dengan menggunakan berbagai kalimat, bentuk, rupa, warna, dan sebagainya. Sedangkan  objek fikir untuk afirmasi ini umumnya bagi seseorang adalah berupa HARTA, TAHTA, WANITA (bagi seorang pria) atau PRIA (bagi seorang wanita), dan yang tertinggi adalah TUHAN.

Mari kita bahas objek fikir Afirmasi ini sedikit agak detail.

Misalnya, ada orang yang bisa memakai uang (yang bisa mewakili berbagai macam harta benda) sebagai alat afirmasinya dalam bekerja, sehingga begitu dia mendapatkan uang yang lebih dari yang dia inginkan, maka otaknya langsung mengeluarkan enzim kesenangan. Dia menjadi ekstasis. Dan secaca otomatis pula, memorinya terhadap dominasi peran uang dalam hidupnya akan bertambah pula di dalam otaknya. Dia akan merasa bahwa kebahagiaan baru bisa dia dapatkan kalau dia sudah memperolah uang yang berlimpah ruah… Biasanya kalau afirmasinya adalah dalam bentuk uang atau kebendaan ini, nyaris saja orang bisa bekerja, berkarya dan berkreasi dengan tanpa batas. Hasilnya pun seperti mencengangkan kita. Ada energi yang sangat hebat yang mengalir melewati otak dan dada kita agar kita terus mencari dan mencari harta tersebut.

Akan tetapi, pada suatu saat nanti, kita akan berada pada titik BOSAN. Dimana harta yang berlimpah ruah itu sudah tidak mampu lagi membuat otak kita menjadi ekstasis. Walaupun kita tetap rakus dengan uang, akan tetapi kita mulai merindukan kembali kemasa-masa sulit, kembali ke rumah gubuk, kembali kealam luas, kembali kemenu makanan yang sangat sederhana, dan kemudian kita akan bergerak kepada kebutuhan yang bukan materi lagi. Misalnya kepada aktualisasi diri, dan sebagainya. Berbagai teori manajemen bolehlah dibuka untuk hal ini. Banyak sekali teori tentang ini. Silahkan lihat dan baca sendiri …

Tahta dan wanita (pria) juga bisa menjadi alat motivasi kita dalam kegiatan keseharian kita. Dan pada dasarnya prinsip-prinsip dan pengaruhnya sama saja dengan afirmasi dengan memakai uang seperti diatas. Jadi dalam tingkat alam atau kebendaan, siapa saja akan sama hasilnya kalau dia mampu menjadikan alam atau benda itu sebagai alat baginya dalam mengafirmasi dirinya. Syaratnya sederhana saja dan hasilnya juga nyaris sama saja. Kalau kita bisa berkali-kali membenamkan ke dalam otak kita sebuah kata-kata afirmasi yang terpola rapih dan menimbulkan semangat, tujuan jelas, target terarah, rentang waktu terukur, reward and punishment jelas, maka hampir dapat dipastikan bahwa afirmasi itu akan terlaksana dengan baik dan dalam rentang waktu yang tidak banyak melesetnya dari rencana kita. Cobalah…, sebab tanpa sadar kita yang sekarang ini sebenarnya adalah produk afirmasi kita di zaman lampau.

Yang lebih menarik sebenarnya untuk dibahas adalah afirmasi dengan memakai objek fikir yang abstrak. Misalnya kita bisa mengafirmasi diri kita untuk menjadi baik dan bahkan lebih baik lagi dengan mengulang-ulang membaca, mengingat, membahas, dan mengurai ayat-ayat Al Qur’an atau hadist-hadist Nabi yang berkenaan dengan kedahsyatan huru-hara Hari Kiamat. Kita benamkan terus ke dalam otak kita tentang betapa dahsyatnya hari kiamat itu kelak. Kita kupas betapa tanda-tandanya sudah sangat banyak muncul saat ini. Akhirnya kita ketakutan sendiri bahwa jangan-jangan kiamat itu sudah sangat dekat kejadiannya. Karena takut itu, lalu kita memaksa-maksakan diri kita untuk beribadah dengan semangat empat lima, untuk berbuat dan beramal dengan baik. Dalam keseharian pun omongan kita akan menjadi seperti orang yang paling tahu tentang masalah hari kiamat itu. Kita menjadi si AHLI tentang HARI KIAMAT. Kita sibuk melihat tanda-tanda kiamat yang katanya sudah sangat dekat. Kita sibuk berkampanye agar orang-orang menyiapkan diri untuk menghadapi DAJJAL. Kita siap-siap untuk berperang dengan DAJJAL. Kita juga sibuk menunggu turunnya IMAM MAHDI dan ISA AL MASIH yang konon kabarnya adalah sosok-sosok yang akan menjadi pimpinan umat Islam dalam menghadapi DAJJAL kelak. Dalam masa penantian ini, banyak pula umat Islam yang menjadi utopia, pemimpi di siang hari, apa-apa yang sudah terpegang ditangan malah sengaja dibuang. Bak kata pepatah, harapkan burung terbang tinggi, punai ditangan malah dilepaskan. Sehingga pada akhirnya kita umat Islam ini kembali tertinggal dalam membangun peradaban di zaman kita sendiri, sementara orang-orang BARAT yang kita anggap sebagai cikal bakal pasukan DAJJAL itu malah bisa membangun peradaban dunia dengan kecepatan, kuantitas, dan kualitas yang sangat mencengangkan.

Itu baru sebuah contoh saja. Padahal seluruh ajaran agama baik itu agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya adalah kumpulan dari berbagai afirmasi yang akan mempengaruhi hidup penganutnya sepanjang masa. Semakin kuat afirmasi itu ditanamkan ke dalam otak seseorang, maka semakin sulit pula orang tersebut untuk merubah kepercayaan yang dia pegang atas kebenaran ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Apalagi kalau dalam praktek keagamaan yang dijalankan seseorang tersebut melibatkan pula berbagai macam keajaiban, miracle, atau mu’jizat. Misalnya, saat seseorang sudah capek berobat kemana-mana untuk menyembuhkan penyakit yang dia derita, maka dengan sebuah afirmasi yang kuat, orang tersebut lalu sembuh, maka saat itu pula kepercayaan orang tersebut atas kebenaran ajaran agama yang dia anut itu akan bertambah dengan kuat pula. Kita kenal kalimat-kalimat seperti berikut: Ini berkat Tuhan. Ini dari Tuhan. Ini adalah atas karunia Tuhan. Ini atas kasih Tuhan Yesus (kata umat Kristen), dan sebagainya.

Kalau sudah begini, maka hanya rahmat Tuhan sajalah yang akan mampu mengarahkan kita mengantarkan rasa terima kasihnya ke alamat yang tepat. Banyak memang alamat yang bisa kita pakai sebagai alamat itu. Tapi hanya ada SATU alamat yang meliputi semua alamat-alamat yang banyak itu. Yaitu alamat Yang Maha Meliputi segala sesuatu. Kepada Tuhan Yang Hakiki, yang tiada lagi Tuhan selain Dia. Untuk alamat itu Allah sudah mengisyaratkannya dalam ayat berikut ini:

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman sangat besar cintanya kepada Allah… (Al Baqarah, 2:165)

Mereka menjadikan orang-orang alim, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan juga mereka mempertuhankan Al Masih putra Maryam, padahal mereka hanyalah disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (At Taubah, 9:31)

Keberhasilan Afirmasi…

Sebuah afirmasi dikatakan berhasil tatkala dengan afirmasi itu memunculkan KEINGINAN atau KEHENDAK di dalam DADA kita untuk melakukan sebuah peran atau aktivitas sesuai dengan maksud afirmasi tersebut. Kehendak itu seperti mempunyai DAYA yang begitu besar agar kita segera bergerak, berfikir, ataupun berkarya, sehingga halangan sebesar apapun rasanya bisa kita terjang dan lalui dengan mudah. Rasa sakit pun akan bisa sampai tidak terasa sedikitpun.   

Mari kita lihat beberapa contoh berikut ini…

Seringkali kita lihat di acara TV sekelompok orang dari aliran Syiah yang mengafirmasi dirinya untuk merasakan penderitaan cucu Rasulullah, Al Husein, yang dibunuh oleh lawan politik Beliau (Mua’wiyah). Untuk itu orang-orang yang sangat memulyakan Al Husein tersebut, pada peringatan hari Asyura (10 Muharram), melakukan ritual memukuli tubuh mereka dengan rantai besi yang berat dan kadang-kadang tajam pula. Walau darah bercucuran dipunggung mereka, tapi mereka malah merasa bahagia, ekstasis. Sebab mereka bertahun-tahun diafirmasi bahwa dengan melukai tubuh tersebut mereka seperti ikut merasakan pedihnya penderitaan Al Husein. Dari kecil sampai tua, ritualnya begitu terus selama bertahun-tahun, sehingga kalau dilarang-larang oleh orang lain, maka mereka akan melawan mati-matian. Perang pun akan mudah tersulut kalau sebuah ritual yang menimbulkan rasa ekstasis bagi pelakunya dilarang-larang oleh orang lain yang tidak setuju dengan ritual tersebut.

Acara yang nyaris serupa juga sering dilakukan oleh umat Kristen untuk merasakan penderitaan Yesus (Nabi Isa dalam agama Islam) yang konon kabarnya di paku di tiang salib oleh lawan-lawan politik Beliau. Dengan afirmasi yang kuat, di Philipina misalnya, ada pula ritual mencontoh keadaan tersalibnya Yesus tersebut. Walaupun tangan dan kaki mereka berdarah dipaku ke tiang salib, tapi mereka seperti tidak merasakannya. Dengan afirmasi, mereka seperti berada diatas RASA SAKIT, sehingga derita sekeras apapun yang menimpa mereka, mereka seperti sudah tidak merasakannya lagi.

Ritual dalam aliran agama Hindu tertentu pun sangat sering seperti ini. Menyakiti tubuh. Ada ritual rutin (mungkin) setahun sekali dimana penganut aliran tersebut berpawai sambil menancapkan pedang ataupun berbagai macam besi runcing ketubuh mereka. Walau tubuh mereka bolong-bolong ditembus besi runcing, tapi mereka seperti tidak merasakan kesakitan sedikit pun. Bahkan setetes darah pun tidak keluar dari bekas tusukan pedang itu. Mirip seperti debus dan kuda lumping itulah kalau di Indonesia.

Saat ini, model-model peradaban yang mencontoh ritual seperti diatas juga marak ditengah-tengah masyarakat, yaitu Piercing. Kita sering melihat anak-anak muda maupun generasi tua yang tubuhnya ditindik disana sini, dibolongi disana sini. Misalnya di bibir, di lidah, di hidung, di telinga, di pusar, di payudara, dan bahkan juga di wilayah yang sangat pribadi sekali pun, ditusuk dan ditempeli dengan berbagai bahan dari metal.
Kalau kita melihat ritual pada aliran tertentu dalam agama Hindu seperti tersebut diatas dan juga teknik-teknik Piercing, maka ritual Asyura yang dilakukan oleh penganut aliran Syiah sepertinya sudah ketinggalan dalam hal “teknologi afirmasi”.

Menurut pemahaman saya sendiri, ada teknologi afirmasi pamuncak yang telah diwariskan oleh Rasulullah Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia. Hasil dari teknik afirmasi warisan Nabi Muhammad itu adalah sebuah suasana “laa khaufun ‘alaihim walaa hum yahzanuun…, suasana tidak ada rasa khawatir, tidak ada rasa sedih”. Suasana DIATAS SEMUA RASA, yang posisinya berada di AL A’RAAF (tempat tertinggi). Sebuah alamat yang posisinya adalah diatas Syurga dan Neraka. Rasulullah saat berada di AL A’RAAF ini bisa melihat dan memahami Realitas dari kehidupan Syurga dan Neraka (yang disebut juga sebagai alam Akhirat) dengan begitu gamblangnya.

Afirmasi yang diwariskan oleh Beliau itu sederhana sekali, sangat sederhana sekali malah, namun begitu Dahsyatnya, sungguh…., yaitu:

ALLAH…, lalu ….. Derrr… !.

Adapun afirmasi-afirmasi yang lainnya, seperti: Laa ilaha illallah, Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar, Laa haulawala quwwata illa billah, Inna lillahi wa inna ilahi raji’un, dan sebagainya…, pastilah akan membawa kita kepada ALLAH. Lalu biarkan sajalah kita dituntun-Nya selangkah demi selangkah menuju kepahaman dan kesaksian (SYAHID) terhadap Diri-Nya Sendiri… Semuanya itu pastilah akan membawa dan menuntun kesadaran kita menuju KESAKSIAN kepada-Nya. Kalau sudah bersaksi, maka barulah kita pantas mengucapkan kesaksian kita langsung ke WAJAH-NYA:

“Asyhadu an laa ilaha illallah, benar…, saya bersaksi bahwa Engkau adalah Allah, sedangkan apapun yang lainnya yang berada dalam liputan Wajah-Mu, tidaklah begitu penting lagi bagi saya…. Wa asyhadu anna muhammadan rasulullah, dan benar ya Allah bahwa ternyata apa yang diajarkan oleh Muhammad tentang Engkau terbukti bagi saya kebenarannya, maka dengan ini saya akui bahwa Beliau adalah Rasul-Mu, utusan-Mu. Lalu ajaran-ajaran dan afirmasi-afirmasi yang lain dari apa yang Beliau wariskan sudah tidak begitu penting lagi bagi saya…”. 

Akan tetapi, kalau afirmasi-afirmasi yang sekian banyak itu itu tidak menuntun dan menggiring kita kepada ALLAH, Sang Laisa kamistlihi Syai’un, maka afirmasi itu bisalah disebut sekedar afirmasi angguk-angguk dan geleng-geleng seperti kata sebuah lagu. “Ngguk angguk angguk, leng geleng geleng, ngis tangis tangis…”.

Sebab banyak pula orang yang memakai kata ALLAH ini sebagai kalimat afirmasinya, akan tetapi dia tidak sampai, terhalang, tercover, kafir, untuk sampai “duduk bersanding dan pandang memandang dengan ALLAH”. Dia memang tetap memanggil Allah, akan tapi dia hanya sampai ke posisi bersanding dan saling berpandangan dengan patung. Dia memang memanggil Tuhan, tapi dia malah bersanding dan saling memandang dengan benda, dengan cahaya, dengan tangisan, dengan alam, dengan jin, dengan syetan, dengan harta, dengan ilmu, dengan paham, dengan aliran-aliran, dengan persepsi, dan sebagainya. Semuanya itu seperti silih berganti melambai-lambaikan tangannya kepada kita agar kita mengikuti mereka, agar kita datang kepada mereka, agar kita mau menjadi budak mereka. 

Padahal kalau kita sudah ada kepercayaan (Iman) kepada Allah, maka semua lambaian itu tadi tinggal kita tolak… LAA ILAHA…, tolak semua, abaikan semua. Lalu saling bersanding dan saling memandanglah dengan WUJUD Yang tidak bisa ditolak lagi. Di tolak bagaimana pun juga Dia sudah tidak bisa ditolak lagi. Kalau sudah tidak ada lagi yang bisa kita tolak. Hanya tinggal Wujud Abadi…, maka teguhkanlah: ILLA ALLAH…, kecuali hanya Engkau saja lagi Yang ADA. ALLAH…!. Kalau sudah begini barulah kita pantas untuk memanggil Wujud ABADI tersebut dengan sebutan ALLAH, tanpa kita tersasar-sasar lagi kearah yang salah.

Kita tinggal memanggil:

ALLAH…, lalu ….. Derrr… !.

Lalu kita amati dengan seluruh kekaguman kita bagaimana Dia Maha Sibuk, Maha Aktif mengatur segala sesuatu. Kita amati bagaimana Dia mengalirkan berbagai kehendak-Nya ke dalam dada setiap manusia sehingga manusia itu seakan-akan punya kehendak dan daya untuk melakukan sesuatu, untuk berkarya. Kita pandang bagaimana Dia mengalirkan berbagai macam ilmu ke dalam otak kita, ke dalam otot kita, ke dalam kulit kita. Bahkan kita amati pula bagaimana Dia mengalirkan Rasa Iman ke dalam tubuh kita, ke dalam kulit kita, ke dalam dada kita, ke dalam aliran darah kita, sehingga semuanya itu nanti bisa bersaksi bahwa memang kita adalah orang yang tidak hanya beriman kepada ALLAH, akan  tapi juga telah BERSAKSI (SYAHID) kepada ALLAH. Subhanallah…

Buah Yang mengherankan…

Yang sangat menarik dari afirmasi ini adalah bahwa apa-apa yang kita lakukan sangatlah terikat erat dengan afirmasi kita itu. Bahwa ternyata afirmasi-afirmasi yang kita benamkan ke dalam otak kita sepanjang waktu itu, akan sangat-sangat mempengaruhi aktifitas, perilaku, perbuatan, dan logika berfikir kita sepanjang waktu.

Seseorang yang sering mengafirmasi dirinya bahwa dirinya adalah seorang ustad atau ulama penerus dan pewaris Nabi, maka dari waktu kewaktu, dari hari kehari, setiap saatlah, kalau dia sedang berhadapan dengan orang lain, dia akan mengungkapkan ungkapan-ungkapan seperti ungkapan Nabi. Dia akan berda’wah, dia akan mengingatkan orang, dia akan melarang orang untuk melakukan ini dan itu, dia akan menyuruh orang untuk melakukan ini dan itu. Walaupun kadangkala dia tidak melakukan apa-apa yang dia sampaikan kepada orang-orang itu, tapi akibat dia telah mengafirmasi dirinya bahwa dirinya adalah penerus Nabi dihadapan orang-orang banyak, dia telah belajar agama , dia telah dilabeli sebagai seorang ustad, maka dia akan tetap bersikap sebagai agen pengajak orang lain kearah kebenaran. Dia akan bersikap seakan-akan dialah orang yang paling tahu tentang syurga dan neraka, tentang baik dan buruk, tentang hidup dan mati, dan tentang Tuhan tentunya. Paling nanti saat dia sendirian, dia akan bertanya-tanya sendiri, tadi itu saya sebenarnya hanya ngomong doang, dan inipun sudah diantisapasi oleh Allah: bahwa sebenarnya Allah sangat murka kepada orang-orang yang mengatakan apa-apa yang tidak dia lakukan dan dia tidak paham pula makna hakiki tentang apa-apa yang dia ucapkan itu.

Orang yang terbiasa mengafirmasi dirinya sebagai seorang yang pluralis, maka omongannya disetiap saat juga akan tidak jauh-jauh dari pluraslisme itu. Dia akan bela plurasime, dia akan kampanye tentang pluralisme, dia akan olah dan kembangkan berbagai logika berfikir dari sudut pandang seorang pluralis.   

Seseorang yang sudah mengafirmasi dirinya bahwa dirinya adalah sebagai seorang pendeta, seorang gembala, seorang bante, seorang romo, maka hari-harinya, saat dia berhadapan dengan orang banyak, akan disibukkan pula oleh status afirmasi tentang status dirinya itu. Dia akan berkhotbah kesana kemari, dia akan sibuk menggembalakan orang lain yang dianggapnya hanyalah sebagai domba-domba yang perlu digembalakannya agar tidak tersesat. 

Orang yang sudah terbiasa mengafirmasi dirinya sebagai orang yang biasa-biasa saja ditengah-tengah masyarakat, maka dia juga akan bertindak biasa-biasa saja. Begitu juga orang yang sudah mengafirmasi dirinya sebagai seorang spiritualis, atau sebagai seorang pedzikir ulung, atau sebagai seorang yang bisa mengelola hati, atau sebagai seorang yang mumpuni dibidang spiritual dan emosional maka diapun akan disibukan pula oleh logika berfikirnya masing-masing. 

Seseorang yang membenamkan afirmasi ke dalam otaknya bahwa dia adalah sebagai seorang pemburu jin, seorang pemburu hantu, sebagai seorang penyembuh, sebagai orang yang tahu dan mumpuni dibidang hal-hal yang gaib, maka hari-harinya akan diisi pula dengan dinia-dunia yang katanya adalah dunia yang penuh kegaiban.

Akhirnya memang kesemuanya itu terserah kita saja, terpulang kepada kita.  Mau kita afirmasi apa diri kita ini dengan berbagai pilihan yang ada, it’s up to us… Toh nanti kita sendiri pula yang akan menikmati ataupun merasakan hasil baik dan buruknya. Sebab Hanya hasilnya nanti itu tidak akan jauh-jauh dari rasa bahagia disatu sisi dan sengsara disisi yang lain, yang dalam istilah agamanya disebut sebagai syurga atau neraka.

Lalu kita disibukkan oleh apa…???,
Untuk menjawabnya, tengoklah diri kita masing-masing…, afirmasi macam apa yang telah dan akan kita benamkan ke dalam otak kita…

Demikian kupasan kita kali ini tentang AFIRMASI…, semoga bermanfaat. Lain kali kita sambung lagi dengan topik yang lain…

Lhaa…, ini kehendak untuk mengafirmasi diri ini datangnya dari mana ya…?, ada yang tahu…?

Wassalam
Deka
Jl. Kabel no 16, Cilegon, Banten


Logika Berfikir Admin February 13, 2008

Posted by puji in Islamic.
trackback
Bismillahirrahmaanirrahiim
Menyiapkan sebuah server merupakan hal biasa bagi seorang admin. Admin tentu akan menginstall dan mengkonfigurasi server agar resource yang ada dapat bekerja maksimal serta tidak ada bug-bug yang dapat membahayakan servernya. Misalkan saja admin diminta untuk menyiapkan server yang akan digunakan sebagai *web server*. Sistem operasi Linux menjadi pilihannya karena terkenal sangat stabil.

Install Paket Aplikasi yang Diperlukan Saja
Pada saat installasi, sampailah admin pada tahapan untuk menentukan paket aplikasi apa saja yang akan disertakan dalam proses installasi tersebut.Ada 3 kategori paket aplikasi yang harus admin pilah-pilah:
  • Paket utama server [perlu diinstall]
  • Paket pendukung, seperti utilitas [perlu diinstall]
  • Paket yang tidak diperlukan [tidak perlu diinstall]
Admin mulai memilah-milah paket aplikasi yang akan diinstall
  • Postfix, mmm…tidak perlu, karena server ini hanya akan digunakan sebagai web server-bukan mail server
  • Apache, …perlu, inilah paket utama web servernya yang harus diinstall di server
  • Bind, mmm, ..tidak perlu, karena server ini hanya akan digunakan sebagai web server-bukan DNS server
  • Mysql, perlu, inilah paket database server yang akan digunakan dengan Apache.
  • Midnight Commander, mmm…perlu utilitas ini sangat penting untuk manajemen file
  • SSH Server, mmm…perlu. Walaupun server ini sebagai web server, tapi SSH server diperlukan agar sistem dapat diakses secara remote.
  • Dan seterusnya dan seterusnya…
Mengapa admin memasukkan program ke server *hanya* yang diperlukan saja? Dia tidak memasukkan KDE, Mail server, DNS server, dan seterusnya dari paket-paket yang tidak diperlukan dalam membangun web servernya? Setidaknya ada 2 alasan penting mengapa admin hanya memasukkan paket program yang diperlukan saja:
  1. Semakin banyak paket program yang berjalan, maka resource server akan banyak terkuras. Kalau kebutuhan hanya sebagai web server, mengapa server harus capek-capek membagi resource prosessor, RAM dan hardisk untuk Mail Server, DNS, X-Windows dan paket-paket yang tidak diperlukan?
  2. Semakin banyak paket program yang berjalan, maka potensi bug yang dapat diexploitasi semakin banyak.
Demikianlah pilihan admin yang cerdas, dia memasukan paket aplikasi ke dalam servernya hanya paket-paket yang diperlukan saja, apakah berupa paket utama atau paket pendukungnya. Admin yang cerdas tentu tidak akan memenuhi servernya dengan paket-paket yang sebenarnya tidak diperlukan.
Mengejar Surga dengan Tenaga Sisa
Saudaraku …
Untuk server saja kita mampu memilihkan yang terbaik baginya, lantas bagaimana untuk diri kita sendiri? Tidakkah kita lupa dengan firman Allah ta’ala
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku” (Adz-Dzariaat: 56)
Mengapa waktu, tenaga, dana dan seluruh resource kita lebih banyak untuk hal-hal yang bukan tujuan utama kita? Mengapa ketika kita diajak untuk shalat berjamaah, kita lebih sering mengatakan “Lagi tanggung..”. Ketika kita diajak untuk menghadiri majelis ilmu syar’i, kita lebih sering mengatakan “Sedang sibuk…”. Ketika ada kesempatan berinfaq kita mengatakan “Tidak punya receh..” Kita begitu bersemangat mengejar studi S1, S2 bahkan S3, tetapi tata cara mandi wajib dan wudlu yang sesuai sunnah saja kita tidak mengetahuinya, naif sekali bukan?. Coba kita buka agenda kita, adakah tertulis disitu agenda-agenda untuk akhirat kita?! Wahai manusia yang sangat perlu untuk dikasihani, engkau berharap surga tetapi mengejarnya dengan sisa-sisa, tidakkah engkau malu?
Manusia yang cerdas seperti admin yang cerdas yang menggunakan resource untuk tujuan utamanya, sebagaimana web server maka resource server digunakan untuk menjalankan fungsi web server. Demikain juga manusia, manusia mempunyai tugas utama yakni beribadah dengan berbagai bentuknya.
Saudaraku …
Waktu kita adalah modal kita, waktu di akhirat ibarat kotak-kotak penyimpanan bekal kita. Satu Jam dari waktu kita ibarat 1 kotak, 1 hari waktu kita sebanding dengan 24 kotak. Nanti di akhirat kita akan membuka kotak-kotak perbekalan tersebut, jika jam demi jam waktu kita diisi dengan sesuatu yang sia-sia, sesuatu yang tidak ada manfaatnya di akhirat, maka kita akan mendapati kotak tersebut kosong. Jika waku tersebut diisi dengan sesuatu yang bermanfaat di akhirat, maka kotak tersebut ada isinya. Celaka sekali orang yang ketika membuka kotak tersebut tetapi selalu mendapat kekecewaan karena isinya kosong.
Saudaraku …
Jadilah orang yang zuhud yakni orang yang meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat. Orang yang zuhud seperti admin yang cerdas yang tidak memasukkan paket aplikasi ke dalam servernya kecuali yang dibutuhkan saja.
Hidup Itu Harus Seimbang
Orang tua kita sering menasehatkan bahwa hidup harus seimbang, dunia dan akhirat. Nasehat ini sangatlah baik, tetapi seringkali disalahpahami, ketika seseorang begitu rajin beribadah untuk mengumpulkan bekal di akhirat, maka orang-orang dengan mencibir mengatakan “Hidup harus seimbang, jangan akhirat melulu…”Betul sekali bahwa dunia dan akhirat harus seimbang. Saudaraku, berapa tahun kita akan hidup di dunia? 70 tahunkah? 80 tahunkah?. Lalu, berapa tahunkah kita akan hidup di akhirat? 1.000 tahunkah? 1.000.000.000 tahunkah? Saudaraku, kita akan hidup di akhirat lebih dari itu, lebih lama dari 1 milyar tahun bahkan kita akan kekal di akhirat kelak.Demi Allah saya tidak mengatakan “Kalau begitu tinggalkan saja urusan dunia!”. Saya sama sekali tidak mengatakan demikian, saya hanya mengatakan apakah kita sudah menempatkan proporsi dunia dan akhirat secara seimbang? Sudahkah kita mempersiapkan untuk akhirat kita secara semestinya? Atau malah kita hanya mempersiapkan akhirat kita hanya dengan sisa-sisa, tenaga sisa, waktu sisa, dana sisa…semua serba sisa-sisa.Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar” (Al Hadiid: 20-21)
Terakhir Saudaraku, Allah mengingatkan kita dalam sebuah surat yang Imam Syafi’i rahimahullah berkata tentang surat ini, “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah kepada manusia kecuali hanya surat ini saja, niscaya telah mencukupi”, yakni surat Al-Ashr
“Demi waktu. Sesungguhnya semua manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”
Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk-Nya sehingga kita dapat menjadi manusia yang cerdas, manusia yang zuhud, manusia yang sadar diri, manusia yang mengejar surga dengan resource yang maksimal, bukan dengan sisa-sisa. Allahu ta’ala a’lam

Afirmasi dan Logika Berfikir - 2



Memang ada orang yang berkata bahwa kita ini harus berfikir dengan logika yang jernih. Bahkan ada pula yang menambahkan bahwa logika yang jernih ini akan semakin mengkilat tatkala dibarengi pula dengan hati nurani yang bening. Akan tetapi kalau diperhatikan dengan seksama, istilah-istilah yang mentereng tadi itu (logika yang jernih dan hati nurani yang bening), larinya tetap saja ke file-file pengetahuan yang ada di dalam otak kita. Tak lebih. Logika berfikir dari hati nurani yang jernih itu tetap saja tergantung kepada file pengetahuan yang masuk atau kita masukkan ke dalam otak kita. Buktinya, siapa yang tidak percaya bahwa hati nurani seorang bayi adalah hati nurani yang paling bersih???. Tentunya tidak ada. Hati nurani seoran bayi sangatlah bersih.  Akan tetapi lihatlah bagaimana sederhananya logika berfikir seorang bayi, PASRAH. Dia hanya PASRAH. Otak sang bayi adalah ibarat kertas putih yang siap untuk ditulisi dengan berbagai masukan. Lalu beragam isi otaknyalah yang akan menentukan warna dari logika berfikirnya selama hidupnya nantinya.

Misalnya dalam pergumulan logika berfikir kehidupan beragama, maka ada puluhan alternatif logika berfikir yang bisa kita masukkan ke dalam otak kita. Kalau mau berpedoman kepada sejarah awal perkembangan Islam (pasca kehidupan NABI), maka ada pilihan berupa logika berfikir SUNNI atau SYI’AH berikut dengan segala turunannya yang juga tak kalah banyaknya. Kalau mau merujuk ke zaman berikutnya, zaman Al Ghazali dan Rusydi, maka tersedia pilihan logika berfikir RASIONALIS atau FATALIS. Berikutnya ada pula logika berfikir yang dibingkai oleh pakem-pakem SUFISTIK atau yang serba SYARI’AT.

Belakangan inipun tersedia pula logika berfikir, yang katanya modern, yang cenderung mengajak manusia mengembangkan pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham yang katanya sekularisme, rasionalisme, pluraslisme, kapitalisme, humanisme liberalisme, empirisisme, cara befikir dikhotomis, desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran agama.

Bahkan pilihan terlawas yang tersedia disebut dengan logika berfikir Postmodernisme yang telah bergeser kepada paham-paham baru (yang katanya) berupa: nihilisme, relativisme, pluralisme dan persamaan (equality). Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya.

Lihatlah betapa rumit dan beragamnya alternatif logika berfikir yang tersedia yang bisa kita pilih. Dan nantinya pilihan-pilihan yang kita ambil itulah yang akan mewarnai hidup kita sehari-hari.

Dalam beragama, misalnya, ada orang yang otaknya dominan berisi file ilmu agama yang (katanya) bercorak ekstrim, maka logika berfikir dan bertindaknya juga akan menjadi ekstrim dalam pandangan orang-orang di sekitarnya yang (katanya) sedang memilih logika berfikir bercorak moderat. Begitulah, untuk pembenaran bagi logika berfikirnya itupun akan keluar berbagai alasan yang terlihat benar dan masuk akal bagi orang-orang yang mempunyai file ilmu pengetahuan yang sama, atau paling tidak bagi orang-orang yang sudah memposisikan dirinya untuk BINDING kepada suatu logika berfikir agama tersebut. 

Biasanya bagi orang-orang punya file pengetahuan agama yang banyak, maka alasan yang paling pamuncak yang diambil orang untuk pembenaran perilakunya adalah karena hal itu sudah taqdir Tuhan. Yaa…, sabda dan perintah Tuhan lagi yang kita jadikan sebagai konci pamungkas untuk membenarkan apa-apa yang kita lakukan dan juga untuk menolak apa-apa yang difikirkan oleh orang lain yang berbeda dengan file pikiran kita. Oleh sebab itu, hati-hatilah dengan orang-orang yang tahu banyak tentang hukum, tentang syariat, tentang tafsir, tentang ilmu, karena orang tersebut akan siap-siap pula menjalankan hukum, syariat, tafsir, dan ilmu tersebut dengan alasan yang tepat bagi dirinya maupun kelompoknya, akan tetapi kadangkala dalam pelaksanaannya mempunyai makna hakiki  yang sangat dangkal.

Berbagai jawaban pembenaran itu misalnya: Ini hukum Tuhan, ini sudah taqdir Tuhan, ini dibolehkan syariat agama, tidak ada larangannya kok, ini dicontohkan oleh Rasulullah dulu. Dan berbagai alasan hebat lainnya…

Duh…, yakin benar kita bahwa kita bisa paham dengan makna hakiki dari hukum Tuhan itu, yakin benar kita bahwa kita bisa mengerti suasana DADA Rasulullah saat Beliau menjalankan hukum-hukum tadi itu. Mungkin tidak banyak kita yang paham bahwa setiap hukum syariat agama dan contoh-contoh dari Rasulullah itu ada sunatullahnya, ada fitrahnya, untuk setiap zaman yang berbeda. Dan yang akan menang atau dominan pengaruhnya adalah syariat atau hukum agama yang sesuai dengan sunatullah di zamannya.

Mari kita lihat agak sejenak masalah ayat-ayat poligami ini dari kacamata sunatullah, fitrah…

Kita lihat dulu dasar hukum yang sangat populer dirujuk oleh orang-orang yang berperang kata tentang poligami ini:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An Nisaa’ 3)

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An Nisaa’ 129)

Dari dua ayat yang sederhana ini seharusnya kita juga bisa berfikir tak kalah sederhananya. Bahwa wajar saja sebenarnya kalau ada yang setuju dengan poligami ini dan ada pula yang tidak setuju. Dua-duanya sangat-sangat terwakili oleh ayat 3 surat An Nisaa’ ini. Oleh sebab itu sebenarnya tidak perlu ada yang marah-marah satu sama lainnya. Siapapun yang setuju poligami ini nggak usah marah-marah kepada yang tidak setuju. Begitu pula sebaliknya, siapapun yang tidak setuju poligami ini nggak usahlah maksa-maksa orang lain untuk berpoligami pula seperti dirinya. Poligami ini logika berfikir kita saja kok. Dan logika berfikir itu haruslah selaras dengan zamannya. Sebab kalau tidak maka “alam” di zaman itu sendiri yang akan menolaknya.

Banyak orang mengira bahwa poligami ini adalah suatu perilaku yang disyariatkan oleh agama Islam. Padahal kalau dicerna ayat diatas sampai mendapatkan kepahaman, masalah poligami ini nggak ada hubungannya sedikit pun dengan syariat agama. Poligami itu sudah ada sejak dulu kala, dan akan tetap ada sampai kapan pun. Jadi ayat-ayat diatas hanyalah bentuk-bentuk jalan keluar tentang masalah hubungan laki-laki dan perempuan yang mungkin terjadi yang penyelesaiannya difasilitasi oleh Al Qur’an. Pilihan manapun yang kita ambil, maka itu akan tetap saja sesuai dengan Al Qur’an.

Jadi orang yang tidak setuju dengan poligami itu tidak berarti bahwa dia sedang menentang syariat agama. Tidak. Akan tetapi saat itu dia tengah mengambil alternatif lain yang tersedia, yaitu untuk tidak berpoligami. Begitu juga sebaliknya, bahwa orang yang tengah menjalankan poligami itu tidak serta merta dia dianggap telah menjalankan syariat agama dengan baik. Dia cuma tengah mengambil alterlnatif lain yang difasilitasi Al Qur’an. Jadi tentang poligami ini, bagi yang menentangnya tidak perlulah marah, kecewa, dan benci kepada yang mendukung poligami. Dan bagi yang melakukannya tidak perlu pulalah menjadi sumringah yang berlebihan, mengumbar hujatan kepada orang-orang yang menentangnya. Ini masalah pilihan saja kok…


 [Q1]

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates