Amerika Latin tempoe doeloe. Camilo Torres, seorang pastor,
sosiolog, dan gerilyawan, dibunuh pasukan Kolombia di pegunungan berhutan di
Bucaramanga pada 15 Februari 1966. Di Desa Ribeiro Bonito, Brasilia Selatan,
pada 11 Oktober 1976. Pastor Desa Pater John Bosco Burnier SJ (Serikat Jesus)
ditembak mati oleh seorang kopral karena mencoba menyelamatkan dua wanita yang
dianiaya sang kopral dan kawan-kawannya. Pater Rutilio Grande SJ dibantai The
White Warrior Union--pasukan penjagal manusia dan pelindung tuan tanah--di
sebuah desa di San Salvador, 12 Maret 1977.
Kisah di atas dikutip dari buku Teologi Pembebasan susunan
Fr. Wahono Nitiprawiro. Masih banyak lagi para pengabar Injil di benua yang 90%
penduduknya menganut Katolik itu menghadapi risiko kematian, karena berpihak
atau bahkan bergabung dengan rakyat Amerika Latin yang bergolak untuk
membebaskan diri dari kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan.
Mereka, para pengabar Injil yang tewas itu, adalah para
penganut Teologi Pembebasan, sebuah paham baru tentang peranan gereja dalam
lingkungan sosial. Paham ini mulai mengagetkan kalangan gereja dan intelektual
di Eropa dan Amerika setelah Gustavo Gutierrez --pastor dari Peru-- menerbitkan
buku Teologia de la Liberacion pada 1971. Paham ini menjadi kontroversial
karena memiliki metode pendekatan yang tak biasa dilakukan kalangan gereja
ketika itu, yakni pendekatan marxis yang radikal.
Secara ringkas, apa yang dimaksud dengan paham itu sebenarnya
adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada
masalah kongkret di sekitarnya. Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan,
masalah kongkret yang dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai
menyengsarakan rakyat.
Sejak depresi dunia pada 1930-an, perekonomian negara-negara
di Amerika Latin begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan
Inggris. Sebaliknya, mereka mengimpor komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia
II, harga barang-barang mentah jatuh di pasaran dunia. Akibatnya perekonomian negara-negara
itu kacau. Mereka juga tak mampu mengimpor barang-barang pabrik. Untuk memenuhi
kebutuhan barang pabrik di dalam negeri, negara-negara itu mencanangkan
modernisasi dengan memacu industrialisasi atas bantuan negara maju. Mereka
menerapkan sistem kapitalisme sebagai model modernisasi.
Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi,
industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum
proletar --kelas buruh-- tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup
membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil.
Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator. Pada 1945,
misalnya, kelompok militer di Brasilia menggulingkan pemerintahan sipil. Pada
tahun yang sama, Kolonel Juan Peron menjadi penguasa tunggal Argentina, setelah
mengudeta penguasa sebelumnya. Tahun 1948, Manuel Odria menjadi diktator di
Peru. Dan penindasan terhadap rakyat terjadi hampir di seluruh belahan Amerika
Latin.
Kondisi tersebut mengundang gerakan di berbagai bidang. Dalam
literatur sosiologi dan ekonomi politik, penerapan sistem kapitalisme dalam
pembangunan di Amerika Latin telah melahirkan pemikir-pemikir baru di bidang
sosiologi dan ekonomi politik. Misalnya Andre Gunder Frank--orang Amerika
Serikat yang pernah tinggal di Amerika Latin--dan Fernando H. Cardoso. Dengan
menggunakan pendekatan neomarxis, mereka melahirkan teori dependensi
(ketergantungan) dalam memandang nasib negara-negara di Dunia Ketiga. Selama
ini, kata mereka, modernisasi di negara-negara Amerika Latin dan negara Dunia
Ketiga lainnya justru melahirkan para penguasa mapan, pemilik modal besar, tuan
tanah, dan kaum elite yang mengeksploitasi rakyat.
Bantuan negara maju dalam proses modernisasi --yang justru
membuat Dunia Ketiga begitu bergantung pada negara maju-- juga memberi andil
besar dalam memiskinkan rakyat Dunia Ketiga. Mereka para penganut teori
dependensi berpendapat, untuk mengakhiri kekuasaan para elite yang mapan, juga
dominasi negara maju, dibutuhkan revolusi sosialis. Dalam kaitannya dengan
pembangunan ekonomi, mereka beranggapan, diperlukan penjungkirbalikan struktur
ekonomi, politik, dan sosial dengan meminjam pendekatan marxis.
Di bidang keagamaan, terjadi pergeseran pandangan teologis di
kalangan Gereja Katolik di seantero Amerika Latin. Disebutkan dalam buku
Teologi Pembebasan, selama berabad-abad gereja di Amerika Latin menganut
pemahaman teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang
berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional. Para uskup Amerika
Latin menilai, cara berteologi Barat telah menimbulkan kemandekan berpikir,
bertindak, dan menjauhkan gereja dari masaah-masalah kongkret. Gereja-gereja
penganut teologi Barat, tuding mereka, hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus
sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar
menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming
surga setelah kematian.
Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan
berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak
boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada
rakyat untuk melakukan perubahan. Namun keterlibatan rakyat hanya mungkin
dibangkitkan bila mereka memiliki harapan untuk mengubah sistem yang menindas
mereka. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan
keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur
sosial-ekonomi-politik yang berlaku. Kesadaran baru, kata para uskup, hanya
dapat timbul bila rakyat bertambah pandai. Untuk itu gereja memelopori upaya
pembebasan tingkat intelektual dengan mendirikan Universitas Javeriana di
Bogota, Kolombia (1937), Universitas Katolik di Lima (1942), di Rio de Janeiro
dan Sao Paulo (1947), Porto Alegre (1950), Campinas dan Quito (1956), Buenos
Aires dan Cordoba (1960), dan lain-lain.
Bersamaan dan berkaitan dengan pendirian universitas Katolik,
mulai muncul aksi-aksi Katolik di Kuba, Argentina, Uruguay, Kosta Rika, Peru,
dan Bolivia. Organisasi pemuda aksi Katolik tumbuh dengan cepat. Di Argentina,
misalnya, pada 1934, jumlah anggotanya baru 600 orang. Tapi tahun 1953, sudah
mencapai 8000 orang. Di Brasil, pada 1953 baru 15.000. Tahun 1961 meningkat ke
angka 120.000 orang. Organisasi buruh juga makin populer. Pada 1954, baru ada
empat negara yang mempunyai Serikat Buruh Nasional. Tapi pada 1960-an, hampir
semua negara Amerika Latin mempunyai Serikat Buruh Nasional, kecuali Kosta
Rika, Guatemala, dan Kuba. Total ada 23 Serikat Buruh Nasional dengan anggota
militan sekitar satu juta orang. Menurut buku Teologi Pembebasan, itu ada
hubungannya dengan upaya gereja untuk menciptakan kaum awam yang militan.
Untuk melembagakan kesadaran baru di bidang teologi itu, para
uskup Amerika Latin membentuk Consejo Episcopal Latino-Americano (Celam)--sidang
para uskup Amerika latin--Di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1955. Peristiwa ini
sekaligus menjadi tonggak diterapkannya "sistem kolegialitas antar
uskup" dan ditinggalkannya sistem patronato yang telah diterapkan sejak
abad ke-13. Dalam sistem patronato, gereja berada di bawah kekuasaan penguasa.
Para uskup cenderung berkompromi bahkan berpihak kepada para penguasa politik,
walaupun penguasa itu menyengsarakan rakyat. Sedangkan dalam sistem
kolegialitas, gereja tak lagi berada di bawah payung penguasa politik. Mereka
dapat bergerak bebas untuk menyentuh masalah ekonomi, politik, dan budaya. Hal
ini mengantar mereka untuk melancarkan gerakan pembebasan bagi rakyat
tertindas, walau dengan risiko dimusuhi penguasa.
Gerakan pembebasan itu makin gencar setelah Konsili Vatikan
II --sidang resmi para uskup sedunia-- pada 1962 memerintahkan agar Gereja
Katolik memikirkan masalah-masalah aktual, umpamanya, turut memajukan
kebudayaan, ekonomi, dan ikut mewujudkan perdamaian dunia.
Apa yang dicanangkan Konsili Vatikan II tersebut menjadi
salah satu alasan para uskup Amerika Latin untuk menggelar Sidang Celam II di
Medellin, Kolombia, pada 1968. Ringkasnya, sidang itu menyimpulkan bahwa
penindasan di Amerika Latin telah menjelma menjadi kekerasan yang melembaga
(institutionalized violence) dan terjadi di segala bidang. Maka gereja harus
berinisiatif dan bertanggung jawab untuk mengembangkan kebudayaan, berperan
serta dalam kehidupan sosial politik.
Tiga tahun kemudian, 1971, terbit Teologia de la Liberacion --Teologi
Pembebasan-- karya Gustavo Gutierrez, pastor dari Peru itu. Buku ini
menguraikan secara jelas gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan yang ditempuh
para uskup Amerika Latin.
Sidang Celam II dan buku Gutierrez mendorong gereja untuk
makin terlibat dalam perlawanan rakyat. Sebaliknya, rasa permusuhan penguasa
dan orang-orang kaya terhadap gereja kian tajam. Seiring dengan meluasnya paham
Teologi Pembebasan, gencar pula suara yang menuduh para pengikut teologi ini
menerapkan ajaran marxis yang merekomendasikan perjuangan kelas dan perubahan
radikal melalui revolusi kekerasan. Penggunaan analisis marxis "perjuangan
kelas" dan "perubahan struktur" oleh para teolog Teologi
Pembebasan, termasuk Gutierrez, dianggap para kritikus sebagai "dosa
terhadap Kristianitas".
Namun para tokoh Teologi Pembebasan membantah tuduhan
tersebut. Camilo Torres, pastor dari Kolombia yang ikut bergerilya dan tewas,
misalnya, mengaku sebenarnya tak ingin bergabung dengan para gerilyawan.
"Berkali-kali saya dituduh menyuarakan revolusi dengan kekerasan. Manakala
rakyat mempunyai keberanian untuk mengorganisasi diri, kelas penguasa
cepat-cepat menuduh kita menghimpun revolusi dengan kekerasan. Kita tak ingin
kekerasan, kita tak hendak menggunakan paksaan. Yang kita cita-citakan adalah
bahwa suatu ketika kekuasaan akan berada di tangan rakyat," katanya pada
1965.
Bahwa ia akhirnya menggunakan kekerasan, bergabung dengan
kelompok gerilyawan komunis, memanggul senjata, menurutnya karena tak ada
pilihan lain. Pemerintah dan aparat militer tak dapat diajak berbicara.
Penguasa hanya mempunyai satu jalan: senjata. Tapi Camilo menolak bila dituduh
komunis. "Saya tak pernah akan bergabung ke dalam aparatnya, dan saya tak
hendak menjadi komunis, baik sebagai warga Kolombia, sebagai sosiolog, sebagai
orang Kristen, maupun sebagai pastor. Namun saya bersedia berjuang bersama-sama
mereka untuk meraih tujuan serupa, yakni melawan dan menentang oligarki dan
dominasi Amerika Serikat agar kekuasaan kembali ke tangan rakyat," katanya
pada September 1965.
Pengikut Teologi Pembebasan memang tak menyangkal bahwa
mereka menggunakan analisis marxis, tapi menolak bila dituduh
"berdosa" terhadap Kristianitas. Gutierrez, yang mendalami
tulisan-tulisan Marx sejak mahasiswa di Universitas San Marcos, tetap bersikap
kritis terhadap kekurangan dan bahaya marxis.
Bagi Gutierrez, peranan marxisme hanyalah alat analisis yang
dapat merekam dan mendeskripsikan keadaan tak adil dan praktek kekerasan yang
melembaga di Amerika Latin. Menurut Gutierrez, "perjuangan kelas" yang
dikumandangkan oleh Marx bukan hal baru bagi penganut Kristiani. Santo Lucas
yang hidup sebelum Marx, kata Gutierrez, telah menyuarakan perjuangan kelas.
Transformasi struktur, perubahan struktur kapitalisme yang menciptakan
ketidakadilan dan kemiskinan rakyat banyak, bukanlah monopoli Marx. Injil,
Gutierrez melanjutkan, sudah lebih dulu menganjurkannya. Untuk memperkuat
argumentasinya, Gutierrez mengutip ayat-ayat dalam Injil. Misalnya dari Injil
Lukas bab 1 ayat 51-53 yang antara lain berbunyi: "Ia menurunkan
orang-orang yang berkuasa dari tahtanya dan meninggikan orang-orang yang
rendah. Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang-orang lapar, dan menyuruh
orang kaya pergi dengan tangan hampa."
Tak lupa ia menafsirkan makna kelahiran Yesus sebagai Sang
Pembebas. Yesus, menurut Gutierrez, lahir untuk mewartakan kabar gembira kepada
orang miskin, dan mewartakan pembebasan bagi mereka yang terbelenggu, yang
telah dengan berani menghadapi serangan para penguasa Romawi yang menindas
orang Yahudi. Berdasarkan argumentasi tersebut, ia menganggap tak ada salahnya
meminjam pendekatan marxis untuk melaksanakan tugas sosial gereja.
"Pentingnya konsepsi bukan ditentukan oleh siapa yang mengatakannya,
melainkan oleh ketepatannya dalam mendeskripsikan dunia tempat kita hidup.
Entah yang merumuskannya itu manusia Karl Marx atau manusia yang lain,"
katanya.
Namun, Gutierrez tetap bersikap kritis terhadap marxis dan
menempatkan Kristianitas sebagai pedoman hidup yang lebih unggul ketimbang
marxis. Keunggulan Kristianitas, katanya, terletak pada kemampuannya melihat
kemenangan setelah kematian. Sementara tentang maut, marxisme tak punya
jawaban.
Pembenaran Gutierrez tersebut tak mengurangi kecurigaan
berbagai pihak terhadap gerakan Teologi Pembebasan. Tahun 1984, Vatikan mengeluarkan
instruksi yang melarang para imam Katolik terlibat dalam kegiatan politik
praktis dan menggunakan pendekatan marxis. Bahkan sebelum itu, dari kalangan
para uskup Amerika Latin yang tergabung dalam Celam sendiri sudah terdengar
kritik terhadap penerapan marxisme. Dan pada Sidang Celam III di Puebla de los
Angeles, Meksiko, pada 1979, mereka mengecam marxisme seraya mengutuk
kapitalisme. Menurut mereka, kedua sistem itu membuat manusia menjadi budak
ambisi kekayaan, kekuasaan, pengagungan kepentingan umum negara, seks, dan
kenikmatan duniawi yang menggerogoti hubungan manusia dengan Tuhan. Namun,
mereka tetap mengimbau untuk menggalakkan gerakan "umat basis" yang
sudah dilakukan sebelumnya.
Toh, semangat Teologi Pembebasan terlanjur menjalar ke berbagai
negara, terutama negara Dunia Ketiga yang mayoritas penduduknya beragama
Katolik seperti Filipina. Ed de la Torre, penulis buku Touching Ground, Taking
Root: Theological and Political Reflections on The Phillipine Struggle,
menyimpulkan bahwa pengaruh Teologi Pembebasan itu terlihat pada gerakan massa
yang menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos pada 1986. Umat Kristiani,
katanya, terlibat aktif dalam gerakan rakyat untuk melakukan perubahan
fundamental di bidang ekonomi dan politik.
Di Indonesia, menurut Budhy
Munawar Rachman, Manajer Program Studi Islam Yayasan Paramadina,
bayang-bayang teologi itu tak begitu jelas. Yang agak kentara, katanya, justru
pengaruh teori dependensi --pemikiran di bidang ekonomi-- yang pernah dipakai
sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada 1970-an.
..."Gereja Katolik Indonesia tak mengimpor Teologi
Pembebasan dari Amerika Latin itu," ujar Romo Purbo.
Begitu pula menurut Romo Ismartono. "Tapi bukan berarti
gereja menutup mata terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat,"
kata Romo Ismartono. Menurutnya, garis keterlibatan gereja di Indonesia dalam
solidaritas sosial berpegang pada Instruksi Mengenai Kebebasan dan Pembebasan
Kristiani yang dikeluarkan Tahta Tinggi Vatikan yang antikekerasan.
"Butir-butir instruksi itu berbeda dengan yang ada pada Teologi Pembebasan
di Amerika Latin. Gereja lebih memilih jalan reformasi ketimbang revolusi, yang
sering memakan korban dan akhirnya melahirkan rezim totaliter," lanjut
Romo Ismartono kepada J. Eko Setyo Utomo dari Gatra.
0 komentar:
Posting Komentar