Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat
disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian
tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh,
Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan
dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal
lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan
keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat
esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi
hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya
seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi
mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan
sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian
Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama
kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli
yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam
sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya
sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.
Sebagai unsur dalam studi klasik
pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam
tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain
ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni,
Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]),
dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri
kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan
pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak
mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan
lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi
paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah
Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran
Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan
yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga
dogmatis.
Meskipun begitu, dibanding dengan kajian
tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum
"Santri" masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh
kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah
peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya
dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah
yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja,
tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan
dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di
negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam.
Yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan
dengan Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama
Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena
dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi).
Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam
tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik
mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting
sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih
seimbang.
Pertumbuhan Ilmu Kalam
Sama halnya dengan disiplin-disiplin
keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat
Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam
sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya
ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an,
Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan
al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan
pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya
bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai
suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara
langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Sebelum pembahasan tentang proses
pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit
keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas
sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab kalam,
berarti "pembicaraan". Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah
dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam
pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama
Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri
memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga
secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah
terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga
disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika
formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm
al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".
Dari penjelasan singkat itu dapat
diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika.
Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang
Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan
bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran
Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat'h,
liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi
(disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan
Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia,
Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi
(tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami
Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.
Adalah untuk keperluan penalaran logis
itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula ialah untuk membuat penalaran
logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui
pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan
berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia
berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal
berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi
kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu
kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap
menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas)
pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu
mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan
amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala
perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.
Peranan Kaum Khawarij dan Mu'tazilah
Para pembunuh 'Utsman itu, menurut
beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi
Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai
berikut:
Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula
mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu
bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman
itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan
'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya
seribu orang sekitar itu.[1]
Tetapi mereka kemudian sangat kecewa
kepada 'Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka,
Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, dalam "Peristiwa Shiffin" di situ 'Ali
mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan "de
jure"-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok
baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum
Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap 'Utsman, kaum
Khawarij juga memandang 'Ali dan Mu'awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan
yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan
untuk membunuh 'Ali dan Mu'awiyah, juga Amr ibn al-'Ash, gubernur Mesir yang
sekeluarga membantu Mu'awiyah mengalahkan Ali dalam "Peristiwa
Shiffin" tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn
Muljam, berhasil membunuh hanya 'Ali, sedangkan Mu'awiyah hanya mengalami
luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh
seseorang bernama Kharijah yang disangka 'Amr, karena rupanya mirip). [2]
Karena sikap-sikap mereka yang sangat
ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa.
Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja
menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi
pemikiran Khawarij ialah kaum Mu'tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok
Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal
sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari
keterangan salah seorang 'ulama' yang disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn
al-Mubarak. Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:
Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut)
Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum
Mu'tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra'y (temuan rasional) ... [3]
Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah
bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mu'tazilah.[4]
Maka salah satu ciri pemikiran Mu'tazili ialah rasionalitas dan paham
Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar
menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang
bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan
bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan
ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari
Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa
Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya
mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus
(partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala
sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum
alam. Hukum alam seperti itu tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat
pasti, jadi tak terlawan oleh manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan
yang berpribadi personal God. Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun
tak berkesadaran kecuali mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles
itu Jahm dan para pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi
Tuhan, seperti sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan
seterusnya. Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda,
jadi bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka
tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal
sebagai al-Nufat ("pengingkar" [sifat-sifat Tuhan]) atau al-Mu'aththilah
("pembebas" [Tuhan dari sifat-sifat]).[5]
Kaum Mu'tazilah menolak paham
Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu'tazilah justru menjadi pembela paham
Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu'tazilah disebut sebagai
"titisan" doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij.
Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari
sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu'tazilah meminjam metologi
kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang
berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia).
Hal ini ikut membawa kaum Mu'tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang
dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan
buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah
pemerintahan al-Ma'mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong
munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.[6]
Khalifah al-Ma'mun sendiri, di
tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu'tazilah
melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab
Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah
al-Ma'mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu'tashim, melakukan
mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta
menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.[7]
Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah,
berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan
Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara
yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?[8]
Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu
hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan
perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi])
berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.[9]
Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.
Mihnah itu memang tidak berlangsung
terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka
yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih
banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma'mun dalam membuka pintu
kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah
umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), dengan
campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu
tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam,
dan juga Falsafah Islam."[10]
Disiplin
Keilmuan Tradisional Islam: Ilmu Kalam
(Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan)
(1/2)
Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat
disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian
tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh,
Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan
dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah,
dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang
lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik,
mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang
bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya,
maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan
berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia,
sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam
agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu
Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang
menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai
Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu
disiplin yang sangat khas Islam.
Sebagai unsur dalam studi klasik
pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam
tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain
ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni,
Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]),
dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri
kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan
pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak
mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan
lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi
paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah
Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran
Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan
yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga
dogmatis.
Meskipun begitu, dibanding dengan kajian
tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum
"Santri" masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh
kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah
peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya
dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah
yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja,
tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan
dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di
negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam.
Yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan
dengan Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama
Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena
dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi).
Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam
tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik
mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting
sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih
seimbang.
Pertumbuhan Ilmu Kalam
Sama halnya dengan disiplin-disiplin
keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi.
Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat
erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke
belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an,
Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan
al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan
pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya
bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai
suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara
langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Sebelum pembahasan tentang proses
pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit
keterangan tentang Ilmu Kalam ('Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas
sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab kalam,
berarti "pembicaraan". Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah
dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan
dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri
utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri
memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga
secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah
terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga
disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika
formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm
al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".
Dari penjelasan singkat itu dapat
diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika.
Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang
Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan
bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran
Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat'h,
liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi
(disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan
Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia,
Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi
(tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami
Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.
Adalah untuk keperluan penalaran logis
itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula ialah untuk membuat penalaran
logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui
pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan
berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia
berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal
berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi
kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran?
Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang
Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh
'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka
yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal
perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya
itu, yang baik dan yang buruk.
Peranan Kaum Khawarij dan Mu'tazilah
Para pembunuh 'Utsman itu, menurut
beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn Abi
Thalib, Khalifah IV. Ini disebutkan, misalnya, oleh Ibn Taymiyyah, sebagai
berikut:
Sebagian besar pasukan Ali, begitu pula
mereka yang memerangi Ali dan mereka yang bersikap netral dari peperangan itu
bukanlah orang-orang yang membunuh 'Utsman. Sebaliknya, para pembunuh 'Utsman
itu adalah sekelompok kecil dari pasukan 'Ali, sedangkan umat saat kekhalifahan
'Utsman itu berjumlah dua ratus ribu orang, dan yang menyetujui pembunuhannya
seribu orang sekitar itu.[1]
Tetapi mereka kemudian sangat kecewa
kepada 'Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka,
Mu'awiyah ibn Abu Sufyan, dalam "Peristiwa Shiffin" di situ 'Ali
mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan "de
jure"-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok
baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum
Pembelot atau Pemberontak). Seperti sikap mereka terhadap 'Utsman, kaum
Khawarij juga memandang 'Ali dan Mu'awiyah sebagai kafir karena mengkompromikan
yang benar (haqq) dengan yang palsu (bathil). Karena itu mereka merencanakan
untuk membunuh 'Ali dan Mu'awiyah, juga Amr ibn al-'Ash, gubernur Mesir yang
sekeluarga membantu Mu'awiyah mengalahkan Ali dalam "Peristiwa
Shiffin" tersebut. Tapi kaum Khawarij, melalui seseorang bernama Ibn
Muljam, berhasil membunuh hanya 'Ali, sedangkan Mu'awiyah hanya mengalami
luka-luka, dan 'Amr ibn al-'Ash selamat sepenuhnya (tapi mereka membunuh
seseorang bernama Kharijah yang disangka 'Amr, karena rupanya mirip). [2]
Karena sikap-sikap mereka yang sangat
ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa.
Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja
menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi
pemikiran Khawarij ialah kaum Mu'tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok
Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal
sekarang. Berkenaan dengan Ibn Taymiyyah mempunyai kutipan yang menarik dari
keterangan salah seorang 'ulama' yang disebutnya Imam 'Abdull'ah ibn al-Mubarak.
Menurut Ibn Taymiyyah, sarjana itu menyatakan demikian:
Agama adalah kepunyaan ahli (pengikut)
Hadits, kebohongan kepunyaan kaum Rafidlah, (ilmu) Kalam kepunyaan kaum
Mu'tazilah, tipu daya kepunyaan (pengikut) Ra'y (temuan rasional) ... [3]
Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah
bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mu'tazilah.[4] Maka
salah satu ciri pemikiran Mu'tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah.
Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan
unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn
Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia
tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan.
Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyah-nya dari Aristotelianisme,
yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu
kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan
umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan
tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk
pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Hukum alam seperti itu
tidak mengenal pribadi (impersonal) dan bersifat pasti, jadi tak terlawan oleh
manusia. Aristoteles mengingkari adanya Tuhan yang berpribadi personal God.
Baginya Tuhan adalah kekuatan maha dasyat namun tak berkesadaran kecuali
mengenai hal-hal universal. Maka mengikuti Aristoteles itu Jahm dan para
pengikutpya sampai kepada sikap mengingkari adanya sifat bagi Tuhan, seperti
sifat-sifat kasib, pengampun, santun, maha tinggi, pemurah, dan seterusnya.
Bagi mereka, adanya sifat-sifat itu membuat Tuhan menjadi ganda, jadi
bertentangan dengan konsep Tauhid yang mereka akui sebagai hendak mereka
tegakkan. Golongan yang mengingkari adanya sifat-sifat Tuhan itu dikenal
sebagai al-Nufat ("pengingkar" [sifat-sifat Tuhan]) atau
al-Mu'aththilah ("pembebas" [Tuhan dari sifat-sifat]).[5]
Kaum Mu'tazilah menolak paham
Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu'tazilah justru menjadi pembela paham
Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu'tazilah disebut sebagai
"titisan" doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij.
Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari
sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu'tazilah meminjam metologi
kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang
berbeda, bahkan berlawanan (seperti premis kebebasan dan kemampuan manusia).
Hal ini ikut membawa kaum Mu'tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang
dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan
buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah
pemerintahan al-Ma'mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong
munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.[6]
Khalifah al-Ma'mun sendiri, di
tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu'tazilah
melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab
Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah
al-Ma'mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu'tashim, melakukan
mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta
menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.[7]
Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah,
berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan
Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara
yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)?[8]
Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu
hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan
perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi])
berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.[9]
Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.
Mihnah itu memang tidak berlangsung
terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka
yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih
banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma'mun dalam membuka pintu
kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah
umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), dengan
campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu
tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam,
dan juga Falsafah Islam."[10]
Disiplin
Keilmuan Tradisional Islam: Ilmu Kalam
(Sebuah Tinjauan Singkat Kritis Kesejarahan)
(2/2)
Plus-Minus Ilmu Kalam
Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu
Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu'tazilah. Adalah seorang sarjana dari
kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy'ari (260-324 H/873-935 M) yang
terdidik dalam alam pikiran Mu'tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran
Mu'tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham
Mu'tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti
Mu'tazilah. Ilmu Kalam al-Asy'ar'i itu, yang juga sering disebut sebagai paham
Asy'ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang
paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah
menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian
menegaskan bahwa "jalan keselamatan" hanya didapatkan seseorang yang
dalam masalah Kalam menganut al-Asy'ari.
Seorang pemikir lain yang Ilmu Kalam-nya
mendapat pengakuan sama dengan al-Asy'ari ialah Abu Manshur al-Maturidi (wafat
di Samarkand pada 333 H/944 M). Meskipun terdapat sedikit perbedaan dengan
al-Asy 'ari, khususnya berkenaan dengan teori tentang kebebasan manusia
(al-Maturidi mengajarkan kebebasan manusia yang lebih besar daripada
al-Asy'ari), al-Maturidi dianggap sebagai pahlawan paham Sunni, dan sistem Ilmu
Kalamnya dipandang sebagai "jalan keselamatan", bersama dengan sistem
al-Asy'ari. Sangat ilustratif tentang sikap ini adalah pernyataan Haji Muhammad
Shalih ibn 'Umar Samarani (yang populer dengan sebutan Kiai Saleh Darat dari
daerah dekat Semarang), dengan mengutip dan menafsirkan Sabda nabi dalam sebuah
hadits yang amat terkenal tentang perpecahan umat Islam dan siapa dari mereka
itu yang bakal selamat:
...Wus dadi prenca-prenca umat ingkang
dihin-dihin ing atase pitung puluh loro pontho, lan mbesuk bakal pada
prenca-prenca sira kabeh dadi pitting puluh telu pontho, setengah saking pitung
puluh telu namung sewiji ingkang selamet, lan ingkang pitung puluh loro kabeh
ing dalem neraka. Ana dene ingkang sewiji ingkang selamet iku, iya iku kelakuan
ingkang wus den lakoni Gusti Rasulullah s.a.w., lan iya iku 'aqa'ide Ahl
al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah lan Maturidiyyah.[11]
(...Umat yang telah lalu telah
terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan kelak kamu semua akan
terpecah-pecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dari antara tujuh puluh tiga
itu hanya satu yang selamat, sedangkan yang tujuh puluh dua semuanya dalam
neraka. Adapun yang satu yang selamat itu ialah mereka yang berkelakuan seperti
yang dilakukan junjungan Rasulullah s.a.w., yaitu 'aqa'id (pokok-pokok
kepercayaan) Ahl al-Sunnah wa 'l-Jama'ah Asy'ariyyah dan M'aturidiyyah).
Kehormatan besar yang diterima al-Asy'ari
ialah karena solusi yang ditawarkannya mengenai pertikaian klasik antara kaum
"liberal" dari golongan Mu'tazilah dan kaum "konservatif"
dari golongan Hadits (Ahl al-Hadits, seperti yang dipelopori oleh Ahmad ibn
Hanbal dan sekalian imam mazhab Fiqh). Kesuksesan al-Asy'ari merupakan contoh
klasik cara mengalahkan lawan dengan meminjam dan menggunakan senjata lawan.
Dengan banyak meminjam metodologi pembahasan kaum Mu'tazilah, al-Asy'ari
dinilai berhasil mempertahankan dan memperkuat paham Sunni di bidang Ketuhanan
(di bidang Fiqh yang mencakup peribadatan dan hukum telah diselesaikan terutama
oleh para imam mazhab yang empat, sedangkan di bidang tasawuf dan filsafat
terutama oleh al-Ghazali, 450-505 H/1058-1111 M). Salah satu solusi yang
diberikan oleh al-Asy'ari menyangkut salah satu kontroversi yang paling dini
dalam pemikiran Islam, yaitu masalah manusia dan perbuatannya, apakah dia bebas
menurut paham Qadariyyah atau terpaksa seperti dalam paham Jabariyyah. Dengan
maksud menengahi antara keduanya, al-Asy'ari mengajukan gagasan dan teorinya
sendiri, yang disebutnya teori Kasb (al-kasb, acquisition, perolehan). Menurut
teori itu, perbuatan manusia tidaklah dilakukan dalam kebebasan dan juga tidak
dalam keterpaksaan. Perbuatan manusia tetap dijadikan dan ditentukan Tuhan,
yakni dalam keterlaksanaannya. Tetapi manusia tetap bertanggung-jawab atas
perbuatannya itu, sebab ia telah melakukan kasb atau acquisition, dengan adanya
keinginan, pilihan, atau keputusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu,
dan bukan yang lain, meskipun ia sendiri tidak menguasai dan tidak bisa
menentukan keterlaksanaan perbuatan tertentu yang diinginkan, dipilih dan
diputus sendiri untuk dilakukan itu. Ini diungkapkan secara singkat dalam
nadham Jawharat al-Tawhid demikian:
Wa indana li l abdi kasbun kullifa, wa
lam yakun mu atstsiran fa 'l-tarifa.
Fa laysa majburan wa la 'khtiyara wa laysa kullan yaf'alu 'khtiyara
Fa laysa majburan wa la 'khtiyara wa laysa kullan yaf'alu 'khtiyara
(Bagi kita Ahl al-Sunnah manusia
terbebani oleh kasb dan ketahuilah bahwa ia tidak mempengaruhi tindakannya.
Jadi manusia bukanlah terpaksa dan bukan pula bebas, namun tidak seorang pun mampu berbuat sekehendaknya).
Jadi manusia bukanlah terpaksa dan bukan pula bebas, namun tidak seorang pun mampu berbuat sekehendaknya).
Terhadap rumus itu Kiai Saleh Darat
memberi komentar tipikal paham Sunni (menurut Ilmu Kalam Asy'ari) sebagai
berikut:
... Maka Jabariyyah lan Qadariyyah iku
sasar karone.Maka ana madshab Ahl al-Sunnah iku tengah-tengah antarane
Jabariyyah lan Qadariyyah, metu antarane telethong lan getih metu rupa labanan
khalishan sa'ghan li al-syaribin.[12]
(... Maka Jabariyyah dan Qadariyyah itu
kedua-duanya sesat. Kemudian adalah mazhab Ahl al-Sunnah berada di tengah
antara Jabariyyah dan Qadariyyah, keluar dari antara kotoran dan darah susu
yang murni, yang menyegarkan orang yang meminumnya).
Tetapi tak urung konsep kasb al-Asy'ari
itu menjadi sasaran kritik lawan-lawannya. Dan lawan-lawan al-Asy'ari tidak
hanya terdiri dari kaum Mu'tazilah dan Syi'ah (yang dalam Ilmu Kalam banyak
mirip dengan kaum Mu'tazilah), tetapi juga muncul, dari kalangan Ahl al-Sunnah
sendiri, khususnya kaum Hanbali. Dalam hal ini bisa dikemukakan, sebagai
contoh, yaitu pandangan Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), seorang tokoh
paling terkemuka dari kalangan kaum Hanbali. Ibn Taymiyyah menilai bahwa dengan
teori kasb-nya itu alAsy'ari bukannya menengahi antara kaum Jabari dan Qadari,
melainkan lebih mendekati kaum Jabari, bahkan mengarah kepada dukungan terhadap
Jahm ibn Shafwin, teoretikus Jabariyyah yang terkemuka. Dalam ungkapan yang
menggambarkan pertikaian pendapat beberapa golongan di bidang ini, Ibn
Taymiyyah yang nampak lebih cenderung kepada paham Qadariyyah (meskipun ia
tentu akan mengingkari penilaian terhadap dirinya seperti itu) mengatakan
demikian:
... Sesungguhnya para pengikut paham
Asy'ari dan sebagian orang yang menganut paham Qadariyyah telah sependapat
dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip pendapatnya tentang Jabariyyah,
meskipun mereka ini menentangnya secara verbal dan mengemukakan hal-hal yang
tidak masuk akal... Begitu pula mereka itu berlebihan dalam menentang kaum
Mu'tazilah dalam masalah-masalah Qadariyyah --sehingga kaum Mu'tazilah menuduh
mereka ini pengikut Jabariyyah-- dan mereka (kaum Asy'ariyyah) itu mengingkari
bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada pada benda-benda bernyawa mempunyai
dampak atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian (tindakan-tindakan).[13]
Namun agaknya Ibn Taymiyyah menyadari
sepenuhnya betapa rumit dan tidak sederhananya masalah ini. Maka sementara ia
mengkritik konsep kasb alAsy'ari yang ia sebutkan dirumuskan sebagai
"sesuatu perbuatan yang terwujud pada saat adanya kemampuan yang
diciptakan (oleh Tuhan untuk seseorang) dan perbuatan itu dibarengi dengan
kemampuan tersebut"[14]
Ibn Taymiyyah mengangkat bahwa pendapatnya itu disetujui oleh banyak tokoh
Sunni, termasuk Malik, Syafii dan Ibn Hanbal. Namun Ibn Taymiyyah juga
mengatakan bahwa konsep kasb itu dikecam oleh ahli yang lain sebagai salah satu
hal yang paling aneh dalam Ilmu Kalam.[15]
Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan
oleh al-Asy'ari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan
yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman
Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional ('aql, akal) terhadap
keterangan tekstual (naql, "salinan" atau "kutipan"), baik
dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum "liberal", seperti golongan
Mut'azilah, cenderung mendahulukan akal, dan kaum "konservatif"
khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan
ini ialah masalah interprestasi (ta'wil), sebagaimana telah kita bahas.[16]
Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy'ari cenderung mendahulukan naql
dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan
jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan "bi la kayfa" (tanpa
bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim)
--menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan
lain-lain. Metode al-Asy'ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur
kesuksesan sistemnya.
Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi
al-Asy'ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata
mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu'tazilah, Ilmu Kalam al-Asy'ari
pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq)
Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari
premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau
al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak
ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih
daripada hasil ta'aqqul (intelektualisasi).[17]
Demikian pula konsep-konsep Aristoteles yang lain, seperti kategori-kategori
yang sepuluh (esensi, kualitas, kuantitas, relasi, lokasi, waktu, situasi,
posesi, aksi, dan pasi), juga konsep-konsep tentang genus, spesi, aksiden,
properti, dan lain-lain, ditolak oleh Ibn Taymiyyah sebagai basil
intelektualisasi yang tidak ada kenyataannya di dunia luas. Maka terkenal
sekali ucapan Ibn Taymiyyah bahwa "hakikat ada di alam kenyataan (di
luar), tidak dalam alam pikiran" (Al-haqiqah fi al-ayan, la fi
al-adzhan).[18]
Epistemologi Ibn Taymiyyah tidak
mengizinkan terlalu banyak intelektualisasi, termasuk interprestasi. Sebab
baginya dasar ilmu pengetahuan manusia terutama ialah fithrah-nya: dengan
fithrah itu manusia mengetahui tentang baik dan buruk, dan tentang benar dan salah.[19]
Fithrah yang merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya
melalui intuisi, hati kecil, hati nurani, dan lain-lain, diperkuat oleh agama,
yang disebut Ibn Taymiyyah sebagai "fithrah yang diturunkan"
(al-fithrah al-munazzalah). Maka metodologi kaum Kalam baginya adalah sesat.[20]
Yang amat menarik ialah bahwa epistemologi
Ibn Taymiyyah Yang Hanbali berdasarkan fithrah itu paralel dengan epistemologi
Abu Ja'far Muhammad ibn Ali ibn al-Husayn Babwayh al-Qummi (wafat 381 H),
seorang "ahli Ilmu Kalam" terkemuka kalangan Syi'ah. Al-Qummi, dengan
mengutip berbagai hadits, memperoleh penegasan bahwa pengetahuan tentang Tuhan
diperoleh manusia melalui fitrah-nya, dan hanya dengan adanya fitrah itulah
manusia mendapat manfaat dari bukti-bukti dan dalil-dalil.[21]
Maka sejalan dengan itu, Ibn Taymiyyah
menegaskan, bahwa pangkal iman dan ilmu ialah ingat (dzikr) kepada Allah.
"Ingat kepada Allah memberi iman, dan ia adalah pangkal iman .....pangkal
ilmu.[22]
CATATAN
1 Ibn
Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah, jil. 4, h. 237.
2
Ibid, hh. 12-13.
3
Ibid, h. 110.
4
Ibid.
5
Ibid., jil. 1, hh. 344 dan 345.
6 Ibn
Taymiyyah, Naqdl al-Manthiq, h. 185.
7
Minhaj, jil. 1, h. 344.
8
Karena dominannya isu Kalam atau Sabda Allah apakah qadim atau hadits sebagai
pusat kontroversi itu maka ada kaum ahli yang mengatakan penalaran tentang segi
ajaran Islam yang relevan itu disebut Ilmu Kalam, seolah-olah merupakan ilmu
atau teori tentang Kalam Allah. Disamping itu, seperti Ibn Taymiyyah,
mengatakan bahwa ilmu itu disebut Ilmu Kalam dan para ahlinya disebut kaum
Mutakallim, sesuai dengan makna harfiah perkataan kalam dan mutakallim
(pembicaraan, hampir mengarah kepada arti "orang yang banyak
bicara"), ialah karena bertengkar sesama mereka dengan adu argumen melalui
pembicaraan kosong, tidak substantif. (Lihat Ibn Taymiyyah, Naqdl al-Manthiq,
hh. 205-206).
9
Berkenaan dengan kontroversi ini, seorang orientalis kenamaan, Wilfred Cantwell
Smith dari Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada
(tempat banyak ahli keislaman Indonesia dan Dunia belajar dan mengajar,
termasuk, Prof. H.M. Rasydi), membandingkan paham orang Islam, khususnya aliran
Sunni, dengan paham orang Kristen. Kata Smith, yang sebanding dengan al-Qur'an
dalam Islam itu bukanlah Injil dalam Kristen, melainkan diri 'Isa al-masih atau
Yesus Kristus. Sebab, sebagaimana orang-orang Muslim (aliran Sunni) memandang
al-Qur'an itu qadiim seperti Dzat Ilahi, orang-orang Kristen memandang 'Isa
sebagai penjelmaan Allah dalam sistem teologia Trinitas, yang juga qadim, sama
dengan al-Qur'an. Jadi jika bagi agama Islam al-Qur'an itulah wahyu Allah
(Inggris: revelation, pengungkapan diri), maka bagi agama Kristen 'Isa al-Masih
itulah wahyu, menampakkan Tuhan. Sedangkan Injil bukanlah wahyu, melainkan
catatan tentang kehidupan 'Isa al-Masih, sehingga tidak sama kedudukannya
dengan al-Qur'an, tetapi bisa dibandingkan dengan Hadits. Maka sejalan dengan
itu Nabi Muhammad tidaklah harus dibandingkan dengan 'Isa al-Masih (karena dia
ini "Tuhan"), tetapi dengan Paulus (karena dia ini, sama dengan Nabi
Muhammad, adalah "rasul"). (Lihat, W. C. Smith, Islam in Modern
History [Princenton, N.J.: Princeton University Press, 19771, hh. 17-18 fn).
Pandangan Islam tentang Isa al-Masih sudah sangat terkenal, dan tidak perlu
dikemukakan di sini. Tetapi tentang Paulus, cukup menarik mengetahui bahwa
sudah sejak awal sekali orang-orang Muslim terlibat dalam kontroversi dan
polemik sekitar tokoh ini. Menurut Ibn Taymiyyah, misalnya, Paulus (Arab:
Bawlush ibn Yusya') adalah scorang tokoh Yahudi yang berpura-pura masuk agama
Nasrani dengan maksud merusak agama itu melalui pengembangan paham bahwa 'Isa
al-Masih adalah Tuhan atau jelmaan Tuhan. Ibn Taymiyyah mengemukakan bahwa
peranan Paulus dalam merusak agama Nasrani sama dengan peranan 'Abdullah ibn
Saba' dalam tnerusak agama Islam. Serupa dengan Paulus, 'Abdullah ibn Saba',
kata Ibn Taymiyyah, adalah seorang tokoh Yahudi dari Yaman yang menyelundup ke
dalam Islam dengan tujuan merusak agama itu dari dalam, dengan mengembangkan
paham yang salah dan serba melewati batas tentang Ali ibn Abi Thalib dan
Anggota Keluarga Nabi (Ahl al-Bayt) sebagaimana kemudian dianut oleh kaum
Rafidlah dan kaum Syi'ah pada umumnya. (Lihat, Minhaj, jil. 1, h. 8 dan jil. 4,
h. 269). Kiranya kontroversi dan polemik serupa itu tidak perlu mengejutkan
kita, karena telah merupakan bagian dari sejarah pertumbuhan pemikiran
keagamaan itu sendiri.
10
Disini perlu kita tegaskan bahwa mihnah Khalifah al-Ma'mun itu, meskipun sangat
buruk, tidak dapat disamakan dengan inquisition yang terjadi di Spanyol setelah
reconquest. Karena mihnah itu dilancarkan dibawah semacam "liberalisme"
Islam atau kebebasan berpikir yang menjadi paham Mu'tazilah, melawan mereka
yang dianggap menghalangi "liberalisme" dan kebebasan itu, khususnya
kaum "fundamentalis" (al-Hasywiyyun, sebuah sebutan ejekan, yang
secara harfiah berarti kurang lebih "kaum sampah" karena malas
berpikir dan menolak melakukan interprestasi terhadap ketentuan agama yang bagi
mereka tidak masuk akal). Sedangkan inquisition di Spanyol kemudian Eropa pada
umumnya secara total kebalikannya, yaitu atas nama paham agama yang fundamentalistik
dan sempit melawan pikiran bebas yang menjadi paham para pengemban ilmu
pengetahuan, termasuk para failasuf yang saat itu telah belajar banyak dari
warisan pemikiran Islam.
0 komentar:
Posting Komentar