Kamis, 22 September 2011

Bersikap Kritis terhadap Ilmu Pengetahuan


            Banyak orang begitu saja berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang baik dan berguna untuk umat manusia. Tentu saja, pendapat itu memiliki alasan dan argumen yang cukup kuat. Ilmu pengetahuan telah memberikan kita listrik, air minum yang bersih dan sehat, penisilin, alat kontrasepsi, perjalanan melalui udara, dan banyak hal lainnya. Semuanya itu memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kemanusiaan. Akan tetapi, lepas dari sumbangannya yang begitu besar terhadap kehidupan umat manusia, ilmu pengetahuan tetaplah harus dipertimbangkan secara kritis, baik secara etis maupun secara epistemologis. Beberapa orang berpendapat bahwa masyarakat terlalu memberikan perhatian terhadap ilmu pengetahuan, sehingga bidang-bidang lainnya, seperti seni, sastra, pendidikan, jadi terabaikan. Beberapa orang lainnya juga berpendapat bahwa ilmu pengetahuan telah memberikan kemudahan pada manusia yang seharusnya tidak perlu. Artinya, kita akan hidup jauh lebih baik dan manusiawi tanpa adanya ilmu pengetahuan. Argumen terakhir ini mungkin relevan, jika ditempatkan pada persoalan tentang penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk menciptakan senjata pemusnah massal. Seperti sudah disinggung sebelumnya, para pemikir feminis juga berpendapat bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatnya sudah bias gender dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Dari kalangan kaum beragama, banyak orang sendiri merasa bahwa ilmu pengetahuan, dengan pengungkapan fakta dan analisis yang dilakukannya, dapat membahayakan iman mereka. Banyak antropolog juga berpendapat bahwa ilmu pengetahuan modern yang berkembang di Eropa memiliki arogansi kultural, sehingga ilmuwan barat seringkali memandang rendah kebudayaan-kebudayaan lainnya di luar kebudayaan barat. Tentu saja, semua argumen ini memenuhi daftar kritik yang bisa diajukan terhadap ilmu pengetahuan. Akan tetapi, supaya lebih fokus, pada bab ini, saya akan memusatkan diri pada tiga argumen tentang pertimbangan kritis yang bersifat filosofis terhadap ilmu pengetahuan, yakni tentang saintisme, relasi antara iman dan ilmu pengetahuan, dan permasalahan yang paling menjadi perdebatan di dalam filsafat ilmu, yaitu relasi antara ilmu dan nilai-nilai.   

11.1 Tentang Saintisme
            Kata ‘sains’ dan ‘saintifik’, atau ilmiah, telah memperoleh cap yang, pada hemat saya, agak ganjil. Jika seseorang berkata bahwa sikap anda ‘tidak ilmiah’, maka kemungkinan besar, ia sedang mengkritik sikap anda.  Sikap saintifik dianggap sebagai sikap yang masuk akal, rasional, dan orang yang bersikap seperti itu layak mendapatkan pujian. Sementara itu, sikap tidak ilmiah, atau tidak saintifik, adalah sikap yang bodoh, irasional, dan sama sekali tidak layak mendapatkan pujian. Memang sulit bagi kita untuk merumuskan sebab-sebab mengapa konsep ilmiah atau saintifik tersebut mendapatkan pengertian semacam itu. Akan tetapi, mungkin saja, ini berkaitan dengan status ilmu pengetahuan yang begitu tinggi di dalam masyarakat modern. Harus diakui, masyarakat modern memandang ilmuwan sebagai orang-orang yang pendapatnya banyak diacu tentang berbagai hal yang terjadi, dan seringkali pendapat-pendapat tersebut tidak lagi dipertimbangkan dan dipertanyakan secara kritis. Tentu saja, sekarang ini, hampir semua orang menyadari bahwa bahkan ilmuwan pun dapat salah. Salah satu contoh yang paling jelas tentang hal ini adalah ketika para ilmuwan Inggris menyatakan bahwa penyakit sapi gila sama sekali tidak berbahaya bagi manusia. Suatu pernyataan yang secara tragis terbukti salah nantinya. Akan tetapi, hal ini tampaknya tidak banyak mengubah pandangan masyarakat itu sendiri terhadap ilmu pengetahuan, yakni bahwa ilmu pengetahuan menempati kedudukan yang istimewa di dalam opini publik. Di masyarakat Barat, ilmuwan tampak menggantikan posisi yang dulunya dipegang oleh para pemimpin agama. Para ilmuwan dianggap memiliki kemampuan dan pengetahuan khusus yang tidak dimliki oleh orang-orang biasa pada umumnya.[1] 
            Secara umum, saintisme adalah suatu istilah yang digunakan oleh para filsuf untuk menggambarkan apa yang mereka lihat sebagai ‘pemujaan ilmu pengetahuan’, yakni suatu sikap yang ironisnya banyak ditemukan di kalangan intelektual. Para pemikir pengkritik saintisme berpendapat bahwa ilmu pengetahuan bukanlah satu-satunya jenis kegiatan intelektual manusia yang dapat diandalkan. Ilmu pengetahuan juga tidak seharusnya mendapatkan status yang istimewa, karena dianggap sebagai satu-satunya jalan yang dapat ditempuh manusia untuk sampai pada pengetahuan. Para pemikir pengkritik saintisme seringkali menekankan bahwa mereka sama sekali tidak bermaksud bersikap anti total terhadap ilmu pengetahuan. Apa yang mereka kritik adalah status istimewa yang diberikan kepada ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu alam, di dalam masyarakat modern. Mereka juga hendak mengkritik pandangan yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan, untuk siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Jadi, pada hemat saya, tujuan pada pengkritik saintisme ini bukanlah untuk menolak ilmu pengetahuan sama sekali, tetapi untuk menempatkan ilmu pengetahuan pada tempat yang semestinya, yakni untuk menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan adalah salah satu cara untuk memahami dunia di samping beragam cara lainnya, sekaligus untuk membebaskan bidang-bidang kehidupan lain, seperti seni, sastra, ataupun agama, dari tirani paradigma saintifik yang terlalu dominan.  
            Secara epistemologis, saintisme meurpakan paham yang tidak jelas. Walaupun begitu, aktivitas yang mirip dengan ‘pemujaan ilmu pengetahuan’ adalah suatu gejala faktual yang terjadi di kalangan intelektual. Mungkin saja, hal pemujaan ini bukanlah melulu hal yang buruk, karena mungkin ilmu pengetahuan, dengan segala keberhasilannya membantu meningkatkan kualitas hidup manusia, layak untuk dipuja. Salah satu bidang yang seringkali dituduh sebagai medium utama pemujaan terhadap ilmu pengetahuan ini adalah filsafat Anglo-Amerika, di mana filsafat ilmu hanya merupakan salah satu cabangnya saja. Secara spesifik dan historis, lepas dari relasinya yang sangat dekat dengan matematika dan ilmu pengetahuan,  filsafat seringkali dikaitkan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan. Hal ini tentu saja memiliki alasannya sendiri, terutama karena filsafat bertanya secara mendasar tentang hakekat dari pengetahuan dan rasionalitas dari manusia yang refleksinya tidak bisa dilakukan dengan menggunakan metode-metode saintifik. Tidak ada satupun cabang ilmu pengetahuan yang mampu memberikan jawaban tentang bagaimana seharusnya kita hidup, apa yang dimaksud dengan pengetahuan, atau apa yang membuat manusia menjadi bahagian di dalam hidupnya. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan-pertanyaan filosofis yang tidak bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan.
            Walaupun secara akal sehat tampak bahwa pertanyaan-pertanyaan filosofis mendasar semacam itu tidak akan pernah dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan, tetapi beberapa pemikir masih berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya jalan yang legitim untuk mencapai kebenaran. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan metode ilmiah berarti pertanyaan itu tidak layak untuk dijawab. Pandangan semacam ini seringkali dikaitkan dengan pemikiran Willard van Orman Quine, salah satu filsuf Amerika terpenting pada abad ke-20. Dasar dari pandangan ini adalah paham yang banyak disebut sebagai naturalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan bahwa manusia adalah bagian dari keseluruhan yang disebut sebagai dunia natural (natural world), dan bukan sesuatu yang lepas dari dunia, seperti yang banyak diyakini oleh para filsuf sebelumnya. Dan karena ilmu pengetahuan mempelajari dunia natural secara keseluruhan, maka pastilah ilmu pengetahuan dapat menyibakkan kebenaran yang paling utuh dan penuh tentang hakekat manusia, dan tidak lagi menyisakan tempat bagi filsafat.[2] Salah satu argumen yang tampaknya mendukung pandangan ini adalah bahwa ilmu pengetahuan sudah tidak lagi diragukan kontribusinya yang luar biasa besar terhadap kehidupan manusia. Sementara, filsafat masihlah sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama dari abad ke abad. Dari sudut pandang ini, tidak ada yang disebut sebagai pengetahuan filosofis, karena semua bentuk pengetahuan haruslah merupakan pengetahuan ilmiah. Jika filsafat masih mau diberikan tempat, maka kontribusi yang dapat diberikan filsafat adalah suatu upaya untuk mengklarifikasi konsep-konsep ilmiah, sehingga ilmuwan bisa lebih akurat dan tepat melakukan penelitian mereka.
            Tentu saja, banyak filsuf menolak argumentasi ini, dan ini merupakan salah satu sumber kritik yang paling tajam terhadap saintisme. Mereka berpendapat bahwa filsafat mampu menyibakkan kebenaran-kebenaran yang tidak pernah akan dapat disentuh oleh ilmu pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang filosofis tidak akan pernah dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, ilmu pengetahuan bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenaran. Salah satu argumen lain yang mendukung pernyataan ini adalah bahwa filsafat haruslah berupaya untuk bersikap konsisten dengan ilmu pengetahuan. Artinya, filsafat tidaklah boleh menganggap bahwa klaim-klaimnya lebih memadai dari klaim-klaim ilmu pengetahuan, sehingga ada kemungkinan juga bahwa ilmu pengetahuan memperoleh pengakuan yang lebih daripada filsafat itu sendiri. Nah, apa yang mereka sungguh-sungguh tolak adalah paham imperialisme saintifik (scientific imperialism), yakni bahwa ilmu pengetahuan dapat menjawab semua pertanyaan penting dan mendasar tentang manusia, dan peran serta kedudukannya di keseluruhan kosmos ini. Para pendukung argumen yang terakhir ini juga seringkali disebut sebagai kaum naturalis. Mereka berpendapat bahwa manusia hanyalah salah satu bentuk spesies biologis, dan bahwa tubuh kita seluruhnya dibentuk oleh partikel-partikel fisik, seperti segala sesuatu lainnya di seluruh alam semesta ini.
            Isu yang kurang lebih sama juga dapat dilihat dalam konteks relasi antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Sama seperti ketika para filsuf mengkritik ‘pemujaan ilmu pengetahuan’ di dalam filsafat, begitu juga para ilmuwan sosial terkadang mengkritik pendekatan para ilmuwan sosial yang juga melakukan ‘pemujaan ilmu-ilmu alam’ di dalam pendekatan mereka. Memang, secara realistis, kita harus mengakui bahwa ilmu-ilmu alam, seperti fisika, kimia, biologi, berada pada level yang lebih maju daripada ilmu-ilmu sosial, seperti ekonomi, sosiologi, ataupun antropologi. Di dalam proses perkembangannya, banyak orang bertanya-tanya, mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu saja, jawabannya bukanlah bahwa ilmuwan alam memiliki kepintaran yang lebih tinggi daripada para ilmuwan sosial. Salah satu jawaban yang, pada hemat saya, mungkin adalah bahwa metode pendekatan di dalam ilmu-ilmu alam memiliki koherensi dan akurasi yang lebih tinggi daripada ilmu-ilmu sosial. Dengan kata lain, metode di dalam ilmu-ilmu alam lebih superior daripada metode di dalam ilmu-ilmu sosial. Jika hal ini tepat, maka apa yang seharusnya dilakukan oleh para ilmuwan sosial adalah menggunakan metode pendekatan ilmu-ilmu alam yang dianggap lebih baik. Untuk beberapa saat, para ilmuwan sosial telah melakukan hal ini. Hasilnya adalah banyaknya penggunaan rumusan matematis dan metode statistik di dalam ilmu-ilmu sosial. Di dalam sejarahnya, fisika mengalami perkembangan yang sangat pesat, ketika Galileo memutuskan untuk menerapkan metode matematis untuk mendeskripsikan gerak benda-benda. Keberhasilan ini mempengaruhi para ilmuwan sosial untuk menggunakan metode yang sama untuk mengembangkan ilmu-ilmu sosial. Tentu saja, argumen ini punya pengandaian dasar yang problematis, bahwa obyek penelitian di dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial memiliki kualitas yang sama yang dapat begitu saja ‘dimatematiskan’.    

Menanggapi hal semacam itu, banyak ilmuwan sosial yang menolak anggapan bahwa mereka harus mengagungkan dan menjadikan metode ilmu-ilmu alam sebagai contoh bagi cara kerja mereka, seperti para filsuf juga menolak konsep bahwa mereka harus mengagungkan ilmu pengetahuan di dalam refleksi mereka. Mereka berpendapat bahwa metode di dalam ilmu-ilmu alam tidak cocok untuk mempelajari fenomena sosial. Mengapa metode yang sangat berguna untuk diterapkan di dalam astronomi harus juga berguna di dalam analisis masyarakat? Para ilmuwan sosial yang menganut pandangan ini menolak status tinggi dan privelese yang dimiliki oleh ilmu-ilmu alam. Mereka berpendapat bahwa tidak ada alasan yang cukup masuk akal untuk menggunakan metode ilmu-ilmu alam di dalam analisis realitas sosial. “Para ilmuwan sosial ini”, demikian tulis Okasha di dalam bukunya tentang filsafat ilmu pengetahuan, “seringkali berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial lebih muda daripada ilmu-ilmu alam, dan bahwa kompleksitas realitas sosial membuat sebuah sains sosial menjadi sangat sulit untuk dilakukan.”[3]

            Kedua isu yang menjadi perdebatan ini, yakni saintisme dan relasi antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, bukanlah isu yang mudah untuk dipahami dan dicarikan solusinya begitu saja. Salah satu sebabnya adalah sulitnya mendefinisikan secara tepat apa yang disebut sebagai ‘metode ilmu pengetahuan’, terutama ‘metode ilmu-ilmu alam’, konsep yang menjadi salah satu inti perdebatan. Jika kita ingin tahu apakah metode ilmu pengetahuan sungguh dapat diterapkan di dalam semua bidang analisis, atau apakah metode tersebut sungguh dapat menjawab semua pertanyaan yang diajukan, maka kita harus tahu dengan tepat apa yang dimaksud dengan metode itu sebenarnya. Akan tetapi, seperti apa yang telah kita lihat pada bab-bab sebelumnya di dalam buku ini, pertanyaan ini sangat lugas dan tajam diajukan, tetapi jawaban atasnya sangat sulit untuk diberikan. Tentu saja, secara umum, kita bisa mendeskripsikan beberapa hal mengenai metode penelitian ilmiah, seperti induksi, pengujian eksperimen, observasi, proses perumusan teori, dan sebagainya. Akan tetapi, deskripsi ini tidaklah mampu memberikan definisi yang tepat dan akurat tentang metode ilmiah. “Jangan-jangan”, demikian tulis Okasha, “kita tidak akan bisa mendefenisikan metode ilmiah secara memadai.”[4] Ilmu pengetahuan berubah hampir sepanjang waktu, sehingga sangat sulit bagi kita untuk merumuskan pengandaian-pengandaian dasar yang bersifat tetap, tak berubah, yang dapat digunakan oleh semua bentuk ilmu pengetahuan tanpa kecuali. Pengandaian semacam ini banyak ditemukan di dalam saintisme, yakni paham yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran.

Pada titik ini, kita bisa menyimpulkan bahwa saintisme ternyata didasarkan pada pengandaian-pengandaian yang pada hakekatnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

11.2 Ilmu Pengetahuan dan Agama
            Tegangan antara ilmu pengetahuan di satu sisi dan agama di sisi lain sudah berusia sangat tua, dan tercatat secara lengkap di dalam sejarah. Salah satu yang paling terkenal adalah perseteruan Galileo dengan beberapa teolog di dalam Gereja Katolik Roma. Pada 1633, Inkuisisi memaksa Galileo menarik kembali setiap tulisannya tentang pandangan Kopernikus. Inkuisisi juga menghukum Galileo untuk tinggal dalam tahanan rumah seumur hidupnya di Florence. Pada waktu itu, Gereja Katolik menolak teori Kopernikus, karena dianggap tidak sesuai dengan isi Kitab Suci. Ketegangan antara agama dan ilmu pengetahuan yang terakhir dapat dilihat di dalam perdebatan antara para pemikir Darwinis dan para pendukung Kreasionis di Amerika Serikat. Yang terakhir ini akan menjadi fokus saya pada sub bab ini.
            Sebenarnya, tidak ada yang baru di dalam argumen para kreasionis untuk menentang teori evolusi Darwin, dan para pendukungnya. Ketika buku Origins of Species dipublikasikan pertama kali pada 1859, banyak pemikir dan pendukung gereja Katolik di Inggris pada waktu itu langsung melakukan kritik terhadap buku tersebut. Alasannya jelas dan cukup sederhana, yakni teori Darwin mengatakan bahwa setiap spesies, termasuk manusia, memiliki nenek moyang yang berevolusi dalam jangka waktu yang sangat lama. Pernyataan ini jelas-jelas bertentangan dengan kitab Kejadian yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam waktu enam hari. Dengan demikian, pilihannya tampak jelas, anda bisa menganut pandangan Darwin, atau anda menganut pandangan Kitab Suci, tetapi tidak bisa keduanya. Lepas dari pada itu, banyak pemikir yang menganut Darwinisme menemukan cara untuk mendamaikan iman Kristiani mereka dengan teori evolusi yang juga mereka anut. Salah satu caranya adalah dengan tidak memikirkan ketegangan dan perbedaan antara iman Kristiani dan teori Darwin terlalu banyak. Cara lain adalah dengan berpikir bahwa Kitab Suci tidak pernah boleh ditafsirkan secara harafiah, melainkan harus diartikan secara simbolik metaforis. Jika diperhatikan lebih jelas, banyak unsur di dalam teori Darwin yang cukup bisa disandingkan dengan konsep eksistensi Tuhan, dan dengan banyak ajaran lainnya di dalam Kristianitas. Hanya penafsiran harafiah terhadap teks-teks Kitab Sucilah yang langsung bertentangan dengan teori Darwinisme. Dengan demikian, versi yang lebih liberal dan moderat dari Kristianitas sebenarnya dapat berjalan searah dengan Darwinisme.

Walaupun begitu, di Amerika Serikat, terutama di negara-negara bagian Selatan, banyak kaum Protestan evangelis yang tidak bersedia menerima argumentasi-argumentasi yang berasal dari penelitian ilmiah, terutama tentang proses penciptaan dan evolusi manusia. Mereka meyakini bahwa apa yang tertulis di dalam Kitab Suci adalah benar secara harafiah, dan teori evolusi yang dirumuskan Darwin salah total. Argumen ini banyak juga dikenal sebagai argumentasi kreasionisme (creationism). Di Amerika Serikat, 40 persen dari penduduk yang sudah dewasa menyetujui pandangan ini. Prosentase yang jauh lebih tinggi, jika dibandingkan dengan Inggris ataupun Eropa. Kreasionisme pun menjadi kekuatan politik yang dominan, terutama dalam soal pengaturan pendidikan biologi di sekolah-sekolah Amerika Serikat. Yang terakhir ini menimbulkan kecemasan di kalangan para ilmuwan. Pada pengadilan monyet (monkey trial) yang terkenal di Amerika Serikat yang berlangsung dekade 1920-an, seorang guru sekolah asal Tennessee dituntut, karena ia mengajarkan teori evolusi kepada murid-muridnya. Tindakan ini dianggap telah melanggar hukum negara bagian. Memang, hukum ini nantinya akan diubah oleh Mahkamah Agung pada 1967. Dan karena kontroversi yang ditimbulkan oleh pengadilan itu, teori evolusi tidak lagi diajarkan sebagai kurikulum wajib di sekolah menengah atas di Amerika Serikat untuk beberapa dekade. Generasi orang dewasa di Amerika Serikat dewasa ini tumbuh tanpa pernah tahu sedikit pun mengenai Charles Darwin, ataupun teori evolusi yang dirumuskannya.[5]
                                                                                                                
            Situasi mulai berubah pada dekade 1960-an, terutama setelah munculnya wacana tentang ‘ilmu pengetahuan kreasionis’ (creation science) di tengah perdebatan antara para ilmuwan Darwinis dan para penganut kreasionisme. Para penganut kreasionisme ingin agar setiap siswa sekolah menengah atas mempelajari proses penciptaan manusia dalam alam semesta, seperti yang tertulis di dalam kitab suci, terutama pada bagian Kitab Kejadian. Akan tetapi, konstitusi Amerika melarang pengajaran agama di sekolah-sekolah umum. Nah, sains kreasionisme tepat dirumuskan untuk menanggapi pelarangan ini. Para perumus sains kreasionisme berpendapat bahwa versi kitab suci tentang proses penciptaan manusia dan alam semesta menyediakan penjelasan ilmiah yang lebih memadai daripada teori evolusi yang dirumuskan Darwin. Dengan begitu, pengajaran proses penciptaan versi kitab suci tidak melanggar konstitusi Amerika, karena apa yang diajarkan itu adalah ilmu pengetahuan, dan bukan agama. Tuntutan dari berbagai pihak untuk mengajarkan sains kreasionisme di kelas-kelas biologi sekolah menengah ke atas pun terjadi, dan semua tuntutan itu mendapatkan tanggapan yang positif. Pada 1981, negara bagian Arkansas mengeluarkan sebuah undang-undang untuk menegaskan bahwa seluruh pengajar biologi harus memberikan waktu yang seimbang dalam mengajarkan teori evolusi dan sains kreasionisme. Negara-negara bagian lainnya pun turut serta mengeluarkan undang-undang yang sama. Hal ini seringkali dipandang sebagai jalan keluar yang cukup adil. Yah, jika kita dihadapkan pada dua rumusan yang berbeda dan saling berkonflik satu sama lain, solusi apa yang lebih baik selain bahwa kita memberikan porsi yang seimbang untuk keduanya? Survei opini pun dilakukan, dan ternyata sebagian besar warga negara Amerika yang sudah dewasa menyetujui kebijakan itu. Mereka ingin sains kreasionisme diajarkan berbarengan dengan teori evolusi di sekolah-sekolah publik.

Walaupun begitu, hampir semua ahli biologi berpendapat bahwa sains kreasionisme adalah rumusan yang palsu, yakni suatu cara yang tidak tepat dan tidak jujur yang bertujuan untuk menyebarkan suatu bentuk ajaran agama melalui selubung slogan-slogan ilmiah. Hal ini, menurut mereka, tentunya membawa dampak negatif yang sangat besar bagi dunia pendidikan Amerika Serikat. Untuk melawan argumentasi semacam ini, para pemikir pendukung sains kreasionisme berupaya sedapat mungkin untuk mengkritik argumentasi-argumentasi Darwinisme. Mereka berpendapat bahwa bukti-bukti yang digunakan untuk merumuskan Darwinisme sangat tidak kuat, sehingga Darwinisme tidak pernah dapat dianggap sebagai fakta, melainkan hanya sebagai teori. Bahkan, di antara para pendukung Darwinisme sendiri telah terjadi perpecahan, sehingga kesepakatan mendasar tentang apa yang menjadi inti dari Darwinisme pun masih berada di dalam bayang-bayang. Oleh karena itu, para pemikir sains kreasionisme menyimpulkan bahwa Darwinisme ‘hanya sebuah teori’, dan para pelajar juga harus diperkenalkan dengan teori alternatif lainnya, seperti yang dirumuskan di dalam sains kreasionisme, bahwa Tuhan menciptakan bumi dalam enam hari, dan pada hari ketujuh, Tuhan beristirahat.

            Pada satu sisi, menurut saya, para pemikir sains kreasionisme tepat, ketika mereka berargumen bahwa Darwinisme merupakan sebuah teori, dan bukan sebuah fakta keras. Seperti yang sudah dijabarkan pada seluruh buku ini, kita tidak akan pernah dapat membuktikan seratus persen apakah suatu teori ilmiah itu benar sepenuhnya, terutama karena sebagian besar teori ilmiah menggunakan data-data yang didapatkan dari eksperimen laboratorium, dan bukan dari realitas yang memang kompleks, dan sangat sulit dianalisis. Akan tetapi, pada hemat saya, soal mendasarnya bukan pada teori evolusi itu sendiri. Dengan pola yang kurang lebih sama, kita juga dapat berkata bahwa pernyataan yang mengatakan tentang pola revolusi bumi ketika mengelilingi matahari adalah sebuah teori, dan bukan fakta keras yang bisa diuji seratus persen kebenarannya, atau bahwa air dibuat dari senyawa H20, atau bahwa benda-benda yang tidak memiliki bidang akan jatuh ke bawah, sehingga siswa perlu untuk mempelajari teori-teori lain selain yang sudah dipaparkan ini. Akan tetapi, para pemikir sains kreasionisme tidak menggunakan argumen ini. Sebenarnya, mereka tidak bersikap skeptis dengan ilmu pengetahuan sebagai keseluruhan, melainkan hanya spesifik kepada teori evolusi. Oleh karena itu, jika mereka hendak mempertahankan posisi argumentasi mereka secara rasional, maka mereka tidak bisa begitu saja berargumentasi bahwa data-data yang ada tidak bisa menjamin kebenaran dari teori evolusi yang dirumuskan Darwin. Hal yang sama kurang lebih juga berlaku untuk setiap teori ilmiah lainnya. 
            Memang, para pemikir sains kreasionisme memfokuskan argumen mereka melulu pada teori evolusi. Salah satu argumen yang seringkali mereka gunakan adalah bahwa fosil-fosil yang digunakan sebagai bukti bagi teori evolusi sangatlah ambigu, terutama fosil-fosil yang berkaitan dengan Homo Sapiens. Harus diakui, ada kebenaran di dalam argumen ini. Para pemikir teori evolusi sendiri sudah lama berdebat tentang soal fosil ini. Salah satu bukti kebingungan adalah tentang sedikitnya fosil-fosil transisi, yakni fosil-fosil perantara antara spesies sebelumnya, dan spesies yang berkembang setelahnya. Begini, jika suatu spesies berkembang dari spesies sebelumnya, seperti yang dikatakan Darwin, tentunya kita akan banyak sekali menemukan fosil-fosil transisi. Nah, para pemikir sains kreasionisme menyerang kelemahan ini untuk membuktikan bahwa semua teori Darwin tidaklah tepat. Akan tetapi, pada hemat saya, argumentasi yang dilontarkan oleh para pemikir sains kreasionis tersebut tidaklah memadai. Fosil-fosil yang ada tersebut bukanlah satu-satunya bukti utama di dalam teori evolusi yang dirumuskan oleh Darwin. Hal ini tentunya akan tampak jelas, jika para pemikir sains kreasionis tersebut mau lebih cermat dan sabar membaca The Originis of Species tulisan Darwin. Darwin merumuskan teorinya juga dengan berbekal ilmu-ilmu lainnya, seperti embriologi, biogeografi, dan genetika. Misalnya, teori evolusi juga mempertimbangkan fakta bahwa 98% DNA manusia memiliki kesamaan mendasar dengan DNA simpanse. Fakta ini, dan berbagai data lainnya, tampak masuk akal dan cukup kuat untuk memberikan bobot kebenaran tertentu bagi teori evolusi. Tentu saja, para pemikir sains kreasionisme memiliki argumen juga terhadap hal ini. Mereka berpendapat bahwa Tuhan telah memutuskan untuk memberikan kesamaan mendasar terhadap manusia dan simpanse secara genetis demi alasan-alasan spesifik yang hanya diketahui oleh Tuhan sendiri. Alasan yang sebenarnya juga tidak pernah dapat dibuktikan dengan data-data. Padahal, mereka, para pemikir sains kreasionisme, menuduh teori evolusi sebagai teori yang tidak memiliki basis data yang memadai.

Perdebatan antara para pemikir sains kreasionisme dan para pemikir Darwinisme memberikan poin yang sangat penting berkaitan dengan pendidikan ilmu pengetahuan di sekolah-sekolah, terutama sekolah publik. Pertanyaannya cukup mendasar sebenarnya, bagaimana pendidikan ilmu pengetahuan saintifik bisa disandingkan dengan pengajaran iman dan agama di dalam sebuah sistem pendidikan yang berpretensi sekular, netral, dan rasional? Perdebatan ini mengangkat isu tersebut ke atas, sehingga mendapatkan perhatian dan porsi refleksi yang cukup banyak dari berbagai pihak di Amerika Serikat.      

11.3 Permasalahan Abadi di dalam Ilmu Pengetahuan: tentang Bebas Nilai.
            Hampir semua orang, pada hemat saya, akan setuju, jika dikatakan bahwa pengetahuan ilmiah telah seringkali digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak pernah bisa dibenarkan secara etis, seperti penciptaan senjata nuklir, senjata kimia, ataupun senjata biologi. Akan tetapi, deretan kasus semacam ini sama sekali bukan sebuah tanda bahwa ilmu pengetahuan pada dirinya sendiri memiliki sifat yang tidak bisa dibenarkan secara etis. Dengan kata lain, bukan ilmu pengetahuan pada dirinyalah yang tidak etis, melainkan penggunaan dari ilmu pengetahuan itulah yang tidak etis. Di dalam sejarah filsafat ilmu, banyak filsuf ilmu yang berpendapat bahwa kita tidak mungkin menilai apakah suatu pengetahuan saintifik itu etis atau tidak pada dirinya sendiri,[6] terutama karena ilmu pengetahuan pertama-tama berhubungan dengan fakta, dan fakta pada dirinya sendiri tidak memiliki nilai etis. Yang bisa dinilai etis atau tidak adalah apa yang kita, manusia, akan lakukan dengan fakta-fakta tersebut, apakah sikap kita dalam menggunakan ataupun berhadapan dengan fakta tersebut bermoral, atau tidak. Nah, menurut pandangan ini, ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu aktivitas yang bebas nilai, yakni suatu aktivitas untuk mengungkapkan fakta-fakta netral tentang dunia. Apa yang akan dilakukan oleh masyarakat dengan fakta-fakta tersebut adalah suatu urusan lain yang tidak ada hubungannya dengan sang ilmuwan.        
            Di dalam perjalanannya, pandangan ini pun mendapatkan banyak kritik. Tidak semua filsuf ilmu pengetahuan menerima pandangan bahwa ilmu pengetahuan bersifat netral dalam kaitannya dengan nilai, atau tentang pembedaan yang tegas dan jelas antara fakta (fact) dan nilai (value). Beberapa diantara mereka berpendapat bahwa ideal bebas nilai di dalam sains tidak akan pernah dapat dicapai di dalam realitas. Setiap bentuk penyelidikan saintifik selalu sudah mengandung ‘penilaian nilai’ tertentu (laden with value judgments). Thomas Kuhn pernah menulis bahwa setiap bentuk observasi di dalam sains selalu sudah mengandung teori (theory laden). Salah satu argumen yang digunakan untuk mengkritik pengandaian bebas nilai di dalam sains adalah bahwa setiap ilmuwan, apapun bidang ilmu yang digelutinya, selalu sudah memilih tema apa yang akan ditelitinya sesuai dengan penghayatan nilai dan minat yang ia punyai. Dalam arti yang sempit, penghayatan nilai dan minat yang sang ilmuwan punyai tersebut adalah suatu bentuk ‘nilai’ tertentu yang tidak bisa begitu saja diabaikan.[7] Di samping itu, ada argumen lain yang seringkali digunakan untuk mengkritik pengandaian bebas nilai di dalam sains ini, yakni bahwa setiap data yang dianalisis, di dalam bidang ilmu manapun, selalu juga dapat ditafsirkan secara berbeda-beda dengan kerangka pemahaman yang juga berbeda. Dengan kata lain, suatu data yang sama juga selalu sudah dapat ditafsirkan dan kemudian dimengerti dengan cara yang berbeda-beda. Proses yang dijalani oleh seorang ilmuwan, mulai dari pengumpulan data sampai perumusan suatu teori, tidak pernah sungguh-sungguh lepas dari nilai-nilai personal yang diyakini oleh ilmuwan tersebut. Beberapa filsuf mengambil argumen ini untuk menunjukkan bahwa nilai tidaklah dapat dihindarkan di dalam perumusan ataupun pilihan atas suatu teori. Konsekuensinya, pada hakekatnya, setiap bentuk ilmu pengetahuan tidaklah mungkin bebas nilai. Argumen ketiga adalah bahwa setiap pengetahuan ilmiah tidak pernah bisa dilepaskan dari penerapan praktis sebagai hasil dari penelitian saintifik yang dilakukan.Dari sudut pandang ini, adalah naif, jika kita memandang ilmuwan sebagai orang yang tidak memiliki kepentingan sama sekali, bahwa ia melakukan suatu penelitian ilmiah melulu demi penelitian ilmiah itu sendiri tanpa pernah memikirkan penerapan praktis dari hasil penelitian ilmiah tersebut. Fakta bahwa sekarang ini banyak penelitian ilmiah yang didanai oleh perusahaan-perusahaan swasta, yang tentunya memiliki kepentingan komersial, memberikan data yang kuat bagi argumen ini.
            Walaupun cukup memadai, tiga argumen yang telah dipaparkan diatas masihlah bersifat abstrak. Artinya, argumen tersebut masihlah mengajukan kritik terhadap pengandaian bebas nilai di dalam ilmu pengetahuan di level prinsip-prinsip, dan belum menyentuh kasus-kasus konkret yang terjadi di dalam dunia ilmu pengetahuan. Marilah kita ambil satu contoh kasus. Pada dekade 1970-80-an muncul sebuah displin ilmiah baru yang disebut sebagai sosiobiologi, yakni sebuah displin ilmu yang mau menerapkan prinsip-prinsip Darwinisme untuk mempelajari perilaku manusia dalam konteks sosialnya. Kesan pertama, displin ini tampak sangat masuk akal, terutama karena dari perspektif Darwinisme, manusia hanyalah salah satu dari sekian banyak spesies di dalam ‘dunia binatang’. Para ahli biologi pun juga berpendapat bahwa teori Darwin dapat menjelaskan banyak tentang perilaku binatang. Contohnya, ada penjelasan yang sangat memadai dari perspektif Darwinisme untuk menjelaskan mengapa tikus akan segera lari, ketika melihat kucing. Di masa lalu, tikus yang tidak segera melarikan diri ketika melihat kucing seringkali akan berkurang drastis populasinya dari yang berlaku sebaliknya, karena mereka dimakan oleh kucing. Ada satu pengandaian dasar disini, bahwa perilaku binatang dapat diturunkan secara genetis dari induk kepada anaknya, dan setelah beberapa generasi, perilaku tersebut menjadi perilaku umum di dalam spesies itu. Hal ini menjelaskan, mengapa tikus sekarang ini sangat takut kepada kucing. Argumen semacam ini banyak juga dikenal sebagai argumentasi adapsionis (adaptionist) yang memperoleh amunisi teoritisnya dari Darwinisme.        
            Nah, para ahli sosiobiologi ini yakni bahwa banyak perilaku manusia dapat dijelaskan lebih jauh dengan menggunakan penjelasan adapsionis semacam ini. Salah satu contoh yang sering digunakan adalah tentang pelarangan incest, atau pernikahan di antara anggota keluarga yang sama. Hampir di semua masyarakat, pernikahan di antara anggota keluarga telah dianggap tabu, dan bahkan diberikan sanksi legal. Fakta semacam ini tampak cukup mengejutkan, terutama mengingat bahwa seksualitas dipahami secara cukup beragam di masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya. Mengapa incest dilarang? Para sosiobiolog memberikan penjelasan semacam ini. Anak-anak yang lahir dari perkawinan incest seringkali memiliki cacat tubuh yang signifikan, sehingga di masa lalu, orang-orang yang mempraktekkan incest akan lebih cepat meninggal, jika dibandingkan dengan orang-orang yang tidak mempraktekkan incest. Ada satu pengandaian dasar disini, bahwa perilaku menghindar dari pernikahan sejenis memiliki akar genetis, sehingga dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Setelah beberapa generasi, perilaku menghindar dari incest akan menjadi perilaku yang umum di seluruh populasi. Hal ini menjelaskan, mengapa incest sangat jarang, dan mungkin tidak dapat ditemukan, di dalam masyarakat manusia sekarang ini.[8]
            Penjelasan tersebut memang agak kontroversial. Banyak orang yang merasa berkeberatan dengan argumentasi semacam ini, terutama karena para sosiobiolog ini berpendapat bahwa manusia adalah mahluk yang seluruhnya terprogram secara genetis, ketika mereka mematuhi pelarangan incest. Salah satu argumentasi kritik terhadap pandangan ini adalah bahwa manusia mematuhi larangan incest, karena incest itu salah, baik secara moral, maupun secara kesehatan, dan bukan karena secara genetis, manusia tidak lagi melakukannya, seperti yang dijelaskan oleh para ahli sosiobiologi. Para sosiobiolog ini juga menggunakan penjelasan-penjelasan yang diambil dari argumentasi adapsionis di atas untuk menjelaskan hal-hal lainnya, seperti xenophobia, sikap agresif, dan pemerkosaan. Di dalam menjelaskan hal-hal ini, argumentasi mereka tetap sama, bahwa karakter yang terbentuk pada orang tua akan diturunkan secara genetis kepada anaknya, dan setelah beberapa saat, karakter tersebut akan menjadi karakter umum. Tentu saja, tidak semua manusia bersifat agresif atau memiliki xenophobia. Tetapi bukan berarti argumentasi yang dikembangkan oleh para sosiobiolog ini sepenuhnya salah. Mereka berpendapat bahwa faktor genetis memainkan peranan di dalam penentuan karakter seseorang, dan bahwa karakter yang telah dimiliki oleh orang tua akan diturunkan anaknya melalui ajaran-ajaran dan nasihat, sekaligus juga melalui genetika. Jadi, faktor genetis memberikan peranan, tetapi bukan melulu faktor genetis yang menentukan. Mereka sama sekali tidak mau mengatakan perilaku manusia sepenuhnya ditentukan oleh faktor genetis.

Di dalam dunia ilmu pengetahuan sendiri, argumentasi para sosiobiolog ini banyak dikritik dari berbagai pihak. Beberapa diantara kritik tersebut bersifat murni ilmiah. Salah satu argumen kritik tersebut antara adalah bahwa argumen yang diajukan oleh para sosiobiolog ini sangat sulit untuk dibuktikan di dalam realitas, sehingga jauh lebih baik ditempatkan sebagai sebuah dugaan (conjecture), dan bukan sebagai sebuah ‘kebenaran’. Akan tetapi, di antara para pengkritik argumentasi sosiobiologi ini, ada beberapa yang mengkritik secara tajam dan fundamental. Para pengkritik ini melihat sosiobiologi sebagai selubung dari suatu ideologi diskriminatif tertentu, dan sama sekali tidak ilmiah. Sosiobiologi adalah sebuah pembenaran bagi tindakan negatif, terutama tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pria. Dengan berpendapat bahwa setiap tindakan negatif, seperti menjadi pelaku pemerkosaan misalnya, memiliki aspek genetis, maka secara implisit, para sosiobiolog ini mau mengatakan bahwa tindak pemerkosaan tersebut adalah sesuatu yang alamiah, dan bahwa sang pemerkosa tidak bertanggungjawab atas tindakan tersebut, karena ia semata-mata hanya mengikuti dorongan genetisnya saja. Bagaimana kita bisa menghukum seorang pemerkosa, jika gennyalah yang bersalah, dan bukan kehendak bebas dari si pemerkosa tersebut? Sanksi tidak bisa diberikan pada orang yang tidak sepenuhnya bebas, ketika ia melakukan sebuah pelanggaran. Dengan demikian, para pengkritik sosiobiologi ini berpendapat bahwa ilmu tersebut sudah selalu mengandung nilai-nilai diskriminatif. Tidak diragukan lagi, kritik semacam ini banyak dilontarkan oleh para pemikir feminis dan ilmuwan-ilmuwan sosial.

            Salah satu tanggapan dari kritik semacam ini adalah bahwa kita harus membedakan antara fakta (fact) di satu sisi, dan nilai (value) di sisi lain. Marilah kita jadikan kasus pemerkosaan di atas sebagai sebuah contoh. Pertanyaan dasarnya begini, apakah ada gen tertentu yang dimiliki pria, sehingga mereka memiliki kecenderungan untuk memperkosa perempuan, dan bukan sebaliknya, yakni perempuan yang memperkosa pria? Pertanyaan itu berkaitan dengan fakta murni, walaupun sangat sulit untuk dijawab secara ilmiah. Akan tetapi, fakta adalah satu soal, dan nilai adalah soa lainnya. Bahkan, jika setelah dilakukan penelitian yang akurat, ternyata gen semacam itu ada, hal itu tidak berarti tindak pemerkosaan dapat ditolerir, dan tidak akan membuat seorang pemerkosa menjadi tidak bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya. Tidak ada orang yang akan berpikir bahwa gen tersebut akan mendikte pria untuk memperkosa perempuan. Kemungkinan besar, gen tersebut memang mendorong pria untuk memperkosa. Akan tetapi, pertimbangan-pertimbangan pribadi yang dibentuk melalui ajaran-ajaran moral sebelumnya akan membuat pria tersebut mampu melampaui dorongan genetis-biologis tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk kasus-kasus lainnya. Bahkan jika penjelasan yang dibuat oleh para sosiobiolog ini tepat, hal ini tidak secara otomatis mempengaruhi secara total pertimbangan-pertimbangan yang lebih luas dari perilaku manusia, seperti pertimbangan etis, ataupun pertimbangan politis. Dengan kata lain, suatu prinsip etika tidak pernah bisa diturunkan begitu saja dari penelitian ilmiah di dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan secara ideologis dari para pemikir sosiobiologi ini. Dan seperti semua ilmu pengetahuan, sosiobiologi hanya bermaksud sedapat mungkin mendeskripsikan fakta-fakta yang ada di dalam dunia. Memang, seringkali fakta-fakta yang kita temukan sangat mengejutkan, tetapi kita harus belajar untuk hidup dengan fakta-fakta yang mengejutkan itu.
            Jika tanggapan semacam ini bisa dibenarkan, berarti kita harus secara tajam membedakan antara ‘kritik saintifik’ terhadap sosiobiologi di satu sisi, dan ‘kritik ideologi’ terhadap ilmu tersebut di sisi lain. Sekilas, pemisahan tersebut tampak masuk akal. Akan tetapi, ada satu hal yang kiranya belum diangkat di sini, yakni bahwa para pendukung ilmu ini biasanya adalah orang-orang yang berasal dari ‘sayap kanan’. Sementara, para pengkritiknya adalah orang-orang yang berasal dari ‘sayap kiri’.[9] Apakah memang begitu? Apakah ada keterkaitan antara kepentingan politik dengan sikap terhadap sosiobiologi? Ini adalah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Memang, beberapa sosiobiolog memiliki agenda politik yang tersembunyi, dan para pengkritik teori ini juga memiliki agenda yang juga tersembunyi. Hal ini membuktikan, walaupun masih dalam bentuk hipotesis, bahwa antara yang ‘ilmiah’ di satu sisi dan yang ‘ideologis’ di sisi lain ternyata tidak begitu mudah untuk dibedakan begitu saja. Dengan demikian, pertanyaan tentang apakah sosiobiologi ini bebas nilai atau tidak juga tidak begitu mudah untuk dijawab begitu saja.
            Kesimpulannya, ilmu pengetahuan, sebagai salah satu tiang penyangga peradaban modern dan terkait erat dengan begitu banyak kepentingan di dalam masyarakat, tidak bisa tidak haruslah mendapatkan pertimbangan kritis dari berbagai pihak. Pertimbangan kritis ini adalah sesuatu yang sangat baik, karena penerimaan begitu saja terhadap apapun yang dikatakan oleh para ilmuwan bukanlah suatu sikap yang layak. Di abad ke-21 ini, dunia yang kita hidupi akan semakin memberikan ruang yang semakin besar bagi ilmu pengetahuan, terutama bagi penerapan praktis dari teknologi yang ditemukan dari abad-abad sebelumnya. Refleksi filosofis tentang ilmu pengetahuan mungkin tidak akan bisa memberikan jawaban final terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar yang, pernah, dan akan muncul. Akan tetapi, filsafat ilmu pengetahuan dapat membantu untuk menajamkan isu-isu mendasar, dan mendorong terciptanya dialog yang rasional dan seimbang tentang isu-isu mendasar tersebut. Semoga…

3 komentar:

Rindang Darka mengatakan...

Artikeln yg nih OK bgt gan...bisa di copas ga? thx

Fortuner SUV Terbaik mengatakan...

mantaps gan...trus gue harus Gue bilang WaW gitu...

FORTUNER TERBAIK mengatakan...

Theme blognya bagus juga...trus gue harus bilang WAW GITU!!

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates