Banyak orang begitu saja berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang
baik dan berguna untuk umat manusia. Tentu saja, pendapat itu memiliki alasan
dan argumen yang cukup kuat. Ilmu pengetahuan telah memberikan kita listrik,
air minum yang bersih dan sehat, penisilin, alat kontrasepsi, perjalanan
melalui udara, dan banyak hal lainnya. Semuanya itu memberikan kontribusi yang
sangat besar bagi kemanusiaan. Akan tetapi, lepas dari sumbangannya yang begitu
besar terhadap kehidupan umat manusia, ilmu pengetahuan tetaplah harus
dipertimbangkan secara kritis, baik secara etis maupun secara epistemologis.
Beberapa orang berpendapat bahwa masyarakat terlalu memberikan perhatian
terhadap ilmu pengetahuan, sehingga bidang-bidang lainnya, seperti seni,
sastra, pendidikan, jadi terabaikan. Beberapa orang lainnya juga berpendapat
bahwa ilmu pengetahuan telah memberikan kemudahan pada manusia yang seharusnya
tidak perlu. Artinya, kita akan hidup jauh lebih baik dan manusiawi tanpa
adanya ilmu pengetahuan. Argumen terakhir ini mungkin relevan, jika ditempatkan
pada persoalan tentang penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk
menciptakan senjata pemusnah massal. Seperti sudah disinggung sebelumnya, para
pemikir feminis juga berpendapat bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatnya sudah
bias gender dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Dari kalangan kaum
beragama, banyak orang sendiri merasa bahwa ilmu pengetahuan, dengan
pengungkapan fakta dan analisis yang dilakukannya, dapat membahayakan iman
mereka. Banyak antropolog juga berpendapat bahwa ilmu pengetahuan modern yang
berkembang di Eropa memiliki arogansi kultural, sehingga ilmuwan barat
seringkali memandang rendah kebudayaan-kebudayaan lainnya di luar kebudayaan
barat. Tentu saja, semua argumen ini memenuhi daftar kritik yang bisa diajukan
terhadap ilmu pengetahuan. Akan tetapi, supaya lebih fokus, pada bab ini, saya
akan memusatkan diri pada tiga argumen tentang pertimbangan kritis yang
bersifat filosofis terhadap ilmu pengetahuan, yakni tentang saintisme, relasi
antara iman dan ilmu pengetahuan, dan permasalahan yang paling menjadi
perdebatan di dalam filsafat ilmu, yaitu relasi antara ilmu dan
nilai-nilai.
11.1 Tentang Saintisme
Kata ‘sains’ dan ‘saintifik’, atau ilmiah, telah memperoleh cap yang, pada
hemat saya, agak ganjil. Jika seseorang berkata bahwa sikap anda ‘tidak
ilmiah’, maka kemungkinan besar, ia sedang mengkritik sikap anda. Sikap
saintifik dianggap sebagai sikap yang masuk akal, rasional, dan orang yang
bersikap seperti itu layak mendapatkan pujian. Sementara itu, sikap tidak
ilmiah, atau tidak saintifik, adalah sikap yang bodoh, irasional, dan sama
sekali tidak layak mendapatkan pujian. Memang sulit bagi kita untuk merumuskan
sebab-sebab mengapa konsep ilmiah atau saintifik tersebut mendapatkan
pengertian semacam itu. Akan tetapi, mungkin saja, ini berkaitan dengan status
ilmu pengetahuan yang begitu tinggi di dalam masyarakat modern. Harus diakui,
masyarakat modern memandang ilmuwan sebagai orang-orang yang pendapatnya banyak
diacu tentang berbagai hal yang terjadi, dan seringkali pendapat-pendapat
tersebut tidak lagi dipertimbangkan dan dipertanyakan secara kritis. Tentu
saja, sekarang ini, hampir semua orang menyadari bahwa bahkan ilmuwan pun dapat
salah. Salah satu contoh yang paling jelas tentang hal ini adalah ketika para
ilmuwan Inggris menyatakan bahwa penyakit sapi gila sama sekali tidak berbahaya
bagi manusia. Suatu pernyataan yang secara tragis terbukti salah nantinya. Akan
tetapi, hal ini tampaknya tidak banyak mengubah pandangan masyarakat itu
sendiri terhadap ilmu pengetahuan, yakni bahwa ilmu pengetahuan menempati
kedudukan yang istimewa di dalam opini publik. Di masyarakat Barat, ilmuwan
tampak menggantikan posisi yang dulunya dipegang oleh para pemimpin agama. Para
ilmuwan dianggap memiliki kemampuan dan pengetahuan khusus yang tidak dimliki
oleh orang-orang biasa pada umumnya.[1]
Secara umum, saintisme adalah suatu istilah yang digunakan oleh para filsuf
untuk menggambarkan apa yang mereka lihat sebagai ‘pemujaan ilmu pengetahuan’,
yakni suatu sikap yang ironisnya banyak ditemukan di kalangan intelektual. Para
pemikir pengkritik saintisme berpendapat bahwa ilmu pengetahuan bukanlah
satu-satunya jenis kegiatan intelektual manusia yang dapat diandalkan. Ilmu
pengetahuan juga tidak seharusnya mendapatkan status yang istimewa, karena
dianggap sebagai satu-satunya jalan yang dapat ditempuh manusia untuk sampai
pada pengetahuan. Para pemikir pengkritik saintisme seringkali menekankan bahwa
mereka sama sekali tidak bermaksud bersikap anti total terhadap ilmu
pengetahuan. Apa yang mereka kritik adalah status istimewa yang diberikan
kepada ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu alam, di dalam masyarakat modern.
Mereka juga hendak mengkritik pandangan yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan, untuk siapapun, kapanpun, dan
dimanapun. Jadi, pada hemat saya, tujuan pada pengkritik saintisme ini bukanlah
untuk menolak ilmu pengetahuan sama sekali, tetapi untuk menempatkan ilmu
pengetahuan pada tempat yang semestinya, yakni untuk menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan adalah salah satu cara untuk memahami dunia di samping beragam cara
lainnya, sekaligus untuk membebaskan bidang-bidang kehidupan lain, seperti
seni, sastra, ataupun agama, dari tirani paradigma saintifik yang terlalu
dominan.
Secara epistemologis, saintisme meurpakan paham yang tidak jelas. Walaupun
begitu, aktivitas yang mirip dengan ‘pemujaan ilmu pengetahuan’ adalah suatu
gejala faktual yang terjadi di kalangan intelektual. Mungkin saja, hal pemujaan
ini bukanlah melulu hal yang buruk, karena mungkin ilmu pengetahuan, dengan
segala keberhasilannya membantu meningkatkan kualitas hidup manusia, layak
untuk dipuja. Salah satu bidang yang seringkali dituduh sebagai medium utama
pemujaan terhadap ilmu pengetahuan ini adalah filsafat Anglo-Amerika, di mana
filsafat ilmu hanya merupakan salah satu cabangnya saja. Secara spesifik dan
historis, lepas dari relasinya yang sangat dekat dengan matematika dan ilmu
pengetahuan, filsafat seringkali dikaitkan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan.
Hal ini tentu saja memiliki alasannya sendiri, terutama karena filsafat
bertanya secara mendasar tentang hakekat dari pengetahuan dan rasionalitas dari
manusia yang refleksinya tidak bisa dilakukan dengan menggunakan metode-metode
saintifik. Tidak ada satupun cabang ilmu pengetahuan yang mampu memberikan
jawaban tentang bagaimana seharusnya kita hidup, apa yang dimaksud dengan
pengetahuan, atau apa yang membuat manusia menjadi bahagian di dalam hidupnya.
Pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan-pertanyaan filosofis yang tidak
bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan.
Walaupun secara akal sehat tampak bahwa pertanyaan-pertanyaan filosofis
mendasar semacam itu tidak akan pernah dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan,
tetapi beberapa pemikir masih berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah
satu-satunya jalan yang legitim untuk mencapai kebenaran. Pertanyaan-pertanyaan
yang tidak bisa dijawab dengan metode ilmiah berarti pertanyaan itu tidak layak
untuk dijawab. Pandangan semacam ini seringkali dikaitkan dengan pemikiran
Willard van Orman Quine, salah satu filsuf Amerika terpenting pada abad ke-20.
Dasar dari pandangan ini adalah paham yang banyak disebut sebagai naturalisme,
yakni suatu pandangan yang menekankan bahwa manusia adalah bagian dari
keseluruhan yang disebut sebagai dunia natural (natural world), dan
bukan sesuatu yang lepas dari dunia, seperti yang banyak diyakini oleh para
filsuf sebelumnya. Dan karena ilmu pengetahuan mempelajari dunia natural secara
keseluruhan, maka pastilah ilmu pengetahuan dapat menyibakkan kebenaran yang
paling utuh dan penuh tentang hakekat manusia, dan tidak lagi menyisakan tempat
bagi filsafat.[2]
Salah satu argumen yang tampaknya mendukung pandangan ini adalah bahwa ilmu
pengetahuan sudah tidak lagi diragukan kontribusinya yang luar biasa besar
terhadap kehidupan manusia. Sementara, filsafat masihlah sibuk dengan
pertanyaan-pertanyaan yang sama dari abad ke abad. Dari sudut pandang ini,
tidak ada yang disebut sebagai pengetahuan filosofis, karena semua bentuk
pengetahuan haruslah merupakan pengetahuan ilmiah. Jika filsafat masih mau
diberikan tempat, maka kontribusi yang dapat diberikan filsafat adalah suatu
upaya untuk mengklarifikasi konsep-konsep ilmiah, sehingga ilmuwan bisa lebih akurat
dan tepat melakukan penelitian mereka.
Tentu saja, banyak filsuf menolak argumentasi ini, dan ini merupakan salah satu
sumber kritik yang paling tajam terhadap saintisme. Mereka berpendapat bahwa
filsafat mampu menyibakkan kebenaran-kebenaran yang tidak pernah akan dapat
disentuh oleh ilmu pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang filosofis
tidak akan pernah dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, ilmu
pengetahuan bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenaran. Salah satu argumen
lain yang mendukung pernyataan ini adalah bahwa filsafat haruslah berupaya
untuk bersikap konsisten dengan ilmu pengetahuan. Artinya, filsafat tidaklah
boleh menganggap bahwa klaim-klaimnya lebih memadai dari klaim-klaim ilmu
pengetahuan, sehingga ada kemungkinan juga bahwa ilmu pengetahuan memperoleh
pengakuan yang lebih daripada filsafat itu sendiri. Nah, apa yang mereka
sungguh-sungguh tolak adalah paham imperialisme saintifik (scientific
imperialism), yakni bahwa ilmu pengetahuan dapat menjawab semua pertanyaan
penting dan mendasar tentang manusia, dan peran serta kedudukannya di
keseluruhan kosmos ini. Para pendukung argumen yang terakhir ini juga
seringkali disebut sebagai kaum naturalis. Mereka berpendapat bahwa manusia
hanyalah salah satu bentuk spesies biologis, dan bahwa tubuh kita seluruhnya
dibentuk oleh partikel-partikel fisik, seperti segala sesuatu lainnya di
seluruh alam semesta ini.
Isu yang kurang lebih sama juga dapat dilihat dalam konteks relasi antara
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Sama seperti ketika para filsuf mengkritik
‘pemujaan ilmu pengetahuan’ di dalam filsafat, begitu juga para ilmuwan sosial
terkadang mengkritik pendekatan para ilmuwan sosial yang juga melakukan
‘pemujaan ilmu-ilmu alam’ di dalam pendekatan mereka. Memang, secara realistis,
kita harus mengakui bahwa ilmu-ilmu alam, seperti fisika, kimia, biologi,
berada pada level yang lebih maju daripada ilmu-ilmu sosial, seperti ekonomi,
sosiologi, ataupun antropologi. Di dalam proses perkembangannya, banyak orang
bertanya-tanya, mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu saja, jawabannya bukanlah
bahwa ilmuwan alam memiliki kepintaran yang lebih tinggi daripada para ilmuwan
sosial. Salah satu jawaban yang, pada hemat saya, mungkin adalah bahwa metode
pendekatan di dalam ilmu-ilmu alam memiliki koherensi dan akurasi yang lebih
tinggi daripada ilmu-ilmu sosial. Dengan kata lain, metode di dalam ilmu-ilmu
alam lebih superior daripada metode di dalam ilmu-ilmu sosial. Jika hal
ini tepat, maka apa yang seharusnya dilakukan oleh para ilmuwan sosial adalah
menggunakan metode pendekatan ilmu-ilmu alam yang dianggap lebih baik. Untuk
beberapa saat, para ilmuwan sosial telah melakukan hal ini. Hasilnya adalah
banyaknya penggunaan rumusan matematis dan metode statistik di dalam ilmu-ilmu
sosial. Di dalam sejarahnya, fisika mengalami perkembangan yang sangat pesat,
ketika Galileo memutuskan untuk menerapkan metode matematis untuk
mendeskripsikan gerak benda-benda. Keberhasilan ini mempengaruhi para ilmuwan
sosial untuk menggunakan metode yang sama untuk mengembangkan ilmu-ilmu sosial.
Tentu saja, argumen ini punya pengandaian dasar yang problematis, bahwa obyek
penelitian di dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial memiliki kualitas yang
sama yang dapat begitu saja ‘dimatematiskan’.
Menanggapi hal semacam itu, banyak ilmuwan sosial yang menolak
anggapan bahwa mereka harus mengagungkan dan menjadikan metode ilmu-ilmu alam
sebagai contoh bagi cara kerja mereka, seperti para filsuf juga menolak konsep
bahwa mereka harus mengagungkan ilmu pengetahuan di dalam refleksi mereka.
Mereka berpendapat bahwa metode di dalam ilmu-ilmu alam tidak cocok untuk
mempelajari fenomena sosial. Mengapa metode yang sangat berguna untuk
diterapkan di dalam astronomi harus juga berguna di dalam analisis masyarakat?
Para ilmuwan sosial yang menganut pandangan ini menolak status tinggi dan
privelese yang dimiliki oleh ilmu-ilmu alam. Mereka berpendapat bahwa tidak ada
alasan yang cukup masuk akal untuk menggunakan metode ilmu-ilmu alam di dalam
analisis realitas sosial. “Para ilmuwan sosial ini”, demikian tulis Okasha di
dalam bukunya tentang filsafat ilmu pengetahuan, “seringkali berpendapat bahwa
ilmu-ilmu sosial lebih muda daripada ilmu-ilmu alam, dan bahwa kompleksitas
realitas sosial membuat sebuah sains sosial menjadi sangat sulit untuk
dilakukan.”[3]
Kedua isu yang menjadi perdebatan ini, yakni saintisme dan relasi antara
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, bukanlah isu yang mudah untuk dipahami dan
dicarikan solusinya begitu saja. Salah satu sebabnya adalah sulitnya
mendefinisikan secara tepat apa yang disebut sebagai ‘metode ilmu pengetahuan’,
terutama ‘metode ilmu-ilmu alam’, konsep yang menjadi salah satu inti
perdebatan. Jika kita ingin tahu apakah metode ilmu pengetahuan sungguh dapat
diterapkan di dalam semua bidang analisis, atau apakah metode tersebut sungguh
dapat menjawab semua pertanyaan yang diajukan, maka kita harus tahu dengan tepat
apa yang dimaksud dengan metode itu sebenarnya. Akan tetapi, seperti apa yang
telah kita lihat pada bab-bab sebelumnya di dalam buku ini, pertanyaan ini
sangat lugas dan tajam diajukan, tetapi jawaban atasnya sangat sulit untuk
diberikan. Tentu saja, secara umum, kita bisa mendeskripsikan beberapa hal
mengenai metode penelitian ilmiah, seperti induksi, pengujian eksperimen,
observasi, proses perumusan teori, dan sebagainya. Akan tetapi, deskripsi ini
tidaklah mampu memberikan definisi yang tepat dan akurat tentang metode ilmiah.
“Jangan-jangan”, demikian tulis Okasha, “kita tidak akan bisa mendefenisikan
metode ilmiah secara memadai.”[4]
Ilmu pengetahuan berubah hampir sepanjang waktu, sehingga sangat sulit bagi
kita untuk merumuskan pengandaian-pengandaian dasar yang bersifat tetap, tak
berubah, yang dapat digunakan oleh semua bentuk ilmu pengetahuan tanpa kecuali.
Pengandaian semacam ini banyak ditemukan di dalam saintisme, yakni paham yang
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya jalan untuk mencapai
kebenaran.
Pada titik ini,
kita bisa menyimpulkan bahwa saintisme ternyata didasarkan pada
pengandaian-pengandaian yang pada hakekatnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
11.2 Ilmu Pengetahuan dan
Agama
Tegangan antara ilmu pengetahuan di satu sisi dan agama di sisi lain sudah
berusia sangat tua, dan tercatat secara lengkap di dalam sejarah. Salah satu
yang paling terkenal adalah perseteruan Galileo dengan beberapa teolog di dalam
Gereja Katolik Roma. Pada 1633, Inkuisisi memaksa Galileo menarik kembali
setiap tulisannya tentang pandangan Kopernikus. Inkuisisi juga menghukum
Galileo untuk tinggal dalam tahanan rumah seumur hidupnya di Florence. Pada
waktu itu, Gereja Katolik menolak teori Kopernikus, karena dianggap tidak
sesuai dengan isi Kitab Suci. Ketegangan antara agama dan ilmu pengetahuan yang
terakhir dapat dilihat di dalam perdebatan antara para pemikir Darwinis dan
para pendukung Kreasionis di Amerika Serikat. Yang terakhir ini akan menjadi
fokus saya pada sub bab ini.
Sebenarnya, tidak ada yang baru di dalam argumen para kreasionis untuk
menentang teori evolusi Darwin, dan para pendukungnya. Ketika buku Origins
of Species dipublikasikan pertama kali pada 1859, banyak pemikir dan
pendukung gereja Katolik di Inggris pada waktu itu langsung melakukan kritik
terhadap buku tersebut. Alasannya jelas dan cukup sederhana, yakni teori Darwin
mengatakan bahwa setiap spesies, termasuk manusia, memiliki nenek moyang yang
berevolusi dalam jangka waktu yang sangat lama. Pernyataan ini jelas-jelas
bertentangan dengan kitab Kejadian yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan
manusia dalam waktu enam hari. Dengan demikian, pilihannya tampak jelas, anda
bisa menganut pandangan Darwin, atau anda menganut pandangan Kitab Suci, tetapi
tidak bisa keduanya. Lepas dari pada itu, banyak pemikir yang menganut
Darwinisme menemukan cara untuk mendamaikan iman Kristiani mereka dengan teori
evolusi yang juga mereka anut. Salah satu caranya adalah dengan tidak
memikirkan ketegangan dan perbedaan antara iman Kristiani dan teori Darwin
terlalu banyak. Cara lain adalah dengan berpikir bahwa Kitab Suci tidak pernah
boleh ditafsirkan secara harafiah, melainkan harus diartikan secara simbolik
metaforis. Jika diperhatikan lebih jelas, banyak unsur di dalam teori Darwin
yang cukup bisa disandingkan dengan konsep eksistensi Tuhan, dan dengan banyak
ajaran lainnya di dalam Kristianitas. Hanya penafsiran harafiah terhadap teks-teks
Kitab Sucilah yang langsung bertentangan dengan teori Darwinisme. Dengan
demikian, versi yang lebih liberal dan moderat dari Kristianitas sebenarnya
dapat berjalan searah dengan Darwinisme.
Walaupun begitu, di Amerika Serikat, terutama di negara-negara
bagian Selatan, banyak kaum Protestan evangelis yang tidak bersedia menerima
argumentasi-argumentasi yang berasal dari penelitian ilmiah, terutama tentang
proses penciptaan dan evolusi manusia. Mereka meyakini bahwa apa yang tertulis
di dalam Kitab Suci adalah benar secara harafiah, dan teori evolusi yang
dirumuskan Darwin salah total. Argumen ini banyak juga dikenal sebagai
argumentasi kreasionisme (creationism). Di Amerika Serikat, 40 persen
dari penduduk yang sudah dewasa menyetujui pandangan ini. Prosentase yang jauh
lebih tinggi, jika dibandingkan dengan Inggris ataupun Eropa. Kreasionisme pun
menjadi kekuatan politik yang dominan, terutama dalam soal pengaturan
pendidikan biologi di sekolah-sekolah Amerika Serikat. Yang terakhir ini
menimbulkan kecemasan di kalangan para ilmuwan. Pada pengadilan monyet (monkey
trial) yang terkenal di Amerika Serikat yang berlangsung dekade 1920-an,
seorang guru sekolah asal Tennessee dituntut, karena ia mengajarkan teori
evolusi kepada murid-muridnya. Tindakan ini dianggap telah melanggar hukum
negara bagian. Memang, hukum ini nantinya akan diubah oleh Mahkamah Agung pada
1967. Dan karena kontroversi yang ditimbulkan oleh pengadilan itu, teori
evolusi tidak lagi diajarkan sebagai kurikulum wajib di sekolah menengah atas
di Amerika Serikat untuk beberapa dekade. Generasi orang dewasa di Amerika
Serikat dewasa ini tumbuh tanpa pernah tahu sedikit pun mengenai Charles
Darwin, ataupun teori evolusi yang dirumuskannya.[5]
Situasi mulai berubah pada dekade 1960-an, terutama setelah munculnya wacana
tentang ‘ilmu pengetahuan kreasionis’ (creation science) di tengah
perdebatan antara para ilmuwan Darwinis dan para penganut kreasionisme. Para
penganut kreasionisme ingin agar setiap siswa sekolah menengah atas mempelajari
proses penciptaan manusia dalam alam semesta, seperti yang tertulis di dalam
kitab suci, terutama pada bagian Kitab Kejadian. Akan tetapi, konstitusi
Amerika melarang pengajaran agama di sekolah-sekolah umum. Nah, sains
kreasionisme tepat dirumuskan untuk menanggapi pelarangan ini. Para perumus
sains kreasionisme berpendapat bahwa versi kitab suci tentang proses penciptaan
manusia dan alam semesta menyediakan penjelasan ilmiah yang lebih memadai
daripada teori evolusi yang dirumuskan Darwin. Dengan begitu, pengajaran proses
penciptaan versi kitab suci tidak melanggar konstitusi Amerika, karena apa yang
diajarkan itu adalah ilmu pengetahuan, dan bukan agama. Tuntutan dari berbagai
pihak untuk mengajarkan sains kreasionisme di kelas-kelas biologi sekolah
menengah ke atas pun terjadi, dan semua tuntutan itu mendapatkan tanggapan yang
positif. Pada 1981, negara bagian Arkansas mengeluarkan sebuah undang-undang
untuk menegaskan bahwa seluruh pengajar biologi harus memberikan waktu yang
seimbang dalam mengajarkan teori evolusi dan sains kreasionisme. Negara-negara bagian
lainnya pun turut serta mengeluarkan undang-undang yang sama. Hal ini
seringkali dipandang sebagai jalan keluar yang cukup adil. Yah, jika kita
dihadapkan pada dua rumusan yang berbeda dan saling berkonflik satu sama lain,
solusi apa yang lebih baik selain bahwa kita memberikan porsi yang seimbang
untuk keduanya? Survei opini pun dilakukan, dan ternyata sebagian besar warga
negara Amerika yang sudah dewasa menyetujui kebijakan itu. Mereka ingin sains
kreasionisme diajarkan berbarengan dengan teori evolusi di sekolah-sekolah
publik.
Walaupun begitu, hampir semua ahli biologi berpendapat bahwa sains
kreasionisme adalah rumusan yang palsu, yakni suatu cara yang tidak tepat dan
tidak jujur yang bertujuan untuk menyebarkan suatu bentuk ajaran agama melalui
selubung slogan-slogan ilmiah. Hal ini, menurut mereka, tentunya membawa dampak
negatif yang sangat besar bagi dunia pendidikan Amerika Serikat. Untuk melawan
argumentasi semacam ini, para pemikir pendukung sains kreasionisme berupaya
sedapat mungkin untuk mengkritik argumentasi-argumentasi Darwinisme. Mereka
berpendapat bahwa bukti-bukti yang digunakan untuk merumuskan Darwinisme sangat
tidak kuat, sehingga Darwinisme tidak pernah dapat dianggap sebagai fakta,
melainkan hanya sebagai teori. Bahkan, di antara para pendukung Darwinisme
sendiri telah terjadi perpecahan, sehingga kesepakatan mendasar tentang apa
yang menjadi inti dari Darwinisme pun masih berada di dalam bayang-bayang. Oleh
karena itu, para pemikir sains kreasionisme menyimpulkan bahwa Darwinisme
‘hanya sebuah teori’, dan para pelajar juga harus diperkenalkan dengan teori
alternatif lainnya, seperti yang dirumuskan di dalam sains kreasionisme, bahwa
Tuhan menciptakan bumi dalam enam hari, dan pada hari ketujuh, Tuhan
beristirahat.
Pada satu sisi, menurut saya, para pemikir sains kreasionisme tepat, ketika
mereka berargumen bahwa Darwinisme merupakan sebuah teori, dan bukan sebuah
fakta keras. Seperti yang sudah dijabarkan pada seluruh buku ini, kita tidak
akan pernah dapat membuktikan seratus persen apakah suatu teori ilmiah itu
benar sepenuhnya, terutama karena sebagian besar teori ilmiah menggunakan
data-data yang didapatkan dari eksperimen laboratorium, dan bukan dari realitas
yang memang kompleks, dan sangat sulit dianalisis. Akan tetapi, pada hemat
saya, soal mendasarnya bukan pada teori evolusi itu sendiri. Dengan pola yang
kurang lebih sama, kita juga dapat berkata bahwa pernyataan yang mengatakan
tentang pola revolusi bumi ketika mengelilingi matahari adalah sebuah teori, dan
bukan fakta keras yang bisa diuji seratus persen kebenarannya, atau bahwa air
dibuat dari senyawa H20, atau bahwa benda-benda yang tidak memiliki bidang akan
jatuh ke bawah, sehingga siswa perlu untuk mempelajari teori-teori lain selain
yang sudah dipaparkan ini. Akan tetapi, para pemikir sains kreasionisme tidak
menggunakan argumen ini. Sebenarnya, mereka tidak bersikap skeptis dengan ilmu
pengetahuan sebagai keseluruhan, melainkan hanya spesifik kepada teori evolusi.
Oleh karena itu, jika mereka hendak mempertahankan posisi argumentasi mereka
secara rasional, maka mereka tidak bisa begitu saja berargumentasi bahwa
data-data yang ada tidak bisa menjamin kebenaran dari teori evolusi yang
dirumuskan Darwin. Hal yang sama kurang lebih juga berlaku untuk setiap teori
ilmiah lainnya.
Memang, para pemikir sains kreasionisme memfokuskan argumen mereka melulu pada
teori evolusi. Salah satu argumen yang seringkali mereka gunakan adalah bahwa
fosil-fosil yang digunakan sebagai bukti bagi teori evolusi sangatlah ambigu,
terutama fosil-fosil yang berkaitan dengan Homo Sapiens. Harus diakui, ada
kebenaran di dalam argumen ini. Para pemikir teori evolusi sendiri sudah lama
berdebat tentang soal fosil ini. Salah satu bukti kebingungan adalah tentang
sedikitnya fosil-fosil transisi, yakni fosil-fosil perantara antara spesies
sebelumnya, dan spesies yang berkembang setelahnya. Begini, jika suatu spesies
berkembang dari spesies sebelumnya, seperti yang dikatakan Darwin, tentunya
kita akan banyak sekali menemukan fosil-fosil transisi. Nah, para pemikir sains
kreasionisme menyerang kelemahan ini untuk membuktikan bahwa semua teori Darwin
tidaklah tepat. Akan tetapi, pada hemat saya, argumentasi yang dilontarkan oleh
para pemikir sains kreasionis tersebut tidaklah memadai. Fosil-fosil yang ada
tersebut bukanlah satu-satunya bukti utama di dalam teori evolusi yang
dirumuskan oleh Darwin. Hal ini tentunya akan tampak jelas, jika para pemikir
sains kreasionis tersebut mau lebih cermat dan sabar membaca The Originis of
Species tulisan Darwin. Darwin merumuskan teorinya juga dengan berbekal
ilmu-ilmu lainnya, seperti embriologi, biogeografi, dan genetika. Misalnya,
teori evolusi juga mempertimbangkan fakta bahwa 98% DNA manusia memiliki
kesamaan mendasar dengan DNA simpanse. Fakta ini, dan berbagai data lainnya,
tampak masuk akal dan cukup kuat untuk memberikan bobot kebenaran tertentu bagi
teori evolusi. Tentu saja, para pemikir sains kreasionisme memiliki argumen
juga terhadap hal ini. Mereka berpendapat bahwa Tuhan telah memutuskan untuk
memberikan kesamaan mendasar terhadap manusia dan simpanse secara genetis demi
alasan-alasan spesifik yang hanya diketahui oleh Tuhan sendiri. Alasan yang
sebenarnya juga tidak pernah dapat dibuktikan dengan data-data. Padahal, mereka,
para pemikir sains kreasionisme, menuduh teori evolusi sebagai teori yang tidak
memiliki basis data yang memadai.
Perdebatan antara para pemikir sains kreasionisme dan para pemikir
Darwinisme memberikan poin yang sangat penting berkaitan dengan pendidikan ilmu
pengetahuan di sekolah-sekolah, terutama sekolah publik. Pertanyaannya cukup
mendasar sebenarnya, bagaimana pendidikan ilmu pengetahuan saintifik bisa
disandingkan dengan pengajaran iman dan agama di dalam sebuah sistem pendidikan
yang berpretensi sekular, netral, dan rasional? Perdebatan ini mengangkat isu
tersebut ke atas, sehingga mendapatkan perhatian dan porsi refleksi yang cukup
banyak dari berbagai pihak di Amerika
Serikat.
11.3 Permasalahan Abadi di
dalam Ilmu Pengetahuan: tentang Bebas Nilai.
Hampir semua orang, pada hemat saya, akan setuju, jika dikatakan bahwa
pengetahuan ilmiah telah seringkali digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak
pernah bisa dibenarkan secara etis, seperti penciptaan senjata nuklir, senjata
kimia, ataupun senjata biologi. Akan tetapi, deretan kasus semacam ini sama
sekali bukan sebuah tanda bahwa ilmu pengetahuan pada dirinya sendiri memiliki
sifat yang tidak bisa dibenarkan secara etis. Dengan kata lain, bukan ilmu
pengetahuan pada dirinyalah yang tidak etis, melainkan penggunaan dari
ilmu pengetahuan itulah yang tidak etis. Di dalam sejarah filsafat ilmu, banyak
filsuf ilmu yang berpendapat bahwa kita tidak mungkin menilai apakah suatu
pengetahuan saintifik itu etis atau tidak pada dirinya sendiri,[6]
terutama karena ilmu pengetahuan pertama-tama berhubungan dengan fakta, dan
fakta pada dirinya sendiri tidak memiliki nilai etis. Yang bisa dinilai etis
atau tidak adalah apa yang kita, manusia, akan lakukan dengan fakta-fakta
tersebut, apakah sikap kita dalam menggunakan ataupun berhadapan dengan fakta
tersebut bermoral, atau tidak. Nah, menurut pandangan ini, ilmu pengetahuan
pada dasarnya adalah suatu aktivitas yang bebas nilai, yakni suatu aktivitas
untuk mengungkapkan fakta-fakta netral tentang dunia. Apa yang akan dilakukan
oleh masyarakat dengan fakta-fakta tersebut adalah suatu urusan lain yang tidak
ada hubungannya dengan sang ilmuwan.
Di dalam perjalanannya, pandangan ini pun mendapatkan banyak kritik. Tidak
semua filsuf ilmu pengetahuan menerima pandangan bahwa ilmu pengetahuan
bersifat netral dalam kaitannya dengan nilai, atau tentang pembedaan yang tegas
dan jelas antara fakta (fact) dan nilai (value). Beberapa
diantara mereka berpendapat bahwa ideal bebas nilai di dalam sains tidak akan
pernah dapat dicapai di dalam realitas. Setiap bentuk penyelidikan saintifik
selalu sudah mengandung ‘penilaian nilai’ tertentu (laden with value
judgments). Thomas Kuhn pernah menulis bahwa setiap bentuk observasi di
dalam sains selalu sudah mengandung teori (theory laden). Salah satu
argumen yang digunakan untuk mengkritik pengandaian bebas nilai di dalam sains
adalah bahwa setiap ilmuwan, apapun bidang ilmu yang digelutinya, selalu sudah
memilih tema apa yang akan ditelitinya sesuai dengan penghayatan nilai dan
minat yang ia punyai. Dalam arti yang sempit, penghayatan nilai dan minat yang
sang ilmuwan punyai tersebut adalah suatu bentuk ‘nilai’ tertentu yang tidak
bisa begitu saja diabaikan.[7]
Di samping itu, ada argumen lain yang seringkali digunakan untuk mengkritik
pengandaian bebas nilai di dalam sains ini, yakni bahwa setiap data yang
dianalisis, di dalam bidang ilmu manapun, selalu juga dapat ditafsirkan secara
berbeda-beda dengan kerangka pemahaman yang juga berbeda. Dengan kata lain,
suatu data yang sama juga selalu sudah dapat ditafsirkan dan kemudian
dimengerti dengan cara yang berbeda-beda. Proses yang dijalani oleh seorang
ilmuwan, mulai dari pengumpulan data sampai perumusan suatu teori, tidak pernah
sungguh-sungguh lepas dari nilai-nilai personal yang diyakini oleh ilmuwan
tersebut. Beberapa filsuf mengambil argumen ini untuk menunjukkan bahwa nilai
tidaklah dapat dihindarkan di dalam perumusan ataupun pilihan atas suatu teori.
Konsekuensinya, pada hakekatnya, setiap bentuk ilmu pengetahuan tidaklah
mungkin bebas nilai. Argumen ketiga adalah bahwa setiap pengetahuan ilmiah
tidak pernah bisa dilepaskan dari penerapan praktis sebagai hasil dari
penelitian saintifik yang dilakukan.Dari sudut pandang ini, adalah naif, jika
kita memandang ilmuwan sebagai orang yang tidak memiliki kepentingan sama
sekali, bahwa ia melakukan suatu penelitian ilmiah melulu demi penelitian
ilmiah itu sendiri tanpa pernah memikirkan penerapan praktis dari hasil
penelitian ilmiah tersebut. Fakta bahwa sekarang ini banyak penelitian ilmiah
yang didanai oleh perusahaan-perusahaan swasta, yang tentunya memiliki
kepentingan komersial, memberikan data yang kuat bagi argumen ini.
Walaupun cukup memadai, tiga argumen yang telah dipaparkan diatas masihlah
bersifat abstrak. Artinya, argumen tersebut masihlah mengajukan kritik terhadap
pengandaian bebas nilai di dalam ilmu pengetahuan di level prinsip-prinsip, dan
belum menyentuh kasus-kasus konkret yang terjadi di dalam dunia ilmu
pengetahuan. Marilah kita ambil satu contoh kasus. Pada dekade 1970-80-an
muncul sebuah displin ilmiah baru yang disebut sebagai sosiobiologi, yakni
sebuah displin ilmu yang mau menerapkan prinsip-prinsip Darwinisme untuk
mempelajari perilaku manusia dalam konteks sosialnya. Kesan pertama, displin
ini tampak sangat masuk akal, terutama karena dari perspektif Darwinisme,
manusia hanyalah salah satu dari sekian banyak spesies di dalam ‘dunia
binatang’. Para ahli biologi pun juga berpendapat bahwa teori Darwin dapat
menjelaskan banyak tentang perilaku binatang. Contohnya, ada penjelasan yang
sangat memadai dari perspektif Darwinisme untuk menjelaskan mengapa tikus akan
segera lari, ketika melihat kucing. Di masa lalu, tikus yang tidak segera
melarikan diri ketika melihat kucing seringkali akan berkurang drastis
populasinya dari yang berlaku sebaliknya, karena mereka dimakan oleh kucing.
Ada satu pengandaian dasar disini, bahwa perilaku binatang dapat diturunkan
secara genetis dari induk kepada anaknya, dan setelah beberapa generasi,
perilaku tersebut menjadi perilaku umum di dalam spesies itu. Hal ini
menjelaskan, mengapa tikus sekarang ini sangat takut kepada kucing. Argumen
semacam ini banyak juga dikenal sebagai argumentasi adapsionis (adaptionist)
yang memperoleh amunisi teoritisnya dari
Darwinisme.
Nah, para ahli sosiobiologi ini yakni bahwa banyak perilaku manusia dapat
dijelaskan lebih jauh dengan menggunakan penjelasan adapsionis semacam ini.
Salah satu contoh yang sering digunakan adalah tentang pelarangan incest, atau
pernikahan di antara anggota keluarga yang sama. Hampir di semua masyarakat, pernikahan
di antara anggota keluarga telah dianggap tabu, dan bahkan diberikan sanksi
legal. Fakta semacam ini tampak cukup mengejutkan, terutama mengingat bahwa
seksualitas dipahami secara cukup beragam di masyarakat yang berbeda-beda
kebudayaannya. Mengapa incest dilarang? Para sosiobiolog memberikan penjelasan
semacam ini. Anak-anak yang lahir dari perkawinan incest seringkali memiliki
cacat tubuh yang signifikan, sehingga di masa lalu, orang-orang yang
mempraktekkan incest akan lebih cepat meninggal, jika dibandingkan dengan
orang-orang yang tidak mempraktekkan incest. Ada satu pengandaian dasar disini,
bahwa perilaku menghindar dari pernikahan sejenis memiliki akar genetis,
sehingga dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Setelah beberapa generasi,
perilaku menghindar dari incest akan menjadi perilaku yang umum di seluruh
populasi. Hal ini menjelaskan, mengapa incest sangat jarang, dan mungkin tidak
dapat ditemukan, di dalam masyarakat manusia sekarang ini.[8]
Penjelasan tersebut memang agak kontroversial. Banyak orang yang merasa
berkeberatan dengan argumentasi semacam ini, terutama karena para sosiobiolog
ini berpendapat bahwa manusia adalah mahluk yang seluruhnya terprogram secara
genetis, ketika mereka mematuhi pelarangan incest. Salah satu argumentasi
kritik terhadap pandangan ini adalah bahwa manusia mematuhi larangan incest,
karena incest itu salah, baik secara moral, maupun secara kesehatan, dan bukan
karena secara genetis, manusia tidak lagi melakukannya, seperti yang dijelaskan
oleh para ahli sosiobiologi. Para sosiobiolog ini juga menggunakan
penjelasan-penjelasan yang diambil dari argumentasi adapsionis di atas untuk
menjelaskan hal-hal lainnya, seperti xenophobia, sikap agresif, dan
pemerkosaan. Di dalam menjelaskan hal-hal ini, argumentasi mereka tetap sama,
bahwa karakter yang terbentuk pada orang tua akan diturunkan secara genetis
kepada anaknya, dan setelah beberapa saat, karakter tersebut akan menjadi
karakter umum. Tentu saja, tidak semua manusia bersifat agresif atau memiliki
xenophobia. Tetapi bukan berarti argumentasi yang dikembangkan oleh para
sosiobiolog ini sepenuhnya salah. Mereka berpendapat bahwa faktor genetis
memainkan peranan di dalam penentuan karakter seseorang, dan bahwa karakter
yang telah dimiliki oleh orang tua akan diturunkan anaknya melalui
ajaran-ajaran dan nasihat, sekaligus juga melalui genetika. Jadi, faktor
genetis memberikan peranan, tetapi bukan melulu faktor genetis yang menentukan.
Mereka sama sekali tidak mau mengatakan perilaku manusia sepenuhnya ditentukan
oleh faktor genetis.
Di dalam dunia ilmu pengetahuan sendiri, argumentasi para
sosiobiolog ini banyak dikritik dari berbagai pihak. Beberapa diantara kritik
tersebut bersifat murni ilmiah. Salah satu argumen kritik tersebut antara
adalah bahwa argumen yang diajukan oleh para sosiobiolog ini sangat sulit untuk
dibuktikan di dalam realitas, sehingga jauh lebih baik ditempatkan sebagai
sebuah dugaan (conjecture), dan bukan sebagai sebuah ‘kebenaran’. Akan
tetapi, di antara para pengkritik argumentasi sosiobiologi ini, ada beberapa
yang mengkritik secara tajam dan fundamental. Para pengkritik ini melihat
sosiobiologi sebagai selubung dari suatu ideologi diskriminatif tertentu, dan
sama sekali tidak ilmiah. Sosiobiologi adalah sebuah pembenaran bagi tindakan
negatif, terutama tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pria. Dengan
berpendapat bahwa setiap tindakan negatif, seperti menjadi pelaku pemerkosaan
misalnya, memiliki aspek genetis, maka secara implisit, para sosiobiolog ini
mau mengatakan bahwa tindak pemerkosaan tersebut adalah sesuatu yang alamiah,
dan bahwa sang pemerkosa tidak bertanggungjawab atas tindakan tersebut, karena
ia semata-mata hanya mengikuti dorongan genetisnya saja. Bagaimana kita bisa
menghukum seorang pemerkosa, jika gennyalah yang bersalah, dan bukan kehendak
bebas dari si pemerkosa tersebut? Sanksi tidak bisa diberikan pada orang yang
tidak sepenuhnya bebas, ketika ia melakukan sebuah pelanggaran. Dengan
demikian, para pengkritik sosiobiologi ini berpendapat bahwa ilmu tersebut
sudah selalu mengandung nilai-nilai diskriminatif. Tidak diragukan lagi, kritik
semacam ini banyak dilontarkan oleh para pemikir feminis dan ilmuwan-ilmuwan
sosial.
Salah satu tanggapan dari kritik semacam ini adalah bahwa kita harus membedakan
antara fakta (fact) di satu sisi, dan nilai (value) di sisi lain.
Marilah kita jadikan kasus pemerkosaan di atas sebagai sebuah contoh.
Pertanyaan dasarnya begini, apakah ada gen tertentu yang dimiliki pria,
sehingga mereka memiliki kecenderungan untuk memperkosa perempuan, dan bukan
sebaliknya, yakni perempuan yang memperkosa pria? Pertanyaan itu berkaitan
dengan fakta murni, walaupun sangat sulit untuk dijawab secara ilmiah. Akan
tetapi, fakta adalah satu soal, dan nilai adalah soa lainnya. Bahkan, jika
setelah dilakukan penelitian yang akurat, ternyata gen semacam itu ada, hal itu
tidak berarti tindak pemerkosaan dapat ditolerir, dan tidak akan membuat seorang
pemerkosa menjadi tidak bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya.
Tidak ada orang yang akan berpikir bahwa gen tersebut akan mendikte pria untuk
memperkosa perempuan. Kemungkinan besar, gen tersebut memang mendorong pria
untuk memperkosa. Akan tetapi, pertimbangan-pertimbangan pribadi yang dibentuk
melalui ajaran-ajaran moral sebelumnya akan membuat pria tersebut mampu
melampaui dorongan genetis-biologis tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk
kasus-kasus lainnya. Bahkan jika penjelasan yang dibuat oleh para sosiobiolog
ini tepat, hal ini tidak secara otomatis mempengaruhi secara total
pertimbangan-pertimbangan yang lebih luas dari perilaku manusia, seperti
pertimbangan etis, ataupun pertimbangan politis. Dengan kata lain, suatu
prinsip etika tidak pernah bisa diturunkan begitu saja dari penelitian ilmiah
di dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan
secara ideologis dari para pemikir sosiobiologi ini. Dan seperti semua ilmu
pengetahuan, sosiobiologi hanya bermaksud sedapat mungkin mendeskripsikan
fakta-fakta yang ada di dalam dunia. Memang, seringkali fakta-fakta yang kita
temukan sangat mengejutkan, tetapi kita harus belajar untuk hidup dengan
fakta-fakta yang mengejutkan itu.
Jika tanggapan semacam ini bisa dibenarkan, berarti kita harus secara tajam
membedakan antara ‘kritik saintifik’ terhadap sosiobiologi di satu sisi, dan
‘kritik ideologi’ terhadap ilmu tersebut di sisi lain. Sekilas, pemisahan
tersebut tampak masuk akal. Akan tetapi, ada satu hal yang kiranya belum
diangkat di sini, yakni bahwa para pendukung ilmu ini biasanya adalah
orang-orang yang berasal dari ‘sayap kanan’. Sementara, para pengkritiknya
adalah orang-orang yang berasal dari ‘sayap kiri’.[9]
Apakah memang begitu? Apakah ada keterkaitan antara kepentingan politik dengan
sikap terhadap sosiobiologi? Ini adalah pertanyaan yang sangat sulit untuk
dijawab. Memang, beberapa sosiobiolog memiliki agenda politik yang tersembunyi,
dan para pengkritik teori ini juga memiliki agenda yang juga tersembunyi. Hal
ini membuktikan, walaupun masih dalam bentuk hipotesis, bahwa antara yang
‘ilmiah’ di satu sisi dan yang ‘ideologis’ di sisi lain ternyata tidak begitu mudah
untuk dibedakan begitu saja. Dengan demikian, pertanyaan tentang apakah
sosiobiologi ini bebas nilai atau tidak juga tidak begitu mudah untuk dijawab
begitu saja.
Kesimpulannya, ilmu pengetahuan, sebagai salah satu tiang penyangga peradaban
modern dan terkait erat dengan begitu banyak kepentingan di dalam masyarakat,
tidak bisa tidak haruslah mendapatkan pertimbangan kritis dari berbagai pihak.
Pertimbangan kritis ini adalah sesuatu yang sangat baik, karena penerimaan
begitu saja terhadap apapun yang dikatakan oleh para ilmuwan bukanlah suatu
sikap yang layak. Di abad ke-21 ini, dunia yang kita hidupi akan semakin
memberikan ruang yang semakin besar bagi ilmu pengetahuan, terutama bagi
penerapan praktis dari teknologi yang ditemukan dari abad-abad sebelumnya.
Refleksi filosofis tentang ilmu pengetahuan mungkin tidak akan bisa memberikan
jawaban final terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar yang, pernah, dan akan
muncul. Akan tetapi, filsafat ilmu pengetahuan dapat membantu untuk menajamkan
isu-isu mendasar, dan mendorong terciptanya dialog yang rasional dan seimbang
tentang isu-isu mendasar tersebut. Semoga…
3 komentar:
Artikeln yg nih OK bgt gan...bisa di copas ga? thx
mantaps gan...trus gue harus Gue bilang WaW gitu...
Theme blognya bagus juga...trus gue harus bilang WAW GITU!!
Posting Komentar