Absurditas ini
menjadi suatu gejala yang agak umum di zaman kita sekarang. Orang dapat dengan
bebas memberikan makna kepada Aku untuk mengada, tetapi tidak bisa menimba
makna daripadanya. Menurut saya terdapat berbagai pendapat yang irrasionalitas
dalam hal paling rasional ketika membicarakan kebermaknaan Aku sebagai
totalitas dan entitas kemanusian . Dasar untuk mempertahankan eksistensi Aku
dalam ego individu tidak lagi rasional melainkan irrasional, tidak berbentuk
kesadaran melainkan ketidaksadaran, dasar itu lebih bersifat usaha yang buta
dan irrasional ketimbang suatu pengembangan rasional.
Bagaimana saya sampai pada pandangan
ini ? agaknya penyebab terdalam adalah disebabkan watak saya yang melankolik
dan pesimistis terhadap segala hal. Bentuk dan gaya filsafat dipilih orang
adalah sesuai dengan karakter individu tersebut dan sepadan dengan sifat-sifat
pribadi, hal ini saya katakan sebelumnya, sebagai langkah awal dalam memahami
pemikiran-pemikiran yang akan saya paparkan dalam narasi ini.
Dalam pada itu seperti yang terjadi
kepada semua para tokoh pemikir, yang memulai dirinya untuk ikut ambil bagian
dalam ranah filsafat, hal itu pun terjadi kepada saya, dengan bertolak dari
gejala-gejala, dari fenomena-fenomena, dari dunia serta manusia menurut
pengekspresiannya masing-masing, hanya saja hal ini saya pandang melalui
kacamata gelap dari sifat yang ada pada diriku. Dalam dunia serta hidup manusia
ditemukan banyak sekali ketidakberesan, ditahap fisis terdapat banyak sekali
musibah, di bidang biologis kita melihat banyak serangga pengganggu, penyakit,
perkelahian dan nafsu membunuh. Di dunia manusia terdapat egoisme, kemiskinan
dan pemiskinan, kesengsaraan dan disengsarakan, penyakit, dendam yang tak juga
mereda, ketidakpercayaan, penipuan kasar, dan pembunuhan, hal-hal yang tidak
baik lebih banyak daripada hal yang baik. Lantas hal apa yang akan kita sebut
sebagai “kebahagiaan” ? dengan mengacu realitas, maka saya harus mengambil
sikap terhadap keberadaan diriku, keniscayaan ini harus saya perbuat, entah
bagaimana asumsi kalian. Totalitas egoisme dan individualitis adalah keutamaan,
hal ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena suatu kemutlakan, yang mampu
bertahan adalah yang terkuat.
Saya bagi saya adalah individu, yang
berarti kuasaku. Saya berhak melakukan segala sesuatu yang saya bisa, dan saya
mampu. Bahkan jika saya bisa untuk menjatuhkan para penguasa, maka saya berhak
untuk itu; atau mereka atau sayalah yang akan gugur dan jatuh. Hanya saya
sendiri yang berhak menentukan apa yang menjadi hak saya dan bukan orang lain.
Meski seluruh dunia menganggap sesuatu bukan hak saya, namun hal itu adalah hak
saya, bila saya sendiri menganggap hal itu demikian dan saya bisa mewujudkan,
entah dengan cara halal atau cara paling haram dan kasar sekalipun. Hak dan
milik berkaitan erat satu sama lain, karena hak saya artinya kuasa saya, entah
itu dari menciptakan atau merebut milik. Jangkauan hak milik saya sama luasnya
dan berbanding lurus dengan kuasa saya
Segalanya yang bisa saya raih, saya rampas, saya rebut, entah dengan
paksaan atau suka rela adalah hak milik saya. Milik saya hanya dibatasi oleh
kuasa individu lain yang mampu mengalahkan, atau merebut itu dari saya, jadi
segala sesuatu tergantung dari kuasa dan kekerasan saya.
Yang ilahi adalah urusan Tuhan dan
yang manusiawi adalah urusan manusia, perkaraku bukanlah yang ilahi dan
bukanlah yang manusiawi. Perkaraku bukanlah yang benar, yang baik, yang lurus,
yang bebas dan sebagainya, melainkan hanyalah Aku yang punya. Maka perkaraku
tidak bersifat umum, melainkan unik sebagaimana Aku unik adanya.
Bagiku tidak ada yang melebihi Aku. Apa yang anda, untuk itu anda sekalian
berhak pula atasnya. Segala hak serta pembenarannya Aku asalkan dari Aku. Aku
berhak untuk melakukan apa saja yang Aku bisa. Aku berhak untuk menjatuhkan
para Dewa, bahkan Tuhan sekalipun dari singgasana mereka, jika aku bisa. Jika
Aku tidak bisa, maka mereka tetap mempertahankan hak dan kuasanya terhadap
diriku.
Bahkan pembunuhan boleh saya lakukan
semau-maunya, asal saya bisa dan suka: Aku diberi hak oleh Aku untuk membunuh,
jika Aku tidak melarang atau menahan diri Aku sendiri, jika aku tidak takut
terhadap suatu pembunuhan bagaikan terhadap suatu ketidakadilan. Aku hanya
tidak berhak untuk apa yang Aku tidak lakukan dengan bebas, artinya untuk apa
yang Aku tidak izinkan kepada diri Aku sendiri. Akulah yang memutuskan entah
sesuatu merupakan hak bagi Aku, diluar Aku tidak terdapat hak. Jika sesuatu
merupakan hak bagi Aku, maka hal itu sungguh-sungguh hak, mungkin menurut orang
lain itu belum hak , tapi itu adalah urusan mereka, bukan urusanku; mereka
boleh saja melawan. Andaikata sesuatu tidak dianggap hak oleh dunia, namun Aku
menganggapnya hak, artinya aku menghendakinya, maka Aku tidak menghiraukan
seluruh dunia, karena hal inilah satu-satunya keutamaan selama individu
mempunyai harga diri.
Baiklah, biarlah kekerasan yang
menentukan tentang hak dan kepemilikan dan Aku hendak menantikan segalanya dari
kekerasan ku. Kuasa asing yang Aku biarkan kepada orang lain, yang membuat Aku
budak. Demikian juga hendaklah kuasaku
sendiri membuat Aku menjadi pemilik, biarlah Aku sendiri yang mengambil
kekuasaan yang Aku perbolehkan kepada orang lain, karena Aku yang tidak
mengetahui kekuatan kekuasaanku sendiri. Semboyanku adalah : Jangkauan kuasaku
sama luas dengan milikku dan Aku menyuruh menyita segalanya menjadi milik,
bilamana Aku merasa diriku cukup kuat
untuk memperolehnya; batas milikku yang sesungguhnya sama luasnya dengan
hakku, artinya, dengan kuasaku untuk mengambilnya. Yang harus menentukan disini
ialah egoisme, kepentingan diri, bukan prinsip cinta kasih, bukan motif-motif
cinta seperti belas kasihan, kemurahan hati, kebaikan hati atau bahkan
keadilan, karena cinta kasih hanya mengenal korban-korban dan menuntut
pengorbanan. Bagi Aku hal ini seperti itu tidak masuk akal untuk mengorbankan
sesuatu atau menghadiahkan sesuatu. Aku menentukan begitu saja; apa yang Aku
butuhkan, Aku inginkan harus Aku miliki.
Aku adalah pemilik kekuasaanku,
hanya kalau Aku menyadari diriku sebagai satu-satunya pemilik, sebagai
satu-satunya, si pemilik kembali lagi kepada ketiadaan yang mencipta, darimana
ia berasal. Tiap hal yang mengatasi Aku, entah Tuhan, entah manusia hanya
melemahkan perasaan keunikanku dan baru meluntur dihadapan mentari
kesadaran akan keunikan ini. Terlalu lelah, terlalu letih, saya telah membuat
segala sesuatu berputar mengelilingi diri saya sendiri, saya telah memusatkan
seluruh kehidupan saya pada sesuatu yang fana, pada “ pencipta berhingga
dari diri saya sendiri yang menghabiskan
dirinya sendiri “.
0 komentar:
Posting Komentar