Saat aku terlahir di dunia ini, ayahku pernah
bercerita bahwa ia mendengar suara tangisku yang menjerit begitu keras. Dokter
dan suster yang ikut membantu proses kelahiranku pun begitu bingung karena aku
tidak berhenti menangis meski mereka sudah menimang dan menghiburku dengan berbagai
cara. Awalnya, aku tidak mengerti
mengapa aku terus menangis dan tidak bisa dihentikan oleh siapapun. Suster yang
bingung kemudian menyarankan dokter untuk meminta Ayah yang sedang berada
di ruang tunggu untuk melihatku.
Dengan terburu-buru, Ayah memasuki ruangan
inkubator dan ia menyentuh jari pertamanya pada wajahku yang lahir prematur.
Ia menitikkan air mata melihatku dan aku pun secara ajaib berhenti
menangis. Ayah mengangkat tubuh mungilku yang hanya seberat beberapa gram saja.
Ia melihatku berhenti menangis. Suster-suster heran ketika suara tangisku
akhirnya berubah bersuka cita. Ayah menimang tubuhku dengan lembut sambil
berkata,
“Mulai saat ini hanya kamulah yang paling
berharga dalam hidup Ayah…” begitu kalimat pertamanya padaku.
Ya. Aku adalah anak yang paling berharga
baginya. Kelahiranku adalah dua sisi yang cukup membuat Ayah begitu tertekan
antara bahagia dan duka.
Duka itu dimulai saat Ibu mengalami
pendarahan hebat dan Ayah berada dalam kondisi yang sulit ketika Dokter
memberikannya dua pilihan: Pertama, aku yang pergi dari dunia ini atau Ibu yang
harus merelakan nyawanya.
Tanpa mempedulikan saran Ayah, Ibu memilih
untuk melahirkanku daripada harus mengaborsi bayi prematur yang
telah ia rawat dengan penuh kasih sayang. Ia melupakan semua saran
dokter demi aku: Sang janin
kecil yang terus membuat nyawanya terancam.
Ayah menginginkanku di dunia ini seperti
halnya Ibu. Tapi Ayah tidak ingin membuat Ibu bersedih dan bimbang melawan
keputusan Ibu. Ayah terpaksa menerima keputusan Ibu dan berharap
keduanya dapat selamat dengan mukjizat Tuhan. Di saat-saat kritis itu, dengan
mengenggam erat tangan Ibu, Ayah melihat sendiri Ibu menghembuskan nafas
terakhirnya. Di saat nafasnya akan berakhir, terdengar suara tangis pertamaku
di dunia ini dengan senyuman terakhir Ibu yang bahagia melihat kelahiranku.
Saat itulah ia pergi dariku dan Ayah.
Tuhan, aku tidak pernah mengerti mengapa aku
harus menjadi beban bagi hidup ibuku. Andai saja aku tahu bahwa hidupku hanya
untuk membuat ibuku menderita, mungkin aku tidak akan memilih untuk terus hidup
di dunia ini.
Tapi semua rencanaNya telah digariskan lewat
takdir yang mempertemukan Ibu dan ayahku. Dan oleh karena cinta merekalah aku
terlahir ke dunia ini. Ayah selalu berkata bahwa pernikahan mereka adalah
hal terindah di dunia ini. Sebagai keluarga kecil yang bahagia, tentu
saja mereka berharap ingin hidup bersama hingga waktu memisahkan mereka. Tapi
nyatanya perpisahan terjadi begitu singkat hanya setelah pernikahan dua
tahun itu dan kelahiranku adalah awal yang membuat dunia Ayah berubah. Kini ia
menjadi orang tua tunggal bagiku.
Di saat Ayah menimangku dengan penuh
kasih, seorang suster mendekat padanya lalu bertanya dengan perlahan agar tidak
membuatku kembali menangis.
“Maaf Pak menganggu, bayi cantik ini
akan diberikan nama siapa?” tanya suster itu pada Ayah.
“Angel! Berikan nama dia Angel,” kata Ayah.
Angel. Itulah namaku.
Nama yang Ayah berikan untuk mengenang Ibu
yang juga bernama Angel. Mereka memiliki rahasia mengapa aku diberikan nama itu
dan aku hanya akan tahu pada saat usiaku nanti sudah cukup dewasa untuk
mengerti arti kehidupan.
Karena merasa nyaman, saat itu aku malah
tertidur dalam timangan Ayah. Sambil menciumku, Ayah kembali memberikan aku
kepada suster agar dikembalikan ke dalam ruangan inkubator supaya tubuhku
merasa hangat.
***
Karena aku lahir prematur, aku harus dirawat
untuk waktu yang cukup lama hingga aku bisa keluar dari Rumah Sakit. Ayah yang
bingung, kemudian meminta ibunya (nenekku) untuk merawatku. Selain harus
menyiapkan upacara pemakaman almarhumah Ibu, Nenek diharapkan
dapat membantu Ayah yang harus menjalani hidup-hidup beratnya saat ini. Nenek
yang tinggal di Jakarta, langsung terbang naik pesawat menuju Semarang. Ia
memberikan kekuatan besar dalam hidup Ayah saat itu. Dan darinya juga,
Ayah belajar banyak akan arti keikhlasan dan harus kuat untuk melihat masa
depan.
Ibu, sebelum meninggal pernah meminta Ayah
untuk tidak menguburkannya tapi lebih memilih untuk dikremasi, kemudian
meminta abunya dibuang di lautan Jawa. Ayah menuruti permintaan terakhir Ibu
dengan berat hati, ia menyimpan sisa-sisa abu itu dalam sebuah kotak guci kecil
yang ia simpan di ruangan kamarnya dengan foto Ibu yang sedang tersenyum.
Setiap malam ia selalu menyalakan lilin minyak kecil untuk mengenang Ibu. Ia
tidak bisa sedih berlama-lama karena ada aku yang harus ia perjuangan untuk
terus hidup.
Setelah dua bulan lamanya hidup dalam
inkubator, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang. Bersama dengan Nenek, Ayah
belajar banyak bagaimana caranya menjadi seorang ibu. Ia mulai mengerti
bagaimana untuk menganti popokku, membuatku berhenti menangis pada malam hari
dan juga bagaimana memandikanku dengan benar. Tapi yang paling sulit baginya
adalah membuat susu yang baik bagiku, sebab aku sangat sulit untuk minum susu
bila tidak hangat atau tidak manis.
Karena tidak ada ASI ( Air Susu Ibu) dari ibu
kandung, Ayah harus menambah beberapa vitamin tambahan yang diberikan dokter
agar aku dapat tumbuh dengan sehat dan sempurna sesuai asupan gizi seusiaku.
Bersama kedua malaikat itu, aku pun tumbuh seiring berjalannya waktu. Ayah dan
Nenek bergantian menjagaku. Bila Ayah harus bekerja, Nenek dengan siaga
menjagaku dan begitu pula sebaliknya, bila Nenek sedang beristirahat,
Ayah akan menjagaku dengan sungguh-sungguh agar tidak menangis dan menganggu
istirahat Nenek yang sudah berusia 55 tahun. Saat itu usiaku baru
satu tahun.
Aku tidak tahu betapa aku adalah bayi yang
merepotkan karena Ayah bilang, saat aku kecil, selalu buang air kecil setiap
popok baru terpasang. Aku juga tidak pernah mau mendengarkan semua
nyanyian yang Ayah berikan padaku ketika ia mencoba membuatku tidur. Aku juga
selalu menangis dan menangis bila merasa Ayah dan Nenek kurang memanjakanku
atau apa yang aku inginkan tidak mereka berikan. Semua masih baik-baik saja
sampai akhirnya Ayah mulai merasa aku telat bicara, karena seharusnya usiaku
saat itu (dua tahun) bahkan tidak pernah mengucapkan sepatah katapun, padahal
Ayah sudah mengajarkanku beberapa kata-kata ringan seperti memanggil;
“Ayah…” atau “ Nenek…”
Sampai akhirnya ketika usiaku menginjak
tiga tahun, aku masih tidak pernah bicara apapun dan Ayah merasa ada yang aneh
dengan sikapku. Terutama ketika aku tidak pernah merespon terhadap
panggilannya. Ia malah berpikir aku seorang autis karena pada saat itu ia
sempat mendengar perilaku balita sepertiku dapat dikatakan penderita autis.
Untuk membuatku tetap ceria, Ayah memberikanku banyak mainan boneka. Aku sangat
suka bermain dengan boneka-boneka yang Ayah bawakan setiap ia pulang kerja.
Sampai akhirnya pada saat aku bermain boneka,
Ayah memandangku. Sedangkan Nenek saat itu sedang di dapur untuk membuat makan
malam kami.
“Angel!” teriak Ayah di hadapanku saat aku
sedang asyik bermain boneka sapi kartun lucu.
Ia kemudian mendekatiku, lalu membelakangi
tubuhku, ia mengunakan kedua tangannya di kepalaku sambil menepuk kedua
tangannya dengan kencang. Terdengar suara tepukan tepat di belakang kepalaku.
Ayah melakukannya berulang-ulang hingga ia berhenti dan menarik nafas panjang.
Nenek yang mendengar suara tepukan tangan itu keluar dari dapur menuju
ruangan dimana aku dan Ayah berada. Ia melihat tingkah Ayah dan bertanya,
“Sedang apa kamu Martin?” panggil Nenekku.
Martin adalah nama Ayahku.
“Ibu, aku merasa Angel tidak bisa mendengar
apa yang aku lakukan, bahkan ia tidak bisa merespon tepukan tangan tepat di
belakangnya. Bila ia bisa mendengar, harusnya ia akan terkejut. Tapi ia diam
saja.”
Nenek kemudian mendekatiku yang masih asyik
bermain boneka. Ia memandangku dan berbicara pada Ayah sambil memegang kepalaku
dengan lembut.
“Ibu juga merasa ada yang tidak beres
dengannya. Bagaimana kalau kita coba bawa ke dokter? Mungkin mereka bisa
menemukan jawabannya.”
“Baiklah Bu. Aku akan mandi dulu. Setelah
makan malam aku akan membawa Angel ke dokter.”
“Ibu juga ingin ikut,” kata Nenekku.
***
Sesungguhnya kecemasan Ayah karena aku tidak
bisa merespon dan mendengar apapun yang diperintahkan sudah sejak lama
disimpannya, tapi ia mulai menyadari bahwa aku bukanlah anak autis.
Pikiran itu akhirnya runtuh sampai hari ini. Ia benar-benar harus mencoba
mencari tahu apa yang terjadi padaku. Setelah aku menikmati makam malam buatan
Nenek dan merasa kenyang, aku tertidur dan ketika terbangun, aku sudah berada
di Rumah Sakit. Seorang dokter tampak sedang memeriksa telingaku dengan senter
kecil berwarna putih yang cukup aneh bagiku.
Dokter perempuan itu tersenyum padaku. Lalu
usai pemeriksaan itu, Nenek langsung mengajakku untuk jalan-jalan di sekitar
ruangan Rumah Sakit, agar tidak mengganggu pembicaraan Ayah dengan Dokter.
Ayah berbicara dengan Dokter Intan yang
notabene adalah seorang spesialis telinga.
“Bagaimana Dok, dengan kondisi Angel? Mengapa
dia tidak bisa merespon panggilan dan kata-kata saya?”
“Dengan sangat menyesal, saya harus
mengatakan kalau anak Bapak adalah seorang tunarungu…”
“Tunarungu? Bagaimana bisa?” (Tunarungu:
orang yang terlahir cacat pada pendengarannya)
“Melihat catatan kelahiran dan kesehatannya,
pada anak Bapak yang lahir secara prematur, segala kemungkinan bisa terjadi.
Tunarungu adalah salah satu hal yang bisa terjadi pada setiap anak-anak yang
terlahir secara prematur. Jadi dalam dunia medis, cacat lahir bawaan ini adalah
hal yang bisa terjadi di setiap 10 banding 1000 kelahiran bayi.”
Ayah terdiam.
“Bapak tidak perlu bersedih ataupun panik,
dewasa ini sudah banyak pendidikan dan orang yang hidup dengan kondisi yang
sama dengan anak Bapak. Anak Bapak tetap bisa memiliki masa depan yang baik.
Bila sejak dini kita mendidik dan mengajarinya, kelak anak itu akan tumbuh
seperti anak-anak normal lainnya dan masyarakat kita sudah bisa menerima
keadaan seperti ini.”
“Tapi keadaan ini sangat membuat saya sedih.
Kasihan anak itu, ia tidak menyadari keadaannya, apa yang harus saya lakukan
untuk memberitahunya? Apa yang harus ajarkan padanya saat ia mulai tumbuh jadi
besar? Dan yang paling saya cemaskan, bagaimana caranya ia tau keadaannya sendiri?
Apa yang harus saya jelaskan sedangkan dia sendiri tidak bisa mendengar dan
bahkan tak mengerti apa yang saya katakan?” kata Ayah dengan wajah sedih
dan menahan air mata.
Dokter mencoba membuat Ayah tegar, lalu
berpikir sejenak sampai akhirnya ia mengambil kartu nama dan
memberikannya pada Ayah. Dokter merekomendasikan seorang kenalan yang ia
pikir bisa membantu masalah Ayah.
“Begini saja, saya memiliki seorang kenalan
yang sudah berpengalaman untuk mendidik bagaimana caranya menjadi orang
tua tunarungu, mungkin ia bisa membantu Bapak dalam masalah ini.”
“Maksudnya ‘dia’ Dokter?”
“Beliau adalah seorang ibu yang juga memiliki
anak tunarungu. Beliau berhasil menjadi pendidik bagi orang tua yang melahirkan
anak-anak tunarungu. Saya yakin dengan senang hati ia akan membantu Bapak agar
bisa menjadi orang tua yang baik. Simpanlah kartu nama ini, katakanlah bahwa
saya yang merekomondasikannya pada Bapak.”
“Terima kasih Dokter!”
Ayah keluar dari ruangan Dokter dengan wajah
sedih. Ia membaca kartu nama itu dengan teliti dan berharap banyak pada Ibu
yang berpengalaman itu dapat menyelamatkan hidupku. Saat itu, Nenek baru saja
memberikanku eskrim coklat dan ketika melihat Ayah aku langsung mendekatinya.
Nenek bertanya kepada Ayah yang tampak murung.
“Bagaimana hasilnya, Tin?”
“Angel positif tunarungu, Bu…”
Nenek ingin menangis ketika mendengar kalimat
itu keluar dari mulut Ayah, tapi ia tidak ingin membuat Ayah lebih bersedih. Di
saat seperti ini, hanya dialah orang yang bisa menghibur dan menguatkan
hati Ayah untuk membesarkanku. Ayah memang bukanlah seorang ibu, tapi ia
memiliki ibu yang berpengalaman merawatnya hingga dewasa seorang diri tanpa
suaminya (Kakekku). Kakek meninggal saat ayah berusia tiga tahun karena
kecelakaan kereta api. Apa yang terjadi pada Ayah saat ini, seperti halnya
pernah terjadi pada Nenek saat itu.
Tapi Nenek memang luar biasa, ia berhasil
hidup menjadi orang tua tunggal bagi Ayah dan kini ia harus membuat Ayah juga
sekuat Nenek.
bersambung..
6 komentar:
wah-wah cerita yang hebat nih....slm sukses trus ya...
Ijin nyimak dolo mba manis...
hmm.. cerita yang menyentuh..
cerita yg penuh motivasi, seakan2 saya sendiri sedang menjadi anak tersebut sob.
cerita yg penuh motivasi, seakan2 saya sendiri sedang menjadi anak tersebut sob.
pasti.. tenang saja.. sang ayah pasti bisa sekuat sang nenek :) semangat!!!
Agen Judi Bola Online DAFTAR DI SINI SEKARANG dan dapatkan uang jutaan rupiah,agen judi BOLAVITA Aman Dan Terpercaya di Indonesia !!
Posting Komentar