Apakah
Definisi Intelijen?
Intelijen
dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan langsung dari Intelligence (N)
dalam bahasa Inggris yang berarti kemampuan berpikir/analisa manusia. Mudahnya
kita lihat saja test IQ (Intelligence Quotient), itulah makna dasar dari
Intelijen.
Intelijen atau Intelligence berarti juga seni mencari,
mengumpulkan dan mengolah informasi strategis yang diperlukan sebuah negara
tentang negara “musuh”. Dari definisi ini berkembang istilah
counterintelligence yang merupakan lawan kata dari intelligence.
Intelijen juga merujuk pada organisasi yang melakukan seni pencarian, pengumpulan dan pengolahan informasi tersebut di atas. Dengan definisi ini intelijen juga mencakup orang-orang yang berada di dalam organisasi intelijen termasuk sistem operasi dan analisanya.
Intelijen juga merujuk pada organisasi yang melakukan seni pencarian, pengumpulan dan pengolahan informasi tersebut di atas. Dengan definisi ini intelijen juga mencakup orang-orang yang berada di dalam organisasi intelijen termasuk sistem operasi dan analisanya.
USA,
Russia (sejak era Uni Soviet) adalah dua negara yang mengembangkan intelligence
mengarah pada sebuah field science baru. Keberadaan sejumlah Akademi di Russia,
bahkan Sekolah Tinggi sampai Graduate School di USA (bersepesialisasi di bidang
intelijen) merupakan langkah-langkah gradual menuju penciptaan field science of
intelligence.
Sementara di sebagian besar negara “besar” seperti Inggris, Perancis, dan China, Intelligence masih dianggap sebagai seni yang dirahasiakan dan hanya diajarkan pada calon-calon agen intelijen selama beberapa tahun.
Sementara di sebagian besar negara “besar” seperti Inggris, Perancis, dan China, Intelligence masih dianggap sebagai seni yang dirahasiakan dan hanya diajarkan pada calon-calon agen intelijen selama beberapa tahun.
Hakikat
Keberadaan Organisasi Intelijen
Mungkin
kebanyakan orang menyangka keberadaan organisasi intelijen semata-mata hanya
untuk kepentingan pemerintah atau elit politik yang berkuasa. Hal ini merupakan
kekeliruan persepsi yang sangat membahayakan bagi nama baik sebuah organisasi
intelijen. Dalam kasus kebijakan represif negara junta militer, otoriter, rejim
komunis dan revolusi sejenisnya, memang terjadi penyimpangan fungsi intelijen yang
hakikatnya ditujukan untuk menghadapi ancaman dari luar negara menjadi alat
represi bagi pemerintah.
Teknik,
mekanisme kerja, sistem analisa dan produk yang dihasilkan organisasi intelijen
di manapun di dunia adalah sejenis, yaitu berupa hasil olah analisa berdasarkan
data-data yang akurat dan tepat serta disampaikan secepat mungkin kepada para
pengambil keputusan dalam sebuah negara.
Tidak
ada yang misterius, aneh ataupun luar biasa dalam organisasi intelijen. Secara
historis dan alamiah, organisasi intelijen memiliki ciri tertentu yang telah
diketahui masyarakat luas, yaitu prinsip kerahasiaan. Ciri utama inilah yang
kemudian menimbulkan tanda-tanya bagi masyarakat. Selanjutnya timbul pula
praduga-praduga yang belum tentu benar sehingga mitologi intelijen menjadi
semakin kabur dalam bayang-bayang cerita atau kisah nyata, cerita fiksi dan
fakta terjadinya peristiwa yang sulit diungkapkan secara transparan kepada
khalayak.
Definisi
tugas pokok intelijen di seluruh dunia cukup jelas, yaitu pada umumnya bertugas
mengumpulkan intelijen (informasi) dan melakukan operasi tertutup (kegiatan
rahasia) di luar negeri. Intisari dua kegiatan utama tersebut adalah
mengidentifikasi dan mencegah ancaman terhadap negara dan warga negara serta
untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan negara.
Sementara
itu, apa yang dimaksud dengan kegiatan intelijen di dalam negeri adalah
kontra-intelijen (kontra-spionase), yaitu kegiatan rahasia yang ditujukan untuk
mendeteksi kegiatan intelijen negara asing di dalam wilayah teritorial negara
kita. Dalam perkembangannya kegiatan kontra-intelijen lebih ditujukan untuk
menangkal kegiatan terorisme internasional maupun kejahatan trans-nasional.
Tidak
ada istilah meng-inteli warga negara yang “kontra” pemerintah. Model ini hanya
ada dan muncul di negara-negara blok komunis, junta militer dan negara otoriter
dengan tujuan melanggengkan kekuasaan. Sementara di negara demokrasi,
transparansi dan persaingan politik yang sehat dalam koridor hukum sewajibnya
diterima sebagai aturan main dan intelijen harus “bersih” dari soal
dukung-mendukung kekuatan politik yang bersaing di dalam negeri. Sangat mirip
dengan peranan militer dalam negara demokrasi.
Apa
yang sering disebut sebagai intelijen tingkat instansi dan intelijen polisi
lebih mengarah pada spesifikasi sasaran operasi, dan mereka tidak melakukan
operasi intelijen seperti hakikatnya intelijen. Apa yang mereka lakukan adalah
penyelidikan dan penyidikan atas suatu pelanggaran hukum. Adapun teknik dan
mekanisme kerjanya bisa saja sama dengan intelijen “murni”.
Intelijen
militer bisa dianggap sebagai saudara kandung intelijen sipil. Tujuan, motivasi
dan hakikat operasinya bisa dikatakan sama. Hanya saja cakupan ruang operasinya
yang sedikit berbeda, bahkan seringkali terjadi operasi gabungan sesuai dengan
kemampuan dan bidang masing-masing. Perbedaan hanya sedikit dalam tujuan
operasi taktis (jangka pendek), sekedar contoh misalnya saja signal intelligence
(SIGINT) sangat vital bagi intelijen militer karena terkait dengan pendeteksian
mobilisasi militer asing yang menjadi pihak lawan (oposisi). Sementara itu,
SIGINT bagi intelijen sipil lebih bermanfaat dalam mengamankan operasi tertutup
di negara lawan dengan melakukan coding informasi yang rumit dan sulit
dipecahkan lawan.
Meskipun
dinamakan Organisasi Intelijen Sipil, organisasi intelijen yang baik tidak bisa
hanya berwarna sipil karena pentingnya sentuhan militer. Hakikatnya merupakan
gabungan antara kemampuan militer (tempur) atau combatants dan petugas
intelijen (intelligence officers). Dengan kata lain, meskipun seorang anggota
intelijen berlatar belakang militer dia juga punya kemampuan seluwes orang
sipil. Sebaliknya petugas intelijen sipil wajib mempunyai kemampuan militer
yang cukup. Mereka semua wajib untuk loyal dan bersumpah setia demi keselamatan
rakyat dan negara. Intelktual, bakat, dedikasi dan keberanian adalah beberapa
hal yang menjadi modal utama insan intelijen baik sipil maupun militer.
“Sebagai orang Indonesia yang
peduli dengan reformasi intelijen Indonesia, terus terang saya sangat sedih dan
kecewa dengan perkembangan, dinamika, serta prospek intelijen di Indonesia.
Mudah-mudahan tulisan singkat ini dibaca dan dipahami oleh generasi muda, intelektual dan mereka yang aktif di dunia intelijen. Harapan saya adalah bangkitnya semangat dan berkembangnya kreatifitas serta kesungguhan dan tekad yang kuat dalam membangun organisasi intelijen di Indonesia yang ideal, bisa diaplikasikan serta memiliki citra positif di mata masyarakat Indonesia dan disegani oleh lawan yang menjadi ancaman bagi negara dan warga negara Indonesia”. (Senopati Wirang)
Mudah-mudahan tulisan singkat ini dibaca dan dipahami oleh generasi muda, intelektual dan mereka yang aktif di dunia intelijen. Harapan saya adalah bangkitnya semangat dan berkembangnya kreatifitas serta kesungguhan dan tekad yang kuat dalam membangun organisasi intelijen di Indonesia yang ideal, bisa diaplikasikan serta memiliki citra positif di mata masyarakat Indonesia dan disegani oleh lawan yang menjadi ancaman bagi negara dan warga negara Indonesia”. (Senopati Wirang)
Bidang
Studi Intelijen
Apa
sebenarnya yang wajib dipelajari dalam studi intelijen secara akademik?
Pertanyaan
itu terus menggelitik hati dan pikiran saya sejak Pak Hendropriyono menggagas
dan akhirnya mewujudkan sekolah Intelijen setingkat S1 dan S2 beberapa tahun
silam. Tanggung jawab dalam mencetak kader intelijen yang memiliki kapasitas
kesarjanaan yang tinggi secara akademis terus membayangi sekolah Intelijen.
Karena saya tidak bisa ikut campur dalam penyusunan kurikulum maupun
penyelenggaraan sekolah tersebut, maka saya akan ungkapkan apa-apa yang wajib
dipelajari dalam studi intelijen berdasarkan survey internet dan pengalaman
sekolah saya (senopati wirang),
sbb:
- Konteks studi intelijen seyogyanya lebih luas dari studi politik, ekonomi, hubungan internasional, kebijakan luar negeri, hukum internasional, kriminologi, etika, psikologi, dan usaha-usaha negara bangsa dalam memelihara keamanan politik, sosial, ekonomi, dan militer. Dengan kata lain studi intelijen bersifat multidisplin.
- Sebagai pondasi, diperlukan studi logika, matematika dan statistik serta dasar-dasar ilmu alam, filsafat manusia dan filsafat ilmu pengetahuan, geografi, dan sejarah dunia.
- Sebagai pengetahuan praktis dan teknis perlu dikembangkan spesialisasi khusus seperti bahasa asing, fotografi dan teknologi audio video, ilmu komputer, teknologi komunikasi, dan teknologi sistem pengamanan.
- Sebagai pilihan studi bisa disusun berdasarkan area studies (kajian wilayah/kawasan misalnya Asia Tenggara) atau issues studies (kajian masalah misalnya Terrorisme).
- Sebagai studi utama, tentu saja tetap mengajarkan dasar-dasar intelijen mulai dari internal security sampai pada analisa intelijen strategis tingkat advance.
The
intelligence cycle
The
intelligence cycle adalah
proses mengolah informasi mentah menjadi produk intelijen yang disampaikan
kepada pengambil kebijakan untuk digunakan dalam penentuan kebijakan dan
langkah-langkah pelaksanaan kebijakan. Ada 5 langkah dalam perputaran
intelijen.
- Planning and Direction. Merupakan manajemen informasi mulai dari identifikasi data-data yang diperlukan sampai pengiriman produk intelijen ke pengambil kebijakan atau pengguna produk intelijen. Merupakan awal dan akhir dari lingkaran. Menjadi awal karena berkaitan dengan penyusunan rencana yang mencakup kebutuhan pengumpulan informasi yang spesifik dan menjadi akhir karena produk akhir intelijen yang mendukung keputusan kebijakan, menciptakan permintaan-permintaan produk intelijen yang baru. Keseluruhan proses mengacu pada petunjuk pengambil kebijakan seperti Presiden atau Perdana Menteri, pembantu-pembantu di jajaran eksekutif seperti Dewan Keamanan Nasional, anggota kabinet….yang kesemua itu mengawali permintaan khusus kepada intelijen.
- Collection. Adalah pengumpulan data/informasi mentah yang diperlukan untuk memproduksi analisa intelijen. Ada banyak sekali sumber-sumber informasi termasuk informasi terbuka seperti berita radio asing, surat kabar, majalah, internet, buku, dll. Informasi terbuka merupakan salah satu sumber utama intelijen yang harus dimekanisasikan secara disiplin menjadi sebuah rutinitas sehari-hari yang menjadi supply tidak terbatas yang akan mendukung analisa intelijen. Bila anda pernah berkunjung ke CSIS di Tanah Abang III Jakarta, perhatikan bagaimana intelijen masa Orde Baru berbagi teknik dengan lembaga penelitian dan menjadikannya sebagai salah satu lembaga yang disegani. Guntingan Koran CSIS adalah khas pekerjaan membosankan yang sangat vital bagi intelijen, khususnya bagi perwira analis, karena dengan mengikuti setiap waktu perkembangan terkini dari media massa akan melatih insting analisanya. Di samping itu, ada juga informasi rahasia dari sumber-sumber yang rahasia pula. Informasi ini hanya memiliki prosentase yang kecil namun sifatnya amatlah sangat penting sehingga sering juga menjadi penentu dari sebuah produk intelijen. Biasanya diperoleh dari operasi tertutup oleh para agen intelijen atau melalui informan. Secara teknis penngumpulan data juga dilakukan oleh peralatan canggih secara elektronik dan fotografi serta satelit.
- Processing. Berkaitan dengan interpretasi atas data/informasi yang sangat banyak. Mulai dari penterjemahan kode, penterjemahan bahasa, klasifikasi data, dan penyaringan data. Dalam organisasi intelijen tradisional dan konservatif, seorang agen baru seringkali harus melalui masa-masa membosankan melakukan pemilahan data berdasarkan kategori yang ditentukan atasannya. Hal ini sangat penting untuk membiasakan diri dalam menyusun jurnal pribadi maupun jurnal unit yang sangat vital dalam mempercepat proses penemuan kembali data-data lama yang tersimpan. Juga membiasakan diri untuk segera melihat data dari sudut pandang potensi spot intelijen atau memiliki potensi ancaman.
- All source Analysis and Production. Merupakan konversi dari informasi dasar yang telah diproses menjadi produk intelijen. Termasuk didalamnya evaluasi dan analisa secara utuh dari data yang tersedia. Seringkali data yang ada saling bertentangan atau terpisah-pisah. Untuk keperluan analisa dan produksi, seorang analis, yang biasanya juga spesialis bidang tertentu, sangat memperhatikan tingkat “kepercayaan”data (bisa dipercaya atau tidak), tingkat kebenaran dan tingkat relevansi. Mereka menyatukan data yang tersedia dalam satu kesatuan analisa yang utuh, serta meletakkan informasi yang telah dievaluasi dalam konteksnya. Bagian akhirnya adalalah produk intelijen yang mencakup penilaian atas sebuah peristiwa serta perkiraan akan dampaknya pada keamanan nasional. Salah satu unsur vital dari produk intelijen adalah peringatan dini dan perkiraan keadaan. Sementara model laporan ada macam-macamnya mulai dari yang sangat singkat berupa telpon lisan yang menjadi laporan kepada pimpinan negara, sampai laporan yang cukup tebal mencakup analisa perkiraan keadaan tahunan. Dari beberapa kasus yang terungkap di media massa, terlihat jelas bahwa baik BIN maupun BAIS TNI sangat lemah di sektor analis ini, entah karena sumber daya manusia-nya yang levelnya masih sebatas lulusan akademi militer, D3 atau S1 saja, atau karena memang keterbatasan dana yang menyebabkan lembaga intelijen tidak berkutik soal peningkatan SDM. Bandingkan misalnya dengan CIA atau Mi6 yang secara aktif mengirimkan para analisnya ke universitas-universitas di berbagai negara untuk menempuh studi doktor sekaligus memantapkan spesialisasi masing-masing.
- Dissemination. Merupakan langkah terakhir yang secara logika merupakan masukkan untuk langkah pertama. Adalah distribusi produk intelijen kepada pengguna (pengambil kebjiakan) yang biasanya adalah mereka yang meminta informasi kepada intelijen. Untuk kasus Indonesia, pengguna disini hampir identik dengan Presiden.
Kegiatan
Rahasia
Metode
pengumpulan informasi oleh organisasi intelijen di seluruh dunia selalu
mengandalkan human intelligence (humint). Pertanyaannya kemudian adalah apakah
metode klasik penyampaian informasi ke kantor pusat masih saja berlangsung.
Pola-pola operasi dead drop microfiche dan brushpass, dll tampaknya semakin
rawan. Sementara komunikasi melalui internet jelas sangat terbuka oleh program-program
deteksi semacam cyberspy dan kaum hacker serta sistem pengawasan oleh provider
internet dan pemerintah.
Sistem
pengawasan lingkungan yang semakin ketat sejalan dengan perkembangan teknologi
mau tidak mau akan menyulitkan kegiatan rahasia di luar negeri.
Berbeda
dengan kegiatan rahasia di dalam negeri, kegiatan rahasia di luar negeri tidak
saja beresiko karena melanggar hukum sebuah negara melainkan juga karena bisa
merusak kredibilitas sebuah negara di mata negara yang dimata-matai. Lebih jauh
merusak hubungan diplomatik.
Hal
yang paling lucu dari kegiatan rahasia di luar negeri belakangan ini adalah
para intel dari berbagai negara akhirnya minum kopi bersama-sama di Starbuck
sambil berdiskusi tentang terorisme internasional, tentang masalah internasional,
dengan pengecualian masalah di negara masing-masing, lha bagaimana ini…mungkin
abad 21 ini merupakan akhir dari kasus-kasus espionage antar negara. Hal ini
saya perhatikan terjadi di Paris, Washington DC, Tokyo, Hongkong, Singapore,
dan bahkan Jakarta.
Tentu
tidak seluruhnya demikian, hal tersebut di atas hanya terjadi diantara
organisasi yang sudah menjadi counterpart dan memiliki kesepakatan untuk
bekerjasama. Tentu masih ada hal-hal yang bersifat spionase dalam kadar yang
relatif berbeda-beda.
Bagaimana
dengan kegiatan rahasia di dalam negeri? Dahulu salah seorang junior saya yang
berwajah sangar tapi baik hati sering mengajarkan pada calon agen untuk
mengutamakan keberanian, karena operasi di wilayah sendiri. Apapun persoalannya
bisa diatasi karena kita memiliki “hak” untuk melakukan operasi keamanan.
Keberanian yang kadangkala melangkah terlalu jauh dari sisi kerahasiaan,
akibatnya ada beberapa agen yang sangat baik harus mengakhiri karirnya dari
operasi lapangan karena terekspos ke pihak lawan atau ke publik, contohnya agen
yang membongkar jaringan Jamaah Islamiyah.
Mengingat
pentingnya kegiatan rahasia dengan segala prinsip-prinsipnya, saya ingin
menghimbau kepada seluruh jajaran intelijen untuk kembali menerapkan standar
baku kerahasiaan, khususnya dalam membentuk calon agen menjadi agen rahasia.
Agak
aneh membahas kegiatan rahasia di media yang tidak rahasia, tetapi dengan
variasi pembaca yang tidak saya ketahui, mungkin ada pesan yang tertangkap
entah oleh siapa.
DASAR-DASAR INTELIJEN (BAGIAN 1)
Pengertian Dasar
Intelligence is knowledge, demikian secara generik
menurut kamus. Jargon militer mengartikan – intelligence is foreknowledge.
– kemampuan “weruh sadurunge winarah”. Meski intelijen diharapkan weruh
sadurunge winarah, tatkala garis pertahanan Bar Lev Israel di Gurun Sinai
hancur berkeping-keping pada ofensif Oktober 1973 oleh serbuan yang mendadak
dari jenderal Sazely dalam Perang Ramadhan, orang hampir-hampir tidak bisa
percaya bahwa badan intelijen Mossad yang legendaris itu ternyata tidak
memiliki kawruh akan adanya ofensif di hari raya Youm Kippur
sesuai dengan reputasinya yang digembar-gemborkan selama ini.
Ceritera tentang intelijen
yang tertangkap basah, yang diperdaya oleh lawannya, yang bobol, bukan hanya
dialami oleh Mossad dan Aman (badan intelijen pertahanan Israel)
yang konon sakti mandraguna, tetapi dialami juga oleh badan-badan
intelijen kondang dunia betapa pun handal dan canggihnya.
Sejarah keberhasilan yang
legendaris dari raid “Tora, Tora, Tora” oleh sayap udara dari armada
Kekaisaran Jepang yang melibas habis kapal-kapal armada pasifik Amerika Serikat
di Pearl Harbour pada bulan Desember 1941 dan menjadi pemantik Perang Pasifik,
merupakan suatu operasi intelijen yang mempermalukan Amerika yang sungguh
sangat monumental. Kejadian sedemikian tetap berulang berkali-kali, bahkan di
penghujung abad ke-20 ini ketika badan-badan intelijen sudah makin sophisticated.
Ketika
menjelang Natal pada 24 Desember 1979 sembilan divisi Uni Soviet, yang terdiri
dari divisi berlapis baja ke-5, ke-54, ke-103, ke-104, lalu divisi mobil udara
ke-105, serta divisi infanteri bermotor ke-66, ke-201, ke-357 dan ke-360,
terdiri tidak kurang dari 45.000 orang prajurit melancarkan serbuan
besar-besaran menyeberangi perbatasan Tajikistan menyerbu dan menduduki
Afganistan, tiga badan intelejen Amerika Serikat paling canggih –-CIA, DIA (Defense
Intelligence Agency) dan NIA (National Intelligence Agency)-– yang
diawaki dengan personil yang paling terlatih dan paling berpengalaman,
diperlengkapi dengan sarana penyadap elektronika dan pemantau satelit yang
mampu mengawasi tiap jengkal permukaan bumi pada tiap saat, tiba-tiba saja oleh
keberhasilan pendadakan itu tampak menjadi badan-badan intelijen paling konyol
di dunia. Harap diingat, sembilan divisi bukanlah jumlah kekuatan yang kecil
yang begitu saja dapat lolos dari pengamatan.1)
Contoh
lain lagi. Ofensif Argentina pada tanggal 2 April 1982 terhadap kepulauan
Falkland, atau Malvinas kata orang Argentina, adalah juga ceritera nyata betapa
sebuah lembaga intelijen paling bergengsi seperti MI-6 Inggeris tertangkap
basah tidak mampu mengantisipasi serangan dadakan tersebut sebelumnya. Jadi,
badan-badan intelijen, yang paling canggih, paling berpengalaman, dan paling
bergengsi seperti Mossad, CIA, MI-6, bahkan KGB sekalipun, ternyata bukanlah
lembaga-lembaga dewa yang serba tahu dan serba bisa. Bahwa intelijen sebagai
lembaga harus mampu menjalankan empat fungsi utamanya, yaitu –-to anticipate,
to detect, to identify, and to forewarn-– secara mumpuni,
memang itulah yang diharapkan.
Maka
dari itu, ketika Pemerintah Orde Baru pada waktu yang lalu menginstruksukan untuk
membangun “posko-posko kewaspadaan” guna mengantisipasi terhadap berbagai
kemungkinan adanya dadakan kerusuhan sosial, perintah semacam itu tak pelak
lagi merupakan suatu sindiran gaya Jawa terhadap komunitas intelijen,
terutama dalam menjalankan keempat fungsi utama yang disebutkan di atas tadi.
Kalau tidak, untuk apalah pula “posko-posko kewaspadaan” itu, meski kelemahan
itu tidak terletak sebagai tanggung jawab badan-badan intelijen an sich.
Dalam hal ini aparat pemerintah lainnya perlu diperiksa juga akan peran dan
tanggung jawabnya, terutama berkenaan dengan efektivitas dari intelijen
fungsional. Sehubungan dengan intelijen tersebut, tokoh guru peperangan gerilya
Che Guevara memperingatkan dari dalam belantara Colombia, bahwa “informasi
akan mengalir ke arah ke mana simpati rakyat diberikan.“ Barangkali kaidah
besi ini harus menjadi peringatan bagi badan-badan intelijen kita juga.
Dari
contoh-contoh di atas tadi, kenyataan empirik memperlihatkan
kelemahan-kelemahan alamiah memang akan terus melekat pada badan-badan
intelijen kapanpun dan dimanapun, karena kelemahan yang bersifat manusiawi.
Kelemahan itu dapat bersifat struktural (artinya, bisa diperbaiki), bisa
kultural (sulit diperbaiki). Meski dengan segala kemungkinan akan kelemahan
yang ada, yang dapat membatasi kemampuannya, fungsi intelijen sejak zaman
dahulu kala telah telah diakui menduduki peran yang menentukan. Sun Tzu (250
s.Masehi) telah menetapkan adagiumnya yang terkenal “Ketahui musuhmu, dengan
mengetahuinya sudah separuh dari kemenangan”.2)
Intelijen – Profesi untuk Hanya Seorang
Klien
Intelijen
memiliki watak sebagai a professional with one client –profesi yang
mengabdi hanya kepada seorang klien. Istilah tersebut mencerminkan bukan
sekedar keunikan intelijen, tetapi juga keterkaitan berbagai perannya dengan fungsi-fungsi
dari sekuriti nasional. Paling tidak ada enam fungsi-fungsi yang
mengalir dari aspek sekuriti nasional. Fungsi-fungsi dari sekuriti nasional itu
adalah :
1. Membina kepastian hukum (legal
surety);
2. Membina ketentraman dan ketertiban
masyarakat (civil order);
3. Menegakkan hukum secara paksa
(law enforcement);
4. Membangun kemampuan pertahanan
(defence capability);
5. Melindungi masyarakat dari
berbagai bencana, baik karena alam, kelainan, maupun kesengajaan (public
safety from disasters); dan yang terakhir,
6. Memelihara keamanan negara (state
security);
yang masing-masing memiliki ciri-ciri masalah dan ancamannya
sendiri-sendiri.3)
Karakterisasi ancaman menuntut adanya spesialisasi
penanganan masing-masing. Spesialisasi intelijen terhadap fungsi-fungsi dari
sekuriti nasional tersebut dimanifeskan ke dalam crime and law
enforcement intelligence, yang dilaksanakan oleh badan intelijen kepolisian
(seperti FBI, Spesial Branch, Intelpol, dsb). Fungsi berikutnya, yakni defence
intelligence, dilaksanakan oleh badan badan intelijen pertahanan, mulai
yang terbatas pada lingkup intelijen daerah pertempuran (combat intelligence)
sampai kepada intelijen yang berlingkup strategis. Kemudian oleh berbagai
intelijen yang ditujukan untuk melindungi masyarakat (intelligence for
public protection) dari berbagai wujud bahaya yang tanggung-jawabnya
dilaksanakan oleh departemen terkait (mulai dari lembaga pengawasan kegiatan
vulkanologi, pengendalian banjir, penanggulangan kenakalan remaja, narkotika
dan uang palsu, sampai kepada pengawasan lalu-lintas orang asing, dsb) serta
untuk perlindungan kepentingan nasional yang lebih luas, yang mencangkup bidang
politik, ekonomi, keuangan, sosial-budaya, serta keamanan sosial, yang
dilaksanakan oleh badan-badan intelijen nasional (NIA, MI-6/5, BIN, dsb)
Pertanyaan :
1. Berapa luas dan lingkup
wewenang dan tanggung jawab dari BIN?
2. Apa saja fungsi dari BIN?
Meski
ada spesialisasi pada berbagai badan intelijen untuk beragam kepentingan
tersebut, sebagai realisasi fungsi-fungsi sekuriti nasional pada berbagai
tingkat dan wujudnya, kepentingan-kepentingan ini tetap memiliki keterkaitan
satu dengan yang lain.
Oleh
karena itu, peran dan fungsi koordinasi antar badan-badan intelijen yang
ada itu tidak saja tidak boleh dinafikan, bahkan secara fungsional merupakan
kebutuhan yang wajib dilakukan. Hambatan dan kelemahan utama dari badan-badan
intelijen justru terletak pada fungsi koordinasi ada take and give
dan prinsip intelijen tentang pemberian informasi hanya kepada mereka yang
memang mutlak harus tahu (need to know basis), turut mengendala proses koordinasi.
Masalah lain adalah menetapkan “siapa yang memang perlu tahu”. Kendala lain
terhadap koordinasi, yang turut menentukan, lebih bersifat kultural,
yaitu faktor subyektif dari badan-badan intelijen –persisnya tokoh-tokoh– yang
terlibat. Faktor gengsi misalnya.
Koordinasi adalah kegiatan tukar-menukar
keterangan mengenai masalah-masalah yang “tidak jelas” atau “tidak diketahui”
atau “perlu diketahui bersama”. Sementara kaum intelijen adalah sosok yang
acapkali harus menampilkan kesan yang serba tahu. Oleh karena itu untuk
menghindari embarrassment akan hal semacam itu, banyak bos-bos intelijen
yang sebenarnya memerlukan exchange of notes, konsultasi, atau
koordinasi dalam rangka memerlukan informasi yang ada di tangan mereka, acap
kali merasa enggan dan kalaupun terpaksa, cukup mengirim wakil dari eselon
rendahan saja, yang biasanya tidak memiliki mandat untuk memutuskan sesuatu.
BIN
yang di dalam fungsinya menyandang fungsi mengkoordinasikan kegiatan
intelijen pada lingkup nasional dikabarkan mengalami kesulitan dalam
menjalankan fungsi koordinasinya di antara badan-badan intelijen yang
ada.
Pertanyaan
: Apa
kendala yang menyebabkan kesulitan dalam menjalankan fungsi koordinasi oleh BIN
terhadap badan-badan intelijen lain?
Lalu,
rivalitas (persaingan) yang inheren atau melekat di dalam tubuh berbagai
badan-badan intelijen menjadi faktor lain lagi yang mengendala usaha koordinasi
dan sinkronisasi dalam rangka mengefisienkan kegiatan badan intelijen yang ada.
Berbeda dengan kompetisi (yang juga berarti persaingan dalam
bahasa indonesia), di mana di dalamnya perjuangan merebut prestasi dilaksanakan
tanpa merugikan pihak-pihak yang bersaing, rivalitas adalah persaingan yang
kadangkala tanpa perlu memperebutkan prestasi, justru bertujuan untuk
menimbulkan kerugian pada pihak pesaing lainnya. Rivalitas adalah permainan zero-sum-game.
Keadaan yang merugikan ini bias bertambah parah bila penguasa politik
menggunakan rivalitas itu untuk power balancing penguasa. Ciri dari
sistem demikian, berbagai kelompok kepentingan bertarung untuk memperebutkan
kedekatan atau untuk memperoleh favorit dari penguasa.
Untuk
beberapa waktu lamanya badan-badan intelijen di Indonesia, tanpa perkecualian,
tidak lain hanyalah instrumen untuk mencapai kepentingan politik. Badan
inteljen yang bekerja secara professional untuk single client organization
yang pernah ada adalah BRANI (Badan Rahasia Nasional Indonesia), dari tahun
1945 sampai 1950.
Lembaga
intelijen Indonesia yang pertama, Badan Istimewa BKR, disusun setelah
selesainya penyelenggaraan Pendidikan Penyelidik Militer Khusus dibawah Letnan
Kolonel Zoelkifli Loebis, yang menjadi kepala Tjabang Chusus (staf intelijen)
BKR (Badan Keselamatan Rakyat). Badan Istimewa BKR diresmikan pada tanggal 6
Oktober, 1945 di Cileungsi, Bogor, sehari setelah pemerintah meresmikan BKR
sebagai badan keamanan dari Republik yang baru lahir. Ketika ditanyakan tentang
hal itu Zoelkifli Loebis menyatakan tidak ingat lagi kapan Badan Istimewa BKR
itu diresmikan. “Saya tidak ingat tanggal pembentukannya. Yang jelas sesudah 17
Agustus 1945 dan sebelum 5 Oktober 1945,” ucap bapak intelijen Indonesia ini.
4)
Letnal
Kolonel Zoelkifli Loebis merekrut 40 orang opsir PETA mantan lulusan Seinen
Dojo (Pusat Pelatihan Pemuda), yang kemudian diikutkan dalam pelatihan
intelijen oleh Zanchi Yugeki-tai (Satuan Intelijen Bala Tentara Ke-16)
sebagai kader intelijen. Latihan para kader intelijen itu hanya berlangsung
tidak lebih dari seminggu lamanya, ditekankan terutama pada intelijen lapangan
dan teritorial, seperti pengumpulan informasi militer, sabotase dan perang urat
saraf. Tenaga pelatihnya terdiri dari para perwira dari badan intelijen Jepang Sambobu
Tokubetsu-han (Beppan), seperti Letnan Yanagawa, Letnan Tsuchiya, Letnan
Yonemura dan seorang muslim Jepang Abdul Hamid Nobuharu Ono, yang dikenal dekat
dengan perwira-perwira BKR, Selain Zoelkifli Loebies sendiri yang pernah
bertugas sebagai perwira intelijen di Singapura.5) Ketika pusat pemerintahan
publik dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, Badan Istimewa BKR diubah
namanya menjadi BRANI (Badan Rahasia Nasional Indonesia) yang secara
administratif menginduk ke Kementerian Pertahanan dan secara operasional
memiliki akses langsung kepada Panglima Besar Soedirman dan Presiden Soekarno.
Pemimpinnya tetap Zoelkifli Loebis. BRANI melanjutkan melakukan pelatihan
terhadap beratus pemuda dalam rangka membentuk FP (Field Preparation).
Tugas
FPI itu macam-macam, seperti sabotase, propaganda dan perang urat saraf, penggalangan
perlawanan terhadap Belanda, menyusup ke daerah lawan, hingga penyelundupan
senjata. “Pokoknya, kami ini intelijen tempur sekaligus teritorial” ujar
Letnan Jendral Soetopo Joewono, mantan kepala BAKIN yang menjadi anggota
BRANI.6) Untuk mendukung kepentingan politik, misi BRANI kemudian tidak
terbatas pada intelijen militer saja, tetapi diperluas kepada intelijen politik
dan strategis.
Pada
masa Amir Sjarifoeddin menjadi perdana menteri pada April 1947 lembaga
intelijen ini dirombak menjadi KP V (Kementerian Pertahanan V). Satuan-satuan
intelijen yang berada di luar struktur militer, yakni yang berada di bawah
kepolisian dan kejaksaan pada masa sebelum perang, dimasukkan kedalam jajaran
kementerian pertahanan pada staf yang berbeda. Seksi-A (bekas BRANI) diserahkan
di bawah kepemimpinan Kolonel Abdoerahman, orang kepercayaan Amir Sjarifoeddin,
sedangkan Zoelkifli Loebis menjadi wakilnya. Amir Sjarifoeddin dan Abdoerahman
kemudian hari terlibat dalam Peristi Pengkhianatan PKI di Madiun pada 1948.
Setelah
perang kemerdekaan usai, ketika Pemerintah Republik kembali ke Yogya, KP V
dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk intelijen Kementerian Pertahanan (IKP).
Di bawah menteri pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dalam posisi sebagai
kepala IKP, Zoelkifli Loebis membentuk BISAP (Biro Informasi Angkatan Perang),
yang bertugas menyiapkan informasi strategis kepada menteri pertahanan dan
pimpinan militer.
Setelah
terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 IKP “digembosi”. Peran intelijen pada lingkup
nasional dilakukan oleh SUAD-I. Pada tahun 1959 Presiden Soekarno membentuk
sebuah badan intelijen baru di tingkat nasional, Badan Pusat Intelijen (BPI),
yang dipimpin langsung oleh menteri luar negri Soebandrio. Dibawah kepemimpinan
Soebandrio, BPI dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh kaum komunis dan
simpatisannya. BPI menyusup ke dalam Departemen Hankam, Komando-Komando
Militer, dan badan-badan pemerintahan lainnya untuk tugas mengamati lawan-lawan
politik Presiden Soekarno. Untuk pertama kali sebuah badan intelijen seperti
BPI secara sengaja diarahkan dan digunakan sebagai sebuah instrumen politik
dengan tugas khusus untuk mengawasi dan menghabisi lawan-lawan pemerintah
seperti yang lazim berlaku di negara-negara yang bercorak otoriter.
Dengan
tumbangnya kekuasaan Presiden Soekarno, dan bangkitnya Rezim Orde Baru pada
tahun 1965, BPI dibubarkan.sebuah badan intelijen baru dibentuk, yaitu Komando
Intelijen Nasional (KIN) pada tahun 1966, tetapi sebelum berusia setahun
KIN dibubarkan dan digantikan oleh BAKIN (Badan Koordinasi Intelejen Negara)
di bawah pimpinan Kolonel, kemudian Letnan Jenderal Yoga Sugama. Presiden
Soeharto tidak sepenuhnya percaya dan menyandarkan dirinya pada BAKIN. Ia
membentuk sebuah jaringan Intelijen lain sebagai saingan BAKIN di bawah kendali
mayor Jendral Ali Murtopo dengan Operasi Khusus (Opsus)-nya, di luar
pengetahuan Bakin maupun staf intelijen Departemen Pertahanan Keamanan/Markas
Besar ABRI, serta komando pemulihan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib)
yang ada pada waktu itu. Dalam melaksanakan tugas intelijennya Ali Murtopo
bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soeharto. Selain itu di luar Opsus,
Presiden Soeharto masih membentuk dan mengendalikan jaringan intelijennya
sendiri.
Ali
Moertopo merupakan tokoh kepercayaan Presiden Soeharto sejak tahun 1948. Ia
adalah tokoh yang dikirimkan oleh Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad,
pada tahun 1965, tanpa sepengetahuan Presiden Soekarno, untuk menemui Des Alwi
di Bangkok dalam rangka menjajagi kemungkinan mengakhiri ‘Konfrontasi’ dengan Malaysia.
Sejak saat itu Ali Moertopo dengan Opsus-nya ditugasi untuk menangani
bidang-bidang khusus politik, diplomasi, dan bisnis, di bawah kendali langsung
Presiden Soeharto.
Permainan
yang dijalankan Ali Moertopo tidak senantiasa sejalan dengan kepentingan
tentara, yang dipresentasikan oleh Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro, yang
didukung oleh BAKIN. Persaingan antara Opsus dengan Kopkamtib berakhir dengan show
down pada 15 Januari 1978, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Malari
(Malapetaka Limabelas Januari) yang berakhir dengan lengsernya kedua tokoh,
baik Ali Moertopo maupun Jenderal Soemitro, dari arena politik.
Sesudah
Peristiwa Malari Presiden Soeharto memanggil Brigadir Jenderal Benny Moerdani
dari posnya di Seoul untuk menggantikan Ali Moertopo. Ia diangkat sebagai
asisten intelijen Dephankam /ABRI, dan mengambil alih kepemimpinan CSIS dari
tangan Ali Moertopo. Pada waktu itu Pusintelstrat (Pusat Intelijen
Strategis) yang berada di bawah kendali asisten intelijen Dephankam/ABRI, dan
mengambil alih kepemimpinan CSIS dari tangan Ali Moertopo. Pada waktu itu Pusintelstrat
(Pusat Intelijen Strategis) yang berada dibawah kendali asisten intelijen
Dephankam/ABRI, berfungsi hanya sebagai “lembaga pusat” dengan tugas pokok
terbatas pada merumuskan doktrin dan menyelenggarakan latihan semata. Jenderal
Benny Moerdani tidak puas dengan hal itu, dan mereorganisasikan “tenaga pusat”
itu menjadi sebuah ‘badan’ -agency- yakni BAIS (Badan Intelijen
Strategis) ABRI dengan tugas-tugas yang sangat luas. Di bawah kepemimpinan
Jendral Benny Moerdani BAIS tidak saja merambah sampai kepada perumusan politik
luar negeri (yang membuatnya tidak disenangi oleh kalangan Pejambon), tetapi
terutama ia berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk memberikannya
kewenangan melaksanakan sesuatu “operasi tertutup” melakukan invasi ke Timor
Portugis pada tahun 1975. Kegiatan operasi itu sedemikian tertutupnya
sampai-sampai Menhankam/Pangab Jenderal Surono tidak mengetahuinya sampai
detik-detik terakhir Hari–H serbuan, yang dengan sekaligus menandai berakhirnya
peran Opsus yang masih melakukan kegiatan intelijen di timor portugis
dengan nama sandi “Operasi Komodo”.
Untuk
“mensinergikan operasi-operasi intelijen” sesudah peristiwa Malari, Presiden
Soeharto kemudian menempatkan Jenderal Benny Moerdani sebagai Waka BAKIN, di
bawah Jenderal Yoga Sugama. Berdalihkan bahwa BAKIN hanyalah sebuah “badan
koordinasi”, maka struktur organisasinya “dilangsingkan” dengan menjadikannya
sebuah organisasi yang tidak menjadi badan intelijen yang berfungsi melakukan
operasional intelijen secara penuh. Tugas pokoknya lebih ditekankan pada
koordinasi. Barangkali karena alasan tersebut, ketika saya mengambil alih
pimpinan BAKIN pada bulan April 1999, sarana operasional seperti untuk
intelijen komunikasi-elektronika, dan organ untuk operasi lapangan tidak ada.
Fungsi komunikasi-elektronika diturunkan menjadi hanya sebuah seksi yang berada
pada detasemen markas, yang bertugas untuk pelayanan internal. Karena tiadanya
organ operasional lapangan, “laporan intelijen” yang saya terima dari staf,
yang diharapkan berisi “analisis” dari intelijen matang, tidak lebih berupa
guntingan dari berbagai koran nasional. Sementara itu badan intelijen militer,
BAIS, mengendalikan operasi dan kegiatannya mulai dari intelijen lapangan,
teritorial dan intelijen strategis, dengan fokus terutama pada intelijen
politik dalam negeri. Dalam melaksanakan tugasnya, kadang kala kegiatan
intelijen merambah kepada bidang-bidang dan tindakan-tindakan yang dikemudian
hari membuat nama “intel” tidak terlalu harum di masyarakat.
Intelijen- Kegiatan Mencari Jawaban
Terbaik
Tadi
di awal pembicaraan telah dikemukakan bahwa kegiatan intelijen terkait erat
dengan proses pengambilan keputusan, pelaksanaan, serta pengendalian hasilnya.
Keputusan yang baik ditentukan oleh tersedianya informasi yang benar, faktual,
cermat, obyektif, lengkap, terkini, dapat tepat waktu.Dengan kata lain,
intelijen adalah kegiatan mencari jawaban terbaik guna mendapatkan solusi
terbaik. Untuk memperoleh jawaban terbaik itu, maka pengorganisasian
intelijen menuntut segala yang terbaik dalam segaenap aspeknya. Sulit
untuk mendapatkan jawaban terbaik bila organisasi intelijen tidak mampu
melaksanakan fungsi-fungsi dasarnya sekalipun, seperti contoh yang dialami oleh
BAKIN tadi.
Organisasi
intelijen tidak lain hanyalah sekedar sarana untuk menjalankan misinya.
Misi organisasi intelijen, seperti organisasi-organisasi lainnya ditentukan
lingkungan strategisnya, tugas utama dan khusus yang dipikulkan keatas
pundaknya, serta tantangan yang sedang dan bakal dihadapinya. Mengingat
wataknya sebagai organisasi yang mengabdi hanya untuk seorang klien,
badan intelijen harus tajam pada spesialisasinya. Organisasi yang terlampau
luas dan lebar tanggung jawabnya dapat terjebak kedalam perangkap tahu
sedikit tentang banyak hal.
Di
bidang intelijen pertahanan konon banyak hal Indonesia masih perlu
berbenah diri. Salah satu fungsi dari intelijen pertahanan, misalnya saja di
bidang survaillance udara dan maritim, yang belum mampu kita
tangani dengan memuaskan. Beberapa kawasan Tanah Air, seperti Laut Natuna,
Selat Malaka, Laut Sulawesi, serta laut-laut di kawasan timur Indonesia, tetap
masih merupakan black areas untuk intelijen kita. Bukan saja karena
kawasan-kawasan tadi belum terliput secara penuh dan efektif oleh sistem
jaringan kadar kita, juga kalaupun sarana deteksi tersebut tersedia, beberapa
faktor baik jenis, kemampuan, dan usia sudah tidak lagi memenuhi kebutuhan
sekarang. Beberapa radar buatan Rusia yang sudah jompo tidak memiliki suku
cadang lagi. Beberapa lagi, seperti radar Plessey dan Thomson
tidak kompatibel satu sama lain, sehingga saling tidak mampu memberikan peringatan
dini yang merupakan inti fungsinya suatu jaringan radar. Padahal kemampuan peringatan
dini dan deteksi dini dari sistem jaringan radar, baik di atas
daratan maupun dibawah permukaan air, akan sangat menentukan kemampuan
unsur-unsur surveillance udara dan maritim yang juga masih sanngat
terbatas dalam jumlah, kekuatan, dan kemampuannya- dalam rangka membangun pagar
pertahanan tanah air yang dapat diandalkan. Jangan lupa, wilayah nusantara yang
harus kita lindungi sekarang ini telah meningkat tiga kali lipat, dari yang
semula hanya dua juta kilometer persegi kini menjadi enam juta kilometer
persegi, sebagai akibat bertambah luasnya wilayah tanggung-jawab keamanan
dengan kawasan zona ekonomi eksklusif.
Intelijen
bukan hanya berurusan bagaimana mengamati partai-partai politik, tetapi juga
bagaimana harus mampu menegakkan hak-hak kedaulatan nasional di lautan dari
pelanggaran lalu-lintas ilegal, penyelundupan dan kejahatan di laut, termasuk
antara lain pencurian kekayaan laut yang kini telah mencapai triliunan rupiah,
maupun ancaman penggerogotan terhadap garis-garis batas nasional. Lautan telah
menjadi frontier baru yang menuntut perhatian, karena berkaitan dengan
bukan hanya hari ini, tetapi masa depan anak-cucu kita.
Sementara
itu negeri ini terbuka telanjang oleh pengamatan pihak-pihak lain melalui geo-stationary
orbiting surveillance satellite yang diperlengkapi baik dengan alat
pendengar elektronika serta thermal dan satelit fotografik,
yang mampu mengamati, menyadap berita, dan memotret sampai detil mulai dari
nomor kendaraan pasukan darat, di nomor lambung kapal-kapal yang ada di
permukaan laut, jumlah dan jenis pesawat yang masih air serviceable,
sampai pada semua pergerakan latihan maupun operasi pasukan-pasukan darat, laut
dan udara, mulai dari Aceh, sampai dengan Papua. Kesibukan badan-badan
intelijen dengan politicking selama ini telah menjadikannya alpa membangun
intelijen pertahanan yang akhirnya akan menentukan kemampuan kita
mempertahankan dan melindungi segenap rakyat Indonesia dan seluruh tanah
tumpah darah Indonesia dengan sebaik-baiknya.
Keterbatasan
kemampuan udara strategis serta telekomunikasi elektronika sangat menghambat
kemampuan intelijen strategis di lapangan. Pekerjaan tersebut selama ini
terbatas dilakukan secara terbuka oleh para petugas di perwakilan-perwakilan di
luar negeri. Tetapi bila saatnya mengharuskan untuk melakukan pengumpulan keterangan
secara senyap di daerah yang bermusuhan, maka kemampuan itu patut
dipertanyakan. Barangkali unsur intelijen strategis masih mampu melaksanakan
misi infiltrasi, tetapi pekerjaan eksfiltrasi terhadap pasukan tersebut setelah
misi berakhir masih merupakan tanda tanya besar. Apresiasi intelijen yang
menyatakan dalam tempo sepuluh tahun ke depan tidak akan ada perang
sungguh telah menina-bobokkan kita. Bahwasanya contoh-contoh tentang pecahnya
perang dadakan seperti di Falkland, Afganistan, Teluk, dan sebagainya,
seharusnya tidak mengizinkan suatu angkatan perang alpa dalam mempersiapkan
dirinya. Bukankah, si vis pacem para bellum. Titik-titik ledak yang
eksplosif berada di tepian Pasifik, seperti semenanjung Korea, kepulauan
Daoyu-tai, selat Taiwan, sengketa di pulau-pulau atol Spratley, dan sebagainya,
bisa saja terjadi peluberan, karena hampir semuanya berbatasan langsung dengan
zona ekonomi eksklusif Indonesia yang menempati posisi silang.
Pertanyaan
:
1. Apakah BIN ada menjalin
kerja-sama dengan badan-badan intelijen asing untuk mengatasi kekurangan sarana
surveillance tersebut di atas?
2. Dengan badan-badan
intelijen asing siapa saja dan dalam bidang apa saja?
3. Menurut informasi alat
informasi pada camera-recorder imigrasi di Bandara Cengkareng dipasok oleh
pihak Amerika Serikat, dengan catatan mereka berhak menerima hasil pengamatan
lalu-lintas orang di Bandara kita?
4. Apa bentuk kerja-sama BIN
dengan badan-badan intelijen asing tersebut dalam “pemberantasan terorisme” di
Indonesia, serta peran dari badan-badan intelijen asing tersebut di Indonesia?
(BERSAMBUNG)
DASAR-DASAR INTELIJEN (BAGIAN 2-SELESAI)
Tugas Intelijen adalah Pengabdian Mutlak
Tanpa Pamrih
Kemampuan
dan kualitas kinerja intelijen ditentukan oleh kehandalan dan kualitas dari
sistem pendidikan dan pelatihan yang merupakan wujud upaya untuk menjadikan
seseorang cakap dan matang melalui pembekalan kemampuan profesional dan
pemberian pengalaman secara sistematik.
Pertanyaan
:
Untuk
menjadikan BIN sebuah lembaga intelijen yang profesional dengan kinerja yang
profesional, bagaimana sistem rekrutmen calon-calon petugas intelijen kita?
Sisi
kedua adalah efisiensi sistem pembinaan karier yang memungkinkan seseorang
menjadi matang melalui pemberian pengalaman yang sistematik. Para master-spy
dunia yang ada pada awalnya terbentuk dari para cantrik (apprentice).
Melalui kedua sistem tersebut yang dibina secara serasi, bertahap dan
berlanjut, para cantrik intelijen yang semula masih hijau dibangun
keterampilan, kepercayaan diri, kemampuan, dan kepemimpinannya, dengan rajutan
antara pelatihan kejuruan dan keahlian berbagai lika-liku seni intelijen dengan
penugasan, dari tugas magang, tugas lapangan (field operative), lalu
agen handler, kemudian middle analyst, sampai kepada senior
analyst. Hasil dari itu semua akan melahirkan master-spy.
Pertanyaan
:
1. Bagaimana sitem pendidikan dan
pelatihan professional baik yang berupa ‘in-house’ maupun ‘out-house training’
?
2. Bagaimana pola ‘tour of area’
dan tour of duty’ (mutasi dan promosi) para pejabat BIN ?
Akibat
iklim politik yang serba tidak menentu, bidang pembinaan karier kepegawaiaan
yang belum mengacu kepada prestasi, yang juga berlaku pada aparat intelejen,
telah mengendala kaidah itu. Para petugas dan pejabat intelejen, terutama yang
berasal dengan latar belakang non militer berdasarkan ketentuan pemerintah
harus mengikuti ‘pendidikan karier’ berjenjang regular pegawai negeri, seperti
SPAMA, SPAMEN, dan SPATI, untuk mengapatkan kenaikan jabatan yang mengandung
juga kenaikan tanggung jawab, sementara sebagaimana dinaklumi, sistem
pendidikan karier pegawai negeri tersebut tak ada sangkut pautnya sama sekali
dengan peningklatan keterampilan profesionalisme intelijen yang seharusnya
mereka peroleh dalam sistem pendidikan karir mereka. Sebaliknya, in-house
training yang dilakukan oleh lembaga intelijen selama ini di bidang tradecrafts
mereka ternyata tidak memiliki efek karier, belum mendapatkan pengakuan
dari badan administrasi pembinaan kepegawaian negara, BAKN, kecuali sekedar
sebagai credit points semata.
Sosok Intelijen
Bagian
terpenting dari rangkaian pembinaan sumber-daya manusia untuk menjadikan seseorang
sisik intelijen dalam rajutan pembinaan pendidikan dan pembinaan karier atas
tadi bermula pada tahapan awal, yaitu recruitment.
Kekeliruan
pada tahapan awal ini akan berdampak panjang. Pencarian bibit (talent-scouting)
menjadi pengalaman penting dari usaha recruitment. Dari sederet panjang
tuntutan yang mutlak ada pada tiap calon rekrut ialah integritas pribadi,
loyalitas dan kemampuan profesional (professional competence).
Integritas
pribadi
merefleksikan sosok seorang yang jujur, dapat dihandalkan, satu kata dengan
perbuatan, memikiki keberanian moral, adil dan bijaksana. Kesemuanya mutlak
diperlukan, mengingat pekerjaan intelijen akan lebih banyak dilaksanakan dengan
mengandalkan pribadi demi pribadi. Pengetahuan, analisis, dan laporan dari
seorang sosok intelijen akan sangat tergantung pada judgement dari
pribadi yang bersangkutan. Dengan kata lain, keberanian mengambil keputusan
pada saat-saat kritis yang terkait erat dengan integritas pribadi seseorang.
Loyalitas menjadi tuntutan mutlak yang
kedua. Loyalitas, atau kesetiaan, mengandung keteguhan akan komitmen seseorang
kepada misi yang diembannya, kepada etika profesinya, kepada organisasinya, dan
terutama kepada bangsa dan negaranya, diatas segala-galanya tanpa pamrih. Sosok
dan lembaga intelijen tidak boleh menyimpangkan kesetiaannya kepada kelompok
atau golongan, atau kepentingan-kepentingan sempit di luar kepentingan
nasional.
Pertanyaan
: Bagaimana
mengawasi loyalitas para petugas intelijen dalam tugasnya kepada misinya dan
sumpahnya?
Pengalaman
keterlibatan badan-badan intelijen di masa silam dalam konflik-konflik yang
bernuansa kepentingan kelompok dan politik aliran dari sejak awal
sejarah republik sebagaimana dituturkan pada riwayat lembaga BRANI, KP V, PBI
dan sebagainya, cukup menjadi pelajaran yang telah menorehkan trauma ke dalam
tubuh bangsa, yang telah menjadikan badan-badan intelijen kita tidak terlepas
dari trauma masa lalu, di mana sosok intelijen kerap cenderung memperlihatkan
subjektifitas politik alirannya, primordialisme yang kental,
sehingga tidak dapat menghindari diri dari perlibatan dengan kegiatan politicking
dalam politik praktis.
BIN
sebagai badan koordinasi intelijen negara, tidak peduli siapa pun yang memimpin
dan kapan pun, pada dasarnya harus senantiasa terikat kepada misinya, yaitu
menyampaikan informasi yang objektif dan faktual –pertimbangan tentang apa yang
sepatutnya dilakukan atau tidak dilakukan– kepada presiden/kepala negara dalam
rangka mengamankan segala upaya untuk “melindungi segenap rakyat Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahterahan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan keterlibatan dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Pertanyaan
: Bagaimana
usaha Kepala BIN untuk menjamin agar badan-badan intelijen kita, khususnya BIN,
tidak menjalankan politik kelompok, politik aliran dan atau primodialisme, yang
selama ini telah menjadi trauma besar di kalangan masyarakat Indonesia?
Kemampuan
profesional
menjadi syarat mutlak ketiga menuju terbinanya sosok intelijen yang profesional.
Professionalisme tidak terbatas hanya pada penguasaan teknis dari trade-craft
intelijen. Di dalamnya terkandung kewajiban dan kemampuan untuk menegakkan
etika profesi yang menjadikan intelijen menjadi profesi yang disegani dan
terhormat, bukan pekerjaan yang menimbulkan rasa takut dan jijik. Profesionalisme
menuntut dalam kegiatan intelijen penghormatan kepada hukum dan ketentuan yang
berlaku, hak-hak asasi manusia, nilai-nilai budaya yang ada, karena negara yang
kita impikan bukanlah negara polisi (police state) atau negara kekuasaan
(machts staat) yang kekuasaannya didukung oleh polisi rahasia semacam
Kempetai, Gestapo, GRU, atau Stazei. Badan-badan intelijen fungsional,
diharapkan oleh rakyat agar “berhenti melakukan hal-ihwal di luar fungsi dan
misi intelijen, dan terutama dengan kegiatan yang menzalimi rakyat.” Jangan
sampai berlaku pemeo, “sukses di semua bidang, terkecuali di bidang intelijen.”
(Catatan
: Oleh karena itu dalam upaya melakukan profesionalisasi sosok intelijen,
dalam rekrutmen calon petugas intelijen di luar tiga tuntutan dan persyaratan
tersebut diatas, badan-badan intelijen strategis mensyaratkan tenaga didik serendah-rendahnya
strata-1; berkepribadian hangat dan menyenangkan-bukan yang berpenampilan
sangar; mudah dan enak bergaul dalam berbagai lingkungan ; menguasai paling
tidak satu bahasa asing, yaitu bahasa inggris, dengan fasih; mampu membangun
struktur berpikir logis dan analitik; serta mampu menyampaikannya secara jernih
baik secara lisan maupun tertulis).
Menengok
perkembangan intelijen ke belakang dan memandang gelagat perkembangan
lingkungan dalam dan luar negeri ke masa depan, usaha untuk melakukan reposisi
kedudukan dan peran intelijen dalam kehidupan negara merupakan langkah yang
perlu dan harus diambil, dengan secara jujur berusaha menarik pelajaran dari
masa lampau serta dari kekurangan-kekurangan objektif yang masih ada di masa
kini.
Acuan
missi intelijen di masa depan harus terkait dengan usaha untuk mendukung
komitmen bangsa, yaitu turut mengamankan terbentuknya, 1) masyarakat madani
yang demokratik; 2) yang menghormati supremasi hukum; 3) mendukung terbentuknya
pemerintahan yang bersih; 4) serta menjunjung tinggi pluralitas bangsa dalam
wujud penghormatan kepada perbedaan dengan tetap berada dalam pigura Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pertanyaan : Untuk mewujudkan hal
tersebut di atas, apakah Saudara Kepala BIN sepakat akan perlunya
melegislasikan suatu ‘Undang-undang tentang Intelijen’, yang isinya menetapkan
secara tegas tugas pokoknya (‘mission’), fungsi-fungsinya, bidang-bidang yang
menjadi lahan garapannya, jenis tugas (‘tasks’) agar badan-badan intelijen kita
tidak terjebak menjadi “polisi rahasia” yang bertentangan secara mendasar
dengan prinsip negara kita sebagai negara hukum (‘recht-staat’); undang-undang
itu perlu menetapkan kepada siapa ia bertanggung-jawab, bagaimana hubungannya
dengan DPR, dari mana sumber alokasi anggaran belanja bagi lembaga intelijen,
dan hal-ihwal yang berkaitan dengan tanggung-jawab administratif badan-badan
intelijen.
Tantangan
Baru – Cakrawala Baru
Tantangan
masa depan bukan hanya berwujud ancaman fisik. Runtuhnya Tembok Berlin pada
1985 bukan hanya meniadakan dua kubu yang bersaing, yang nyaris akan
meluluh-lantakkan dunia. Berakhirnya Perang Dingin dengan kemenangan blok Barat
telah membuka pintu bendungan yang tak tertahankan, munculnya suatu fenomena
baru, yakni globalisasi. Globalisasi, atau proses pensejagatan, terjadi
berkat berlangsungnya revolusi dahsyat di bidang teknologi transportasi,
telekomunikasi, dan informasi. Revolusi tersebut telah mengubah secara total
konsep tentang ruang dan waktu. Dunia dibuatnya makin menciut. Kenichi Ohmae
menyebutnya –a new borderless world– suatu dunia yang tidak lagi
mengenal tapal-batas. 7) Tanpa tapal-batas gelombang informasi dalam era
globalisasi mendorong proses uniformisasi umat manusia. Uniformisasi itu
terutama berkiprah dalam visi dan aspirasi, seperti tampak pada gerakan
perjuangan untuk menghormati hak-hak asasi manusia, demokratisasi, hidup yang
lebih ramah lingkungan. Terhadap gejala uniformisasi tampak gerakan
regionalisme yang kini tumbuh bak cendawan di musim hujan dan kian menguat, di
Amerika Utara, Eropa, dan Asia (Timur, termasuk Tenggara), serta munculnya entitas
non-negara yang ditujukan untuk kerja-sama ekonomi seperti WTO, APEC, ASEM,
dan sebagainya.
Gejala
yang memerlukan kewaspadaan dalam uniformisasi ini ialah terbentuknya entitas
non-negara, di mana yang terpenting adalah menguatnya kesadaran
kesetia-kawanan diaspora etnis Cina secara mondial maupun regional, yang
kini bangkit menjadi kekuatan ekonomi dunia yang harus diperhitungkan. Di
negara-negara tepian Pasifik, di luar RRC dan Taiwan, jumlah etnis Cina yang
hanya 25 juta jiwa memiliki pendapatan 30 triliun dolar setahun, yang berarti
delapan kali lipat GDP Cina Daratan yang berpenduduk 1,3 milyar jiwa.
Jaringan
etnis Cina perantauan tersebut sangat rumit, terdiri dari
jaringan-di-dalam-jaringan, baik jaringan berdasarkan she (marga),
perkongsian, maupun negara, dimana mereka bertempat tinggal, yang terkait rumit
satu dengan yang lain. Sudono Salim masih salah seorang ketua organisasi dari she
Lim sedunia. Bersama-sama dengan Mochtar Riyadi keduanya menjadi anggota dewan
penasehat dari perhimpunan etnis Cina perantauan sedunia yang bermarkas-besar
di Chinese Heritage Center Singapura.
Dalam
hubungan ini Lee Kuan Yew, menteri senior Singapura, dan para pemimpin
Singapura, mengidap impian menjadikan Singapura sebagai ibukota para Hoa
Xiao di dunia. Ketika terjadi Tragedi Mei 1998 menjelang tumbangnya
Presiden Suharto, kerusuhan besar yang menimpa etnik-Cina di Jakarta, adalah
Singapura yang paling kencang suaranya mengecam Indonesia dalam rangka
memberikan kesan Singapura sebagai negara yang paling peduli dengan nasib etnik
Cina Hoa Xiao.
Lalu
apa kaitannya dengan solidaritas diaspora etnis Cina ini? Kekuatan duit
mereka. Siapa saja yang ingin berpolitik butuh duit. Tetapi juga sebaliknya,
duit menjadi basis dari kekuatan politik. Artinya, sewaktu-waktu kepentingan
ekonomi dan atau keuangan dari kelompok etnis Cina perantauan terancam di salah
satu atau beberapa negara klien, sudah dapat dipastikan akan ada reaksi
berupa ramifikasi politik. Terpuruknya moneter, ambruknya perbankan, dan
rusaknya ekonomi Indonesia, merupakan salah satu contoh dari kekuatan sistem
senjata ekonomi. Tumbangnya rejim Orde Baru bukan karena ada divisi
berlapis-baja menggelinding di jalan-jalan Thamrin atau Sudirman di Jakarta,
atau penerjunan pasukan payung di lapangan Monas, atau berjatuhannya peluru-kendali
di Cilangkap. Presiden Soeharto tumbang karena jatuhnya nilai rupiah, yang
membuka pintu kepada krisis moneter dan kemudian ekonomi yang akut. Minat
intelijen nasional harus disesuaikan dan dilebarkan antara lain dengan adanya
tantangan berupa ancaman baru tersebut.
Duit
juga menjadi faktor kuat yang mempengaruhi perumusan kebijakan nasional. Dalam
hal ini contoh konkrit adalah ketika melalui tokoh-tokoh Hoa Xiao
seperti Tong Joe, Tommy Winata, dan James Riyadi, Presiden Megawati
mengeluarkan kebijakan R & D (Release and Discharge), kepada para
obligor yang pada umumnya adalah konglomerat keturunan Cina yang melarikan diri
ke Singapura, pembebasan dari kewajiban mengembalikan hutang-hutang mereka yang
mencapai angka sampai 170 trilyun rupiah yang berasal dari Kredit Likuiditas
Bank Indonesia (KLBI) bermasalah. Bersama dengan penjualan Indosat kepada Singapura
Telecommunications, dan keputusan untuk menaikkan tarif bahan bakar minyak
(BBM), listrik dan telepon, kesemuanya telah menjadi pemantik demonstrasi-demonstrasi
besar-besaran yang dilancarkan oleh mahasiswa, pemuda, buruh, pengusaha, kaum
miskin dan ibu-ibu rumah tangga di Jakarta pada awal Januari 2003.
Kemudian
masalah lain yang memerlukan perhatian adalah runtuhnya imperium Uni
Sovyet pada tahun 1989 yang telah menampilkan Amerika Serikat sebagai
satu-satunya super-power di dunia. Menanggapi peristiwa tersebut Amerika
Serikat telah memutuskan untuk mempertahankan dan meningkatkan peran tersebut
sebagai pemimpin dunia yang dipandangnya “lebih efektif ketimbang pemimpin
Perserikatan Bangsa-bangsa.” Untuk itu, berdasarkan doktrin Bush yang
disampaikan di depan kongres Amerika Serikat pada tanggal 20 september 2002, di
dalam dokumen sebanyak 31 halaman derngan berjudul “The National Security
Strategy of United States of Amerika”, Amerika Serikat harus meningkatkan
upaya untuk memperluas kehadiran militer Amerika Serikat ke seluruh kawasan
Eropa dan Asia, dengan membangun pangkalan yang semula hanya ada di 120 negara,
diperluas menjadi 160 negara, untuk menjamin kedudukan dan peran White
Americana, perannya sebagai pemelihara perdamaian dunia di bawah kekuaaan
Amerika Serikat untul mengamankan kepentingan itu Amerika Serikat membentuk
sebuah organisasi super-intelligence bernama ‘Proaktive Pre-Empitiv
Organization Group’ (P2OG), dengan tugas melakukan operasi-operasi
intelijen atas dasar ‘Pukul dahulu urusan belakang’. Prinsip ini sesuai
dengan ancaman presiden Bush kepada semua negara, “if you’re not with use,
you’re against us” (kalau tidak mendukung kami, anda adalah musuh kami).
Serangan Bom Bali pada 12 Oktober 2002 dan Makasar pada 6 Desember 2002
merupakan bentuk dari kampanye intelijen proactive yang baru dari
Amerika Serikat sebagaimana kata Menteri Pertahanan Donald Rumfield operasi
semacam itu berjuang untuk memancing keluarnya ”tikus-tikus muslim radikal
dari sarangnya.”
Peran
Intelijen Asing Di Indonesia
Makin
meningkatnya operasi intelijen asing, terutama intelijen Barat di Indonesia,
terlihat dengan munculnya propaganda hitam di situs internet TIME.com
edisi 17 September 2002, yang menurunkan berita menarik tentang Omar Al-Faruq,
sebagai awal dari suatu operasi intelijen yang sistemik untuk mengubah
Indonesia tidak lagi menjadi “Mata rantai paling lemah di Asia Pasifik dalam
rangka upaya memerangi jaringan terorisme international”. Munisinya adalah
tentang hadirnya gerakan islam fundamentalis yang digerakkan oleh suatu
organisasi, Jama’ah Islamiyah, yang gerakannya oleh kaum fundamentalis
muslim warga negara Indonesia untuk mendirikan “super-state” Islam di Asia
Tenggara. Tujuan akhir dari kampanye intelijen ini adalah untuk menguasai
negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Kampanye anti-terorisme
Amerika Serikat di Indonesia seluruhnya hanya didasarkan pada pengakuan
Al-Farouq segera diikuti dengan pernyataan-pernyataan yang sifatnya menekan
Indonesia dari para proxy Amerika, seperti “sheriff Amerika” John Howard
dari Australia, “jurubicara” menteri senior Singapura Lee Kuan Yew, yang
menuduh melalui majalah the Far Eastern Economic Review Hongkong, bahwa
ada “ratusan gerakan Islam radikal di Indonesia yang berpotensi sebagai
organisasi teroris.” Pernyataan Lee Kuan Yew itu menggebyah-uyah
semua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam di Indonesia adalah organisasi
teroris.
Konon
menurut CIA Al-Faruq adalah tokoh kakap Al Qaedah di Asia Tenggara yang
berhasil diciduk, dikesankan sebagai prestasi terpenting CIA di Asia Tenggara.
Mengapa? Karena ia dinyatakan sebagai tangan kanan Usamah bin Ladin, yang
mendapat tugas untuk mengkoordinasikan gerakan Islam radikal di Asia Tenggara.
Ia tokoh penting terutama dengan kegiatan untuk mendirikan sebuah “super-state”
Islam di Asia Tenggara. Ia disebutkan banyak menjalin hubungan drngan
tokoh-tokoh Islam radikal Indonesia, antara lain dengan Ustadz Abu Bakar
Ba’asyir, pemimpin pondok pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo. Ia juga adalah
Amir Majelis Mujahidin Indonesia, yang dituduh sebagai “sayap” Al Qaedah
di Indonesia.
Dalam
dokumen CIA itu ada banyak nama Arab tokoh-tokoh Al-Qaedah yang berada dalam
jaringan korespndensi Al Farouq. Antara lain, ada nama-nama Dr. Ayman Al
Zawayhiri dan Mohammad Atef. Kedua tokoh puncak Al Qaedah itu dilaporkan pernah
mengujungi Poso dan Ambon pada tahun 2000, dua tempat bergolak yang oleh CIA
dituduh akan dijadikan sebagai basis baru Al Qaedah, sebagai Afghanistan kedua.
Dari
laporan-laporan CIA yang dibocorkan melalui media massa, Amerika Serikat ingin
membangun kesan bahwa jaringan Al Qaedah di Indonesia merupakan serius. Laporan
itu juga mengatakan Al Qaedah berhasil membangun sebuah “kamp latihan militer”
di Poso. Selain Poso ada tiga buah lagi di Kalimantan, antara lain sebuah di
Balikpapan. Tanggal 18 Januari 2002 melalui juru bicara BIN Muchyar Mara
mengulang kembali bahwa di Poso ada pusat kamp pelatihan teroris Islam meski
berkali-kali dibantah oleh pejabat setempat.
Sekedar
sebaagai contoh, pusat latihan militer kaum Islam radikal di Kalimantan yang
disebut-sebut dalam laporan CIA itu ternyata pondok pesantren Hidayatullah,
yang ada di desa Gunung Tembak, Balikpapan. Kampus pondok pesantren
Hidayatullah itu terdiri dari suatu hamparan seluas 30 hektar dengan bangunan
masjid, gedung pertemuan unum, ruang belajar, bedeng-bedeng perbengkelan mesin
dan alat-alat pertanian, hamparan lahan ladang tempat para santri praktek
bertani, sebuah danau buatan yang asri sebagai reservoir air bagi kawasan desa
Gunung Tembak, dan asrama bagi santri putra maupun putri serta kawasan
perumahan para ustadz. kawasan ini, karena design lengkapnya, pernah
mendapatkan penghargaan Kalpataru karena jasa-jasa Hidayatullah mengubah
tanah gersang di sana menjadi lahan subur.
Bertetangga
dengan pesantren Hidayahtullah di desa Mandar berdiri tegak pangkalan
Yonif 600 Lintas-Udara, pasukan cadangan pemukul dari Kodam VI/Tanjungpura, dan
agak ke selatan lagi berdiri basis kompi Kopasgat TNI AU yang bertugas
mengamankan kawasan bandara internasional Sepinggan, Balikpapan. Di antara
pangkalan-pangkalan ini dengan pesantren, yang dahulunya hanyalah hutan dan
semak belukar, berkat bimbingan pesantren Hidayatullah. Itulah “pusat latihan
militer” di Balikpapan menurut versi CIA.
Pertanyaan
: bagaimana
keterrangan dari kepala BIN tentang informasi tentang adanya kamp-kamp latihan
kaum teroris di Poso dan Kalimantan yang dinyatakan oleh juru-bicara BIN Machya
Mara?
Yang
termasuk dalam daftar “wanted”- orang yang dicari di Indonesia menurut
versi Amerika Serikat kalau diteliti ternyata adalah mereka yang turut
memperjuangkan berlakunya syariat islam di Indonesia. Sebagai contoh, Agus Dwi
Karna yang bersama-sama Tamsil Linrung mestinya sudah dibebaskan oleh
pengadilan Manila, ternyata keputusan itu dicabut kembali dan tidak berlaku
bagi Agus Dwi Karna, karena dia adalah ketua dari Laskar Jundullah,
organisasi yang bernaung di bawah “panitia persiapan pelaksanaan Syari’at Islam
Sulawesi Selatan”. Dosa dari ustadz Abu Bakar Ba’asyir, karena ia menyatakan
mendukung gagasan ”berlakunya syari’at Islam bagi para pemeluknya” di
Indonesia. Sebenarnya Agus, ustadz Ba’asyir, tidak sendirian. Banyak orang
Indonesia dan bahkan beberapa Partai politik di Indonesia, masih terus
memperjuangkan gagasan berlakunya syari’at Islam ”bagi para pemeluknya”
di Indonesia, dan aspirasi itu sudah menjadi publik dan legal-konstitusional
sejak bulan Juni 1945 dalam debat-debat terbuka di sidang Dokuritsu Zyoonbi
Choosa-kai, kemudian di sidang konstituante pada tahun 1959, dan
terakhir di sidang MPR 1999. Jadi apa salah mereka? Dan sampai dengan hari ini
gagasan pemberlakuan syari’at Islam “bagi para peneluknya” di Indonesia
masih menjadi wacana terbuka di tengah-tengah publik di Indonesia.
Pertanyaan
:Sampai
dengan hari ini pihak kepolisian belum juga berhasil mengungkapkan bukti-bukti
keterlibatan dari Al Ustadz Abu Bakar Ba’syir dengan kegiatan terorisme
sebagaimana yang dituduhkan oleh pihak keamanan selama ini. Bagaimana
keterangan dari kepala BIN tentang tuduhan terhadap Al Ustadz Abu Bakar Ba’syir
yang hanya berdasarkan testimoni tunggal ’in absentia’ dari seorang tokoh Omar
Al-Faruq?
Pada
tanggal 12 Oktober 2002 pukul 23.05 sebuah ledakan bom di Bali yang begitu
dasyat, konon dilihat dari jumlah korban yang jatuh adalah yang kedua terbesar
sesudah serangan terhadap gedung WTC New York. Bom yang meledak di depan Sari
Night Club menewaskan 184 jiwa mencederai berat dan ringan 300-an orang,
seratusan lagi hilang, menghancurkan atau merusak 47 buah bangunan, dan
membakar seratusan kendaraan berbagai jenis.
Para
pengamat dan para ahli demolisi pada umumnya berpendapat bahan-ledak yang
digunakan di pantai Legian-Kuta itu bukan dari bahan konvensional. Tim
investegasi gabungan Polri dan Australia berusaha melunakkannya dengan
menyebutkan bahwa bahan ledaknya, yang semula dikatakan dari bahan C-4,
kemudian diturunkan menjadi RDX, kemudian di turunkan lagi menjadi HDX,
kemudian TNT, lalu bahan ledak yang diimprovisasi dari bahan pupuk dan akhirnya
dari bahan karbit. Ada kesan perubahan keterangan tentang bahan-ledak agaknya
dimaksudkan untuk meniadakan tudingan bahwa bom itu ulah dari kekuatan luar.
Ledakan
bom Bali itu harus dibaca sebagai coup de grace kepada Indonesia yang
melengkapkan hegemoni Amerika Serikat di Asia Tenggara. Bom Bali sengaja dibuat
sedemikian hebatnya, bukan termasuk kategori bom lokal agar gaungnya
mengglobal, sebagai pretext bahwa bangsa dibelakang peledakan itu adalah
Muhammad Khalifah, adik-ipar Usamah bin Ladin, dari Al Qaidah.
Ketika
Presiden Bush mengancam negara-negara termasuk Indonesia dengan dalil “If
you not with us, you’re against us”, ancaman itu tidak menyisakan
alternatif lain, kecuali “ikut, atau menjadi musuh Amerika”. Terima wortel atau
mau pentungan. Kebijakan satu arah semacam itu tidak membuka peluang bagi
negara lain untuk mengembangkan politik nasional yang netral, politik yang
bebas-aktif. Sikap Amerika itu telah menjadi ancaman terhadap pelaksanaan
kebijakan-kebijakan nasional Indonesia selama ini yang bebas dan berkedaulatan
baik dalam pengembangan kebijakan dalam-negeri, luar-negeri maupun keamanan,
yang tidak selalu searah dengan selera Amerika Serikat. Seorang Indonesianis,
Daniel Lev, memberikan saran kepada pemerintah Indonesia, agar tidak terseret
pada kepentingan asing jangka-pendek, dan lebih baik memberikan perhatiannya
kepada kepentingan nasional Indonesia jangka-panjang.
Menghadapi
dilema seperti itu, maka tidak ada pilihan lain bagi pemerintah dan badan
intelijen nasional kita kecuali melaksanakan tugasnya dengan tetap mengacu
kepada amanah konstitusi, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” [SELESAI]
0 komentar:
Posting Komentar