Abstract
Philosopical thought of
peripatetic-Aristotelian which mostly emphasize
on epistemology of post-Ibn Rusyd
rationalism seems has demised. It
was because of diminishing of
rationality and ijtihad. In Thahafut Al-
Falasifa, Al-Ghazaly criticized his
predecessors philosophical thought by
disclosing some of Ibn Sina’s
misconception on metaphysics, as well as
Al-Farabi’s. Ibn Rusyd, then, put
forward his critic against Al-Ghazaly’s
critic in renown Rusyd’ book, Thahafut
at-Tahafut. Coming in following
period the thought of Mulla Shadra
which able to combine three ways of
religion truth, viz., peripatetism,
illumination and tashawuf. Nowadays,
critical thinkers have come in Arab
contemporary period which would
be continue Rusydian-based thought.
Two of them are Abed Al-Jabiry
(from Marocco) and Hassan Hanafi
(from Egypt).
Al-Jabiry more
concentrated to critical Islamic
construction which makes serious efforts
to connect tradition (turats) with
modernity (al-hadatsah), whereas Hassan
Hanafi makes serious efforts to
liberate Ummah by reforming
monotheism concept and classical
thought of Islam
Keywords: rasionalism, peripatetic,
illumination, tradition, modernity, liberation, critic,
Occidentalism, tashawuf,
epistemology
Perdebatan akhir-akhir ini antara
kalangan Islam “liberal” dengan Islam fundamentalis, sesungguhnya mengulang
pertarungan wacana lama antara kelompok Mu’tazilah dengan kelompok yang menolak
rasionalisme sebagai titik
pusat dalam pencarian kebenaran –hal
ini bisa diwakili oleh pemikiran kelompok Asy’ariyah dan Khawarij. Di tengah
arus global modernitas, di mana
agama dituntut untuk mampu menjawab
tantangan zaman maka pemikiran rasionalisme menjadi keharusan sejarah
(historical necessity) dalam mengintepretasikan kembali wacana agama, pada
setiap wilayah kajian keagamaan. Hubungan antara agama dan filsafat tidak lagi
perlu diperdebatkan karena --sebenarnya, jika kita mau jujur-- pendekatan
filosofis-rasional sangat membantu kita untuk memahami agama secara kontekstual
dan sebagai pandangan dunia (world view) menuju (mendekati) Kebenaran, secara
arif dan bertanggung jawab.
Pemikiran Islam kritis dan rasional
pasca-Ibnu Rusyd terasa mati karena memang pintu ijtihad dan rasionalisme tidak
berkembang sejak abad pertengahan, dikunci oleh arus deras pemikiran
konservatif para ulama. Ketika itu, banyak pemikiran filsafat yang diharamkan
atau bahkan sang pemikirnya dijatuhi hukuman mati dan fatwa kafir (takfir)
karena dianggap filsafat adalah produk bid’ah yang datang bukan dari Islam.
Banyak referensi mencatat bahwa hal demikian terjadi setelah Al-Ghazali
(1058-1111 M) mengugat dan mempertanyakan kaum filosof dalam bukunya, Tahafut
al-Falasifa (Kerancuan atas Para Filosof). Ia mempersoalkan penggunaan
Aristotelianisme (sebagai dasar pijakan paripatetisme) dalam filsafat Islam.
Ibnu Sina (980-1037 M) dan Al-Farabi (257 H/870 M), adalah dua filosof muslim
yang menjadi obyek kritikan keras Al-Ghazali, dan dianggap banyak melakukan
kesalahan dalam logika pemikiran metafisika (ketuhanan).
Menurut Ibnu Sina, alam semesta
(selain Tuhan) sepenuhnya terdiri dari pelbagai peristiwa yang ditentukan dan dipastikan.
Hanya Tuhan sajalah satu-satunya Zat yang tidak diakibatkan oleh sesuatu di
luar diri-Nya. Tuhan adalah sebab pertama yang dari serangkaian sebab-akibat
yang membentuk struktur realitas. Akan tetapi menurutnya, pengetahuan Tuhan
adalah pengetahuan ipso facto tentang segala sesuatu di luar diri-Nya,
dan dengan mengetahui diri-Nya maka tidak pelak lagi mengetahui segala maujud
di luar diri-Nya. Bagi Ibnu Sina, Tuhan hanya tahu terhadap esensi-esensi
(universal-univesal), bukan pada maujud-maujud khusus karena yang khusus secara
pasti diketahui secara inderawi ini didasarkan pada tradisi falsafat helenisme.
Hal demikian dikritik oleh Al-Ghazali karena pemaknaan yang dilakukan oleh Ibnu
Sina ini mengingkari setiap pemahamaan tentang keagungan ilahi, artinya
mendekatkan keadaan Tuhan kepada keadaan sebuah benda yang tidak hidup, yang
tidak membutuhkan kabar berita tentang alam semesta. Melalui bukunya itu,
Al-Ghazali menyerang dua hal utama. Pertama, filsafat menentang prinsip-prinsipnya
sendiri. Kedua, filsafat tidak bersesuaian dengan agama dan filsafat tidak
memberi ruang pada agama. Hal ini berarti bahwa apa yang dipikirkan oleh kaum
filosof tentang Tuhan, mereka hanya memperlakukan-Nya sebagai nama (nominal)
sehingga Tuhan tidak diberi ruang untuk bertindak apa-apa. Anggapan bahwa
Al-Ghazali telah mengakhiri riwayat filsafat dalam dunia Islam dipersalahkan
oleh Oliver Leaman.
Penulis berpendapat, sesungguhnya
Al-Ghazali berusaha untuk memberikan “rem kendali” bagi kaum filosof untuk
tidak secara bebas berfikiran filosofis-rasional. Dan Al-Ghazali sendiri telah
memberikan contoh bagi sebuah perdebatan intelektual yang mencerdaskan. Tapi,
ternyata gaya
kafir-mengkafirkan pemikiran para filosof yang dikritiknya memberikan citra
buruk tersendiri, sehingga para ulama konservatif yang tidak suka filsafat
kemudian menjadikan landasan argumen Al-Ghazali sebagai penguat basis
penolakan. Al-Ghazali, ketika mengkritik filsafat sesuangguhnya dia menggunakan
logika dan pemikiran filsafat, walaupun dia sendiri kemudian menganggap
filsafat bertentangan dengan agama. Dan Ibnu Rusyd (1126-1198M), mengkritisi
pandangan Al-Ghazali dalam bukunya, Tahafut at-Tahafut, yang isinya setebal
1006 halaman.
Ibnu Rusyd membangkitkan gairah
intelektual dengan pendekatan filosofis-rasional, yang kemudian diadopsi oleh
Barat sebagai jalan menuju pencerahan. Aspek rasionalitas filsafat Aristoteles
mencapai puncaknya pada Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd membidas balik kritik
Al-Ghazali, dan mencoba mensucikan filsafat. Beliau diakui sebagai murid
Aristoteles termurni di antara para filosof muslim. Kontribusi utamanya Ibnu
Rusyd terhadap filsafat Islam adalah, pertama, tesisnya tentang ragam jalur
untuk mencapai kebenaran yang sama. Semua jalur yang dipakai sama-sama bisa
diterima, dan didasarkan pada teori makna (the theory of meaning) yang sangat
rasional dan kaya pemikiran. Kedua, Ibnu Rusyd berusaha memadukan antara filsafat
dan agama setelah Al-Kindi, filosof pertama yang memadukan keduanya. Bahkan dia
berpendapat bahwa agama Islam secara inherent adalah agama yang filosofis
karena agama mewajibkan kita berfilsafat. Kedua filosof muslim di atas berserta
filosof lainnya membalikkan pandangan Al-Ghazali yang mengatakan bahwa agama dan
filsafat bertentangan.
Pemikiran filsafat di belahan barat
Dunia Islam mengalami kemunduran setelah serangan Al-Ghazali. Tapi, di sebelah
timur, filsafat terus berkembang sampai sekarang dalam penjelasan (syarah) dan
penambahan (hasyiyah). Figurnya adalah Syuhrawardi (1154-1191 M) dan Ibn
Al-‘Arabi (1164-1240 M), dan mencapai puncak pada Mulla Shadra (1571-1572 M).
Syuhrawardi adalah konseptor aliran isyraqi atau filsafat iluminasi, dan dia
mencoba memadukan antara tradisi mistis dan filsafat Paripatetik. Dia melihat
pengetahuan sejati terjadi ketika kita diiluminasi oleh Sumber Cahaya dan
Sumber Realitas itu. Menurutnya, hal ini tidak bertolak-belakang dengan
filsafat Paripatetik yang juga dianggap sebagai pemikiran shahih dalam terhadap
pengetahuan konseptual. Hanya saja, bagi dia, filsafat iluminasi sanggup
bergerak lebih jauh melebihi filsafat Paripatetik dengan menyodorkan pembuktian
dan penerimaan pengetahuan secara lebih sempurna. Suhrawardi menganggap metode
definisi Parepatetik sebagai cara yang tidak valid untuk memperoleh
pengetahuan. Bagi Suhrawardi, tujuan yang ingin dicapai dalam epistemologi
illuminasi adalah jenis pengetahuan yang unqualified, yaitu yang diketahui
melalui kepastian (yaqin), dengan menggabungkan antara pengetahuan dengan
esensi semata dan pengetahuan dengan Bentuk-bentuk abadi yang tidak berubah. Ibn
Al-‘Araby, dengan pendekatan filsafat illuminasi berusaha menginternalisasikan
mistisisme ke dalam filsafat, setelah Al-Ghazali mempeloporinya. Al-Ghazali
telah melakukan sejumlah hal penting untuk membuat sufisme lebih bertanggung
jawab, kerja seperti ini kemudian disistematisasikan oleh Ibn Al-‘Araby. Kalau
dimasukkan ke dalam empat kelompok pencari kebenaran model Al-Ghazali, maka Ibn
Al-‘Araby masuk pada golongan kaum sufi. Ibn Al-‘Araby dikenal dengan doktrin
wahdatul alwujud (ketunggalan wujud), yang mengidentikkan Tuhan dan alam,
dengan argumentasi bahwa jika keduanya dipisah maka tidak akan menangkap inti realitas
sebenarnya. Pandangan ini ditandingi oleh Ahmad Sirhindi (1564-1624M) dengan
doktrin wahdah al-syuhud (ketunggalan penyaksian), dengan argument bahwa alam
adalah refleksi dari Tuhan. Ada
empat sumber utama yang dilakukan para filosof dalam mencari kebenaran, dan ini
sangat membantu dalam memahami pemikiran Mulla Shadra. Pertama, filsafat
Paripatetik Islami, yang dimulai dari Al-Kindi sampai Ibnu Rusyd, dan utamanya
adalah Ibnu Sina. Kedua, filsafat illuminasionisme (teosofi isyarqi), yang
dilakukan oleh Suhrawardi, dan diikuti oleh para pensyarahnya, seperti Quthb
al-Din Syirazi dan Jalal al-Din Dawani. Ketiga, ajaran tasawuf yang
dipopulerkan oleh Ibn al-‘Araby dan pembahas ajarannya, seperti ‘Ayn al-Qudhat
al-Hamdani dan Mahmud Syabistari. Keempat, pemikiran syariat Islam yang telah
menjadi pemikiran sentral dalam dunia Islam sampai saat ini.
Menurut Mulla Shadra, secara umum,
memperoleh ilmu pengetahuan melalui dua metode, yaitu metode Hushuli dan metode
Hudhuri. Metode hushuli ialah metode memperoleh ilmu melalui upaya sengaja,
sesuai alat yang digunakan manusia. Metode ini dibagi lagi menjadi dua macam,
yaitu wahyu (naqly) dan akal (‘aqly). Sedangkan metode hudhuri ialah metode
memperoleh ilmu dengan cara perenungan dan penghayatan terhadap sebuah obyek, sehingga
ia hadir dalam kesadaran seseorang tanpa abstraksi rasional. Metode ini adalah
bagaimana hati (qalb) ditempelkan dengan obyek (ma’qul). Konsep hudhuri Mulla
Shadra adalah kemamppuan manusia menangkap totalitas wujud, baik materi maupun
maknanya, yang diperoleh melalui mukasyafah dan musyahadah dengan kesadaran
penuh manusia setelah memperoleh cahaya dari Tuhan. Mulla Shadra mensintesiskan
kedua metode di atas. Pemikiran Ibnu Rusyd di bagian barat dunia muslim dan
pemikiran Mulla Shadra di bagian timur, telah kehilangan elan vital dalam
menumbuhkan kesadaran berfikir masyarakat Islam. Apalagi, sejak penjajahan
Barat, baik melalui pemikiran dan kekuatan ideologi (Kapitalisme dan
Sosialisme) yang menguasai kawasan muslim, lambat laun membangkitkan umat dari
tidur panjang sejarah peradaban. Modernitas telah menjadi realitas yang tidak bias
lagi ditolak kemunculannya, dan menjadi tantangan besar agama-agama (termasuk
Islam) dalam menjawabnya. Lalu, dalam dunia Muslim diperhadapkan pada dua
masalah besar, yaitu melawan hegemoni Barat (dalam bentuk ideologisasi dan
orientalisme) dan menumbuhkan tradisi pemikiran dengan pendekatan ijtihad dan
rasionalisme dalam metode berfikir umat menuju peradaban Islam.
Dalam filsafat kontemporer Arab,
berbagai madzhab kemudian banyak bermunculan setelah dibangunkannya umat dari
kesadaran melawan kolonialisme Barat. Muncul pemikir besar, semisal Jalaluddin
Al-Afghani (1838-1879 M) dan Muhammad Abduh (1848-1905 M), yang mencoba
menjalankan agenda modernis untuk menghubungkan Islam dengan bentuk kehidupan
yang sesuai dengan masyarakat ilmiah modern. Dari sini kemudian diskusi seputar
konfontrasi Islam dan modernitas menjadi perbincangan yang menarik. Terjadi dua
kubu yang berlawanan dalam memahami modernitas, ada yang cenderung fundamentalis
dan ada yang berupaya berfikir secara “liberal”, dan mencari pola hubungan yang
rasional antara Isam dan Barat.
Tradisi dan Modernitas: Perspektif
M. Abed Al-Jabiri
Dalam tulisan ini, sengaja penulis
paparkan tentang pemikiran Islam masa klasik karena sebenarnya apa yang sedang
dilakukan oleh para pemikir Islam (Arab) kontemporer berusaha untuk
menghidupkan tradisi ijtihad dan rasionalisme berfikir dalam memahami agama
agar terjadi keterhubungan wacana dan praksis dengan realitas modernitas masa
kini. Muhammad Abduh adalah pemikir pembaharu Islam yang telah membuka jalan
bagi pendobrakan pintu ijtihad dari ketertinggalan umat dalam merespon zaman.
Tulisan ini mencoba memaparkan pemikiran intelektual muslim kritis kontemporer
yang tergabung dalam kubu “Post Tradisionalisme Islam”. Disebabkan karena terbatasnya
ruang untuk membedah seluruh pemikiran intelektual yang tergabung dalam kubu
ini, maka hanya dibatasi pada tela’ah pemikiran M. Abed Al-Jabiry (asal Maroko)
dan Hassan Hanafi (asal Mesir). Apa yang disebut dengan tradisi (turats)? Dan
bagaimana kita memperlakukan tradisi agar bisa menjawab modernitas? Tradisi,
dalam pandangan M. Abed Al-Jabiri adalah “sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian
kita, yang berasal dari masa lalu kita atau masa lalu orang lain, ataukah masa
lalu tersebut adalah masa yang jauh maupun masa yang dekat.” Tradisi adalah
titik temu antara masa lalu dan masa kini. Tradisi bukan masa lalu yang jauh
dari keadaan kita saat ini, tapi masa lalu yang dekat dengan kekinian kita. Jadi,
dalam pandangan Al-Jabiri, semuanya adalah tradisi, bila berkaitan dengan segala
sesuatu yang ada di tengah kita dan menyertai kekinian kita, asal itu berasal
dari masa lalu. Persoalannya, adalah bagaimana kemudian membaca tradisi itu
agar bisa relevan dengan masa kini. Dalam kaidah Postra atau NU liberal dikenal
kaidah : “al-muhafadhatu bil-qadim as-shalih wal-akhdzu bil-jadid alashlah” (menjaga
tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Artinya,
tradisi itu direkonstruksi dengan menginternalisasikan pemikiran-pemikiran
kontemporer. Metodologi yang dipakai Al-Jabiri dalam mengkaji persoalan tradisi
adalah dengan pendekatan “Obyektivisme” (maudlu’iyah) dan “Rasionalitas” (ma’quliyah).
Obyektivisme artinya menjadikan tradisi lebih kontektual dengan dirinya, dan
berarti memisahkan dirinya dari kondisi kekinian kita. Tahap ini adalah
dekonstruksi, yaitu membebaskan diri dari asumsi-asumsi apriori terhadap
tradisi dan keinginan-keinginan masa kini, dengan jalan memisahkan antara
subyek pengkaji dan obyek yang dikaji. Sebaliknya, yang dimaksud dengan
rasionalitas adalah menjadikan tradisi tersebut lebih kotekstual dengan kondisi
kekinian kita. Tahap kedua adalah merekonstruksi pemikiran baru dengan
menghubungkan antara obyek dan subyek kajian. Maksud Al-Jabiri, hal ini
dilakukan agar didapatkan pembacaan yang holistik terhadap tradisi. Al-Jabiri
sangat menekankan epistemologi pemikiran Arab kontemporer sebagai jalan untuk
menghadapi modernitas. Al-Jabiri telah melampaui ideology dalam proyek
peradabannya, dengan menyusun tetralogi bukunya yang serius digarap. Dalam
bukunya Nahnu wa at-Turats : Qira’ah Mu’ashirah fi Turatsina al-Falsafi (Kita
dan Warisan Pembacaan Kontemporer terhadap Warisan Filsafat Kita), Al-Jabiri
memetakan perbedaan prosedural antara pemikiran yang bermuatan ideologis dengan
epistemologis filsafat Arab. Menurut Al-Jabiri, muatan epistemologis filsafat
Arab-Islam, yakni ilmu dan metafisika memiliki dunia intelektual berbeda dengan
muatan ideologisnya, karena pada muatan yang kedua terkait dengan konflik
sosio-politik ketika ia dibangun. Kedua istilah itu (epistemologis-ideologis)
sering dipakai Al-Jabiry dalam studinya tentang Akal Arab. Istilah epistemologi
merupakan kumpulan kaidah berfikir yang siap digunakan dalam berbagai kondisi
kemasyarakatan. Sedangkan, istilah ideology adalah kondisi sosial dan politik
yang mempengaruhi arah pemikiran setiap tokoh pada masa dan tempat dia berada.
Seorang tokoh bisa saja menggunakan pisau pemikiran yang sesuai untuk memecahkan
problematika yang dihadapinya. Al-Jabiri mencatat adanya sebuah problematika
struktural mendasar pemikiran dalam struktur Akal Arab, yaitu kecenderungan
untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namuzhaj
salafi). Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu berbau ideologis
dengan dalih otentisisme (ashalah). Padahal menurut Al-Jabiry, dalam membangun
model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolok dari realitas, tetapi
berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang. Menurut Al-Jabiri,
tradisi (turats) dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warusan kebudayaan masa
lampau, tetapi sebagai “bagian dari penyempurnaan” akan kesatuan dalam ruang
lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syariat, bahasa
dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan. Tradisi bukan dimaknai
sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik, sehingga istilah otentisitas
menjadi sesuatu yang debatable. Untuk menjawab tantangan modernitas, Al-Jabiri
menyerukan untuk membangun epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang
menurut skema al-Jabiri hingga saat ini masih beroperasi, yaitu : Pertama,
disiplin “eksplikasi” (‘ulum al-bayan) yang didasatkan pada metode
epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan
secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan
yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak.
Kedua, disiplin gnotisisme (‘ulum al’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan
“pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran
Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi.
Ketiga, disiplin-disiplin bukti “enferensial” (’ulum al-burhan) yang didasarkan
atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi
intelektual. Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani
adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemology umumnya.
Yang menarik dalam pemikiran Al-Jabiri dalam upayanya menghubungkan tradisi
dengan modernitas adalah keharusan umat Islam untuk mengembalikan rasionalisme
dalam pembacaan terhadap teks-teks agama. Pertama, kontribusi rasionalisme Ibnu
Rusyd dalam filsafat. Semangat yang mendasari rasionalisme pemikiran Ibnu Rusyd
adalah sikap kritis dan ilmiah, serta berafiliasi kepada tradisi pemikiran
rasionalisme yang menekankan pengetahuan asiomatik. Pengetahuan asiomatik ini
mengulang kembali paradigma Aristoteles, sekaligus mengadopsi sistem
pengetahuan yang berdasar pada ilmu dan filsafat seperti dibangun oleh
Aristoteles beberapa abad sebelumnya.
Ada
tiga tradisi pemikiran yang dominan pada masa Ibnu Rusyd, yaitu : tradisi kalam
dan filsafat, tradisi fiqh dan ushul fiqih, dan tradisi tasawuf teoretik. Pada
ketiga tradisi itu, sama-sama meniadakan pendekatan ilmiahrasionalisme atau
burhani. Ibnu Rusyd menyerukan untuk mengikuti garis-garis pemikiran
rasionalisme dan pembelaannya yang sangat heroik terhadap argumen kausalitas,
sebagai jalan perjuangan demi “pembalikkan” atas situasi saat itu. Dan proyek
besar Ibnu Rusyd adalah merekonstruksi dimensi rasionalitas dalam agama dan
filsafat atas dasar prinsip burhani. Dia melakukan dua langkah untuk meloloskan
proyeknya. Langkah pertama, Ibnu Rusyd memberikan komentar dan ringkasan atas
karya-karya Aristoteles dengan tujuan untuk memudahkan bagi pembaca dalam
memahami pemikiran filsuf Yunani tersebut. Dan langkah kedua adalah membantah
dan melakukan serangan balik terhadap Al-Ghazali, melalui karyanya Tahafut
at-Tahafut. Kedua, kontribusi rasionalisme Ibnu Rusyd dalam syari’ah. Dalam kontribusi
ini, Ibnu Rusyd membuktikan hubungan yang tidak bertentangan antara filsafat
dan agama. Menurutnya, sisi rasionalitas dari perintah-perintah agama berserta
larangan-larangannya dibangun atas landasan moral keutamaan atau fadlilah.
Landasan ini sama dengan yang ada pada filsafat. Maka tidak heran jika Ibnu
Rusyd mempersandingkan agama dengan filsafat : “al-hikmah hiya shahib
al-syari’ah wa al-ukht al-radli’ah” (filsafat merupakan kawan akrab syari’at dan
teman sesusuannya). Bagi Ibnu Rusyd, bila dalam permukaan tampak perbedaan atau
pertentangan, maka hal itu merupakan kekeliruan dan kesalahpahaman dalam
menafsirkan keduanya. Hal itu disebabkan tidak dipakainya rasionalisme dalam
penafsiran agama. Kata Ibnu Rusyd, agama tidaklah menafikan metode burhani atau
rasionalisme, tapi malah menganjurkannya, agar menjadi sarana yang efektif bagi
kalangan ulama atau kaum rasionalis (ashab al-burhan) untuk memahami agama secara
rasional. Ketiga, kontribusi rasionalisme al-Syatibi. Apa yang dikemukakan Ibnu
Rusyd kemudian memunculkan pertanyaan : bagaimana mungkin membangun dimensi
rasionalitas dalam disiplin agama, yang atas dasar prinsip “al-qath’i” (kepastian)?
Al-Syatibi (w.790 H) menjawab bahwa semuanya itu bisa saja terjadi. Hal ini
dimungkinkan apabila kita mengacu pada metode rasionalisme atau burhani,
sehingga disiplin ushul fiqih pun didasarkan pada prinsip “kulliyah al-syari’ah”
(ajaran-ajaran universal dari agama) dan pada prinsip “maqashid alsyari’ah”. Prinsip
“kulliyah al-syari’ah” berposisi sebagaimana posisi pada “alkulliyah al-aqliyah”
dalam filsafat. Sedangkan “maqashid al-syari’ah” serupa dengan posisi “al-sabab
al-gha’iy” (sebab akhir) yang berfungsi sebagai pembentuk unsur-unsur penalaran
rasional.
Untuk bisa mencapai “al-kulliyah
al-aqliyah” itu maka kita menggunakan
metode yang berlaku dalam
“al-kulliyah al-‘ilmiyah” atau universalitasuniversalitas ilmu-ilmu alam dan
filsafat. Metodenya adalah induksi (istiqra’), sebagai cara untuk meneliti
sejumlah kasus-kasus spesifik atau juz’iyah. Dari sana kemudian ditarik beberapa prinsip
universalitas. Universalitas-universalitas syariat bersifat pasti dan yakin
(qath’i) dengan tiga prinsip, yaitu : (i) prinsip keumuman dan keterjangkauan,
(ii) prinsip kepastian dan ketidakberubahan, dan (iii) prinsip legalitas
(al-qanuniyah). Penjelasan di atas adalah pada konsep universalitas dalam
syari’at. Sedangkan dalam prinsip “maqashid al-syari’ah”, al-Syatibi menyebut
empat unsur pokok yang menentukan. Pertama, sesungguhnya syari’at agama diberlakukan
dalam rangka memelihara dan menjaga kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
Kedua, syari’at agama diberlakukan untuk dipahami dan dihayati oleh umat
manusia. Ketiga, adanya unsur taklif, pembebanan hukum-hukum agama kepada
manusia. Pertimbangannya, Allah tidak akan membebani seseorang di luar
kemampuan dan kesanggupannya. Dan keempat “melepaskan sang mukallaf dari
belenggu dorongan hawa nafsunya”. Kesemua unsur di atas harus melekat pada
tujuan dari diberlakukannya syari’at. Lalu, kontribusi terakhir yang ditawarkan
Al-Jabiri adalah dari rasionalisme Ibnu Khaldun. Kelebihan Ibnu Khaldun dalam
memaparkan sejarah, seperti dalam kitabnya, Muqaddimah, adalah “penelitian,
penyelidikan, dan analisis yang mendalam akan sebab-sebab dan latar belakang
terjadinya sesuatu ; juga pengetahuan yang akurat tentang asal-usul,
perkembangan, dan riwayat hidup matinya kisah peradaban manusia”. Menurut
Al-Jabiri, dengan metode semacam ini, displin sejarah menjadi bagian dari
tradisi keilmuan rasional. Penulis menganggap bahwa Al-Jabiri sangat apresiatif
terhadap Ibn Khaldun karena ia telah memberikan jalan bagi empirisisme
penelitian sejarah, yang juga rasional. Ukuran validitas sejarah Ibnu Khaldun adalah
pengetahuan “thaba’i al-Umran” (dinamika-dinamika internal yang umum atau biasa
terjadi dalam pengelompokan-pengelompokan sosial manusia). Maka, upaya untuk
membangun tingkat rasionalitas dalam ilmu sejarah, yakni rasionalitas dalam
arti kepastian faktualitas suatu kasus atau cerita. Nah, sebab-sebab untuk
membangun derajat rasionalitas sesuatu, yaitu “sebab-sebab yang berlaku secara
alami dan lahiriah, dan mampu dipahami dan dijangkau oleh akal dalam bentuk
yang teratur dan apik”. Sebab-sebab metafisik atau “sebab-sebab esoterik”
(asbab khafiyah) tidak masuk dalam pengertian di atas. Pandangan Ibnu Khaldun
nampak empirik sekali, yaitu dengan melihat fakta dan lahiriah sesuatu obyek
pengamatan. Apabila pengamatan itu dimasuki oleh agama maka bagi Ibnu Khaldun,
analisanya seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd dan al-Syatibi, yaitu faktor
kemaslahan (maslahah).
Kiri Islam dan Oksidentalisme Hassan
Hanafi
Setelah kita membedah pemikiran M.
Abed Al-Jabiri yang sangat kental dengan gagasan epistemologi dan
metodologisnya, maka kini kita melangkah pada gagasan Hassan Hanafi yang lebih
banyak berorientasi pada praksis dan wacana pembebasan. Orang banyak mengkritik
Hassan Hanafi karena tidak adanya metodologi yang dipakai dalam menganalisa
relitas sosial dan menafsirkan teks keagamaan. Ia sering mengatakan bahwa
sesungguhnya tak ada metodologi yang dipakainya. Penulis bernganggapan bahwa
apa yang selama ini dilakukan olehnya adalah sebagai pembuka atas keadaan umat
Islam (dan Arab), dari keadaan inferior menjadi setara dengan Barat, dari
kegelapan intelektual menuju pencerahan wacana keilmuan, untuk membangun sebuah
peradaban yang baru. Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasar
al-Islami : Kitabat fi al-Nahdla Al-Islamiyah (Kiri Islam : Beberapa Esai tentang
Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Jurnal ini merupakan kelanjutan dari
Al-Urwa al-Wutsqa dan Al-Manar, yang menjadi agenda Al-Afghani dalam melawan
kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial
serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau blok Timur. Jurnal ini
juga terbit setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran, tahun 1979. Tak pelak
lagi, peristiwa besar itu memang telah membangkitkan Hassan Hanafi dalam
meluncurkan “Proyek Kiri Islam”-nya. Namun, menganggap peristiwa itu sebagai
satu-satunya penyebab, adalah tidak benar karena kita juga harus memperhitungkan
faktor pergerakan Islam modern dan lingkungan Arab-Islam. Demikian pula, kata
Hassan Hanafi, Kiri Islam bukanlah Islam berbaju Marxisme karena itu berarti
menafikan makna revolusioner dalam Islam sendiri. Kiri Islam lahir dari
kesadaran penuh atas posisi tertindas umat Islam, untuk kemudian melakukan
rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat
berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu
keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional yang sesungguhnya satu
bentuk tafsir justru menjadi pembenaran atas kekuasaan yang menindas. Upaya
rekonstruksi ini diawali dengan menjaga jarak terhadap Asy’arisme, prmikiran
keagamaan resmi yang telah bercampur dengan tasawuf dan menajdi ideologi
kekuasaan, serta mempengaruhi perilaku negatif rakyat untuk hanya menunggu
perintah dan ilham dari langit. Hassan Hanafi lebih welcome dengan Mu’tazilah versi
Muhammad Abduh yang memproklamirkan kemampuan akal untuk mencapai pengetahuan
dan kebebasan berinisiatif dalam perilaku. Juga melanjutkan apa yang dirintis
oleh Al-Kawakibi dalam menganalisis faktor-faktor sosial politik untuk membebaskan
dan memperkuat kaum muslimin. Dan Kiri Islam juga mewarisi kapabilitas Muhammad
Iqbal dan upaya-upayanya dalam “Pembaharuan Pemikiran Keagamaan dalam Islam”
(Reconstruction of Islamic Thoughts). Secara singkat dapat dikatakan, Kiri
Islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam,
revolusi Islam, dan kesatuan umat. Pilar pertama adalah revitalisasi khasanah
Islam klasik. Hal ini sebagian sudah dijelaskan pada paragraf di atas. Hassan
Hanafi menekankan perlunya rasionalisme, karena rasionalisme merupakan
keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan Muslim serta untuk memecahkan
situasi kekinian di dalam dunia Islam. Pilar kedua adalah perlunya menentang
peradaban Barat. Hassan Hanafi mengingatkan bahaya imperalisme kultural Barat,
dan dia mengusulkan “Oksidentalisme”, yang pembahasannya akan diulas di akhir
makalah ini. Pilar ketiga adalah analisis atas realitas dunia (termasuk Islam).
Ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan
mengusulkan suatu metode tertentu dalam melihat realitas dunia kontemporer.
Jadi, ada tiga pilar atau agenda, yaitu : revitalisasi khasanak klasik (sikap
kita terhadap tradisi lama), menentang peradaban Barat (sikap kita terhadap
tradisi Barat), dan analisis atas realitas (sikap kita terhadap realitas atau
“teori intepretasi”). Dari ketiganya, posisi “ego” (aku, artinya umat Islam)
berada di tengah –hal ini akan dibahas kemudian. Sebelum melangkah pada
oksidentalisme, kita perlu bahas dahulu apa yang menjadi pemahaman Hassan
Hanafi mengenai tradisi (turats). Tradisi, menurutnya, bukanlah sekedar barang
mati yang telah ditinggalkan orang-orang terdahulu. Pernyataan ini persis sama
seperti pengakuan Al-Jabiri, yaitu bahwa tradisi adalah barang hidup yang
selalu menyertai kekinian kita. Tradisi adalah elemen-elemen budaya, kesadaran
berfikir, serta potensi yang hidup, dan masih terpendam dalam tanggung jawab
generasi sesudahnya. Dia adalah sebagai dasar argumentatif, dan sebagai
pembentuk “pandangan dunia” serta membimbing perilaku bagi setiap generasi mendatang.
Tradisi ternyata telah banyak dicemari oleh hegemoni feodalisme dan menjadi
kekuatan kekuasaan yang berkedok agama. Sehingga perlu direvitalisasi menjadi
kekuatan yang membebaskan.
Titik tolak Hassan Hanafi adalah
realitas Arab saat ini, dan menurutnya adalah keharusan pemecahannya untuk
mengakhiri semua hal yang menghambat perkembangan dalam dunia Islam dan Arab.
Tradisi, pada dasarnya tidak bernilai. Kecuali jika ia dapat menjadi sarana
yang dapat memberikan teori aksi negara Arab dalam merekonstruksi manusia dan
hubungannya dengan Tuhan. Hassan Hanafi mensyaratkan revolusi kemanusiaan
sebelum melakukan pembangunan lainnya, sebagai langkah awal dalam mewujudkan
kehidupan yang manusiawi. Bahkan, dengan berjilid-jilid buku yang menjadi
bagian dari proyeknya adalah usaha untuk mengubah kata “Tuhan” menjadi kata “Manusia”,
seperti dikatakan teman-teman dalam sebuah diskusi terbatas di P3M tentang
“Hermeneutika Pembebasan Hassan Hanafi”. Proyek Hassan Hanafi dimaksudkan untuk
merekonstruksi, menyatukan, dan mengintepretasikan seluruh ilmu peradaban Islam
bedasarkan kebutuhan modern untuk dijadikan sebagai ideologi manusia, untuk
menuju kesempurnaan hidup. Hassan Hanafi juga bermaksud merekonstruksi tradisi
kebudayaan Barat yang dicirikannya sebagai kebudayaan murni historis, di mana
wahyu Tuhan tidak dijadikan sebagai sentral peradaban. Hanafi sedang
mendekonstruksi bangunan pemikiran Islam klasik yang mati fungsi peradabannya,
di samping juga mendekonstruksi klaim-klaim universalitas dan hegemoni wacana
yang dilakukan Barat, melalui pemikiran dan kebudayaan werternis. Pandangan obyektif
dan kritis dalam pemikiran Hassan Hanafi adalah bagaimana agenda “oksidentalisme”
menjadi kekuatan wacana penyeimbang dalam melihat Barat dan upaya westernasasi.
Seperti dijelaskan Hassan Hanafi, Oksidentalisme adalah wajah lain dan tandingan
bahkan berlawanan dengan Orientalisme. Orientalisme melihat ego (Timur) melalui
the other, maka Oksidentalisme bertujuan mengurai simpul sejarah yang mendua
antara ego dengan the other, dan dialektika antarakompleksitas inferioritas
(murakab al-naqish) pada ego dengan kompleksitas superioritas (murakab
al-‘uzma) pada pihak the other. Orientalisme lama adalah pandangan ego Eropa
terhadap the other non Eropa, subyek pengkaji terhadap obyek yang dikaji. Di
sini terjadi superioritas Barat dalam melihat Timur. Hal demikian dibalikkan
dengan Oksidentalisme, yag tugasnya yaitu mengurai inferioritas sejarah
hubungan ego dengan the other, menumbangkan superioritas the other Barat dengan
menjadikannya sebagai obyek yang dikaji, dan melenyapkan infererioritas
kompleks ego dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Hanya saja
Oksidentalisme kali ini dibangun di atas ego yang netral dan tidak berambisi
merebut kekuasaan, dan hanya menginginkan pembebasan. Ia juga tidak ingin
mendiskreditkan kebudayaan lain, dan hanya ingin mengetahui keterbentukan dan
struktur peradaban Barat. Seperti diklaim oleh Hassan Hanafi, ego
Oksidentalisme lebih bersih, obyektif, dan netral dibadindingkan ego Orientalisme.
Pemikiran Hassan Hanafi juga dilandasi oleh penafsiran secara hermeneutic terhadap
teks keagamaan (tradisi keilmuan Islam lama) agar didapatkan pemahaman yang
hidup dalam memberikan kontribusi bagi pembebasan. Oksidentalisme adalah bagian
dari Kiri Islam, yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran kolektif umat Islam
dalam membaca tradisinya
sendiri dan tradisi the other.
Pemikiran beliau juga bermuatan rasional, karena jika masih menggunakan baju
konservatisme agama maka tradisi tidak akan berbicara apa-apa. Teks itu adalah
barang mati, yang hidup adalah makna (meaning) dan intepretasi baru
(significance). Tugas kita adalah bagaimana menghidupkan teks dalm tradisi itu
menjadi relevan dan berguna bagi kondisi saat ini. Pemikiran Hassan Hanafi dan
juga M. Abed Al-Jabiri perlu diapresiasi lebih mendalam, karena mereka adalah
pelanjut bagi tradisi pemikiran Islam kontemporer yang kritis, setelah Ibnu
Rusyd dan M. Abduh.
Catatan Akhir:
Sengaja diberi tanda petik karena ternyata pemikiran yang
melakukan liberasi agama
terkotak ke dalam dua kubu, yaitu Islam Liberal (yang mendirikan
Jaringan Islam Liberal --
JIL) dengan Post Tradisionalisme Islam (yang diwakili komunitas
intelektual muda NU,
seperti Lakpesdam dan LKIS). Keduanya, sama-sama meliberasikan
wacana agama ke arah
pemikiran Islam yang membebaskan, hanya saja keduanya berbeda pada
dataran konseptual
dan orientasi kegiatan. Islib berangkat dari modernisme (atau
neo-modernisme) seperti
diwakili oleh pemikiran Fazlur Rahman dan Cak Nur, sedangkan
Postra berangkat dari
tradisi yang harus didialogkan dengan modernitas, seperti diwakili
oleh pemikiran M.
Arkoun, M. Abed Al-Jabiri, Hassan Hanafi, Abu Zayd, dan
sebagainya. Jika Islib orientasinya
lebih pada dataran makro-struktural, seperti konsepsi negara dan
politik, tapi Postra lebih
berorientasi pada pemberdayaan masyarakat dengan gerakan
emansipatorisnya.
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Sebuah Pendekatan
Tematis, (Bandung
: Mizan, 2001),
hlm. 7.
Fazlur Rahman, “Ibnu Sina”, dalam M.M. Syarif (ed.), Para Filosof
Muslim, (Bandung
:
Mizan, 1993), cet. V, hlm. 133.
Imam Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifa, (Mesir : Darul Ma’arif,
1972), cet. V, hlm. 148.
Oliver Leaman, op.cit., hlm. 8
Ada sebuah ironi besar dalam dunia pemikiran Islam. Ibnu Rusyd,
sebagai filosof
paripatetik-Aristotelian yang memberikan jalan pemikiran rasional
dengan menafsirkan
pemikiran-pemikiran Aristoteles justru dipelajari oleh pihak
Barat, dan ternyata memberikan
manfaat luar biasa bagi bangunan peradaban mereka yang kini nampak
hegemonik. Di dunia
Islam sendiri, sejak beberapa abad yang lalu, pemikiran filsafat
kurang mendapat tempat.
Pemikiran syari’at (fiqih) dan tasawuf yang menjadi arus besar
wacana agama selama ini,
walaupun keduanya sering bertentangan. Pemikiran Islam kontemporer
ingin membangun
kembali rasionalisme Rusydian sebagai geliat pemikiran baru dalam
menghubungkan tradisi
(teks) dengan modernitas menuju paradaban Islam.
Ibid.
Al-Kindi (w. antara 866 M dan 873 M) mengarahkan filsafat muslim
ke arah kesesuaian
antara filsafat dan agama. Seperti diketahui umumnya, bahwa
filsafat berlandaskan akalpikiran,
sedang agama berdasarkan wahyu. Menurutnya, keselarasan antara
filsafat dan agama
didasarkan pada tiga alasan : (1) Ilmu agama merupakan bagian dari
filsafat, (2) Wahyu yang
diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian,
dan (3) Menurut ilmu,
secara logika, berfilsafat adalah diperintahkan dalam agama.
Dikutip oleh Ahmad Fuad El-
Ehwani, “Al-Kindi”, dalam M.M. Syarif (ed.), op.cit., hlm. 17.
Paparan tentang perpaduan agama dan filsafat dikemukakan dalam
Ibnu Rusyd, Fashl al-
Maqal fi ma bain al-Hikmah wa al-Syariah min al-Ittishal, ed. M.
Emara (Kairo:Dar al-Ma’arif,
1972).
Oliver Leaman, op.cit., hlm. 11.
Hossein Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi, Pencerahan Ilmu
Pengetahuan, (Bandung :
Zaman Mulia Wacana, 1998), hlm. 127.
Al-Ghazali, dalam kitabnya Munqidz min Al-Dhalal (Penyelamatan
dari Kesesatan)
(1953:26-7), membuat empat kelompok pencari kebenaran, yaitu : (i)
para teolog (almutakallimun)
yang mengaku sebagai para pelopor pemikiran dan spekulasi
intelektual, (ii)
kaum bathiniyyah yang mengaku sebagai para pemegang ta’lim (ajaran
otoritatif) melalui para
imam maksum, (iii) para filosof yang mengaku sebagai para
pendukung logika dan
pembuktian (demonstration), dan (iv) kaum sufi atau mistikus yang
mengaku sebagai satusatunya
yang menerima “kehadiran” (Tuhan) dan mempunyai penglihatan serta
pemahaman
intuitif. Dikutip Oliver Leaman, op. cit., hlm. 9.
Ibid, hlm. 11.
Penjelasan tentang Mulla Shadra diperoleh dari makalah Fakhruddin
dalam diskusi kecil di
International Institute of Islamic Thought (IIIT) Indonesia,
dengan judul “Epistemologi dan
Nalar Islami Mulla Shadra”, pada tanggal 30 April 2002.
Ibid, hlm. 12-13.
Zuhairi Misrawi, salah seorang pentolan intelektual muda NU,
mencatat ada tiga sayap
dalam kubu Postra. Pertama, sayap ekletis (al qira’ah
al-intiqiyah). Kelompok ini mencoba
menghubungkan antara orisinalitas (al-ashalah) dan modernitas
(al-mu’ashirah) dalam
membangun teori tradisi. Prinsip yang dipakai adalah membuang
unsur-unsur yang negatif
dalam tradisi dan mengambil sisi positif tradisi untuk memecahkan
persoalan kekinian.
Tokohnya adalah Fahmi Jad’an dan Zaky Naqueb Mahmud. Kedua, sayap
revolusioner (alqira’ah
al-tsauriyah). Proyeknya adalah melakukan revolusi dan liberasi
pemikiran keagamaan
yang telah berlangsung berabad-abad lamanya. Dan juga
merekonstruksi pemikiran klasik
dengan memasukkan nilai-nilai humanistik dalam kajian keagamaan.
Tokohnya adalah
Hassan Hanafi. Dan Ketiga, sayap dekonstruktif (al-qira’ah
al-tafkikiyah). Upaya yang dilakukan
adalah bongkar pasang tradisi secara komprehensif, sehingga
menimbulkan kontroversial.
Bahkan untuk mendekonstruksi wacana agama, mereka menggunakan
pemikiran-oemikiran
modern dan metodologinya dari kalangan post-modernis,
post-strukturalis, hermeneutika,
dan analisis semantik atau semiotika. Tokohnya adalah M. Abed
Al-Jabiru, M. Arkoun, Abu
Zayd, Aliya Harb, M. Shahrur, dan sebagainya. Lihat Zuhairi
Misrawi, “Dari Tradisionalisme
Menuju Post-Tradisionalisme Islam, Geliat Pemikiran Islam Arab”,
dalam Jurnal Tashwirul
Afkar, No. 10, Tahun 2001, hlm. 58-59.
M. Abed Al-Jabiri, Post Tradisonalisme Islam, (peny. Ahmad Baso),
(Yogyakarta : LKIS,
2000), hlm. 24.
Ibid, hlm. 25.
Ibid, hlm. 28.
Tetralogi yang tergabung dalam proyek peradabannya adalah : (i)
Takwin al-‘Aql al-Araby
(Formasi Nalar Arab). Seri Kritik Nalar Arab I (Beirut : Markaz
Dirasah al-Wihdah al-
Arabiyah, 1991), cet.V, (ii) Bunyah al-‘Aql al-‘Araby (Struktur
Nalar Arab). Seri Kritik Nalar
Arab II (Beirut : Markaz Dirasah al-wihdah al-Arabiyah, 1996),
cet. V, (iii) al-‘Aql as-Siyasi al-
Araby (Nalar Politik Arab). Seri Kritik Nalar Arab III (Beirut :
Markaz Dirasah al-wihdah al-
Arabiyah, 1995, cet. III, dan (iv) ‘Aql al-Akhlaq al-Araby (Nalar
Etika Arab). Seri Kritik Nalar
Arab IV (Beirut : Markaz Dirasah al-wihdah al-Arabiyah, 2001).
Dalam tetralogi itu, proyek
metodologis pemikiran Al-Jabiri yang terkenal dengan istilah
“Kritik Nalar Arab”, terbagi
atas dua model. Pertama, kritik nalar epistemologis. Nalar ini
sifatnya spekulatif, yang
mengkaji arkeologi dan perkembangan ilmu pengetahuan yang berlaku
di kalangan umat
Islam. Kedua, nalar politik. Yaitu nalar praktis yang melakukan
kritik pemikiran dalam
bagaimana cara umat Islam berkuasa, menguasai, dan mempertahankan
kekuasaan. Persoalan
etika masuk dalam nalar kedua karena terkait dengan perilaku umat
Islam dalam kehidupan
sehari-hari. Seri Kritik Nalar Arab I dan II adalah model nalar
epistemologis, sedangkan dua
yang terakhir adalah model nalar praktis. Lihat Ahmad Baso,
“Neo-Modernisme Islam
Versus Post-Tradisionalisme Islam”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar,
No. 10, Tahun 2001, hlm.
33.
Beirut : Dar ath-Thali’a, 1980.
Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab
Islam (Yogyakarta : LKIS,
2001), hlm. 64.
Muhammad Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiasse, “Kritik Akal
Arab : Pendekatan
Epistemologis terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri”, dalam M. Aunul
Abied Shah (ed.), Islam
Garda Depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung L
Mizan, 2001), hlm. 304.
Issa J. Boullata, op.cit., hlm. 65.
M. Abed Al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, op.cit., hlm. 6.
M. Abed Al-Jabiri, Naqd al-‘Aql al-‘arabi, Vol 1, hlm. 56-71.
Op. cit, hlm. 150.
Ibid, hlm. 151-153.
Ibid, hlm. 162.
Ibnu Rusyd, “Fashl al-Maqal wa Taqrir ma Baina al-Syari’ah wa
al-Hikmah min al-
Ittishal”, dalam Ibnu Rusyd, Falsafah Ibn Rusyd, (ed. Mushtafa Abd
al-Jawab Umran), (Kairo :
al-Maktabah al-Tijaruyah al-Mahmudiyah, 1968), hlm. 35.
M. Abed Al-Jabiri, op. cit., hlm. 163.
Ibid, hlm. 166-167.
Ibid, hlm. 167-168.
Ibid, hlm. 169-170.
Ibid, hlm. 172.
Ibid, hlm. 173.
Ibid, hlm. 175.
Hassan Hanafi, “Apa Arti Islam Kiri”, dalam Kazuo Shimogaki, Kiri
Islam, antara
Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta : LKIS, 2001), cet. V,
hlm. 85.
Kazuo Simogaki, ibid, hlm. 8.
M. Ridlwan Hambali, “Hassan Hanafi : Dari Islam “Kiri”,
Revitalisasi Turats, hingga
Oksidentalisme”, dalam. M. Aunul Abied Shah (ed.), op.cit., hlm.
225. Hassan Hanafi
menjelaskan : “Kiri adalah konsep ilmu sosial. Kiri adalah
kekuatan untuk berubah. Revolusi
Islam, keadilan Islam, jihad Islam, semua itu konsep Kiri
Islam…Kiri Islam tidak ada
pengaruh dari Marxisme atau Sosialisme, karena pemikiran saya
dilatarbelakangi keadaan
sosial di negara-negara Islam yang mayoritas masih didominasi
kemiskinan dan angka
pengangguran yang tinggi, misalnya Indonesia. Kita tidak perlu
menjadi seorang Marxis
untuk dapat melihat bahwa persoalan keadilan sosial di sini.
Mengapa orang yang berbicara
tentang keadilan sosial harus seorang Marxis?”. Diambil dari
wawancara dengan Hassan
Hanafi yang dimuat dalam Majalah Tempo, No. 14/XXX/4-11 Juni 2001.
M. Ridlwan Hambali, op.cit., hlm. 225-226.
Hassan Hanafi, op.cit, hlm. 93-94.
Kazuo Simogaki, op.cit., hlm. 7-8.
Pilar pertama ini adalah salah satu agenda dari proyek “Tradisi
dan Pembaruan” (al-turats
wa al-tajdid) yang sejak lama dipersiapkan oleh Hassan Hanafi.
Pilar ini adalah “sikap kita
terhadap tradisi lama”, yang merupakan agenda awal proyeknya.
Pembahasan dalam agenda
ini adalah : (i) Dari Teologi ke Revolusi (Min Aqidah ila
al-Tsawrah), (ii) Dari Tranferensi ke
Inovasi (Min al-Naql ila al-Ibda’), (iii) Dari teks ke Realita
(Min al-Naql ila al-Waqi’), (iv) Dari
Kefanaan Menuju Keabadian (Min al-Fana’ ila al-Baqa’), (v) Dari
Teks ke Rasio (Min al-Naql
ila al-‘Aql), (vi) Akal dan Alam (Al-‘Aql wa al-Thabi’ah), dan
(vii) Manusia dan Sejarah (al-
Insan wa al-Tarikh). Hassan Hanafi sangat berobsesi untuk
merekonstruksi ilmu-ilmu lama,
yaitu ilmu-ulmu yang berdimensi rasional-tekstual (‘aqliyah-naqliyah),
ilmu-ilmu yang
berdimensi tekstual murni (naqliyah), dan ilmu-ilmu yang
berdimensi rasional murni (al-
‘aqliyah al-khasah). Kesemuanya berangkat dari wahyu, sebagai
pusat untuk kemudian
membentuk metodologi. Lihat Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap
kita terhadap Tradisi Barat,
(Jakarta : Paramadina, 2000), hlm. 1-3.
Pilar ini diambil dari pembacaan Kazuo Simogaki terhadap proyek
“Kiri Islam”-nya
Hassan Hanafi. Sebenarnya, tidak sepenuhnya berarti melawan
peradaban Barat. Secara
akademik-teoritik, kita perlu membaca tradisi Barat secara
obyektif agar kita dapat
memahami bagaimana Barat berhasil dalam membangun peradabannya.
Memang, implikasi
yang terjadi adalah kolonialisme dan penguasaan terhadap dunia
Islam atau Timur, dan kita
juga perlu melawan kenyataan ini. Jadi, melihatnya secara obyektif
dan rasional. Hassan
Hanafi menunda tiga bagian yang menjadi agenda kedua ini karena
menunggu selesainya
tujuh bagian dari agenda pertama. Tiga bagian dalam agenda kedua
itu adalah : (i) Sumber
peradaban eropa, (ii) Permulaan Kesadaran Eropa, dan (iii) Akhir
kesadaran Eropa. Lihat
ibid., hlm. 3.
Agenda ketiga ini juga ditunda oleh Hassan Hanafi demi menunggu
rampungnya kedua
agenda sebelumnya. Yang dibahas dalam agenda ketiga ini,
rencananya adalah : Metodologi,
Perjanjian Baru, dan Perjanjian Lama. Ibid.
Hassan Hanafi, Al-Turats wa al-Tajdid, Mawqifuna min Al-Turats
Al-Qadim, (Beirut:
Al-
Muassasah Al-Jami’ah li Al-Dirasah wa Al-Nasyw wa Al-Tauzi’,
1992), hlm. 14-19.
Ibid, hlm. 11.
Issa J. Boullata, op. cit., hlm. 62.
Hassan Hanafi, op. cit. hlm. 25-26.
Ibid, hlm. 29.
Pembasan mengenai ini dapat dibaca bukunya Ilham B. Saenong,
Hermeneutika Pembebasan:
Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi (Bandung: Teraju, 2002).
0 komentar:
Posting Komentar