Pelajaran
di bawah ini adalah tentang pemikiran dialektika materialis, atau apa yang
dikenal sebagai logika Marxisme.
Betapa
mengejutkan, apakah pelajaran ini memang penting? Di sini berkumpul anggota dan
simpatisan dari sebuah partai revolusioner yang, di tengah-tengah perang dunia
ke II, sedang berada di bawah tekanan pemerintahan. Perang tersebut merupakan
sebuah perang terbesar dalam sejarah dunia. Buruh-buruh industri, kaum
revolusioner profesional, berkumpul bersama bukan untuk membicarakan dan
memutuskan sebuah aksi bersama, tapi untuk mempelajari sebuah ilmu yang menjadi
tuntunan—sama seperti matematika tingkat tinggi—bagi perjuangan politik
sehari-hari sekarang ini.
Alangkah
berbedanya dengan karikatur yang menyakitkan tentang gerakan marxis seperti
yang di gambarkan oleh tangan-tangan kelas kapitalis! Kelas-kelas pemilik
menggambarkan kaum sosialis yang revolusioner sebagai orang-orang gila yang
culas dan sedang membohongi diri sendiri dan orang lain dengan pandangan-pandangan
fantastisnya tentang dunia kelas buruh. Kita pun bisa membuat karikatur
seperti itu: penguasa-penguasa kapitalis layaknya seperti anak-anak kecil yang
yang sedang marah melihat gambaran sebuah dunia tanpa ada mereka atau tanpa
peran sentral mereka.
Mereka
mengaku bahwa mereka lebih logis dan masuk akal. Akhirnya, kini telah terbukti
bahwa, dengan melihat bagaimana cara mereka memandang dunia, bisa dipisahkan
siapa sebenarnya yang irasional dan siapa yang rasional dan masuk akal: kaum
kapitalis kah atau musuhnya—kaum revolusioner. Susunan masyarakat pada saat ini
sedang menuju ke arah kekacauaan dan berlaku seperti seorang maniak. Mereka
menenggelamkan dunia ke dalam pembunuhan massal untuk kedua kalinya dalam
seperempat sejarah manusia; mereka menyalakan obor peradaban; namun kemudian
menghancurkannya tanpa sisa-sisa kemanusiaan. asebut betapa cepat dan
spontannya karakter dialektik suatu materi, oleh karena itu, dengan segera,
muncul lah pemikiran yang merupakan cermin kritis terhadap pikiran formal.
Walaupun ada suatu intensitas yang mengetatkan logika formal, namun tetap saja
kita akan tergiring dan terdorong untuk melangkah lebih ke depan, melewati
batas logika formal, pada saat kita hendak mencari kebenaran sesuatu hal. Dan
sekarang kita kembali kepada logika formal
Seperti
yang aku katakan sebelumnnya, dialektika modern tidak menolak kebenaran yang
dikandung oleh hukum-hukum logika formal. Sikap penolakan terhadap logika
formal akan berlawanan dengan semangat dialektika, yang melihat beberapa
kebenaran dalam kenyataan logika formal itu sendiri. Pada saat bersamaan,
dialektika membuat kita bisa melihat batas-batas dan kesalahan dalam
memformalkan pandangan tentang sesuatu.
Hukum-hukum
logika formal berisikan unsur-unsur kebenaran yang sangat penting dan tak bisa
ditolak. Semua hukum tersebut bukan lah merupakan jeneralisasi pikiran-pikiran
yang random dan hasil khayalan yang tak berarti. Hukum-hukum tersebut keluar
lewat sebuh proses dunia nyata yang, selama ribuan tahun, oleh Aristoteles dan
para pengikutnya, digunakan oleh peradaban manusia. Jutaan orang yang belum
pernah mendengar tentang Aristoteles dan pikiran-pikirannya, sampai sekarang,
berpikir untuk mengabaikan hukum-hukum awal yang pertama kali dirumuskannya.
Mereka, yang seperti itu, tak akan bisa sampai mengerti tentang hukum-hukum
gerak Newton—walaupun mereka dapat melihat kerangka fisik setiap hasil
pemikiran Newton, namun mereka gagal memahami teori Hukum Newton tersebut
secara lengkap. Dalam dunia obyektif, mengapa orang berfikir dan melakukan
pensejajaran antara hukum-hukum Newton dengan hukum-hukum Aristoteles. Karena,
kenyatannya, hukum berpikir Aristotles memiliki isi yang material, sama halnya
juga dalam dunia objektif, sama halnya juga dalam hukum gerak mekanika Newton.
“…metode berpikir kita, apakah itu logika formal atau logika dialektik,
bukan lah sebuah susunan serampangan akal sehat kita tapi lebih sebagai sebuah
ekspresi interelasi-aktual dalam alam kita sendiri.”[1]
Karakter
macam apa yang ada dalam realitas material yang hendak dicerminkan, dan secara
konseptual dihasilkan kembali, oleh hukum-hukum berfikir formal?
Hukum
identitas bertujuan merumuskan fakta material agar bisa mendefinisikan segala
sesuatu dan memperlakukan segala hal dalam semua perubahan fenomenanya. Dimana
pun kelanjutan (perubahan) esensial hadir dalam realitas, hukum identitas tetap
bisa mendeteksinya.
Kita
tak bisa berbuat atau berfikir secara sadar bila menolak hukum tersebut. Jika
kita tidak bisa lagi mengenali diri kita sendiri karena amnesia atau karena
sesuatu hal—karena kerusakan mental, misalnya—hingga menghilangkan kesadaran
identitas pribadi kita, maka diri kita akan hilang. Tapi hukum identitas hanya
lah absyah untuk melihat dunia secara universal ketimbang untuk melihat
kesadaran manusia itu sendiri. Hukum tersebut muncul setiap hari dan dimana
saja dalam kehidupan sosial. Jika kita tidak bisa mengenali bagian mental yang
sama, lewat beberapa tindakan, maka kita tidak akan bisa melakukan produksi.
Jika seorang petani tidak bisa mengerti perkembangan jagung yang ia tanam dari
biji sampai menghasilkan jagung lagi, dan kemudian menjadi bahan makanan, maka
tidak mungkin ada pertanian.
Anak-anak
yang telah mengerti lebih jauh, bisa memahami alam dunianya saat pertama kali
ia menemukan fakta bahwa ibu yang menyusuinya adalah orang yang sama yang,
dengan berbagai cara, memberinya makan. Pengenalan kebenaran dengan cara
seperti itu tak lain merupakan sebuah contoh khusus tentang pengenalan terhadap
hukum identitas.
Jika
kita tidak jernih melihat proses perkembangan dan perubahan-perubahan menuju
negara kelas pekerja, maka kita tentu saja akan dengan mudah terjebak dalam
kekacauan pemahaman saat berupaya untuk mengerti tentang perjungan kelas yang
ada sekarang. Dalam kenyataannya, oposisi borjuis kecil menjawab dengan cara
yang salah ketika merespon persoalan yang terjadi di Rusia, tidak hanya karena
mereka menolak metode dialektik, tapi juga karena mereka tak bisa
mengaplikasikan hukum identitas secara tepat. Dalam proses perkembangan Soviet
Rusia, mereka tak bisa melihat—lepaskan dari Uni Sovyet yang di bangun
selanjutnya oleh rejim Stalin—bahwa Uni Soviet bisa mempertahankan
landasan–landasan sosial ekonomi negara kelas pekerja, yang didirikan oleh
kelas buruh dan petani Rusia setelah revolusi oktober. Kelasifikasi secara
benar, yang lepas dari perbandingan yang berbasiskan suka tidak suka, merupakan
suatu basis yang sangat penting dan sebagai langkah awal dalam investigasi
ilmiah. Kelasifikasi sangat penting untuk memilah penambahan terhadap kelas
yang sama dan pengurangan terhadap kelas yang berbeda serta untuk menyatukan
kelas-kelas yang berbeda—semua itu tak mungkin dilakukan tanpa menggunakan hukum
identitas. Teori Darwin tentang revolusi pengorganisasian manusia berasal dan
tergantung dari pengenalan terhadap identitas esensial berbagai makhluk yang
berbeda di atas bumi ini. Hukum gerak mekanik Newton dapat disimpulkan berasal
dari gerak massa, dari logika batu jatuh hingga planet-planet yang berputar
dalam sistim matahari. Semua ilmu-pengetahuan lahir dan merupakan bagian dari
hukum identitas.
Hukum
identititas mengarahkan hingga bisa mengenali keragaman, perubahan permanen,
kesamaan, pemisahan dan penampakan yang berbeda, guna mencakup keseluruhan
semua itu, serta guna mendapatkan penghubung antar fase-fase berbeda dari
fenomena tertentu. Oleh sebab itu, penemuan dan penggunaan hukum tersebut
disimpulkan telah membuat sejarah dalam pemikiran ilmiah dan, oleh karenanya,
kita memberikan penghargaan pada Aristoteles untuk semua yang telah
dirumuskannya. Oleh karena itu pula, manusia berbuat dan berpikir sesuai dengan
hukum dasar logika fiormal tersebut.
Mungkin
akan muncul pertanyaan: “bagaimana hukum tersebut berlaku secara
gampangannya? Jawabnya: fakta bahwa sesuatu adalah sesuatu.
Amat
lah penting kehadiran hukum dasar tersebut dalam sejarah. Merupakan sebuah
kemajuan yang besar sekali dalam sistim pengetahunan tentang dunia ketika
manusia menemukan bahwa awan, uap, hujan dan es semuanya berasal dari air. Atau
bawah surga dan bumi adalah dua hal yang bertentangan namun juga sama (surga di
bumi). Ilmu Biologi mengalami revolusi dengan penemuan bahwa kehidupan
organisme bersel satu dan manusia terdiri dari substansi yang sama. Ilmu fisika
mengalami revolusi dengan bisa ditunjukkannya bahwa semua bentuk gerak material
dapat saling bertukar dan secara esensial sama.
Tidak
kah merupakan sebuah langkah yang menakjubkan dalam pengetahuan sosial dan politik
ketika kelas pekerja menemukan pengetahuan, di satu sisi, bahwa upah kerja
adalah upah kerja dan, di sisi lain, kapitalis adalah kapitalis. Pengetahuan
bahwa buruh di mana saja memiliki kepentingan yang sama, menembus batas
wilayah, nasional dan ras. Sehingga pengakuan terhadap kebenaran yang berasal
dari hukum identitas adalah sebuah syarat untuk menjadi seorang sosialis yang
revolusioner.
Satu
hal, bagaimanapun kita memperhatikan dan menggunakan suatu hukum, adalah
merupakan hal yang berbeda dengan mengerti dan memformulasikannya dalam sebuah
cara yang ilmiah. Semua orang dapat bertindak sesuai dengan hukum namun sulit
untuk mengetahui bagaimana hukum tersebut beroperasi. Sama dengan hukum logika
itu sendiri. Setiap orang berpikir tapi tak seorang pun tahu hukum yang mana
yang sedang berlangsung dalam pemikirannya.
Hukum
kontradiksi merumuskan fakta-fakta material yang hadir secara bersamaan dengan
yang lainnya, dan bisa dalam keadaan-keadaan yang berbeda-beda. Secara nyata
aku tidak sama dengan anda—jelas kita berbeda. Atau aku hari ini berbeda dangan
aku kemarin—jelas keberadaanku berbeda. Atau Uni Soviet berbeda dengan negeri
lainnya, dan perkembangan Uni Soviet membedakan Uni Sovyet dahulu dengan Uni
Sovyet sekarang—jelas perbedaan-perbedaannya.
Hukum
formal kontradiksi, atau penajaman perbedaan-perbedaan adalah penting
untuk memperoleh kelasifikasi yang tepat sesuai dengan hukum identitas. Tanpa
keberadaan perbedaan-perbedaan tersebut, tak perlu ada kelasifikasi, tanpa
identitas maka tak mungkin melakukan kelasifikasi.
Hukum
tak ada jalan tengah (excluded middle) menunjukkan bahwa semua hal
saling bertentangan dan saling mengisi dalam kenyataannya. Aku pasti lah aku
atau orang lain; hari ini aku seharusnya sama atau berbeda dengan kemarin; Uni
Soviet seharusnya sama atau berbeda dengan negeri lain; aku pasti lah manusia
atau binatang; aku tidak dapat secara bersamaan merupakan dua identitas yang
berbeda.
Oleh
karenanya, hukum logika formal mengekspresikan masa depan yang
merepresentasikan dunia nyata. Hukum-hukum tersebut berisi suatu materi
dan suatu dasar objektif. Hukum-hukum tersebut secara bersamaan merupakan
hukum berfikir, hukum masyarakat dan hukum alam. Ketiga akar Hukum tersebut
memiliki karakter universal.
Ketiga
hukum yang kita pelajari di atas bukan merupakan keseluruhan logika formal.
Namun merupakan hukum-hukum dasar yang sederhana. Di atas dasar itu lah,
dan di luar darinya lah, muncul sejumlah struktur ilmu logika yang kompleks,
yang memiliki kerumitan rincian-rincian setiap elemennya, dan yang di dalamnya
memiliki bentuk mekanisme berpikir. Tapi kita tak akan masuk ke diskusi tentang
berbagai kategori, bentuk proposisi, sikap-sikap, silogisme dan yang lainnya,
yang membentuk isi tubuh logika formal. Hal tersebut bisa dicari di buku
tentang logika elementer lainnya. Secara prinsipil kita lebih peduli pada
pemahaman ide-ide esensial logika formal, tapi bukan pada detail
perkembangannya.
5. Logika Formal dan Akal
Sehat
Dalam
lingkaran intelektual borjuis, akal sehat dijadikan satu pola dan cara berfikir
serta menjadi penuntun tindakan. Hanya ilmu-pengetahuan yang dilandasi akal
sehat lah yang bisa berada pada hirarki nilai yang tinggi. Atas nama akal sehat
dan ilmu-pengetahuan, misalnya, Max Eastman menuduh Marxis sebagai penjunjung
dialektika metafisik dan mistik. Sialnya, ideolog-ideolog borjuis dan borjuis
kecil jarang menginformasikan pada kita apa sisi logis akal sehat mereka dan
bagaimana hubungan antara akal sehat dengan ilmu-pengetahuan? Kita akan
menjawab mereka! Kenyataannya, mereka yang anti dialektika sebenarnya tidak
hanya tidak tahu apa dialektika itu. Mereka bahkan tak tahu apa logika formal
itu. Hal itu tidak mengejutkan. Apa kah kelas kapitalis tahu apa itu
kapitalisme, bagaimana hukum-hukumnya beroperasi? Jika mereka tahu, mereka akan
sadar akan krisis dan perang yang mereka buat, dan tak akan seyakin sekarang
dengan sistim yang mereka nikmati itu. Stalinis tak tahu apa sebetulnya
stalinisme itu dan akan ke mana arah sistim tersebut. Jika mereka tahu mereka
tidak akan lagi menjadi Stalinis, atau mereka akan menjadi sesuatu yang lain.
Sejauh
ini, akal sehat masih secara sistimatis tersusun dan memiliki karakter logis,
serta akal sehat menyatu dengan logika formal. Akal sehat bisa diurai menjadi
bentuk yang tidak sistimatis dan setengah sadar dalam hubungannya dengan
ilmu-pengetahuan logika formal. Ide-ide dan metode logika formal yang digunakan
sekarang, sebenarnya, telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu, memiliki
saling hubungan dengan proses berfikir kita, masuk dalam pabrik peradaban kita,
dan nampak bagi kebanyakan orang sebagai sesuatu yang normal, ekslusif,
serta bercorak pikir wajar. Konsepsi dan mekanisme logika formal, seperti
silogisme, merupakan alat berfikir yang seakrab dan seuniversal layaknya pisau
tajam.
Seperti
kita ketahui, borjuis percaya bahwa masyarakat kapitalis akan abadi karena,
menurut mereka, merupakan hal yang ilmiah dan tak dapat diubah. Sosialisme,
kata mereka, adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal sehat karena manusia
akan selalu terbagi ke dalam dua kelas yang saling bertentangan. yakni yang
kaya dan yang miskin, yang kuat dan yang lemah, pemerintah dan yang diperintah,
yang bermilik dan yang tak bermilik, dan setiap kelas akan berjuang sampai mati
demi hidup yang lebih baik. Sebuah bentuk organisasi sosial yang tanpa kelas,
yang terencana sehingga tidak anarki, yang melindungi si lemah melawan si kuat,
terlihat absur, tak masuk akal, bagi mereka. Mereka melihat ide sosialis
sebagai fantasi, harapan-harapan kosong.
Sampai
kita tahu sosialisme bukan lah sebuah mimpi tapi sebuah keniscayaan sejarah.
Sebagai sebuah tahapan evolusi sosial selanjutnya. Kita tahu kapitalisme tidak
lah abadi tapi suatu bentuk sejarah tertentu cerminan produksi material, yang
terbentuk karena perkembangan produksi sosial, dan takdirnya: akan digantikan
oleh bentuk yang lebih superior, produksi sosialis.
Mari
kita lihat ilmu berpikir dari satu titik yang sama, yakni dengan melihat pada
ilmu sosial. Pemikir-pemikir Borjuis dan borjuis kecil percaya bahwa pemikiran
formal adalah bentuk akhir yang sudah final dan pas. Mereka menolak dilalektika
materialis sebagai bentuk tertinggi pemikiran.
Kau
ingat, ketika seseorang bertanya tentang kapitalisme permanen atau
berargumentasi tentang pentingnya sosialisme, kau akan jatuh dalam keraguan
pada ide-ide revolusioner yang baru. Kenapa? Karena dirimu telah diperbudak
oleh ide penguasa zaman kita yang, seperti di katakan Marx, sebagai ide-ide
kelas penguasa. Ide-ide kelas penguasa dalam ilmu logika sekarang ini adalah
ide-ide logika formal yang lebih rendah, lebih hina, dari akal sehat. Semua
bagian dan kritik dialektika sebenarnya berdiri di atas landasan logika
formal—terserah mereka mau mengakuinya atau tidak.
Tak
diragukan lagi, dalam masyarakat kita, ide-ide logika formal berisikan semua
praduga teoritis yang paling kepala batu. Meski telah beberapa orang
menanggalkan keyakinannya terhadap kapitalisme, dan telah menjadi sosialis yang
revolusioner, bisa saja mereka belum secara keseluruhan bisa melepas kebiasaan
logika formal mereka yang diperoleh dari kehidupan borjuis sebelumnya.
Kesungguhan seorang akhli dialektika bisa mengalami kemunduran jika mereka tak
berhati-hati dan sadar dalam cara berfikirnya.
Marxisme,
selain menolak keabadian kapitalisme, ia juga menolak keabadian kelas
kapitalis. Pemikiran manusia telah berubah dan berkembang sepanjang
perkembangan umat manusia. Hukum berpikir tidak lah lebih abadi daripada hukum
yang ada di masyarakat. Sama halnya dengan kapitalisme, yang hanya sekadar
sebuah mata-rantai bentuk sejarah produksi sosial, demikian halnya dengan
logika formal, yang hanya sekadar sebuah mata-rantai bentuk sejarah
produksi intelektual. Seperti halnya kekuatan sosialisme, yang sedang berjuang
untuk menggantikan bentuk produksi sosial kapitalisme dengan sebuah sistem yang
lebih berkembang dan maju, demikian pula halnya pembela dialektika materialis,
sebagai sebuah logika sosialisme ilmiah, sedang berjuang melawan logika formal
yang telah ketinggalan zaman. Perjuangan teoritis dan praktek politik praktis
merupakan bagian yang integral satu dengan yang lainnya, dan sama-sama berada
dalam proses revolusioner.
Sebelum
kemunculan astronomi modern, orang-orang percaya bahwa matahari dan planet
lainnya mengitari bumi. Mereka secara tidak kritis percaya pada pembuktian akal
sehat yang ditangkap oleh mata. Aristoteles mengajarkan bahwa bumi telah pas
dan sempurna. Tahun ini adalah peringatan 400 tahun penerbitan buku
Copernicus. Sebuah revolusi pemikiran tentang tata surya, yang menumbangkan pemikiran
bahwa bumi adalah pusat kekuasaan.
Seabad
kemudian Galileo membuktikan kebenaran teori Copernicus. Semua profesor yang
bertentangan dengan Copernicus mencemohkannya, seperti yang dikeluhkan Galileo:
”Aku berharap bisa menunjukkan bahwa planet Yupiter, yang menjadi satelit bagi
para profesor di Florence, bisa mereka lihat lewat mata mereka sendiri atau
dengan teleskop.” Para profesor tersebut, atas nama teori Aristoteles,
menyerukan perlawanan terhadap usaha Galileo tersebut, dan akhirnya menggunakan
kekuasaan untuk memenjarakan Galileo. Pelayan-pelayan negara dan gereja
tersebut berhasil menekan argumen Galileo, melarang pengedaran bukunya,
menteror dan bahkan membunuh lawan-lawan ilmuwan lainnya karena ide-ide mereka
sangat revolusioner. Mereka membudak pada dominasi kelas penguasa.
Sama
halnya dengan dialektika, khususnya dialaektik materialis, ide dan metode nya
bahkan lebih revolusioner ketimbang ide Copernicus tentang Astronomi. Pertama
pemutarbalikan sorga yang selama ini diagungkan oleh abad tengah, kemudian
penajaman terhadap kelas progresif dalam masyarakat yang akan memutarbalikan
masyarakat kapitalis. Itu lah sebabnya ide-ide dialektika materialis sangat
ditentang oleh para pembela logika formal dan akal sehat. Besok, dengan
revolusi sosialis, dialektika akan menjadi akal sehat dan logika formal akan
mengambil posisi sub-ordiansi, hanya dianggap sebagai penolong dalam cara
berfikir ketimbang seperti yang berlaku sekarang ini—mendominasi pemikiran,
menyesatkan fikiran dan menghambat semua kemajuan berfikir yang menjadi
tuntutan zaman.
Keterbatasan Logika Formal
Pada bahan pelajaran
pertama kita telah menjawab tiga pertanyaan.
1. Apa itu logika? Kita mendifininisikan logika sebagai sebuah ilmu
proses berpikir dalam hubungannya dengan semua proses yang lain di dunia ini.
Kita telah belajar mengetahui dua sistim penting dalam logika: logika formal
dan logika dialektik.
2. Apa itu logika formal? Kita telah belajar memahami bahwa logika
formal adalah cara berpikir yang didominasi oleh hukum identitas, hukum
kontradiksi dan kukum tak ada jalan tengah (excluded middle). Kita telah
paham bahwa ketiga hukum fundamental logika formal tersebut memiliki isi materi
dan basis objektif; yang dirumuskan secara eksplisit berdasarkan logika
instinktif yang ada pada akal sehat; yang bersisikan aturan-aturan berfikir
dalam kehidupan borjuis.
3. Apa hubungan antara logika formal dan logika dialektik? kedua
sistim berfikir tersebut tumbuh dan berhubungan di dua tahap yang
berbeda dalam perkembangan ilmu-pengetahuan berfikir. Logika formal berkembang
secara dialektik dalam evolusi sejarah logika, seperti yang biasa terjadi dalam
perkembangan intelektual seseorang. Kemudian logika dialektik muncul sebagai
kritik terhadap logika formal, menjatuhkan dan menggantikannya. Logika
dialektik menjadi lawan yang revolusioner, mengambil alih dan menjadi solusi.
Dalam
pelajaran kedua ini, kita berharap bisa mengungkap keterbatasan logika formal,
dan mendapatkan bagaimana dialektika bangkit karena ujian kritis terhadap
ide-ide fundamentalnya. Saat ini kita telah memahami apa yang menjadi dasar
logika formal, dan apa yang dicerminkannya dari realita, mengapa menjadi
penting dan bermanfaat bagi proses berfikir, dan sekarang kita akan melangkah
lebih jauh lagi untuk melihat apa yang menjadi distorsi dalam logika formal
serta apa yang harus ditolak dari logika formal. Kita akan melihat sisi yang
tak bermanfaat dari logika formal.
Dalam langkah
selanjutnya dari investigasi kita, kita tak akan mendapatkan hasil negatif yang
bisa dijadikan alasan keraguan kita sehingga harus menolak seluruh bagian dari
logika formal. Sebaliknya, justru kita akan mendapatkan hasil yang paling
positif. Walaupun terdapat beberapa kekurangan dalam logika formal, namun
terdapat juga beberapa karakter penting yang bisa diambil dari logika formal
yang bisa menyempurnakan logika penggantinya, logika dialektik. Sehingga dalam
proses pembelahan logika elementer dan pemisahan unsur yang absyah dari yang
salah, kita bisa mendapatkan sebuah landasan bagi dialektika. Tindakan kritis
dan kreatif, negasi dan affirmasi, saling bergandengan sebagai dua sisi dari
proses yang sama.
Kedua gerak penghancuran dan pembentukan dilahirkan tidak
saja dalam evolusi logika tapi juga dalam semua proses. Setiap lompatan ke
depan, setiap tindakan kreatif melibatkan penghancuran. Agar dapat lahir,
seekor anak ayam harus memecahkan kulit telor yang membungkusnya, yang telah
menjadi tempat tinggal dan sumber kehidupan pada tahap tertentu. Sehingga, agar
mendapatkan ruang bagi kebebasannya dan melanjutkan perkembangan selanjutnya,
ilmu berpikir harus menghancurkan kulit pembungkus logika formal.
Logika formal
selalu mulai dengan preposisi: A adalah selalu sama dengan A. Kita mengakui
bahwa hukum tentang identitas ini mengadung beberapa kebenaran, yang merupakan
sebuah fungsi yang tidak bisa dipisahkan dalam pengetahuan berfikir, dan
yang selanjutnya digunakan dalam peradaban mansuia di dalam kegiatan
sehari-harinya. Tapi sejauh mana kebenaran hukum tersebut? Apakah hukum
tersebut bisa terus menjadi penuntun dalam realitas yang menjadi lebih
kompleks? Demikian lah, pertanyaan selanjutnya.
Pembuktian
salah benarnya setiap preposisi diperoleh dengan melihat realitas objektif dan
praktek nyatanya, derajatnya dan isi konkrit yang terkandung dalam
preposisi tersebut. Apa kah isinya berhubungan dengan sebuah output yang
bisa dihasilkan oleh realitas, sehingga preposisi itu menjadi benar. Jika
tidak, maka preposisi tersebut tidak bisa dibenarkan.
Sekarang apa
yang bisa kita dapat saat harus berhadapan dengan realitas, bukti apa yang bisa
membenarkan kebenaran preposisi: A sama denan A? Ternyata, tak ada sesuatu pun
dalam realita yang secara sempurna sama dengan isi preposisi tersebut.
Sebaliknya, kebalikan dari aksioma tersebut jauh lebih mendekati pada
kebenaran.
Bagaimanapun
kita berusaha membuktikan bahwa A sama daengan A—ternyata, kita tidak bisa
berhasil secara sempurna. Seperti kata Trotsky: “...meneliti dua huruf
tersebut di bawah sebuah lensa pembesar—satu dengan yang lainnya sama sekali
berbeda. Namun, orang bisa saja berkeberatan, karena hal-hal lain (misalnya)
semata-mata merupakan simbol bagi kuantitas-kuantitas yang sederajat,
contohnya, satu pon gula, masalahnya bukan ukuran atau bentuk dari huruf-huruf
tersebut.”
“Di samping
kecurigaan ekstrim pada nilai praktis. Hal tersebut juga menunjukan
ketidakkritisan teoritis. Bagaimana dengan momentum? Hal yang pertama tentu
berbeda momentumnya dengan hal yang kedua karena segalanya ada dalam kurun
waktu tertentu. Waktu adalah sebuah unsur yang paling fundamental bagi
keberadaan. Sehingga aksioma A sama dengan A akan berlaku jika tidak ada
perubahan, jika tidak, maka aksioma tersebut tidak akan berlaku”[2]
Itu lah sebabnya beberapa pembela logika formal mencoba
membela diri dengan berkata: memang benar hukum identitas tidak bisa absolut,
tapi itu tidak berarti kita dapat menolak prinsip tersebut. Kebenaran tersebut
adalah absyah walaupun tidak berhubungan dengan realitas. Posisi mereka
tidak bisa memahami kontradiksi; justru, dengan demikian, semakin menunjukkan
bahwa, dalam pandangan mereka, hukum identitas tersebut hanya berlaku sejauh
tidak berhubungan dengan realitas, dan jika berhubungan dengan realitas maka
hukum tersebut justru akan mendatangkan kesalahan-kesalahan tertentu.
Seperti yang
di kemukakan oleh Trotsky: “Aksioma A sama dengan A menunjukkan suatu
titik keberangkatan menuju ke keseluruhan kebenaran pengetahuan kita namun, di
sisi yang lain, juga merupakan titik keberangkatan menuju ke keseluruhan
kesalahan pengetahuan kita.”[3] Bagaimana
mungkin sesuatu hal, yang ada dalam hukum yang sama, menjadi sumber bagi kedua
pengetahuan—pengetahuan yang salah dan pengetahuan yang benar? Kontradiksi
tersebut dapat dijelaskan oleh fakta bahwa hukum identitas memiliki dua sisi
karakter: kesalahan dan kebenaran. Hukum identitas memiliki kebenaran pada
batas-batas tertentu. Batasan tersebut dikarenakan karakter esensialnya, yang
ditunjukkan oleh perkembangan aktual obyek pertanyaannya. Di sisi lain, dilihat
dari tujuan praktis cara pandang tertentu.
Sekali waktu,
batasan-batasan tersebut muncul, sehingga hukum identitas tidak lagi tepat dan
berbelok menjadi kesalahan. Semakin jauh kita maju tanpa pegangan batasan
tersebut, semakin jauh pula hukum identitas tersebut menyeret kita membelok
dari kebenaran. Hukum yang lain mungkin akan mengoreksi kesalahan yang semakin
banyak tersebut, namun tidak terlepas juga kemungkinannya akan masuk ke
persoalan yang lebih kompleks dan yang lebih baru lagi.
Mari kita
lihat contohnya. Dari Albany ke New York hanya disusuri oleh sungai Hudson, tak
ada yang lainnya. A selalu sama dengan A. Dengan keterbatasan tersebut akan
sulit untuk memastikan bahwa sungai Hudson tersebut merupakan satu-satunya
sumber air yang ada, dan sama dari hilir sampai muara, sungai Hudson. Setelah
sampai di muara pelabuhan New York, ternyata sungai Hudson telah kehilangan
identitasnya dan menyatu dengan Samudra Atlantik. Sedangkan air Sungai Hudson,
terpecah menjadi beberapa anak-anak sungai yang lain yang, walaupun
berasal dari mata air yang sama, tapi memiliki identitas yang berbeda-beda dan
materi yang berbeda pula, jauh berbeda dengan sungai Hudson itu sendiri.
Sehingga di kedua tempat tersebut—sumber mata air dan muaranya—identitas Sungai
Hudson menghilang, tak lagi seutuhnya sama.
Demikian pula
halnya dengan kemungkinan hilangnya identitas di sepanjang sungai Hudson
tersebut. Identitas sungai tersebut tergantung pada kedua sisi parit yang
menahan aliran airnya. Namun, jika sungai tersebut pasang atau surut, atau jika
terjadi erosi, maka parit tersebut akan berubah. Hujan dan banjir akan merubah
batasan-batasan sepanjang sungai itu secara permanen atau sementara. Walaupun
sungai tersebut tetap bernama Hudson, namun isinya tak akan pernah berupa air
yang sama. Setiap tetesnya sudah berbeda. Oleh karenanya, sungai Hudson
tersebut terus berubah identitasnya setiap saat.
Atau coba kita
lihat contoh Dolar yang di kemukakan Trotsky. Kita biasanya mengasumsikan bahwa
mata uang Dolar adalah mata uang Dolar itu sendiri. A sama dengan A. Tapi kita
mulai sadar sekarang bahwa Dolar sekarang berbeda nilainya dengan dolar pada
waktu yang lampau. Dolar tersebut semakin berkurang nilainya. Pada tahun 1942
kemampuan dolar hanya tiga perempat kemampuan pada tahun 1929.
Sepertinya,
dolar tidak berubah dan hukum identitas masih bisa di gunakan, tapi, pada saat
yang sama, nilainya juga sudah berubah.
“Pemikiran
ilmiah kita hanya lah salah satu bagian dari keseluruhan tindakan praktek kita,
termasuk teknik-teknik. Dalam konsep-kopsep, eksistensi “toleransi” juga
diperkenankan. Toleransi tersebut ditegakkan bukan dengan logika formal yang
berasal dari aksioma A adalah sama dengan A, tapi dengan logika dialektik yang
berasal dari aksioma bahwa semua hal selalu berubah. “Akal sehat”
dikarakterisasi oleh kenyataan bahwa ia secara sistematis melampaui “toleransi”
dialektik.”[4]
Dalam bengkel
kerja, toleransi diukur di setiap seperseratus sampai seperseribu setiap
incinya, tergantung hasil kerja yang hendak diperolehnya. Sama halnya dengan kerja
otak dan konsep-konsep peralatannya. Bila batas atau marjin toleransi kesalahan
sudah bisa disetujui, maka hukum logika formal dapat berlaku. Tapi pada saat
tidak diizinkan oleh toleransi, maka sebuah alat baru harus dibuat untuk
memenuhi batas toleransi yang diperbolehkan. Dalam lapangan produksi
intelektual, peralatan tersebut adalah logika dialektik.
Hukum
identitas bisa diterapkan dalam toleransi dialektik pada dua arah yang
bertentangan. Misalnya, toleransi minimum dan toleransi maximum, sehingga
hukum identitas tersebut akan berlangsung semakin absyah atau kurang absyah
seperti yang dicontohkan oleh deflasi. Satu Dolar nilainya berlipat, sehingga A
tidak sama dengan A, tapi lebih besar dari A. Dan dalam contoh inflasi maka,
sekali lagi, satu Dolar tidak sama dengan satu Dolar sebelumnya, menjadi
setengahnya. Sekali lagi A tidak sama dengn A, tapi setengah A. Dalam
beberapa kasus, hukum identitas tidak lagi menjadi benar tapi menjadi
semakin salah, tergantung pada jumlah dan karakter khusus perubahan nilai yang
ada. Selain A = A, kita juga melihat kemungkinan A = 2A atau 1/2A.
Perhatikan
bahwa kita mulai menguji hukum identitas: A adalah yang kita uji. Yang kita
dapatkan, kontradiksi: benar bahwa A = A; tapi benar juga A tidak sama dengan A
dan, tambahannya, A bisa menjadi 2A atau 1/2A.
Cara tersebut
membuat kita lebih mengenal A. A ternyata tidak sesederhana yang kita
bayangkan, pasti, tidak berubah seperti yang dianut oleh akhli logika formal.
Mereka hanya melihat penampakannya saja. Dalam kenyataanya, A sangat kompleks
dan bisa kontradiktif. Tidak hanya A tapi menyangkut semua hal. Kita tidak bisa
menangkap A yang sama karena setiap saat A tersebut berubah menjadi berkurang
atau bertambah.
Kau mungkin
bertanya: kalau begitu, sebenarnya apa itu A? Jawaban dialektiknya adalah A
adalah A atau Non-A. Jika kau melihat A seperti akhli logika formal maka kau
hanya akan melihat satu sisinya saja, sisi negatifnya. A sama dengan A adalah
sebuah abstraksi yang tidak dapat secara penuh menjadi kenyataan atau ditemukan
dalam realitas. Abstraksi tersebut berguna sepanjang kau mengerti
batasan-batasannya, dan jika batasan telah tercapai maka segera kita akan
mengabaikan logika formal tersebut untuk mendapatkan kebenaran final. Hukum
dasar identitas bisa dipegang sebagai cara pandang dan untuk bertindak
sehari-hari, tapi hukum itu harus digantikan dengan hukum yang lebih dalam dan
kompleks.
Para akhli
mekanik akan bertanya: mengapa harus ada batas, apakah peralatan yang dimiliki
dalam mekanika telah mencakup kebenaran? Segala hal berlaku dalam kondisi
tertentu dan dalam operasi tertentu: sebuah potongan, lengkungan, pendalaman
dan lain sebagainya, semuanya ditempatkan pada setiap tahapan proses produksi
industri. Kelas buruh menentang batasan-batasan yang nyata dalam setiap
peralatan dan mesin. Mereka berhasil mengatasi batasan-batasan tersebut dengan
dua cara: menggunakan peralatan yang lain atau mengkombinasikan beberapa
peralatan dalam proses produksi.
Berpikir
secara esensial merupakan produksi intelektual, dan keterbatasan peralatan
berpikir akan menghasilkan cara yang sama. Pada saat kita mentok dengan
logika formal maka kita harus menggunakan logika lainnya, yakni logika
dialektik, atau mengkombinasikan logika formal dengan logika dialektik untuk
mendapatkan kebenaran. Itu lah yang disebut dialektika. Sama seperti
peralatan-peralatan di pabrik yang harus dikombinasikan agar bisa
mengoperasikan pabrik tersebut. Jadi, kalau kita menginginkan hasil yang paling
tepat dalam produkis intelektual kita, maka kita harus mengembangkan ide-ide
dialektika itu sendiri.
Jika kita
kembali pada abstraksi awal, A sama dengan A, maka kita melihat bahwa ada
sebuah kontradiksi dalam perkembangannya. A adalah berbeda dengan dirinya
sendiri. Dengan kata lain, A selalu berubah dan perubahan tersebut ke segala
arah. A selalu berkembang menjadi berlebih atau berkurang dari A sebelumnya.
Perubahan
tersebut memiliki nilai kwalitas tertentu, yang berbeda dari yang sebelumnya,
sehingga perlu juga membandingkan kwalitas awal dan kwalitas yang berikutnya
dari sesuatu hal yang terus berubah.
Sungai Hudson
yang kehilangan identitasnya, menjadi bagian dari samudara atlantik; atau
seperti yang terjadi pada mata uang. Mata uang yang semula koin yang bernama
mark Jerman telah menjadi kertas cetakan. Dalam bahasa aljabar, A menjadi
Minus A. Dalam bahasa dialektikanya perubahan kwantatif menghancurkan kwantitas
yang lama sehingga menjadi kwalitas yang baru. “Menentukan titik kritis pada
saat yang tepat, saat kwantitas berubah menjadi kwalitas, adalah merupakan
suatu tugas yang paling penting serta paling susah di dalam semua bidang
pengetahuan, termasuk sosiologi.”
Salah satu dari problem sentral ilmu logika adalah mengetahui
dan memformulasikan hukum tersebut. Kita harus mengerti bagaimana perubahan
kwantitas akan mendatangkan kwalitas baru dan sebaliknya.
Kita tiba pada
satu kesimpulan. Pada saat hukum identitas secara tepat mencerminkan bentuk
tertentu realitas, hukum itu juga mendatangkan distorsi kesalahan dalam
mencerminkan hal yang lainnya. Lebih jauh lagi, aspek yang salah tidak bisa
mencerminkan kenyataan objektif yang ada. Campuran setiap partikel fakta
jeneralisasi logika yang mendasar bisa memiliki sisi kesalahan yang serius.
Hasilnya, instrumen kebenaran menjadi kesalahan umum.
Sekali Lagi, Tentang
Keterbatasan-Keterbatasan Logika Formal
Dari kedua bahan pertama yang kita pelajari, kita mendapat
hukum-hukum dasar logika formal; bagaimana dan mengapa mereka hadir; hubungan
apa yang dimiliki dialektika terhadapnya; dan batas-batas apa yang kemudian
menjadikan logika formal tak berguna lagi.
Kita akan
melihat 5 kesalahan mendasar dalam elemen-elemen hukum identitas:
1. Tuntutan Logika Formal:
Semesta Tidak Berubah
Pertama sekali, logika formal menolak suatu gerak, perubahan dan
perkembangan dalam realitas. Penolakan tersebut tidak secara eksplisit
ditujukan pada keberadaan realitas. Tapi, secara tak langsung, yakni,
hukum-hukumnya menolak implikasi penting logika internalnya.
Seperti yang
dikemukan oleh hukum identitas, jika setiap hal sama dengan dirinya maka,
seperi yang ditunjukkan oleh hukum kontradiksi, tak ada yang tidak sama dengan
dirinya, semuanya sama. Tapi ketidaksamaannya merupakan manifestasi dari
perbedaan—dan, sebenarnya, perbedaan mengindikasikan operasional perubahan.
Jika semua perbedaan ditolak maka tidak akan ada gerak dan perubahan itu
sendiri, oleh karenanya tidak ada alasan menjadi berbeda.
Jika logika
formal ingin mendapatkan sisa kebenaran dirinya, bukan lah dengan menolak
keberadaan nyata dan rasionalitas gerak. Tak ada tempat bagi perubahan di
dunia ini yang bisa diterima oleh atau digambarkan oleh logika formal. Tak ada
gerak dalam dirinya. Tak ada ledakan logis dalam hukum-hukumnya yang dapat
melewati dan masuk ke dunia nyata. Tak ada dinamika dari dunia luar yang
mendorong segala hal keluar dari kondisinya yang sekarang guna menghasilkan
formasi baru. Gerak digambarkan atau ditunjukkan sebagai realisme statistik,
yang segalanya membeku di tempatnya masing-masing.
Mengapa
formalisme tersebut memunggungi realitas? Karena gerak memiliki karakter
kontradiksinya sendiri. Seperti kata Engels: ”…bahkan perubahan mekanis
sederhana suatu tempat bisa berlangsung dalam sebuah tubuh dan, pada saat yang
bersamaan, keduanya bisa berada di sebuah tempat lainnya, berada di suatu
tempat atau tidak berada di suatu tempat lainnya pada saat yang bersaman.”[5]
Segala yang bergerak memiliki kontradiksi dalam keberadaanya, di suatu tempat
yang berbeda pada saat yang bersamaan, dan bisa menundukkan atau keluar dari
kontradiksi tersebut dengan menerjang satu tempat guna menuju ke tempat
lainnya.
Perkembangan dan bentuk kompleks gerak, seperti perkembangan
pohon dan tumbuhan, perkembangan spesies, perkembangan masyarakat dalam sejarah
dan perkembangan sejarah filsafat, hadir bahkan lebih sulit bagi logika formal.
Tahap sekarang, yang menggantikan setiap proses adalah serial kontradiksi. Pada
pertumbuhan tanaman, contohnya, tunas keberadaannya diganti oleh bunga dan
kemudian oleh buah.
Dimana pun
mereka dikonfrontasikan dengan kontradiksi nyata, penganut logika formal selalu
akan gagal. Apa yang akan mereka lakukan? Anak kecil sewaktu berhadapan dengan
sesuatu yang asing, sesuatu yang menakutkan mereka, yang mereka tak mengerti
dan tak dapat mereka kuasai, akan menutup mata mereka dan menutup mukanya
dengan kedua tangannya, serta akhirnya melarikan diri dari ketakutan tersebut.
Penganut formalis bereaksi dan terus bereaksi, sama seperti anak-anak
berhadapan dengan kontradiksi. Ketika mereka tidak bisa secara komprehensif
melihat kenyataan alamiahnya dan tidak mengetahui apa yang harus
dilakukan dengan semua hal yang mengerikan—itu lah yang menyedihkan dari dunia
logika formal—maka, dengan ledakan kontradiksi, segera mereka akan
menghancurkan logika formal mereka.
Dimana pun,
saat otoritas reaksioner diancam oleh kekuatan subversif, mereka akan menekan,
memenjara dan membuang kekuatan subversif tersebut. Penganut logika formal
menjawab kontradiksi dengan cara yang demikian. Seperti yang dilakukan oleh Sir
Anthony Absolute terhadap anaknya dalam lakon komedi Sheridan: “…Jangan
masuk dalam ruanganku, jangan berani menghirup udara dan menggunakan lampu
bersamaku, tapi carilah atmosfir dan matahari lain untuk dirimu! ...”
Hukum tersebut
menunjukkan bahwa A tidak pernah menjadi Non-A. Itu bukan sebuah ekspresi nyata
dari kontradiksi yang nyata, atau, terbaca: A bukan Minus A atau bukan Non-A.
Logika formal
tidak dapat mentoleransi kontradiksi aktual dalam sistimnya sendiri. Logika
formal akan menekan dan menghancurkan kontradiksi tersebut. Dalam usahanya
untuk membebaskan dirinya dari kontradiksi, penganut logika formal memperketat
kontradiksi absolut di atas kenyataan objektif. Dalam dunia yang
direpresentasikan oleh logika formal, segala sesuatu berdiri dalam
oposisi absolut terhadap yang lainnya. A adalah A; B adalah B; C adalah C,
namun, sebenarnya, secara logis, mereka tidak ada yang sama
Kontradiksi
dieliminasi dari sistim logika formal, kemudian bergerak naik menghindari
semua kenyataan. Penganut logika formal menolak kontradiksi dalam sistimnya
sendiri hanya demi merestorasinya, mengambil kekuasaan dari luar sistim mereka.
Kontradiksi
nyata harus memasukkan kedua hal: kesamaan dan perbedaan di dalam dirinya.
Penganut logika formal tak bisa melakukannya. Semua hukum logika formal
sebenarnya tidak lain merupakan kesamaan-kesamaan dalam berbagai versi. Merka
tak mengenal apa perbedaan-perbedaan.
Itu lah
sebabnya hukum kategori yang pas bagi logika formal tidak dapat menjelaskan
esensi gerak. Gerak adalah sangat lengkap, terang-terangan, bahkan
kontradiksinya kasar. Dalam dirinya, ia memiliki dua sisi perbedaan waktu,
unsur, fase dan lain sebagainya secara diametris. Pada saat yang bersamaan,
benda yang bergerak adalah keduanya, disini dan disana, secara terus menerus.
Jika tidak, dia tidak bergerak tapi diam. A tidak semata-mata Non-A. Diam
adalah gerak yang berhenti; gerak adalah perhentian yang berurutan.
Logika formal
tidak bisa mengetahui atau menganalisa kontradiksi alam nyata—yang di dalamnya
terdapat gerak—tanpa melanggar dirinya sendiri, tanpa menjatuhkan
hukum-hukumnya sendiri, tanpa menerjang dan masuk ke alam yang
lain. Adalah mimpi mengharapakan logika formal menjadi dialektik. Itu
tepatnya dengan apa yang terjadi pada logika dalam evolusi. Tapi, logika
formal, dalam dirinya dan oleh dirinya, tidak dapat mengambil lompatan
revolusioner, tidak bisa keluar dari kulitnya. Semua pemikir formal yang
konsisten tetap bertahan pada azas jeneralitas identitas dan terus
menolak—cukup logis menurut logika mereka, tapi tak logis menurut
kenyataan-keberadaan objektif yang nyata, yakni kenyataan perbedaan diri atau
kontradiksi.
Kategori identitas itu abstrak: hukum logika formal merupakan
ekspresi langsung dari konsepsi dan persamaan logika ke-diam-an keberadaan
objek. Oleh sebab itu, logika formal, secara esensial, merupakan logika
kematian, hubungan yang dingin, sesuatu yang diam, pengulangan abadi dan kemandegan.
Sejauh kita mengganggap bahwa sesuatu itu statis dan mandeg, maka adalah
benar bahwa kita tidak bertentangan dengan kontradiksi. Kita mendapatkan
kwalitas tertentu yang sebagian merupakan hal yang bias, terpisah, bahkan
saling kontradiktif, tapi, dalam kasus ini (dalam sistim logika formal),
kwalitas tersebar di antara objek yang berbeda dan tanpa kontradiksi.[6]
Bila melihat apa yang terjadi pada kasus lain, yang bergerak,
ternyata tidak saja saling berhubungan, dan tidak saja secara eksternal tapi
juga secara internal, sesuatu akan kehilangan identitas dan bergerak menuju
sesuatu yang lain. Sungai Hudson mengalir dan bergabung dengan samudra
Atlantik; Mark jerman merosot menjadi secarik kertas cetakan dan lainnya.
Apa yang bisa dilakukan oleh sesuatu hal dapat dilihat saat ia kehilangan
identitas. Hasil internal dan eksternal gerak benda-benda nyata terwujud secara
kontradiktif. Tapi tetap ada benarnya juga bahwa: mereka berhubungan dengan
realitas.
Tidak ada yang
permanen. Kenyataan tidak pernah berhenti, selalu berubah, selalu fluktuatif
(tidak stabil/naik turun). Proses universal, yang tak terbantahkan, membentuk
landasan material bagi teori yang di ajarkan Engels ”…seluruh alam, dari unsur
yang paling kecil sampai yang paling besar, dari debu hingga matahari,
keberadaannya ada dalam keabadian, yakni menjadi dan melenyap, menghilang,
kemudian bergolak dalam gerak yang tak berhenti…”[7]
Dalam ilmu modern, tak ada jeneralisasi yang lebih aman selain berbasiskan pada
percobaan, fakta, ketimbang memahami teori perkembangan universal pikiran
manusia, yang bergerak maju dalam abad ke-19.
Hukum
logika formal, yang berada di luar kontradiksi, mengabaikan kontradiksi dalam
teori dan realitas perkembangan universal. Hukum identitas itu
abstrak, tak melahirkan perubahan. Sebenarnya, dari dua preposisi yang
bertentangan tersebut, yang mana yang benar dan yang salah? Itu lah pertanyaan
dari penganut dialektika—yang melandasi pikirannya berdasarkan proses
alamiah—kepada penganut logika formal yang berkepala batu. Persoalan pikiran
ilmiah, yang sedang berhadapan dengan logika formal, tidak semata-mata
merupakan persoalan yang terjadi dari akhir abad ini saja namun sejak zaman
sebelumnya.
2. Logika Formal Mendirikan Benteng/Hambatan (di Antara
Segala Hal) yang Tak Boleh Diterobos
Logika formal memiliki kesalahan-kesalahan karena dikepung
oleh persoalan-persoalan material, ditelikung oleh ketidakmengertian terhadap
fase perkembangan semua persoalan, dan tak bisa mengerti mengenai cerminan,
refleksi, kenyataan objektif dalam jiwa kita. Antara kebenaran dan kesalahan
tak ada fase antaranya, tak ada tahap transisi dan rantai penghubungnya.
Hegel bicara
tentang hal tersebut: “Pikiran-Jiwa, mengabil posisi oposisi di antara
kebenaran dan kesalahan, serta menjadi pas, terlebih-lebih setelah diterima
entah sebagai perjanjian atau sebagai kontradiksi antara sistim filsafat. Dan
hanya melihat alasan pada sesuatu yang ada dalam pernyataan-pernyataan sistim
tersebut. Hal tersebut tidak lah menggambarkan perbedaan sistim filsafat
sebagai evolusi progresif kebenaran; tapi harus lebih dilihat sebagai
kontradiksi.”[8]
“Tunas menghilang setelah bunga
berkembang, dan dapat kita katakan: yang awal ditolak keberadaanya oleh yang
berikut; sama dengan setelah buah muncul, bunga bisa dijelaskan sebagai sesuatu
bentuk yang salah (dari keberadaan tumbuhan) bagi kemunculan buah, dilihat
sebagai kebenaran alamiah menggantikan bunga. Tahapan tersebut bukan berarti
sekadar pembedaan; yang satu merupakan pengganti, tak tepat lagi, bagi yang
lain. Aktivitas tanpa henti hakikat inherennya membuat mereka, pada saat yang
sama, dan dalam seluruh momentumnya, memiliki kesatuan organik, yang bukan saja
sekadar nmengkontradiksikan yang satu dengan dengan yang lainnya, namun yang
satu merupakan keniscayaan bagi yang lainnya; dan keniscayaan (setara) seluruh
momen tersebut lah yang menentukan kehidupannya secara keseluruhan. Tapi
kontradiksi antar sistim filsafat tidak bisa diselesaikan dengan cara seperti
itu; di lain pihak, pikiran-jiwa yang menerima kontradiksi tersebut bukan
berarti, secara akal sehat, ia memiliki pengetahuan bahwa kebenaran merupakan
hasil perbaikan dan pembebasan dari kesalahan bersatu-sisi, dan mengakui bahwa
semua itu merupakan hasil dari kehadiran momen-momen selayaknya (niscaya) yang saling
melengkapi atau berbalasan—walaupun kelihatannya saling bertentangan dan,
secara inheren, antagonostik.”
Jika kita
menggunakan logika formal sebagai nilai, maka kita harus mengakui bahwa
semua hal, atau segala keadaan sesuatu, adalah mutlak independen dari segala
hal atau dari segala keadaan. Dunia diperkirakan sebagai segala sesuatu yang
eksis dalam kesendiriannya yang sempurna, terpisah dari segala hal.
Posisi
filsafat yang menggambarkan logika tersebut mencapai hasil akhir berupa:
filsafat idealis-subjektif, yang muncul dengan membawa asumsi bahwa tidak ada
yang benar-benar eksis, kecuali dirinya sendiri. Itu bisa diketahui dari
soligisme (dalam kata latin) solus ipse (aku sendiri).
Itu lah
cerminan posisi absur dalam melihat sesuatu. Apapun teori yang dikemukakannya,
ia hanya mengakui keberadaan dirinya. Lebih jauh lagi, jika kita mau sedikit
lebih mendalam, bagaimanapun terisolasi dan independennya sesuatu hal,
sebenarnya ia membutuhkan keberadaan yang lain.
Untuk berada
dan menjadi dirinya, jika kita tidak menghubungkannya dengan sesuatu yang
terkait dengan realitas, maka kita tidak akan pernah bisa mengerti secara tepat
dan pas.
Segala sesuatu
akan melaju dan mengubah dirinya menjadi sesuatu yang baru. Untuk mengerti hal
tersebut, kita harus menerobos batasan-batasan formal yang memisahkan satu
dengan yang lainnya. Sejauh ini, kita tahu bahwa tak ada benda yang diam.
“Preposisi fundamental dialektika Marxisme: semua batasan
dalam alam dan masyarakat adalah konvensional dan bergerak, artinya: tak ada
satu fenomena pun yang, ketika berada di bawah kondisi-kondisi tertentu, tidak
berubah menjadi bertentangan,” kata Lenin.[9]
Dalam skala
sejarah yang lebih luas, Trotsky berkata bahwa: ”kesadaran tumbuh dari ketidak
sadaran, psikologi dari luar psikologi, dunia organik dari non-organik, sistim
tata surya dari nebula.”[10]
Penghancuran
batas-batas, perjalan sesuatu menjadi yang lainnya, ketergantugan bersamanya,
tidak terlepas dari garis perkembangan sejarah itu sendiri; semuanya berjalan
bersama kita. Kita bertindak berbasiskan ide, dan ide tersebut kehilangan karakter
mental yang mendominasinya serta menjadi kekuatan aktif di dalam dunia lewat
diri kita. Marx menunjukkan bahwa sebuah sistim ide, seperti sosialisme,
menjadi sebuah kekuatan material ketika ia berada dalam pikiran massa kelas
pekerja, dan akan bergerak dalam aksi-aksi untuk merealisasikannya—perjuangan
menuju sosialisme.
Segalanya
memiliki garis batas demarkasi, yang membatasi segala sesuatu. Bila tidak, ia
tak akan menjadi sebuah tubuh yang memiliki identitas yang unik. Kita
harus menemukan batasan-batasan tersebut dalam praktek dan menyusunnya dalam
pikiran kita. Tapi batasan-batasan tersebut jangan menjadi kaku dan
menelikung segala kondisi; batasan-batasan tersebut tak akan sama dalam setiap
saat. Mereka berfluktuasai menurut proses perubahan. Batasan-batasan
relatif, gerak dan cair dikenal namun ditolak oleh logika formal. Hukum
tersebut menyimpulkan segalanya memiliki batasan-batasan tapi, yang lebih
penting lagi, bahwa batasan-batasan tersebut memiliki pembatas-pembatas bagi
dirinya.
3. Logika Formal Menolak
Pembedaan Setiap Identitas
Kita telah
melihat bahwa logika formal menggambarkan pembatasan tajam antara kesamaan,
atau identitas (identity), dengan perbedaan (difference).
Semuanya ditempatkan dalam pertentangan yang mutlak satu dengan yang
lainnya. Jika terdapat hubungan antara keduanya, dianggap kebetulan dan
eksternal serta tidak akan berdampak pada keberadaan internalnya.
Penganut
logika formal melihat semua itu sebagai sebuah kontradiksi logis, dan merupakan
sebuah horor yang mengerikan untuk mengatakan—seperti para penganut
dialektika—bahwa identitas bisa menjadi perbedaan, dan perbedaan bisa menjadi
identitas. Mereka yakin bahwa identitas adalah identitas dan perbedaan dalah
perbedaan, dan tidak dapat sama pada saat yang bersamaan. Coba kita
bandingkan kesimpulan-kesimpulan tersebut dengan fakta-fakta pengalaman
yang diuji dari kebenaran semua hukum dan ide.
Dalam Dialectic
of Nature, Engels mengatakan: “Tumbuhan, binatang, dan setiap sel, setiap
saat dalam hidupnya adalah sama dengan dirinya dan menjadi berbeda dari
dirinya, karena bergabung dan mengalir dalam substansi hidup, karena
respirasinya[11], karena
pembentukan sel dan karena kematian sel—lewat proses perputaran yang
bergantian, dengan singkatnya bisa disebutkan: karena ada perubahan molekul
yang membuatnya hidup. Dan karena kesimpulan dari setiap hasilnya merupakan
bukti bagi mata kita bahwa mereka memiliki setiap fase kehidupan: fase
embrio, remaja, kematangn seksual, proses reproduksi, usia lanjut dan kematian.
Semua itu adalah bagian dari evolusi semua spesies di bumi. Fisiologi lebih
lanjut menggamblangkannya: yang lebih penting adalah ia tidak berhenti, tidak
selesai dan, yang lebih penting lagi, adalah bahwa semuanya tetap berbeda
di dalam identitasnya. Namun pandangan abstrak-kuno indetitas formal
memahaminya bahwa suatu organik berada seperti sebuah identitas yang sederhana
dalam dirinya, konstan dan statis—menjadi ketinggalan jaman.
“Namun demikian, corak berpikir itu
berbasiskan seperti itu, bersama dengan kategorinya, terus menerus bertahan.
Tapi, bahkan dalam hakikat non-organik pun, identitas seperti itu tak
terdapat dalam realita. Setiap orang terus menerus menunjukkan dan menerima
pengaruh-pengaruh mekanik, fisika dan kimia, yang selalu merubah dan
memodifikasi identitasnya.”
Hambatan/benteng
absolut tak mungkin bisa didirikan oleh logika formal—misalnya dalam kasus
antara dua hal yang saling berpenetrasi dalam realitas yang berlanjut,
bergerak—karena telah dicuci oleh proses perkembangan sehingga kemudian
perbedaan telah menjadi kesamaan. Sebelum kami datang ke gedung ini, kami
adalah orang-orang New York yang berbeda-beda. Persamaan menjadi perbedaan:
setelah pelajaran ini selesai, kita akan berpisah ke tempat yang berbeda-beda.
Perubahan dari perbedaan menjadi persamaan dan persamaan menjadi perbedaan
mengambil peran dalam semua hubungan. Tunas yang mekar menjadi bunga, bunga
menjadi buah, sehingga setiap fasenya yang berbeda adalah menjadi bagian dari
pohon yang sama.Tidak seperti hukum logika formal, kesamaan material yang nyata
tidak menyingkirkan dari dirinya sendiri perbedaan-perbedaan yang ada tapi
mengisi ke/di dalam dirinya sebagai bagian yang esensial. Perbedaan nyata tidak
membuang kesamaan tapi memasukkannya sebagai elemen esensial di dalam dirinya.
Kedua bentuk tersebut dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan membuat
pembedaan dalam pemikiran, tapi itu tidak berarti—seperti dalam logika formal—bahwa,
dalam realita, mereka bisa dipisah-pisahkankan.
4. Hukum-hukum Logika
Formal: Absolut
Ketidaklengkapan
keempat hukum logika formal adalah bahwa mereka menyatakan dirinya sebagi
sesuatu yang absolut, mutlak, final, tak bersyarat, dan pengecualian adalah
tidak mungkin. Mereka mengatur dunia pemikirannya dengan cara yang totaliter,
memastikan kepatuhan yang tidak boleh dipertanyakan dalam segala hal, memanjat
otoritas tanpa batas demi kedaulatan mereka. A selalu sama dengan A, tak ada
satu pun yang bisa menggugatnya.
Sialnya, bagi
penganut logika formal, tak ada di dunia ini yang seperti mereka
kemukakan. Ternyata, segalanya hadir sebagaimana aslinya, dengan sejarah dan
syarat-syarat materialnya yang sudah tertentu, baik dalam hubungan satu dengan yang
lainnya maupun dalam keterpisahannya, dan setiap waktu proporsinya sudah
tertentu serta dapat diukur. Masyarakat manusia, contohnya. Manusia hadir di
muka bumi pada waktu tertentu dan secara material dibedakan evolusinya (lebih
tinggi) dari binatang. Namun Ia tak dapat dipisah-pisahkan sebagai sesuatu yang
organik atau non-organik; mereka berkembang dalam derajat-derajat tertentu dan
kehadirannya telah melangkah jauh, tumbuh, secara kwantitif penuh menuju
kwalitatif yang berbeda. Setiap tahap perkembangan sosialnya memiliki hukum
perkembangan sendiri dan memiliki karakter-karakter khususnya.
Hukum yang
mutlak tidak dapat lagi bertahan di dunia nyata. Dalam berbagai tahap alam,
perkembangan ilmu fisika, elemen kimia, molekul, atom, elektron diyakini oleh
pemikir-pemikir metafisika sebagai atau memiliki substansi yang tidak berubah.
Manusia tidak dapat mundur atau maju. Dengan kemajuan ilmu alam, setiap bagian
keabadian-mutlak telah ditumbangkan—setiap pembentukan materialnya telah teruji
memiliki syarat, terbatas dan relatif. Semua kepentingannya yang menjadi
mutlak, terbatas (secara absolut) dan tidak berubah telah terbukti: salah.
Ketika, pada
akhir abad ke-19, ilmuwan mulai mengadakan dan memperoleh berbagai macam
penemuan, ilmuwan sosial Amerika Serikat malah meyakini bahwa demokrasi borjuis
merupakan bentuk mahkota pemerintahan bagi peradaban manusia. Namun, pengalaman
sejarah sejak 1917 telah menjadi saksi bahwa demokrasi borjuis telah
ditumbangkan oleh bolsevikisme dan fascisme—telah terbukti bahwa alangkah
terbatasnya sejarah ini, dan alangkah banyak serta bersyaratnya bentuk-bentuk
kapitalisme.
Jika setiap
hal hadir di bawah syarat material sejarah tertentu, berkembang, beragam,
kemudian menghilang, bagaimana mungkin hukum absolut berlaku pada segala hal
dengan cara yang sama, pada derajat yang sama, di setiap waktu dan di bawah
semua syarat-syarat tertentu? Itu tentunya merupakan klaim yang dibuat oleh
logika formal. Tuntutannya pada realistas, dan dalam pencarian hukum-hukumnya,
logika formal menyebabkan ilmuwan jatuh pada kebutaan logika.
Pada
analisanya yang terakhir, hanya Sang Absolut lah yang memenuhi standar logika
formal. Sang Absolut lah yang seharusnya mulak, tidak terikat, sempurna,
independen dari segalanya...
5. Logika Formal Bisa
Membuat Perhitungan tentang Segala Hal—Tapi Bukan atas Dirinya
Akhirnya,
hukum logika formal, yang seharusnya memberikan penjelasan rasional bagi segala
hal, memiliki kesalahan yang serius. Logika formal tak bisa memperhitungkan
atas dirinya. Menurut teori Marxisme, segalanya menjadi ada karena hasil dari
sebab-sebab material, yang berkembang lewat fase-fase yang
silih-berganti, yang akhirnya mati.
Bagaimana
logika formal dan hukummya? Dimana, kapan dan mengapa segala hal bertumbuh,
bagaimana segala hal berkembang? Apakah segala hal abadi?
Jika kau
menantang penganut logika formal, bertanya bagaimana cara menerapkan
hukum-hukum logika ke dalam sejarah dan bagaimana menerima aturan-aturan
universal tersebut maka, tak ada yang berbeda, mereka akan menjawab
seperti halnya kaum monarki menjawabnya: kami melakukannya atas nama ... (Sang
Absolut)
Kita
lihat berapa banyak kebenaran dalam dialektika dan agama seperti yang
dibuat profesor James Burnham dan Sidney Hook. Dalam kenyataanya, logika formal
berjalan bergandengan dengan ke-Absolut-an dan dogmatisme. Sebagai hukum-hukum
keabadian.
Logika formal
berdiri bersamaan dengan prinsip-prinsip keabadian moralitas, seperti yang
digambarkan Trotsky: “Surga selalu hanya dijadikan senjata—yang digunakan dalam
operasi militer—untuk melawan dialektika materialis.”[12]
Pada
kenyataannya, logika formal muncul dalam suatu masyarakat pada tahapan
tertentu, dalam sebuah titik perkembangannya. Dan, kemudian, manusia dapat
menundukkan alam; kemudian ia berkembang sepanjang pertumbuhan umat
manusia, sepanjang pertumbuhan tenaga-tenaga produktifnya, hingga bisa bekerja
sama dengan pemikiran dialektik, yang ditanamkan lewat perkembangan lebih
lanjutnya. Tempat bagi logika dialektik ada dimana saja, tapi dibutuhkan suatu
revolusi dalam pemikiran manusia untuk menempatkannya secara tepat.
Salah satu
kelebihan dialektika dari logika formal bisa dilihat dalam kenyataan; tidak
seperti logika formal, dialektika tidak hanya dapat menghitung keberadaan
logika formal namun juga dapat menunjukkan mengapa harus menggantikan logika
formal tersebut. Dialektika dapat menjelaskan tentang dirinya, pada dirinya,
dan pada yang lain. Oleh karenanya, dielektika lebih logis ketimbang logika
formal.
***
Mari kita
melihat bagaimana kemajuan kritik kita terhadap logika formal. Kita mulai
dengan mencari kepastian tentang kebenaran logika formal. Kemudian kita
mencapai sebuah batas yang, bila kita teruskan (pencarian tersebut), hanya akan
berisi kesalahan-kesalahan semata. Kemudian kita dorong maju melewati batasan
tersebut. Maka kita, akhirnya, akan menolak “kebenaran” logika formal yang tak
bersyarat, absolut, bertentangan dengan apa yang hendak kita pastikan.
Hukum
formalisme terlihat memiliki dua sisi, kebenaran dan kesalahan.Kemudian, ketika
segala hal menjadi lebih kompleks dan kontradiktif, hukum-hukum bisa berkembang
dan berubah sesuai dengan akal sehat saat menganalisa tendensi yang berlawanan
(secara terus menerus)—memang demikian lah hukum yang ada dalam diri segala
hal. Ketika kita meganalisa dua kutub yang bertentangan dari segi karakter
kontradiksinya, melepas saling-hubungan di antaranya, maka kita dapatkan
bagaimana dan mengapa masing-masing kutub tersebut menjadi berubah sesuai
dengan hukum-hukum dirinya masing-masing.
Itulah metode
dialektik yang digunakan dalam berfikir. Hasilnya, kita akan tiba di depan
gerbang dialektika dengan menggunakan jalur dialektik yang sejati. Itu
lah sebabnya juga mengapa kemanusiaan akan sampai pada dialektika, memegangnya
sebagai sebuah sistim perumusan pemikiran. Manusia menemukan batasan-batasan
dalam logika, namun bisa menundukkannya dengan membuat sebuah bentuk logika
yang lebih tinggi lagi secara teoritis. Dialektika membuktikan kebenarannya
dengan mengaplikasikan metode berpikirnya demi menjelaskan dirinya dan asal
usulnya.
Dialektika
hadir sebagai hasil dari sebuah revolusi sosial yang kolosal,
menembus batas semua bagian kehidupan. Dalam politik, representasi
massa yang bangkit secara tidak sadar kemudian dibimbing oleh pemahaman
dialektik. Mengetuk pintu kaum monarki dan menghancurkannya: “Waktu telah
berubah, kami menuntut kesederajatan!” Dengan semangat formalisme, dengan
semangat logika formal, kaum pembela absolutisme menjawab: “Kau salah, kau
subversif, tidak ada yang berubah dan tidak ada yang dapat berubah. Raja tetap
lah raja, dimana saja dan kapan saja. A sama dengan A, kedaulatan tidak dapat
mensejajarkan manusia yang bukan A, yang Non-A.” Alasan formal semacam itu
tidak dapat membendung kemajuan, kemenangan revolusi demokratik borjuis lah
yang, kemudian, menghancurkan monarki. Dialektika revolusioner, bukan logika
formal, yang berlaku dalam politik praktis.
Dalam ruang
ilmu-pengetahuan, logika formal terjerumus dalam kriris revolusioner yang
sama sebagaimana yang dialami politik absolutisme. Kekuatan baru
ilmu-pengetahuan bangkit dalam perkembangan alam dan ilmu sosial—yang memukul
logika formal yang sudah berkuasa ribuan tahun—guna menuntut hak mereka.
Bagaimana revolusi logika dimulai dan dan ke mana arahnya, akan dijadikan topik
berikutnya.
0 komentar:
Posting Komentar