Pardon
him, Theodotus: he is a barbarian,
and
thinks that the customs of his tribe and
island
are the laws of nature.
(G.B.
Shaw, Caesar and Cleopatra)
Uraian
ini mencakup tiga soal. Pertama, kepentingan kita dengan gagasan citizenship.
Kedua, konstruksi konseptual gagasan itu sebagai acuan pengaturan politik.
Ketiga, situasi citizenship di
Indonesia. Temanya adalah memajukan citizenship
sebagai kurikulum politik publik.
Apakah
politik lebih baik didasarkan pada ide ’individual rights’ atau pada ide ’citizenship’?
Pertanyaan teoretis semacam ini berimplikasi pada kelanjutan debat antara paham
liberalisme dan paham republikanisme. Liberalisme, dalam pembelaan klasiknya,
memilih ”rights”
sebagai dasar legitimasi politik, sedangkan republikanisme menjadikan ”civic
virtue” sebagai imperatif etis kehidupan
politik. Tetapi soal semacam itu, dalam situasi ”post-ism” sekarang ini,
nampaknya makin kurang relevan, karena hibridisasi
kebijakan sosial sering telah melampaui kategorisasi-kategorisai
filsafat politik lama1. Keperluan kita di sini dengan ide ”citizenship” itu,
adalah lebih pada upaya untuk mencari tema yang dapat diajukan sebagai ”bahasa
politik” bersama untuk mengatur ”cara hidup bersama” dalam sebuah masyarakat
majemuk. Inilah sebetulnya dasar dari pergaulan demokrasi2, yaitu bahwa hal
maksimal yang dapat kita sepakati adalah mengenai cara
menyelenggarakan hidup bersama, dan bukan tentang upaya
menyamakan tujuan hidup
warganegara. Soal ini menjadi amat relevan untuk diajukan dalam percakapan
politik publik, terutama dalam kondisi transisional kita sekarang ini, dimana
berbagai acuan politik identitas berupaya
1 Dalam kenyataan politik sekarang ini,
pandangan liberal sebagaimana dipraktekkan oleh partai-partai utama di Amerika
Utara dan Eropa, telah memasukkan juga prinsip ”civic virtue” kedalam program politiknya,
sehingga karakter ”atomisme” pada liberalisme tinggal menjadi kenangan
teoretis. Penyerapan liberalisme terhadap ide republikanisme itu, secara
bergurau disebut oleh Anthony Appiah sebagai sebuah imperialisme istilah (lexical
imperialism). Lihat Appiah, The Ethics of Identity (Princeton, 2005,
hal. xi)
2 Bandingkan dengan pengertian Sheldon
Wolin: “democracy is a project concerned with the political potentialities
of ordinary citizens, that is, with their possibilities for becoming political
beings through the self-discovery of common concerns and of modes of action for
realizing them. Lihat, Sheldon S. Wolin, “Fugitive Democracy”, dalam
Seyla Benhabib (ed), Democracy and Difference (Princeton, 1996: hal. 31)
2
keras
memanfaatkan keterbukaan demokrasi untuk meloloskan satu prinsip tunggal pengatur
ruang publik3. Demokrasi memang menjadi ruang untuk menampung conflicting
claims dalam masyarakat. Tetapi yang lebih
penting lagi adalah jaminan bahwa ruang itu tidak boleh disakralkan sehingga
terkunci selamanya oleh finalisme. Ruang politik adalah arena pertukaran
falibilisme, dan karena itu politik argumen dan persuasi harus terus diedarkan
dalam diskursus publik. Bahkan hasil pemilu sekalipun, harus dapat diuji ulang
dalam percakapan publik yang mendalam dan komprehensif. Mempertahankan sifat in
the making dari demokrasi berarti mengupayakan
secara terus-menerus suatu politik toleransi, yaitu politik yang terus membuka
komunikasi diantara posisi-posisi yang tidak final. Citizenship adalah
fasilitas untuk acara politik semacam itu. Mengajukan prinsip citizenship
sebagai ide kebudayaan, memungkinkan kita untuk mengolah isu-isu kepublikan
yang sekarang ini cenderung dikuasai oleh diskursus ideologi dan agama. Jadi,
citizenship (bukan dalam arti yang secara formal sudah diatur dalam hukum
tatanegara, yaitu mengenai hak dan kewajiban warganegara)4, perlu diajukan
sebagai ide regulatif, yaitu prinsip yang merupakan konsekwensi dari
keterlibatan kita dalam hidup bernegara. Dengan kata lain, dimensi kesosialan
manusialah yang memerlukan paradigma politik itu, yaitu sebagai ide pengikat
(sekaligus pengingat) akan tanggung jawab pemeliharaan kesosialan itu.
II
Citizenship
adalah tema klasik dalam filsafat politik. Dia berasal dari upaya para ‘republikan’
Yunani untuk memajukan ide partisipasi politik warga,
berhadaphadapan dengan kekuasaan tirani. Sepanjang Abad Pertengahan,
citizenship diajukan dalam debat mengenai status individu dalam sistem
kekuasaan gereja. Tetapi baru pada Revolusi Perancis ide citizenship memperoleh
makna sosiologis yang paling kuat: yaitu bahwa partisipasi politik menghendaki
kesetaraan status setiap orang, kebebasan sipil dan solidaritas sosial. Makna
ini menjadi amat historis,
karena ia dibuktikan secara material: negara adalah milik warganegara. Dan
tanda materialnya amat jelas: pustusnya leher raja Louis XVI. Dari segi ini,
citizenship adalah senafas dengan realisasi demokrasi di era moderen. Dari
sudut pandang ini, citizenship jelas adalah konstruksi politik yang terbentuk bersamaan
dengan perkembangan masyarakat sipil Eropa, yang secara khas
3Saya melonggarkan pengertian “ruang
publik” itu pada nuansa Habermasian. Konsep ruang public memang telah
dipergunakan secara variatif oleh beberapa teoretisi. Rawls misalnya memahami
ruang publik dalam lingkup institusi negara (bukan dalam lingkup civil
society). Karena itu, ia menekankan segi legal dari ruang publik, yaitu wilayah
politik dalam lingkup jaminan konstitusi. Itu berarti, status perdebatan isu
publik pada akhirnya memerlukan referensi konstitusional, dan karena itu
perbedaan kepentingan dalam ruang publik hanya boleh diputuskan oleh
pengadilan. Pada Habermas, ruang public dipahami secara lebih kultural, yaitu
sebagai aktivitas refleksif masyarakat sipil, guna membentengi diri dari
ekspansi rasionalitas negara. Agaknya, perbedaan apresiasi terhadap realitas
historis negara antaraRawls (liberalisme Amerika) dan Habermas (fasisme
Jerman), telah mempengaruhi cara pandang masingmasing dalam menentukan lokasi
politik citizenship.
4 Hukum tatanegara memiliki definisi
final tentang konsep itu (yaitu bahwa setiap warganegara berhak atas.., dan
wajib untuk..). Ilmu politik menelitinya dalam konteks pertukaran dan perselisihan
hak (bagaimana konflik dan konsensus diolah dalam institusi-institusi negara).
3
merupakan
penanda transisional ke dalam tipe masyarakat kapitalis. Rasionalisasi politik
dan transaksi-transaksi hukum menandai aktivitas publik, dan didalamnya partisipasi
politik menjadi keperluan warga kota. Jadi, sejak awal, konsep itu memang sudah
bersifat elitis: hanya mereka yang terlibat dalam transaksi public (pasar
bebas, terutama) yang memerlukan ide citizenship. Tetapi bila kita tinjau secara
lebih proporsional, kekuatan di belakang ide itu adalah kesetaraan dan keadilan,
yaitu kehendak untuk menghentikan suatu era politik panjang yang dikuasai oleh
teokrasi dan feodalisme. Tentu saja Revolusi Perancis merupakan monumen modern
yang didirikan demi ide itu. Dilihat dari segi sejarah, ide citizenship memang
tumbuh dalam pergolakan
politik5. Jadi, berbeda dengan
konsep-konsep politik yang sudah baku, konsep citizenship justeru selalu berada
dalam proses pembentukan. Ia menjadi semacam ide yang dituntut
untuk selalu relevan di dalam rangka menjamin
berlangsungnya kehidupan politik yang adil. Karena itu, teorisasi mengenainya
juga tidak pernah utuh. Tetapi ini justeru menguntungkan, karena dengan begitu
isi dari konsep itu sekaligus mendokumentasikan sejarah pergolakan politik yang
melatarinya. Sebaliknya, rekaman sejarah politik itu kemudian melegitimasi
perjuangan politik baru di dalam upaya mempertahankan kondisi sosial minimal
bagi berlanjutnya prinsip citizenship6. Tetapi tentu, disamping isi
historisnya, citizenship juga mempertahankan beberapa gagasan kuat, sebagai organizing
concept yang terus ada dalam upaya
pendefinisian. Satu gagasan yang kuat melekat dalam ide citizenship adalah
paham mengenai “hak”. Karya T.H. Marshall, Class,
Citizenship and Social Development merupakan
pelopor dalam teori modern tentang citizenship7. Marshall memahami citizenship dalam
konteks hak warganegara atas tiga hak dasar: kesamaan di depan hukum
5 Upaya untuk merumuskan ulang
dasar-dasar kehidupan masyarakat sudah berlangsung di Eropah pada abad 17,
sebagai akibat dari sekularisasi pandangan hidup, penemuan bentuk-bentuk
masyarakat di luar sistem Eropa, pertumbuhan ekonomi pasar, dan
penemuan-penemuan teknologi. Semua itu membawa keyakinan baru bahwa kehidupan
sosial memiliki hukum-hukumnya sendiri, dan karena itu pengaturan sosial dan
politik tidak boleh lagi diasalkan pada kekuatan-kekuatan transendental (Raja,
Tuhan), melainkan harus disusun berdasarkan gejala-gejala sosial itu sendiri.
Dalam transaksi itu individu dipandang sebagai aktor yang rational self
interest.Upaya itu melahirkan perlawanan terhadap monarki dan feodalisme. John
Locke memelopori ide sekularisasi kekuasaan itu dengan suatu hipotesis bahwa
untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, manusia harus bersepakat keluar
dari keadaan alamiah yang serba buruk, dan masuk dalam kehidupan masyarakat
sipil berdasarkan kesepakatan bersama. Di sini, asas otonomi individu amat
ditekanan. Beberapa komentator (John Dunn, dalamTurner, Citizenship and Social Theory,
London: Sage, 1993: 141-143) menganggap bahwa pandangan Locke itu bersumber
pada teologi Calvinis yang memang memandang individu sebagai bertanggung jawab
langsung secara individual pada Tuhan, dan karena itu tidak perlu terikat pada
Raja dan Gereja.
6 Kendati kini ada semacam penyesalan
pada kalangan kiri bahwa ide citizenship dalam perjuangan “civil society” di
Eropah Timur pada pergolakan kebebasan tahun 1980-an itu, telah membuka jalan
bagi ekonomi pasar bebas. Lihat, Adam B. Seligman, “The Fragile Ethical Vision
of Civil Society”, dalam Turner (1993: 139). Penyesalan ini tentu harus
dimengerti dalam arti hilangnya dimensi keadilan dan solidaritas sosial dari
ide citizenship, karena individu lebih diposisikan sebagai warga dari
masyarakat pasar bebas ketimbang warga sebuah republik. Di situ, yang publik
dan yang sosial kehilangan maknanya karena semua kegiatan sosial adalah
berdasarkan pengejaran kepentingan privat. Di Indonesia, nada yang sama juga
mulai terdengar, yaitu bahwa reformasi justeru telah membuka jalan bagi
tuntutan-tuntutan politik identitas yang absolut, dengan alasan “citizenship”. 7
Peter Saunders, “Citizenship in a Liberal Society”, dalam Turner (1993: 61)
4
(Rule
of Law), kesamaan dalam hak memilih (voting
rights), dan kesamaan hak dalam memperoleh
jaminan kebutuhan dasar (pendidikan, kesehatan, perumahan dan pendapatan
minimal, suatu tugas negara kesejahteraan (welfare
state). Gagasan atas hak sosial dan politik
ini menjadi keterangan terhadap fungsi citizenship dalam mempertahankan ide
“keadilan sosial”. Artinya, bila pemerintah mengambil kebijakan yang
otoritarian atau menerapkan sistem ekonomi yang kapitalis-monetaristik, maka
ide citizenship segera berakhir.8 Versi sosialis dari konsep citizenship itu
memang memberi ide yang kuat bagi prinsip kesetaraan, dalam upaya mengatasi
pengaturan sosial yang berbasis kelas, dan yang berbasis identitas-identitas
primordial. Agaknya, versi ini berupaya untuk mencapai suatu kesamaan identitas
warganegara berdasarkan kesamaan kedudukan politik mereka sebagai mahluk
sosial, dan bukan sebagai individu yang rational
self maximiser. Seorang kritisi kebijakan “kanan”
pemerintahan Thatcher,
merumuskannya seperti ini:9 The
idea of citizenship can provide a framework for going beyond both
the limits of class and the fragmentation of
interests. Citizenship offers the
basis for a new approach to some idea of common identity and an
alternative to the present government’s appeal to
individualism and consumer
choice as the basis for such an identity.
Tanggapan terhadap versi sosialis
ini, dalam pembelaan liberal, misalnya diberikan oleh Peter Saunders. Ia
berargumen sebaliknya, yaitu bahwa gagasan citizenship justeru diperkuat oleh
kebijakan yang pro-pasar, dimana pilihan-pilihan tersedia bebas bagi individu,
dan kerjasama citizenship dapat tetap berlangsung, justeru karena individu
mencapai self-esteem nya
secara otentik, yaitu bukan melalui kedermawanan negara, melainkan melalui
otonomi dalam memilih dan mengendalikan hidupnya sendiri. Bantahan Sanders
diajukan untuk menangkis kritik yang menganggap sistem pasar sebagai penyebab
ketidak-adilan kesempatan hidup, dan bahwa sistem itulah penyebab melemahnya
moralitas citizenship. Ia memperlihatkan bahwa suatu proses yang positif dalam
membangun kerjasama sosial, justeru terjadi ketika hak-hak individual itu sudah
terpenuhi oleh usaha sendiri. Dengan kata lain, sosiobilitas citizenship
justeru terbentuk secara kuat, yaitu ketika individu telah memiliki kepercayan
diri dan kendali atas hidupnya sendiri. The
privatized society which is slowly emerging out of the ruins of the
collectivist welfare system holds out the prospect
not of social and moral disintegration,
but of new and active forms of citizenship based on individual
competence and the development of genuinely
collective forms of association
and sociability springing up from below.10
8 Dalam kritik terhadap kebijakan
Thatcherism misalnya, Desmond King berargumen berdasarkan definisi Marshall
itu: “Citizenship rights reduce inequalities in the political, social and
economic spheres of society, and move towards a genuinely egalitarian social
order. New Right politicians seek to reverse this historical trend toward the
widening scope of citizen rights. Dikutip dalam Turner (1993: 61) 9 Plant,
“Citizenship and Rights”, dikutip oleh Saunders dalam Turner (1993: 62). 10 Ia
bahkan memastikan: “Social life develops when the sense of self is secured and
a sense of personal belonging is achieved”. Lihat, Sauders, dalam Turner (1993:
85-90).
5
Dalam
hal kebijakan publik, posisi liberal beranggapan bahwa tanggung jawab
citizenship dalam memajukan civic virtue adalah
dengan membiarkan si penerima bantuan memilih menggunakan bantuan finansial
negara menurut keinginannya sendiri11. Dengan cara ini, kaum liberal telah ikut
mendukung prinsip citizenship republikan (yaitu solidaritas sosial), tanpa
meninggalkan prinsip etis liberalnya (yaitu menghormati otonomi individu). Pendasaran
filosofis yang lebih jauh dari pertengkaran “republikan-liberal” itu, sebetulnya
dapat disintesakan kembali pada pokok-pokok pikiran Adam Smith yang amat “etis”
dan “sosial”, yaitu menyangkut hakekat sosial dan etis dari kegiatan ekonomi.
Pada Smith, ide tentang ekonomi sangat bertumpu pada eksistensi etis individu,
yaitu bahwa interaksi ekonomi individual adalah dalam upaya menyelengarakan
simpati dan apresiasi. Konsep dasar dari The
Theory of Moral Sentiments
adalah bahwa dasar moral eksistensi individu tidak lain
adalah kebutuhan untuk diakui dan diterima dalam pergaulan sosial. Pada tema ”moral
sentiment”
itulah Smith meletakkan teori ekonominya: ”To
be observed, to be attended
to, to be taken notice of with sympathy, complacency and approbation” are
for Smith the driving force of ‘all the toil and
bustle of the world… the end of avarice
and ambition, of the pursuit of wealth’.
A.O. Hirschman12 yang mengomentari antropologi Smith itu menyimpulkan bahwa
dasar dari interaksi ekonomi adalah kebutuhan yang non-ekonomi: kepuasan nilai
dalam memperoleh penghargaan dari sesama warga. Seligman menerangkan soal ini
dengan jernih13: The public arena of exchange
and interaction –the realm of civil society- is not simply a ‘neutral’ space of
market exchange where already-fully-constitutedindividuals
meet to exchange property and develop commerce,
manufacture
or the arts. It is itself an
ethical arena in which the individual is constituted in his individuality
through the very act of exchange with others.
Transaksi ekonomi dalam tema Smith
itu menguatkan ide bahwa evaluasi etis dalam relasi ekonomi antar individu itu
berasal dari sifat dasar suatu interaksi sosial, yaitu altruisme14. Keterangan
ini mengembalikan hakekat homo economicus yang rational-maximiser
itu pada tanggung jawab kesosialannya, satu tema yang kemudian
menjadi dasar penyelenggaraan citizenship. Uraian di atas dimaksudkan untuk
mendudukkan konsep teoretis citizenship itu pada latar sejarah politik dan
intelektualnya. Secara konseptual, citizenship mengandaikan beberapa kondisi:
budaya kota, sekularisasi, hilangnya pamor nilainilai partikular, munculnya
konsep ruang publik, dan bekerjanya sistem administrasi negara bangsa15. Dari
segi ini jelas bahwa asal-usul citizenship adalah kebudayaan
11 Sauders bahkan mengutip proposisi
seorang teoretisi sosialis, Alec Nove: “There is no better way of
enabling citizens to register their preferences than to
allow them freely to spend their “money” (tokens) or
their money”. Lihat, Sauders, dalam Turner (1993: 68)
12 Diterangkan oleh Seligman, “The Fragile Ethical Vision of
Civil Society”, dalam Turner (1993: 144)
13 Ibid. hl. 145
14 Sosiologi Durkheim membedakan soal ini sebagai “duality
of human existence”, yaitu antara tindakan
yang dimotivasi oleh kepentingan diri, dan tindakan yang
didasari oleh motif altruistik-idealistik. Ibid.
15 Turner (1993: vii)
6
Barat
yang sudah mengalami modernisasi. Dalam tema ini, konsep citizenship, demokrasi
liberal dan masyarakat sipil (civil society) dapat dipakai secara bergantian untuk
menerangkan kondisi individu dalam
masyarakat politik moderen. Tetapi yang khas pada tema citizenship adalah
fungsinya didalam pengaturan
keadilan,
yaitu tuntutannya pada negara untuk memperhatikan distribusi
kemakmuran dan
representasi politik identitas.
Justeru pada isu inilah konsep citizenship memperoleh relevansi kontemporernya,
yaitu ketika kondisi kebebasan individu menjadi problematika dalam konstruksi
globalisasi. Artinya, penyelenggaraan citizenship semakin melebur ke dalam
wacana barunya: global
citizenship.
Pada tingkat itu, etika kosmopolitanisme menuntut perhatian global pada isu-isu
semacam lingkungan hidup, enersi, pengungsi dan keamanan internasional. Yang
penting dari perluasan isu ini adalah dibebankannya kembali kewajiban
sosial pada individu untuk mengembangkan dan memelihara
solidaritas sosial global. Jadi ada tuntutan agar individu aktif dalam memelihara
keadilan dan stabilitas politik. Inilah dimensi
normatif dari citizenship, yang membedakannya dari konsep
civil society yang lebih memelihara kebebasan bagi dirinya sendiri, atau mempertahankannya
dari caplokan negara. Pada tahap sekarang, tuntutan kemakmuran misalnya sudah
sangat terkait dengan isu global justice, karena Negara bangsa tidak dapat
otonom lagi dalam menentukan keputusan-keputusan ekonomi. Sistem finansial
dunia yang amat dinamis telah merubah ukuran-ukuran lama tentang negara bangsa.
Teori citizenship
juga harus melayani situasi kontemporer kebudayaan posmoderen
yang didalamnya konsep self menjadi
blur. Artinya, suatu
filsafat politik posmoderen harus mengolah wilayah “relativisme kebudayaan”
sebagai pokok problematika baru praktek citizenship, berkaitan dengan
berlangsungnya suatu tendensi anti-fondasionalisme dalam teori pengetahuan dan
gaya hidup posmoderen. Self dalam
kondisi posmoderen mengalami pengembaraan hermeneutis, dan ini berakibat pada
hilangnya acuan Aristotelian dalam membicarakan konsep citizenship. Pertanyaan
pertama adalah: apakah artinya menjadi “warganegara” di dalam dunia dimana
“civility” tidak lagi terikat dalam suatu situs politik konvensional bernama
“negara”. Lebih dari itu, bahkan sifat realitas yang simulatif telah merubah
arena komunikasi sosial menjadi semata-mata sebuah society
of signs, dengan akibat konsep citizenship
kehilangan orientasi politik konvensionalnya. Konsep kebenaran di dalam wacana
posmoderen tidak lagi bertumpu pada finalitas eksplanasi yang dapat diajukan
ilmu demi memperoleh pegangan obyektif, melainkan pada kontinuitas interogasi
untuk membongkar, menyusun ulang, mengganggu semua jawaban yang tersedia dan
yang sedang disiapkan oleh ilmu, negara dan tradisi. Ini berarti bahwa wilayah
kerja citizenship yang semula dimaksudkan untuk memproduksi common
good yang eksklusif, kini harus mempertimbangkan
semua sudut pandang ideologi, lifestyle, kitcsh, dan bahkan wajib
merelevansikan semua hermeneutika individual. Bila etika politik kita ikutkan dalam
perbincangan ini, maka standpoint feminis, environmentalis dan multikulturalis,
niscaya tampil sebagai pokok diskusi yang kompleks.
III
7
Dalam
sebuah democratic citizenship,
ruang publik menjadi satu-satunya wilayah diskursus politik. Ruang itu menjadi
arena untuk menguji dua hal. Pertama, proposal-proposal partikular yang
diajukan oleh berbagai komunitas moral; kedua, produk-produk politik negara.
Sekedar perbandingan, argumen Jean Leca (1992:21)16 agaknya mengspesifikkan
konsep citizenship sebagai wilayah “diantara” yang “publik” dan yang “privat”:
citizenship only exists if
there is a social space between the public and private spheres. If society is
conceived as the confrontation between particular interests, or as the product
of the political activity of the state, the possibility of citizenship is
excluded.
Jalan pikiran Leca jelas menempatkan
yang “publik” sebagai wilayah negara, berhadap-hadapan dengan yang “privat”
sebagai tempat kepentingan-kepentingan partikular bermukim. Wilayah “antara”
itu juga pernah diteorisasikan oleh Cohen dan Arato (1992), sebagai wilayah
kerja demokrasi, yaitu dalam upaya warganegara memelihara lembaga-lembaga resmi
dan prosedur-prosedur demokrasi (jadi, menyangkut apa yang ada dalam wilayah
negara: pemilu, hukum publik) dan memelihara kondisi masyarakat sipil (yaitu
komunikasi dan dialog) Bagaimanakah kondisi citizenship kita sekarang ini?
Apakah diskursus reformasi telah cukup menyediakan kurikulum sosial bagi
upaya-upaya penyelenggaraan public reason? Soal
yang segera menghadapkan kita pada masalah citizenship di Indonesia adalah
terutama menyangkut tiga hal. Pertama, faktor komunalisme
yang berbasis etnis. Kedua, tuntutan politik
identitas yang berbasis
agama. Ketiga, aspirasi
keadilan yang berbasis ekonomi. Pada tiga isu
itu, situasi citizenship kita memang terasa lumpuh. Berbagai survey sosial yang
hendak mengukur situasi itu, memperlihatkan bahwa loyalitas terhadap
ikatan-ikatan primordial melampaui loyalitas pada “nation”.
Mungkin saja penelitian-penelitian yang lebih komprehensif masih perlu
dilakukan untuk mengetahui misalnya apakah faktor ekonomi memainkan peran besar
dalam artikulasi kekecewaan di banyak daerah. Tapi rangkaian peristiwa yang
bernuansa separatisme memang menetap dalam sejarah politik kita. Memori kolektif
inilah yang secara efektif mendorong obsesi politik yang lebih besar dengan
memanfaatkan era demokrasi sebagai kesempatan emas untuk mendirikan sebuah
“republik etnis”. Komunalisme etnis adalah gejala antropologi normal dalam
suatu masyarakat majemuk. Tetapi problem kita dengan komunalisme etnis adalah
bahwa ekspresi otonomi yang muncul di era reformasi bergerak lebih jauh dari
sekedar tuntutan keadilan distributif, menuju pada keinginan untuk merdeka
secara politik. Dari segi norma self-determination,
keinginan itu baru menjadi absah bila semua pertimbangan
keadilan ekonomi dan hak asasi manusia memang sungguh-sungguh memperlihatkan
bahwa telah terjadi politik diskriminasi negara terhadap suatu komunitas etnis17.
16 Diulas dalam Nick Stevenson, Cultural
Citizenship, versi e-books, hal 34. 17 Gejala etno-nasionalisme, dalam
pandangan liberal adalah bertentangan dengan proyek universalnasionalisme
karena sekedar mendasarkan kepentingan pada satu isu tunggal kebudayaan, yaitu kekhususan
etnis. Habermas menafsirkan nasionalisme dalam arti “constitutional
patriotism”, yaitu bahwa loyalitas dan kewajiban harus diujikan pada prinsip-prinsip
universal kehidupan publik, bukan pada
8
Yang
unik dalam sejarah komunalisme etnis ini adalah bahwa alas an pemisahan diri
itu juga ditopang oleh fakta historis bahwa di beberapa daerah, kita memang
pernah memiliki sistem pemerintahan sendiri (kerajaan, kesultanan, dsb.) yang
seakan-akan membuktikan kapasitas historis dari sebuah komunalisme etnis untuk
mengatur “republik” nya sendiri. Bahkan pembenaran mitologis kadangkala harus
diajukan untuk menopang proposal separatisme itu. Perspektif NKRI tentu saja
menolak jalan pikiran itu. Tapi masalahnya adalah bahwa pendekatan Negara selalu
ada dalam definisi politik. Yaitu bahwa keputusan politik, pada tingkat
terakhir harus diamankan dengan senjata. Norma hak asasi internasional memiliki
jalan pikiran lain, yaitu bahwa aspirasi politik harus diterima sebagai
ekspresi hak asasi manusia, sejauh ia tidak dipaksakan dengan kekerasan. Dari
sudut pandang citizenship, perlindungan terhadap aspirasi politik komunalisme
etnis adalah berdasarkan pertimbangan bahwa hak-hak social politiknya dapat
terhalang karena kondisi etnisitas kelompok itu. Karena itu, Negara harus
melindungi kedudukan politik kelompok
itu, tapi bukan melindungi isi dan
praktek etnisitasnya. Dengan cara itu
citizenship menjadi payung politik inklusif bagi setiap orang semata-mata
karena kedudukan politiknya, dan bukan karena eksklusivitas komunalnya. Etika
citizenship bahkan harus memastikan bahwa hukum publik adalah sumber rasa aman
primer warganegara, bukan hokum komunitas. Dalam hal aspirasi politik identitas
berbasis agama, problemnya adalah bahwa tuntutan identitas itu tidak mungkin
diajukan dalam ruang publik, karena proposal semacam itu tidak mungkin diuji
(apalagi dinyatakan salah) dalam kontestasi public
reason. Ide citizenship hanya berfungsi
untuk mendistribusikan aspirasi yang bersifat sosial, yaitu yang didalamnya
komplain terhadap keadilan dapat diperiksa berdasarkan hukum publik, dan bukan
pada acuan-acuan kitab suci. Di sini berlaku prinsip citizenship, yaitu bahwa
jarak sosial diantara warganegara hanya boleh diukur dari titik pusat
konstitusi, dan bukan melalui ukuran-ukuran transendental. Isu citizenship adalah
isu sosial. Jadi, politik identitas yang berbasis agama, baru dapat diolah
sebagai isu citizenship, bila dapat ditunjukkan bahwa kondisi itu telah
menyebabkan ketidakadilan politik pada penganutnya. Dengan kata lain, politik
identitas berbasis agama adalah tema golongan minoritas, yang memang memerlukan
perlindungan negara atas hak beragama,
dan bukan terhadap isi
ajarannya. Eksklusivisme dalam
politik identitas bebasis agama, pasti bertentangan dengan ide citizenship.
Eksklusivisme adalah politik yang berupaya mengisolasi individu di dalam
komunitasnya dengan argumen bahwa identitas individu hanya ia peroleh dari
komunitasnya. Citizenship justeru menganjurkan pengayaan identitas agar
pengalaman sosial yang beragam dapat dijadikan dasar untuk menyelenggarakan
toleransi demokrasi yang otentik. Sosiobilitas hanya tumbuh dari pengalaman
dalam negosiasi sosial yang terus menerus.
kekhususan-kekhususan suatu kebudayaan.
Demikian juga Rawls, beranggapan bahwa sangat tidak liberal
bila suatu masyarakat harus diorganisir menurut suatu
pandangan moral dan filsafat yang eksklusif
(komprehensif). Perjuangan liberalisme politik, menurutnya
adalah untuk menyelenggarakan overlapping
consensus demi menjaga kondisi
plural masyarakat politik. Karena itu kehidupan publik hanya dapat
diselenggarakan oleh warganegara yang ia sebut “reasonable
and rational agents” Ibid, hal 60
9
Pada
akhirnya kita perlu segera menyadari bahwa dalam politik, perimbangan kekuatan
adalah dasar terakhir pengaturan sosial. Artinya, imperatif-imperatif normatif
(konstitusi, teori, dan aspirasi demokrasi) seringkali tidak dapat melampaui gumpalan-gumpalan
keyakinan yang terus mengambang dalam antropologi politik masyarakat. Memang
ada kewajiban moral bagi warganegara untuk memelihara netralitas ruang publik
demi penyelenggaraan suatu politik plural. Tetapi kewajiban itu mempersyaratkan
bekerjanya akal sehat publik –the public
use of reason- yang menjamin diskursus politik
tidak beralih menjadi jebakan-jebakan doktriner18. Masalahnya adalah bahwa pengaturan
politik (undang-undang kepartaian misalnya) hanya dapat secara formal
menghalangi ekspresi verbal dari komunalisme dan politik identitas, sementara
bara ideologinya tetap terpelihara dalam pergaulan komunitas, dan bahkan secara
akademis terlindungi melalui berbagai interpretasi ’alternatif’ terhadap konsep
”demokrasi”, ”civil society”, ”multikulturalisme” dan ”citizenship”. Satu hal
yang sering diabaikan dalam proyek melindungi demokrasi adalah pengetahuan kita
tentang kualitas dari sphere of public reason di
dalam suatu masyarakat transisional. Acuan-acuan teoretis-normatif tentang ide
demokrasi yang seringkali amat digandrungi oleh aktivis masyarakat sipil, tanpa
menghitung secara teliti perimbangan kekuatan politik di masyarakat, justeru
dapat menjebakkan demokrasi kedalam genggaman politik para demagog, pemilik
kapital dan penganut fundamentalisme etnis dan agama. Mengalirkan demokrasi di
luar instalasi partai (melalui ide ”calon independen” dalam pemilu, misalnya)
adalah ide bagus untuk radikalisasi demokrasi. Tetapi dalam kondisi dimana
kultur politik (feodalisme,komunalisme, ekonomisme) sangat berpeluang untuk
meloloskan para demagog dan kalangan fundamentalis, maka radikalisasi demokrasi
justeru menjadi
bumerang bagi ide ”democratic
citizenship”. Advokasi kebebasan dalam
masyarakat transisi seperti Indonesia, sangat memerlukan perencanaan, agar
penyelenggaraan hak-hak politik (political
rights) tidak justeru pada akhirnya
melenyapkan kebebasan sipil (civil
liberties). Perhitungan teliti tentang kondisi
riil masyarakat, terutama dalam hal ketersediaan infrastruktur akal sehat
publik, adalah juga tugas demokrasi yang amat penting. Sebuah ”democratic
citizenship” pada akhirnya haruslah dipertahankan
dalam makna aktifnya, yaitu perjuangan memperoleh keadilan ekonomi dan
kemerdekaan individu. Proposal itu menghendaki imperatif etis yang setara,
yaitu kewajiban solidaritas sosial bagi setiap orang. Ini berarti, semua sifat
perjuangan identitas, hanya dapat diolah sebagai isu citizenship bila ia
diartikulasikan sebagai isu keadilan sosial.
18 Keterbatasan paham Rawls tentang
“public reason” untuk menjelaskan masyarakat transisional adalah bahwa
institusi-institusi demokrasi di masyarakat itu memang menjamin hak-hak politik
formal, tetapi kultur politik (yang agamis, misalnya) dapat justeru melemahkan
ekspresi kebebasan sipil. Rawls mendefinisikan ‘public reason’ itu begini: “In
a democratic society public reason is the reason of equal citizens who, as a
collective body, exercise final political and coersive power over one another
in enacting
laws and in amending the constitution.
The first point is that the limits imposed by public reason do not apply to all
political question but only to those involving what we may call ‘constitutional
essentials’ and questions of basic justice”. Lihat, Rawls, Political Liberalism
(New York, 1993: hal 214). Rawls menganggap bahwa nilai-nilai politik liberal
sudah dengan sendirinya menjamin kebebasan sipil.
10
Hal
terakhir yang perlu dicatat adalah mengenai kondisi posmoderen dari politik
dunia. Situasi global (isu enersi, universalitas hak asasi manusia, karakter portofolio
kapital, komunitas virtual, hibridisasi identitas/self)
sedang memperluas paham citizenship itu ke dalam kewajiban etika
kosmopolitanisme. Artinya, bila pada akhirnya status negara bangsa menjadi
sekedar nama untuk semua catatan administratif seorang “warganegara”, maka
kesosialan19 kita telah siap untuk menerima kewajiban-kewajiban citizenship
baru: pelayanan orang asing, bantuan kemanusiaan dunia, dan advokasi universal
hak asasi manusia. Punyakah kita kebebasan sipil sekarang ini? Political
rights sudah kita miliki. Jaminannya ada
dalam konstitusi. Tetapi civil liberties yaitu
kondisi kehidupan warganegara dimana individu dapat menikmati secara nyata hak-hak
politik itu, masih terhalang oleh partikularitas-partikularitas kebudayaan.
Halangan itu dapat saja disingkirkan oleh negara. Tetapi proyek demokrasi,
apalagi dalam sebuah masyarakat transisi seperti kita, memerlukan lebih dari
sekedar peralatan negara. Mengupayakan suatu kondisi civil
liberties di tingkat kebudayaan, berarti
bekerja untuk memperluas penyelenggaraan citizenship,
bahkan dalam jaringan global
citizenship baru,
yaitu dalam pengalaman menyelenggarakan suatu etika kosmopolitan. Mungkin terlalu
jauh secara politik untuk membayangkan sebuah Indonesia yang “post-identity”.
Tetapi posibilitas itu sebetulnya sudah berlangsung di lapangan kebudayaan,
akibat transformasi sistem transaksi nilai, ekonomi dan informasi dunia.
Lalulintas ide yang mengalir bebas dalam jaringan politik cyber, telah memungkinkan
sistem koreksi demokrasi berlangsung melampaui fasilitas negara. Juga dalam
medan yang sama, hibridisasi identitas justeru sedang merayakan secara total
kesempatan untuk mengalami perluasan pluralisme dan toleransi yang otentik. Kecemasan
primitif kita dengan situasi kosmopolitan ini disebabkan oleh kondisi
kebudayaan kita yang doktrinatif. Percakapan citizenship diperlukan untuk melonggarkan
fiksasi-fiksasi psikologis itu. Tetapi menahan suatu gerak peradaban baru
melalui doktrin-doktrin politik lama, adalah suatu usaha sia-sia karena kita sudah
berada dalam bagian awal dari perubahan itu. Berpapasan dengan para pendukung
doktrin-doktrin politik lama itu, seorang citizen
kosmopolitan agaknya hanya perlu mengucapkan ulang dialog
G.B. Shaw tadi:
“Pardon
him, Theodotus: he is a barbarian, and thinks that the customs of his tribe
and island are the laws of
nature. **
19 Dalam kondisi hibrid kebudayaan
posmoderen, isu sosial telah melampaui determinasi ideology dibelakangnya.
Solidaritas dan sosiobilitas manusia tampil mendahului ideologi politik lama,
sehingga tema politik posmoderen dalam bidang kemanusiaan adalah social-ism,
bukan socialism.
2 komentar:
mantaps gan...trus gue harus Gue bilang WaW gitu...
Theme blognya bagus juga...trus gue harus bilang WAW GITU!!
Posting Komentar