Bahwa
probabilitas dan kemungkinan pengetahuan merupakan poin yang tidak akan pernah
diingkari dan diragukan oleh orang-orang yang berakal . Setiap individu dalam
sehari senantiasa mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang perkara-perkara
yang dibutuhkannya atau seseorang berupaya dengan sebaik dan sesempurna mungkin
untuk menghadirkan satu atau beragam disiplin ilmu dan pengetahuan tertentu.
Setiap manusia menjalani kehidupannya dengan berpijak pada ribuan
gambaran-gambaran yang terdapat dalam pikirannya dan berkeyakinan bahwa di luar
alam pikiran ini terdapat alam lain yang hakiki dan realitas-realitas yang
mandiri dimana gambaran-gambaran pikiran tersebut merupakan pencerminan
terhadap apa-apa yang terdapat di alam eksternal. Tak satupun manusia yang
berakal sehat yang meragukan keberadaan alam eksternal tersebut, begitu pula
tak satupun meragukan bahwa dia mengetahui sesuatu dan dapat memahami sesuatu.
dalam sejarah filsafat telah ditunjukkan bahwa terdapat gelombang-gelombang
Sofisme dan Skeptisisme yang menghanyutkan dan menjauhkan manusia dari
pencapaian makrifat dan pengetahuan. Kedua paham ini hadir di Eropa dan Yunani
kuno pada abad kelima sebelum Masehi. Pandangan-pandangan dari kedua paham
tersebut sempat mempengaruhi sebagian ilmuan-ilmuan. Paham-paham tersebut
secara mutlak mengingkari segala bentuk eksistensi, keberadaan, ilmu,
pengetahuan, dan makrifat. Sofisme adalah suatu paham yang menafikan secara
mutlak keberadaan alam eksternal yang kemudian berkonsekuensi pada penolakan
segala jenis makrifat dan pengetahuan. Mereka ini beranggapan bahwa alam
eksternal itu sama sekali tidak berwujud sehingga dapat dihasilkan darinya
suatu ilmu, pengetahuan, dan makrifat;Sementara Skeptisisme merupakan suatu
paham lain yang tidak mengingkari alam eksternal, namun, menafikan segala
bentuk makrifat dan pengetahuan yang berasal dari alam tersebut.
Diagnosa
1.
Bagaimana skeptisisme dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan?
2.
Bagaimana pengaruh aliran skeptisisme dalam masalah
probabilitas pengetahuan?
Ruang
lingkup masalah yang akan dibahas dalam diskusi ini adalah sebatas pengertian
dan teori-teori aliran filsafat hukum skeptisisme dalam kaitannya dengan
masalah probabilitas pengetahuan. Selain itu juga membahas mengenai hubungan
dan pengaruh aliran skeptisisme dalam kaitannya dengan masalah probabilitas
pengetahuan. Dasar-dasar aliran skeptisisme dijabarkan dari mulai pengertian,
sejarah, dan macam-macam keyakinan serta keragu-raguan yang bisa digunakan
untuk menganalisa rumusan masalah dalam diskusi ini.
Aliran
Skeptisisme muncul hampir sezaman dengan kehadiran Sofisme dimana mereka
meragukan adanya kemungkinan pencapaian pengetahuan yang benar terhadap alam
eksternal. Mereka mengungkap beberapa argumen dan dalil bahwa kita tidak bisa
beranggapan mengetahui secara tepat hakikat-hakikat itu sebagaimana adanya,
melainkan kita mesti menyatakan bahwa hakikat-hakikat itu kita pahami
berdasarkan kondisi-kondisi dan batasan-batasan dari indra dan persepsi kita masing-masing.
Namun, apakah hakikat itu? Kita sama sekali tidak mengetahuinya, dengan
demikian, kita menahan diri untuk menilai dan mengungkap pendapat mengenai
segala permasalahan, serta kita menempatkan seluruh persoalan filsafat, ilmu,
dan matematika sebagai hal-hal yang tidak diyakini dan masih diragukan.
Apabila
Skeptisisme itu telah sirna di zaman Yunani kuno pada abad kelima sebelum
Masehi di tangan para filosof besar Yunani, maka mungkin kita tidak temukan
lagi sejenis keraguan terhadap nilai dan validitas pengetahuan yang hadir dalam
evolusi pengetahuan astronomi dan ilmu-ilmu alam di Barat. Kita bisa saksikan
bagaimana pemikiran-pemikiran Sofisme Yunani Kuno seperti Corylas yang kemudian
hidup kembali dalam bentuk Idealisme Berkeley. Penyebab munculnya aliran yang
meragukan nilai dan validitas pengetahuan adalah perubahan yang mendasar dalam
bidang astronomi dan ilmu-ilmu alam serta perubahan pada persoalan-persoalan
yang sangat "diyakini" kebenarannya dimana sebelumnya tak
dimungkinkan adanya kekeliruan padanya. Sehingga, validitas ilmu dan
pengetahuan menjadi sirna dan terungkaplah ketidakberdayaan umat manusia untuk
menggapai hakikat, pengetahuan, ilmu, makrifat dan kayakinan.
Padahal
diketahui bahwa hanya satu bidang keilmuan yang kehilangan validitasnya, namun
sangat disayangkan bahwa orang seperti Berkeley mempunyai pandangan ekstrim
yang menggeneralisasikan keraguan-keraguan tersebut kepada semua ilmu dan
pengetahuan. Evolusi pengetahuan di Barat, tidak hanya menghidupkan kembali
aliran-aliran seperti Sofisme, melainkan juga menyebabkan filsafat kontemporer
itu berubah menjadi suatu filsafat yang tidak lagi disandarkan dengan
subjek-subjek keilmuan dan hanya semata berpijak pada asumsi-asumsi ilmiah.
Dari hasil gabungan ilmu-ilmu empirik ditarik suatu kesimpulan hukum yang
bersifat universal dan kemudian disebut sebagai "filsafat ilmu" yang
diajarkan dalam ruang lingkup pembahasan filsafat. Oleh karena itu, filsafat
yang mencakup ilmu-ilmu saat itu merupakan simpulan dari ilmu-ilmu alam dan matematika,
yakni capaian-capaian ilmu itu yang dibentuk dalam kerangka universal lantas
dinamakan dengan "filsafat" dan kemudian filsafat dengan makna
pengenalan universal yang meliputi seluruh eksistensi menjadi tertolak.
JENIS-JENIS KERAGUAN DAN
KEYAKINAN
Setiap
manusia memiliki keyakinan dalam beberapa perkara dan pada sebagian persoalan
mengalami keraguan dan bimbang, misalnya seseorang mempunyai kepercayaan kepada
dirinya sendiri dan pada keberadaan alam sekitarnya serta perasaan-perasaannya,
namun mengalami keraguan dan kebimbangan terhadap berbagai perkara-perkara.
Setiap manusia mungkin mengalami perbedaan dalam kualitas keyakinan dan
keraguan, walaupun terdapat perkara yang tak diragukan oleh satu individu pun,
namun manusia akan mengalami keraguan yang nyata dalam bagian-bagian tertentu
dari perkara tersebut. Faktor-faktor perbedaan pada manusia dalam derajat
keraguan dan keyakinan terkadang bersumber dari masalah kejiwaan, aspek
internal manusia, dan pemikiran. Maka dari itu, keyakinan dan keraguan dapat
dibagi berdasarkan faktor-faktor yang melatar belakanginya dan perkara-perkara
yang berhubungan dengannya serta kualitas kejiwaan setiap manusia.
Ø Jenis-jenis keraguan
Keraguan-keraguan itu bisa
dibagi berdasarkan objek, subjek, dan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya. Di
bawah ini akan disebutkan beberapa macam keraguan-keraguan yang terpenting:
1.
Keraguan mutlak dan relatif. Apabila manusia ragu terhadap
semua persoalan bahkan pada dirinya sendiri, maka hal seperti ini disebut
dengan keraguan mutlak. Selain dari hal ini dinamakan dengan keraguan relatif;
2.
Keraguan psikis, pertanyaan, dan kondisional. Keraguan bisa
hadir karena kondisi kejiwaan seseorang dan juga sangat mungkin muncul karena
pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan logika serta kondisi-kondisi zaman,
seperti pada zaman Renaissance yang terjadi di Barat dimana telah menghadirkan
berbagai keraguan-keraguan tertentu;
3.
Keraguan ilmiah, filosofis, dan umum. Keraguan global bisa
menimpa banyak orang seperti keraguan terhadap kejadian-kejadian yang dikatakan
hadir dalam sejarah manusia. Begitu pula pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan
filosofis sangat sarat memunculkan keraguan-keraguan, seperti keraguan sebagian
filosof berkenaan dengan gerak dan yang semacamnya;
4.
Keraguan yang merusak dan membangun. Keraguan dapat dibagi
menjadi demikian dengan berdasarkan pengaruh dan efeknya yang positif dan
negatif. Keraguan yang berimbas pada rukun-rukun penting keagamaan dan
asas-asas akhlak adalah jenis keraguan yang merusak, sementara keraguan yang
menyentuh wilayah penelitian ilmiah dan pengetahuan manusia merupakan bentuk
keraguan yang membangun;
5.
Keraguan fundamental dan struktural. Keraguan bisa menjadi
dasar bagi hadirnya keraguan-keraguan yang lain. Keraguan dalam ranah
aksioma-aksioma dan asas-asas global disebut dengan keraguan fundamental,
sementara keraguan yang hadir dalam domain dan wilayah
permasalahan-permasalahan ilmiah dan teoritis dinamakan dengan keraguan
struktural;
6.
Keraguan ontologis dan epistemologis. Keraguan dalam ranah
hakikat-hakikat eksistensi dan perkara-perkara wujud disebut dengan keraguan
ontologis. Dan keraguan yang berhubungan dengan kemungkinan pencapaian sebuah
keyakinan, ilmu, dan pengetahuan dinamakan keraguan epistemologis;
7.
Keraguan yang dikehendaki dan yang dipaksakan. Apabila
seseorang secara sadar dan sengaja meragukan sesuatu supaya menggapai suatu
keyakinan yang lebih tinggi atau ingin menjadi seorang peneliti, maka
keraguannya tersebut dinamakan keraguan yang dikehendaki. Jika tidak demikian,
yakni dia terpaksa dan diluar kehendaknya melakukan suatu penelitian atas suatu
perkara yang meragukannya, maka hal seperti ini digolongkan sebagai keraguan
yang dipaksakan.
Ø Macam-macam keyakinan
Keyakinan juga dapat
memiliki varian-varian yang didasarkan oleh faktor-faktor tertentu, kondisi-kondisi
internal individu, dan perkara-perkara lainnya, antara lain:
1.
Keyakinan logikal dan non-logikal. Keyakinan yang sama sekali
tidak terdapat keraguan di dalamnya atau keyakinan yang memuncak disebut dengan
keyakinan logikal. Keyakinan yang masih menyisakan bentuk-bentuk keraguan
merupakan suatu keyakinan yang non-logikal;
2.
Keyakinan hakiki dan non-hakiki (merasa mengetahui). Kalau
keyakinan itu bersesuaian dengan realitas maka dinamakan keyakinan hakiki dan
logikal. Apabila tidak demikian, maka dikategorikan ke dalam bentuk keyakinan
yang non-hakiki;
3.
'Ilm al-yaqin, 'ain al-yaqin, haqq al-yaqin. Keyakinan
pertama berhubungan dengan pengetahuan universal dan teoritis. Dan keyakinan
kedua berkaitan dengan pengetahuan-pengetahuan intuitif dan penyaksian
(musyahadah) hakikat-hakikat segala sesuatu. Serta keyakinan ketiga merupakan
keyakinan yang tertinggi dimana tidak terdapat jarak lagi antara subjek yang
mengetahui ('alim) dan objek yang diketahui (ma'lum dan hakikat-hakikat
sesuatu), atau dengan ungkapan lain, terwujudnya kesatuan eksistensial antara
'alim dan ma'lum;
4.
Keyakinan orang awam, para filosof, dan urafa.
Keyakinan-keyakinan ini bertingkat-tingkat dalam kualitas sesuai dengan
landasan dan dasar pengetahuan-pengetahuan mereka;
5.
Keyakinan taklidi dan ijtihadi. Keyakinan yang dihasilkan
dari mengikuti dan taklid pada seseorang yang dipercayai disebut dengan
keyakinan taklidi. Sementara keyakinan yang digapai dari proses-proses usaha
dan aktivitas observasi individual dinamakan dengan keyakinan ijtihadi;
6.
Keyakinan ontologis dan epistemologis. Keyakinan ontologis
adalah suatu keyakinan yang berhubungan dengan eksistensi dan realitas alam
wujud, sementara keyakinan epistemologis merupakan sejenis keyakinan yang
berkaitan dengan proses pencapaian dan penggapain suatu pengetahuan dan
makrifat yang sesuai dengan realitas dan hakikat sesuatu;
7.
Keyakinan indrawi, rasional, intuitif, dan tekstual.
Tingkatan-tingkatan yang terdapat pada keyakinan-keyakinan seperti ini sangat
ditentukan oleh media-media dan alat-alat yang menjadi sumber dan asal
keyakinan dan pengetahuan itu.
II.2.a SKEPTISISME DALAM
HUBUNGANNYA DENGAN ILMU PENGETAHUAN
Upaya
dan usaha semua manusia dan khususnya para ilmuan dalam menyingkap
hakikat-hakikat segala sesuatu merupakan ciri dan pertanda bahwa manusia yang
berakal sehat (bukan para sofis dan skeptis) mempercayai dan meyakini bahwa
terdapat sesuatu yang diketahui dan terdapat pula sesuatu bisa diketahui. Dan
apa-apa yang mungkin untuk diketahui kemudian dijadikan subjek dan ranah pembahasan
dan pengkajian . Domain penyingkapan hakikat dan sejauh mana serta pada wilayah
mana saja manusia dapat menggapai pengetahuandan keyakinan. Begitu pula dalam
wilayah mana manusia tidak memiliki kemungkinan untuk dapat memahami dan
mengetahui, seperti kemustahilan dan ketidakmampuan manusia menyingkap dan
mengungkap hakikat zat Sang Pencipta.
Baik
dalam filsafat Barat maupun dalam filsafat Islam akan diperhadapkan dengan
beberapa keraguan dan kritikan dimana salah satu yang terpenting adalah
keraguan terhadap probabilitas dan kemungkinan pencapaian ilmu dan pengetahuan.
Yang pasti dalam filsafat Barat keraguan semacam itu sangatlah kental dan
bahkan telah melahirkan beberapa aliran yang secara terang-terangan mendukung
pemikiran semacam itu. Realitas ini sedikit berbeda dalam filsafat Islam dimana
hal tersebut hanyalah sebatas sebuah kritikan dimana para filosof Muslim telah
mencarikan solusi yang tepat dan jawaban yang proporsional. Kritikan ini dapat
dilihat dalam perjalanan pemikiran Al-Gazali dimana awalnya mengalami semacam
keraguan dan melontarkan berbagai kritikan pada unsur-unsur pemikiran filsafat
Islam, namun pada akhirnya dia mencapai suatu keyakinan baru dan berhasil
keluar dari kemelut pemikiran.
Berikut
ini kita berusaha akan membeberkan segala keraguan dan kritikan yang ada dan
kemudian mencarikan jawaban dan solusinya. Keraguan yang dilontarkan oleh kaum
sofis dalam ranah makrifat dan keyakinan memiliki dua bentuk:
1.
Kemampuan akal dalam menggapai hakikat sesuatu;
2.
Berkaitan dengan sebagian pengenalan-pengenalan manusia. Keraguan
dalam bentuk pertama dapat dijabarkan secara universal sebagai berikut:
1.
Alat dan sumber pengetahuan, keyakinan, ilmu, dan makrifat
manusia adalah indra dan akal;
2.
Indra dan akal manusia rentan dengan kesalahan, karena kesalahan
penglihatan, pendengaran, dan rasa itu tidak dapat dipungkiri dan juga tidak
tertutup bagi seseorang mengenai kontradiksi-kontradiksi akal serta beberapa
kekeliruannya. Dalam banyak kasus di sepanjang sejarah, kita menyaksikan
dalil-dalil rasional dan argumentasi-argumentasi akal telah dibangun, namun
seiring berlalunya waktu secara bertahap dalil dan argumentasi tersebut satu
persatu menjadi batal;
3.
Kesalahan dan kekeliruan kedua sumber pengetahuan dan
makrifat tersebut dalam beberapa hal tidaklah nampak, akan tetapi tetap saja
tidak dapat dijadikan landasan dan tertolak;
Dengan
demikian, berdasarkan ketiga pendahuluan di atas yakni pengetahuan dan makrifat
manusia yang dihasilkan lewat jalur indra dan akal adalah tidak dapat dijadikan
pijakan dan karena manusia hanya mempunyai dua jalur dan sumber pengetahuan ini
maka sangatlah logis apabila manusia meragukan apa-apa yang dipahami dan
diyakininya tersebut serta sekaligus mengetahui bahwa mereka mustahil mencapai
suatu keyakian dan pengetahuan yang hakiki. Atau keraguan itu bisa dipaparkan
dalam bentuk ini bahwa senantiasa terdapat jarak antara manusia dan realitas
atau gambaran-gambaran pikiran dan persepsi-persepsinya itu, dan pikiran
manusia, sebagaimana kaca mata, merupakan hijab yang membatasinya dengan
realitas eksternal, dengan demikian, tidak akan pernah manusia menyaksikan dan
mengetahui realitas dan kenyataan eksternal itu sebagaimana adanya.
Kesimpulannya, kita tidak bisa benar-benar yakin bahwa realitas dan objek
eksternal itu diketahui dan dipahami sebagaimana mestinya, karena mungkin saja
pikiran kita telah ikut campur dalam mewarnai pemahaman dan pengetahuan
tersebut dimana hal ini sebagaimana kaca mata yang berwarna telah ikut
berpengaruh dalam penampakan objek-objek yang kita saksikan. Oleh karena itu,
mustahil menggapai suatu keyakinan dan pengetahuan yang sebagaimana hakikatnya.
Keraguan
bentuk kedua berhubungan dengan keraguan dalam aksioma-aksioma dan dasar-dasar
pengetahuan. Dalam hal ini para filosof berupaya mengajukan berbagai solusi dan
jawaban.
Keraguan-keraguan
yang terlontarkan dalam filsafat Islam adalah sebagai berikut:
1.
Indra melakukan kesalahan dan kekeliruan, sedangkan segala
sesuatu yang salah dan keliru tidak dapat dijadikan pijakan, sementara
mayoritas pengetahuan dan makrifat manusia bersumber dari indra dan
empirisitas;
2.
Dalam banyak permasalahan manusia berargumentasi dan berdalil
dengan akal dan rasionya, akan tetapi setelah berlalunya waktu nampaklah
berbagai kesalahan-kesalahan argumentasi rasional itu. Oleh karena itu, kita
tidak dapat bersandar pada argumentasi dan burhan akal, pada saat yang sama
kita menyaksikan bahwa begitu banyak pengetahuan dan makrifat manusia bersumber
dari akal.
3.
Keberadaan perkara-perkara yang saling kontradiksi dan
bertolak belakang satu sama lain dalam pemikiran-pemikiran manusia telah
menyebabkan hadirnya sejenis keraguan dan ketidakpercayaan pada salah sumber
pengetahuan dan makrifat yakni akal dan rasio;
4.
Perbedaan yang nyata di antara para filosofdan pemikir dalam
wilayah pemikiran dan keilmuan telah menunjukkan bahwa upaya pencapaian suatu
pengetahuan dan makrifat hakiki adalah hal yang sangat sulit atau hampir-hampir
mustahil;
5.
Keberadaan argumen-argumen yang sempurna dan dapat diterima
pada dua persoalan yang saling kontradiksi dan berbenturan satu sama lain telah
menampakkan kepada kita bahwa segala argumentasi akal tidaklah nyata dan
hakiki;
6.
Apabila cukup dengan keyakinan akal bahwa sesuatu itu ialah
aksioma, maka hal ini bisa diajukan suatu kritikan bahwa akal meyakini suatu
perkara yang secara potensial mengandung kesalahan, oleh karena itu, tidak
mesti mempercayai perkara itu karena sama sekali tidak berpijak pada tolok
ukur. Dengan demikian, keyakinan akal dalam aksioma-aksioma tidak valid;
7.
Manusia dalam keadaan tidur menyaksikan seluruh perkara itu
nampak secara nyata dan hakiki, akan tetapi setelah terbangun dia kemudian
memahami bahwa semua yang disaksikan tersebut hanyalah suatu hayalan dan mimpi.
Maka dari itu, bagaimana kita bisa meyakini bahwa kita sekarang ini tidak dalam
keadan tidur dan berhayal serta apa-apa yang kita saksikan tersebut bukanlah
suatu mimpi belaka;
8.
Manusia-manusia yang berpenyakit dan gila menyangka bahwa
perkara-perkara yang tidak riil itu adalah perkara-perkara yang nyata dan
hakiki. Dengan demikian, bagaimana kita dapat mempercayai bahwa kita tidak
sementara terjangkit suatu penyakit tertentu atau sedang mengalami suatu
kesalahan dalam sistem pemikiran dan kontemplasi;
9.
Akal mampu menampakkan kesalahan dan kekeliruan indra, namun
apakah kita yakin bahwa tidak terdapat sesuatu atau perkara lain yang dapat
menunjukkan secara jelas kesalahan dan kekeliruan akal itu?
10. Jumlah aksioma-aksioma itu
sangatlah terbatas dan semuanya berpijak pada satu proposisi yakni
"kemustahilan bergabungnya dua perkara yang saling berlawanan".
Proposisi ini bersandar pada konsepsi tentang ketiadaan dan kemustahilan yang
terdapat dalam proposisi itu (kemustahilan bergabungnya …) dimana akal tidak
mampu memahaminya, karena kemustahilan itu sendiri tidak mempunyai
individu-individu dan objek-objek eksternal;
11. Keragaman dan perbedaan
dalam karakteristik dan potensi setiap individu, lingkungan dan ekosistemnya,
dan budaya-budayanya telah menyebabkan munculnya berbagai persepsi-persepsi dan
pandangan-pandangan yang juga beragam;
12. Menyingkap sesuatu yang
tidak diketahui adalah hal yang mustahil, mengungkap suatu hakikat merupakan
hal yang tak mungkin, karena hakikat itu tak diketahui;
13. Pengetahuan hudhuri
dipandang sebagai pengetahuan yang paling tinggi dan sempurna. Pengetahuan
kepada diri sendiri adalah bersifat hudhuri, sementara semua orang tidak bisa
mengetahui "hakikat diri sendiri" dan tidak mampu menyelami esensi
"pengetahuan kepada diri sendiri" itu. Dengan demikian, kita pun
tidak mungkin mengetahui segala sesuatu selain "diri kita sendiri";
14. Pencapaian
konsepsi-konsepsi di luar dari batas iradah dan kehendak kita, karena hal ini
menyebabkan kita mengetahui sesuatu yang telah kita ketahui sebelumnya atau
mengetahui sesuatu yang mutlak tidak diketahui, kedua konsekuensi ini adalah
batil. Dengan demikian, pembenaran sesuatu yang aksioma adalah mustahil, oleh
karena itu, tertutup jalan untuk meraih keyakinan;
15. Semakin kita menyelami
realitas dan hakikat sesuatu maka yang dihasilkan tidak lain hanyalah persepsi
itu sendiri. Oleh karena itu, yang bisa ditegaskan hanyalah "diri
kita" dan "persepsi kita", inilah makna dari suatu pernyataan
bahwa "satu-satunya realitas eksternal yang kita miliki" tidak lain
adalah persepsi itu sendiri;
16. Apabila pengetahuan dan
makrifat manusia bersifat penyingkapan dan pencerminan terhadap objek-objek
eksternal, maka tidak mungkin terdapat kesalahan;
17. Manusia di awal
kelahirannya sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan jahil terhadap
aksioma-aksioma. Oleh karena itu, aksioma-aksioma tersebut dihasilkan oleh
manusia setelah berinteraksi secara luas dengan alam dan lingkungannya, aksioma
bukanlah merupakan fitrah dan pembawaan alami manusia.
Sementara
keraguan-keraguan yang muncul dalam tradisi filsafat Barat antara lain:
1.
Indra dan akal melakukan kesalahan dan kekeliruan, oleh
karena itu tidak dapat dijadikan landansan;
2.
Terdapat kontradiksi-kontradiksi antara akal itu sendiri dan
manusia yang berakal dalam wacana filsafat;
3.
Menegaskan setiap sesuatu niscaya membutuhkan serangkaian
dasar-dasar, dan membuktikan dasar-dasar itu mesti memerlukan
pendahuluan-pendahuluan, demikianlah seterusnya hingga tak terbatas.
Konklusinya, perolehan makrifat dan pengetahuan ialah hal yang tak mungkin;
4.
Metode induksi tidak menghasilkan suatu keyakinan;
5.
Adanya perbedaan riil pada indra-indra manusia serta
perbedaan persepsi di antara indra-indra itu, perbedaan di antara
manusia-manusia dari dimensi tubuh dan jiwa, pertentangan indra-indra,
perbedaan syarat-syarat yang menyebabkan pula lahirnya perbedaan pada
persepsi-persepsi indrawi, perbedaan benda-benda dari dimensi jarak dan tempat,
perbedaan benda-benda dari aspek horizontal yakni benda satu di atas dan benda
yang lain di bawah, dan perbedaan hukum-hukum adab dan etika. Kesemua perbedaan
tersebut berkonsekuensi bahwa tak satupun ilmu dan makrifat dapat dihasilkan;
6.
Fenomena-fenomena akibat (ma'lul) dan tanda-tanda sebab
('illah) tidaklah tersembunyi, karena semua manusia menyaksikan bahwa
fenomena-fenomena itu adalah sama, akan tetapi, terdapat perbedaan dan
keragaman dalam penentuan sebab-sebabnya;
7.
Apakah kita benar-benar yakin bahwa tidak dalam keadaan tidur
dan bermimpi;
8.
Adanya kemungkinan kita ditipu oleh setan;
9.
Proposisi yang berbunyi, "A ada", yakni "Saya
mengetahui keberadaan A itu", dengan demikian, selain "saya" dan
persepsi-persepsi "saya" adalah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan
keberadaanya;
10. Tidak terdapat perbedaan
antara "kualitas pertama" dan "kualitas kedua", sebagaimana
"kualitas pertama" seperti warna dan bau adalah tidak hakiki, begitu
pula "kualitas kedua" seperti panjang dan bentuk adalah juga tidak
hakiki;
11. Prinsip kausalitas itu
merupakan buatan pikiran semata, karena konsepsi-konsepsinya bersumber dari
pikiran yang tidak diperoleh lewat indra-indra yang lima itu;
12. Pikiran manusia sama
seperti kaca mata, atau fungsinya menimal sama dengan kaca mata. Oleh karena
itu, tak satupun dari persepsi-persepsi yang dapat dipercaya;
13. Mungkin pikiran kita sama
saja dengan suatu wadah yang menerima dan menyimpan apa saja yang diberikan
padanya, maka dari itu, kesalahan persepsi-persepsi tidak semua dapat
ditegaskan dan dibuktikan secara nyata.
II.2.b PENGARUH
SKEPTISISME DALAM MASALAH PROBABILITAS PENGETAHUAN
Salah
satu dalil penting kaum sofis adalah bahwa di antara para pemikir, ilmuan, dan
filosof dunia tidak akan pernah disaksikan ada kesamaan secara utuh dalam
pemikiran-pemikiran mereka. Kaum sofis dan skeptis yang karena memandang bahwa
perolehan pengenalan dan pengetahuan benar adalah tidak mungkin maka salah satu
buktinya hadirnya berbagai perbedaan dan kontradiksi di antara para pemikir
tersebut, dan apa-apa yang menurut seseorang ialah suatu kenyataan dan hakikat,
sangat mungkin bagi orang lain merupakan suatu hayalan kosong atau sebaliknya.
Di samping itu mereka menambahkan bahwa konsepsi-konsepsi kita atas dunia luar
mengikuti pengaruh-pengaruh indra kita, seperti seseorang yang terjangkit suatu
penyakit yang tidak bisa membedakan antara warna hijau dan warna merah atau
seseorang yang sama sekali tak dapat mempersepsi warna-warna. Dengan demikian,
manusia yang dalam keadaan dan syarat yang berbeda adalah sangat mungkin
mempunyai akidah dan pemikiran yang beragam, walhasil segala realitas ini
merupakan bukti atas ketidakmungkinan pengetahuan.[16]
Jawaban:
Kesalahan
terbesar mereka ialah bahwa mencampuradukkan antara batasan pengetahuan manusia
dengan dasar-dasar makrifat. Argumentasi dan dalil mereka sama sekali tidak
menafikan masalah kemungkinan pengetahuan dan bahkan mereka sendiri menegaskan
keterbatasan makrifat manusia serta menyatakan bahwa terkadang pengetahuan
manusia bercampurnya dengan kesalahan. Mereka ini tidak ingin mengingkari
keberadaan batu meteor misalnya, tetapi menyatakan bahwa yang hanya ada adalah
satu titik terang dimana karena pengaruh kesalahan penglihatan nampaklah
sebagai satu garis panjang api. Begitu pula dalam keberadaan air dan derajat
tertentu dari panas, menurut mereka, kita tidak keliru, melainkan kesalahan itu
dalam menentukan kuantitas panas itu. Sebenarnya, kita pun tidak beranggapan
bahwa semua hakikat alam diketahui atau apa-apa yang kita persepsi itu tidak
lepas dari kesalahan dan kekeliruan. Tujuan dari penegasan kemungkinan
pengetahuan dan makrifat tidaklah dimaksudkan bahwa kita pasti mengetahui semua
hakikat, realitas, dan objek-obek eksternal itu secara benar. Dan di sinilah
letak kesalahpahaman mereka tentang probabilitas makrifat.
Titik
tekan pembahasan bukanlah pada penafian perbedaan pemikiran dan pandangan di
antara para pemikir, melainkan bahwa apakah terdapat perkara-perkara di alam
eksternal yang semua orang menerimanya dan tak seorang pun mempunyai perbedaan
di dalamnya ataukah tidak? Yang jelas dan pasti, begitu banyak orang menerima
pengetahuan-pengetahuan akisoma atau persoalan yang sudah lazim dimana tidak
ada lagi keraguan dalam kebenarannya, dalam hal ini, manusia tidak boleh
memandang secara negatif bahwa seluruh pemikiran dan pengetahuannya sendiri
adalah tidak valid dan tidak benar.
Yang
menarik di sini adalah beberapa argumentasi yang dilontarkan oleh para peragu
atas ketiadaan kemungkinan pengetahuan justru dapat digunakan untuk menghantam
balik perspektif mereka sendiri, yakni ketika mereka mengemukakan kesalahan
indra-indra lahiriah itu, maka mereka tak sadar telah menegaskan keberadaan
sumber pengetahuan lain yaitu akal, karena bagaimana mereka dapat mengetahui
bahwa indra-indra lahiriah itu telah melakukan suatu kesalahan pencerapan, yang
pasti bahwa sebelumnya kebenaran realitas-realitas itu telah disingkap namun
tidak dengan menggunakan indra-indra lahiriah, melainkan dengan daya akal, dan
dari akal inilah lantas diketahui kekeliruan yang dihasilkan oleh indra-indra
itu.
Misalnya
bagaimana kita memahami bahwa batu meteor yang nampak sebagai sebuah garis
panjang api itu adalah salah, karena sebelumnya kita telah mengetahui hakikat
keberadaan batu meteor itu dengan sumber dan alat pengetahuan lainnya. Dengan
demikian, dibalik sebuah kesalahan itu terdapat beberapa pengetahuan dan
makrifat yang benar yang kita miliki dan bahkan dengan perantaraan pengetahuan
itulah kita kemudian meluruskan suatu kesalahan dan kekeliruan yang kita alami
sendiri. Dengan dasar inilah kita bisa menyimpulkan bahwa dalam setiap hukum
atas suatu kesalahan merupakan dalil dan bukti keberadaan pengenalan dan
pengetahuan yang benar terhadap banyak realitas.
Begitu
pula dalam contoh-contoh yang lain dikatakan bahwa pemikiran dan pandangan kita
terhadap dunia luar dipengaruhi oleh indra-indra kita. Di sini nampak dengan
jelas adanya pengakuan atas suatu pengetahuan dan makrifat yang benar yang
dimiliki oleh manusia yang tidak dipengaruhi oleh indra-indra lahiriah itu.
Maka dari itu, pada hakikatnya mereka justru menegaskan kemungkinan pengetahuan
dan makrifat yang benar tanpa mereka sadari.
Dalil kaum sofis atas
ketidakvalidan argumentasi akal
Kaum
sofis dan skeptis menyatakan bahwa satu-satunya proposisi yang diterima adalah
yang kebenarannya telah terbukti dengan burhan dan argumen, namun argumen
seperti ini ialah batil dan mustahil serta argumen tersebut pada hakikatnya
bukanlah bentuk hakiki dari suatu argumen dan burhan, karena
pendahuluan-pendahuluan dari argumen itu akan membutuhkan argumen lain dan
mukadimah argumen lain ini pun niscaya memerlukan argumen lain sedemikian
sehingga akan membentuk silsilah-silsilah yang tak terbatas (kaidah tasalsul).
Namun, apabila pendahuluan argumen itu tak butuh pada argumen yang lain, maka
dalam hal ini kita tidak mempunyai suatu argumen apa pun. Kalau dikatakan bahwa
terkadang satu argumen berpijak pada suatu mukadimah yang tidak lagi memerlukan
suatu argumen lain, maka pernyataan ini hanyalah suatu asumsi yang mesti
dibuktikan kebenarannya.
Jawaban:
Kaum
ini ketika berargumentasi secara tidak sadar menerima keberadaan
argumen-argumen rasional dimana dalil-dalil mereka itu berpijak padanya. Kaum
sofis dan skeptis ini layaknya sebagai orang-orang yang memiliki keyakinan atas
pemikiran-pemikirannya dan dengan menggunakan dalil-dalil akal dan indra
berusaha untuk meruntuhkan kelemahan-kelemahan persepsi manusia dan dengan
perantaraan akal mereka melarang manusia untuk bersandar pada akal serta dengan
membangun argumen-argumen mereka berusaha untuk melemahkan segala bentuk
argumentasi akal, sementara itu kaum ini sama sekali tidak menyadari apa yang
terjadi padanya.
Dasar-dasar
argumentasi mereka berpijak pada kemustahilan tasalsul dan kaidah yang
menyatakan bahwa "sesuatu yang tidak diketahui mustahil menjadi landasan
bagi penyelesaian sesuatu lain yang tidak diketahui" serta juga bersandar
pada hal-hal yang fitrah yakni tak menerima pandangan yang belum terbukti
kebenarannya. Kita saksikan bahwa mereka yang mengkonstruksi suatu argumen
dengan dasar-dasar akal dan fitrah itu bagaimana bisa beranggapan bahwa
pengetahuan dan makrifat akal dan fitrah sangat tidak layak untuk dipercayai
dan dijadikan landasan keyakinan yang benar.
Kritik
atas argumentasi-argumentasi mereka adalah bahwa mereka tidak mengetahui
batasan antara hal-hal yang "aksioma" dan "fitrawi". Kita
memiliki perkara-perkara yang tidak seorangpun meragukannya (kecuali kaum sofis
dan skeptis yang walaupun secara lahiriah diingkarinya, namum secara batiniah
meyakininya) dan tak memerlukan usaha berpikir untuk menerima kebenarannya
seperti dua ditambah dengan dua adalah empat atau dalam waktu dan tempat yang
sama ialah mustahil terjadi siang dan juga malam. Dalam perkara-perkara yang
aksioma dan badihi ini tidak terdapat kesalahan dan kekeliruan serta sangat
diyakini kebenarannya oleh manusia sedemikian sehingga kalau pun didukung oleh
beberapa argumentasi yang kokoh maka tidak akan menambah sedikit pun keyakinan
manusia akan kebenarannya. Berhadapan dengan ilmu dan pengetahuan aksioma ini,
terdapat pengetahuan-pengetahuan teoritis yang memiliki kemungkinan untuk salah
dan keliru. Dalam hal ini memang benar apa yang dikatakan mereka bahwa hanyalah
proposisi-proposisi teoritis yang akan dipercayai setelah terbukti dengan
argumen-argumen, akan tetapi, tidaklah mesti pendahuluan argumen itu juga
ditegaskan oleh argumen-argumen lain, bahkan cukuplah mukadimah argumen itu
terbentuk dari perkara-perkara yang badihi dan aksioma dimana tidak seorang pun
menafikannya. Walhasil, masalah-masalah teoritis dan pemikiran haruslah
dianalisa dan diuji kebenarannya dengan argumen-argumen lain sedemikian
sehingga berakhir pada suatu pendahuluan dan mukadimah argumen yang hanya
memuat perkara-perkara aksioma, dengan demikian, silsilah argumen-argumen
niscaya akan berujung dan tidak terjebak ke dalam kemustahilan tasalsul.
0 komentar:
Posting Komentar