1. Pendahuluan
Marxisme-Leninisme adalah suatu teori politik dan ekonomi yang
dirumuskan Lenin dalam kerangka tafsirannya terhadap pemikiran Marx.[2] Teori politik dan
ekonomi ini nantinya akan menjadi ideologi yang mendasari semua partai komunis
pada abad kedua puluh. Di dalam teori ini, pada hemat saya, ada satu pandangan
yang kiranya cukup menarik untuk dibahas, yakni tentang konsep masyarakat
komunis yang ideal, dan upaya-upaya yang kiranya diperlukan untuk
mewujudkannya. Komunisme sendiri, sebagai bagian dari Marxisme-Leninisme, adalah
suatu paham yang menyatakan bahwa negara haruslah ditata berdasarkan pada
kepemilikan kolektif (collective ownership) atas semua harta benda, dan
pengaturan di dalam tata politik ini dilakukan oleh pemerintah yang juga
bertanggungjawab pada kepentingan semua warganya.[3]
Pada
tulisan ini, saya akan mengajukan argumen, bahwa konsep masyarakat komunis yang
ideal hanya dapat terwujud, jika konsep kekuasaan diktator proletariat dan
konsep partai revolusioner telah ada terlebih dahulu. Partai revolusioner,
yang memiliki tugas untuk menciptakan kesadaran revolusioner di dalam kaum
proletar, dan kekuasaan diktator proletariat, yang diperlukan untuk
melawan musuh-musuh yang hendak menentang terciptanya masyarakat komunis,
adalah kondisi-kondisi kemungkinan bagi terciptanya masyarakat
komunis yang ideal. Argumen ini sebenarnya sudah ada di dalam
tulisan-tulisan Lenin. Yang saya lakukan hanyalah mengangkatnya menjadi satu
tema tulisan secara spesifik.
Untuk itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam lima bagian. Awalnya, saya akan menjelaskan
proyek spesifik tulisan ini (1). Lalu, saya akan memberikan gambaran mengenai
keterkaitan Lenin dan Marx. Dalam hal ini, saya akan fokus pada dua konsep,
yakni konsep kekuasaan diktator proletariat, dan konsep partai revolusioner.
Saya berpendapat bahwa di dalam pemikiran Lenin, dua konsep ini adalah kondisi
kemungkinan bagi terciptanya masyarakat komunis yang ideal (2). Pada bagian
berikutnya, saya akan mencoba menjabarkan masyarakat komunis yang ideal di
dalam paradigma Marxisme-Leninisme (3). Setelah itu, saya akan memberikan
kesimpulan singkat mengenai isi seluruh tulisan ini (4). Tulisan ini akan diakhiri
dengan beberapa tanggapan saya terhadap pemikiran Lenin (5).
2.
Marxisme-Leninisme
Tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa Leninlah yang membawa
pemikiran Marx, sedikit banyak, menjadi realitas. Di dalam tulisan-tulisannya,
Marx memang sudah menuliskan bahwa kapitalisme akan hancur pada akhirnya, dan
kemudian terciptalah masyarakat sosialis. Akan tetapi, Leninlah yang
memikirkan, bagaimana supaya kapitalisme bisa hancur. Dialah pendiri Uni
Soviet, sebuah negara yang menjadi pusat gerakan komunisme internasional,
sekaligus negara adikuasa kedua di dunia selama hampir seluruh abad kedua
puluh. Pada masa-masa jayanya, komunisme menjadi bentuk pemerintahan dari 18
negara di dunia.[4]
Melalui pikiran dan tindakannya yang agresif-revolusioner, Lenin membantu
tegaknya komunisme di Russia
pada revolusi 1917.[5]
Yang pada hemat saya menarik adalah, bagaimana relasi Lenin dengan Marx? Apakah
pemikiran mereka berdua sama, atau berbeda? Dan jika berbeda, dimana
perbedaannya? Yang pasti, tidak lama setelah Lenin meninggal pada 1924, Stalin,
penggantinya, langsung memberikan label pada pemikiran-pemikiran Lenin sebagai Leninisme.
Dengan demikian, pemikiran Lenin kemudian lebih dikenal sebagai
Marxisme-Leninisme. Ajaran inilah yang nantinya akan menjadi inti dari seluruh
ideologi Komunisme di seluruh dunia. Ajaran ini jugalah yang menjadi inspirasi
bagi perjuangan revolusioner hampir di keseluruhan abad kedua puluh. Kiranya
tidaklah berlebihan apa yang ditulis Magnis-Suseno, bahwa komunisme, sebagai
kekuatan politik yang paling ditakuti pada abad keduapuluh, tidak akan pernah
ada tanpa Lenin.[6]
Kiranya, dalam hal relasi antara Lenin dengan Marx, ada dua konsep yang relevan
untuk dibicarakan, yakni tentang konsep proletariat sebagai penguasa,
dan tentang konsep partai revolusioner. Seperti sudah disinggung pada
bagian pendahuluan, kedua konsep ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang
diperlukan untuk mewujudkan ideal masyarakat komunis, yang akan dibahas pada
bagian selanjutnya.
Konsep
partai revolusioner berangkat dari pengandaian, bahwa kaum proletariat tidak
bisa secara sendirian mengembangkan kesadaran revolusioner mereka. Mereka
memerlukan partai untuk menyuntikkan kesadaran tersebut. Hal ini tentunya
bertentangan langsung dengan pemikiran Marx. Menurut Marx, apa yang disebut
sebagai kesadaran revolusioner bukanlah suatu konsep yang dihasilkan dari
refleksi para intelektual, melainkan hasil dari dialektika perjuangan
proletariat itu sendiri.[7] Jadi, kesadaran
revolusioner proletariat akan tumbuh dan berkembang di dalam pergulatannya.
Jika kesadaran revolusioner itu dipompakan dari luar oleh partai, apakah
kesadaran tersebut masih sungguh-sungguh otentik? Jika hal itu yang terjadi,
maka perjuangan kaum proletariat adalah suatu tandan penindasan baru, yakni
penindasan partai. Emansipasi pun tidak akan bisa berlangsung. Buruh akan tetap
bergantung pada kekuatan dari luar. Dengan kata lain, konsep partai
revolusioner menggambarkan apa yang secara jelas akan ditolak oleh Marx
sejak awal, yakni ketertindasan dari luar.[8]
Lenin sendiri berpendapat, bahwa revolusi tidak akan secara niscaya datang.
Kesadaran revolusioner kaum buruh pun tidak otomatis tumbuh. Oleh karena itu
dibutuhkanlah sebuah partai yang akan mendorong terciptanya kesadaran tersebut.
Ada tidaknya
revolusi sangat tergantung dari kehendak revolusioner, dan kehendak
revolusioner tidak dapat otomatis ada, melainkan harus 'diadakan'. Disitulah
fungsi partai revolusioner. Dalam arti ini, revolusi adalah sesuatu yang
dikehendaki, sesuatu yang harus secara aktif diperjuangkan.
Setelah kekuasaan di Russia
berada di tangan Kaum Bolshevik, Lenin lalu menghapus semua hak-hak demokratis
masyarakat, dan secara sistematik menghancurkan semua pemberontakan. Kekuasaan
yang diperlukan untuk membangun sebuah masyarakat komunis, hanya dapat diraih
dan dipertahankan dengan adanya kediktatoran kaum proletariat. Jelas, Marx
tidak pernah merumuskan ide semacam ini. Ia tidak memikirkan keberadaan sebuah
partai yang akan melakukan represi guna menciptakan masyarakat komunis.
Baginya, revolusi baru dapat terjadi, jika mayoritas masyarakat adalah kaum
proletariat yang akan berhadapan langsung dengan para pemilik modal. Untuk
sementara, kaum proletar memang harus menjalankan pemerintahan dengan tangan
besi guna menumpas semua pemberontakan dari pemilik modal. Akan tetapi, ini pun
hanya berlangsung sebentar. Jika seluruh masyarakat terdiri atas kaum proletar
yang tidak lagi mempunyai musuh, maka kekuasaan tangan besi itu pun tidak lagi
diperlukan.[9]
Secara historis, kondisi yang dihadapi oleh Lenin pada jamannya sangatlah
berbeda dengan apa yang dipikirkan Marx. Pada masa itu, kelas yang merebut
kekuasaan adalah kelas yang merupakan minoritas di Russia. Sementara, kelompok lainnya
secara jelas menentang kekuasaan partai Bolshevik dan penerapan sosialisme.
Dalam situasi semacam itu diperlukanlah suatu bentuk kediktatoran untuk menata
keadaan. "Hanya dengan menindas segala perlawanan dan melalui tindakan
diktatoris", demikian tulis Magnis-Suseno tentang Lenin, "sosialisme
akan dapat dibangun dan kelas-kelas yang berbeda lama-kelamaan dileburkan
menjadi satu kelas pekerja".[10] Dalam kasus Lenin,
kediktatoran partai tersebut akan berlangsung secara permanen.
Dua konsep ini, yakni keberadaan partai revolusioner dan keberadaan
partai proletar yang memiliki kekuasaan permanen, akan menjadi penyangga bagi masyarakat
komunis yang dirumuskan oleh Lenin. Dengan kata lain, untuk mendirikan masyarakat
komunis, seperti yang menjadi cita-cita Marxisme-Leninisme, dua konsep tersebut
haruslah ada terlebih dahulu. Tanpanya, masyarakat komunis tidak akan pernah
bisa diwujudkan. Lalu, masyarakat komunis macam apakah yang sungguh menjadi
cita-cita Marxisme-Leninisme? Pada bab berikutnya, saya akan mencoba
menjelaskan versi masyarakat komunis yang menjadi impian Lenin, yang kemudian
upaya perwujudannya diteruskan oleh Partai Komunis Uni Soviet.
3. Masyarakat
Komunis
Di
dalam merumuskan pandangannya mengenai ideal masyarakat komunis, Lenin jelas
banyak berhutang pada Marx. Pada bab ini, saya akan mencoba untuk membaca
tulisan Marx, Lenin, dan Engels untuk memberikan gambaran umum tentang apa yang
dimaksud dengan masyarakat komunis. Tentang masyarakat komunis, Marx pernah
menulis,
"..
Setelah subordinasi yang memperbudak dari individu kepada pembagian kerja, dan
dengan itu antitesis antara kerja fisik dan kerja mental telah hilang; setelah
kerja tidak lagi merupakan alat untuk hidup melainkan tujuan utama dari hidup
itu sendiri; setelah kekuatan-kekuatan produktif telah berkembang sejalan
dengan perkembangan individu, … hanya dengan begitulah, masyarakat dapat
menyatakan hal ini: Dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, kepada setiap
orang sesuai dengan kebutuhannya."[11]
Masyarakat
komunis adalah masyarakat yang ditata berdasarkan sistem masyarakat tanpa kelas
(classless society). Di dalam masyarakat tersebut, semua sistem diatur
berdasar kepemilikkan publik dan kesetaraan bagi semua orang. Tidak ada
hak milik pribadi. Prinsip 'dari setiap orang sesuai kemampuannya dan kepada
setiap orang sesuai dengan kebutuhannya' pun akan terwujud. "Komunisme",
menurut definisi yang diberikan oleh Partai Komunis Uni Soviet pada 1962,
"adalah masyarakat yang terorganisir secara rapi yang terdiri dari
orang-orang bebas, yang sadar secara sosial… dan bekerja demi kebaikan bagi
semua orang."[12] Orang-orang yang hidup
di dalam masyarakat komunis adalah orang-orang yang sadar betul, bahwa
pekerjaan mereka bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagai keseluruhan,
dan bukan kesejahteraan mereka sendiri.
Seperti yang menjadi judul tulisan ini, prinsip dasar dari masyarakat komunis
adalah 'dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, dan kepada setiap orang
sesuai dengan kebutuhannya'. Apa yang dimaksud dengan dari setiap orang sesuai
dengan kemampuannya? Pertama, dengan memastikan bahwa setiap orang dapat
merealisasikan bakat-bakat mereka sepenuhnya, maka setiap orang akan bekerja
sesuai dengan minat dan kemampuannya, dan tingkat produktivitas pun akan
meningkat dengan niscaya. Kedua, dengan adanya penghapusan pembagian
kerja (division of labour), setiap orang akan bekerja tidak atas paksaan
atau perintah dari orang lain, tetapi atas apa yang menjadi kecocokannya, yang
membuat hidupnya bermakna. Dengan itu, kepribadian dan kemanusiaan setiap orang
akan berkembang sejalan dengan pekerjaan yang mereka jalani. Ketiga -dan
inilah yang membedakan komunisme dari sosialisme- jika di dalam masyarakat
sosialis, penghasilan diberikan sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan,
sebaliknya, di dalam masyarakat komunis, setiap orang bekerja dengan dorongan
moral (moral stimuli) mereka. Dengan kata lain, setiap orang bekerja
tanpa bayaran. Kepuasan bahwa mereka sudah mengabdi pada masyarakat yang lebih
luas sudah menjadi bayaran yang lebih dari cukup.[13]
Jelaslah,
di dalam masyarakat komunis, kegiatan bekerja bukanlah suatu kegiatan yang
didasarkan pada keterpaksaan, melainkan sebuah tujuan tertinggi dari
hidup. Hal ini muncul bukan hanya karena kesadaran masyarakatnya saja yang
sudah berubah, melainkan juga karena hakekat dari kerja itu sendiri yang
telah diubah di dalam masyarakat komunis. Kerja tidak lagi merupakan suatu
bentuk eksploitasi terhadap manusia. Kerja-kerja yang dianggap eksploitatif,
seperti kerja-kerja fisik, kini digantikan oleh mesin. Sementara, setiap
manusia hanya diharuskan bekerja sesuai dengan apa yang menjadi kemampuan dan
minatnya. Hakekat kerja yang lama, yakni yang eksploitatif dan melumpuhkan
manusia, kini digantikan oleh kerja yang mengembangkan manusia sebagai
keseluruhannya. Inilah hakekat kerja di dalam masyarakat komunis.[14]
Partai
Komunis Uni Soviet menggarisbawahi beberapa hal operasional mengenai hakekat
kerja di dalam masyarakat komunis. Pertama, seperti sudah dijelaskan
sebelumnya, setiap orang melakukan pekerjaan sesuai dengan minat dan
kemampuannya. Kedua, setiap orang boleh berganti pekerjaan, bila ia
merasa bahwa pekerjaannya yang lama telah membuatnya tidak berkembang. Ketiga,
setiap orang bekerja 20-25 jam dalam seminggu. Artinya, setiap orang bekerja
empat sampai lima
jam sehari, bahkan kurang. Keempat, semua bakat dan kemampuan yang ada
di dalam setiap orang akan dikembangkan semaksimal mungkin, baik di dalam
kegiatan kerja mereka, maupun di dalam aktivitas mereka di waktu santai. Kelima,
setiap orang tidak usah berpikir tentang berapa penghasilan yang mereka peroleh
dari kerja-kerja mereka, karena pemerintah telah menjamin bahwa semua kebutuhan
setiap orang akan dipenuhi. Keenam, setiap pekerja akan memperoleh
penghormatan tertinggi di masyarakat. Apa yang dikerjakan oleh seseorang akan
menjadi cermin dari kualitas orang itu sebenarnya.[15]
Di
dalam kondisi semacam itu, kerja akan menjadi suatu tindakan yang bebas dan
volunter. Dan seperti yang pernah ditulis oleh Engels, kerja menjadi
"kenikmatan tertinggi yang diketahui oleh manusia."[16] Kerja memberikan
kebahagiaan kepada setiap orang yang melakukannya. Orang tidak memerlukan
hiburan instan guna mencapai kebahagiaan, karena dengan pekerjaannya pun orang
bisa merasa bahagia. "Seorang pekerja yang bebas", demikian tulis
Marx, "misalnya seorang penggubah lagu, adalah sekaligus kerja yang
membahagiakan dan sekaligus kerja yang serius, yang membutuhkan ketegangan yang
intensif."[17] Jadi, setiap pekerjaan,
entah itu seorang penulis, seorang komponis, atapun seorang guru, adalah
sekaligus pekerjaan yang membahagiakan dan serius. Setiap pekerjaan
adalah sekaligus mekanis dan sekaligus kreatif.
Di
dalam masyarakat komunis, kebahagiaan dan kepuasan hidup pun akan lebih bisa
didapatkan, karena orang tidak hanya sibuk dengan urusan kerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup semata, yang memang sudah tidak diperlukan, tetapi mereka juga
bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan lainnya yang bermakna, seperti seni, ilmu
pengetahuan, dan literatur. Harapannya adalah, kebudayaan di dalam masyarakat
komunis akan berkembang begitu pesat, dan ini nantinya akan membuat kemakmuran
masyarakat tersebut bertambah.
Dengan
demikian, kita dapat menemukan pengandaian-pengandaian yang bersifat humanistik
di dalam konsep masyarakat komunis, tepat karena komunisme bertujuan untuk
membuat hidup setiap orang menjadi lebih bebas dan lebih bermakna, terutama
dengan memberikan waktu luang untuk melakukan hal-hal yang mereka sungguh
sukai, demi perkembangan relasi mereka dengan orang lain, ataupun perkembangan
pribadi mereka sendiri.
Prinsip
dasar pembagian kekayaan di dalam masyarakat komunis adalah, 'kepada setiap
orang sesuai dengan kebutuhannya'. Dengan kata lain, setiap orang, siapapun dan
apapun status sosialnya, akan menerima semua kebutuhannya secara gratis
dari pemerintah. Dengan pemahaman ini, yang berubah bukan hanya pemahaman
tentang kerja, tetapi seluruh relasi antar manusia, seperti hilangnya
konsumsi berlebihan oleh satu pihak karena daya beli yang tinggi, dan relasi
antar manusia yang dihitung tidak lagi dengan menggunakan logika ekonomi dan
komoditi. Pertimbangan-pertimbangan yang bersifat egoistis akan hilang.
Dorongan untuk mencari kekayaan material secara berlebihan juga akan lenyap.
Kebijakan
yang hendak memberikan secara gratis semua kebutuhan hidup bagi setiap
orang akan mengubah cara berpikir masyarakat. Orang tidak lagi dibebani oleh
tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar. Di dalam paradigma semacam ini,
orang akan bebas dari keinginan untuk mengejar pendapatan ataupun hak milik
pribadi, sesuatu yang seolah menjadi 'makna' bagi orang-orang yang hidup di
dalam masyarakat kapitalis. Dan pada akhirnya, setiap orang akan menyibukkan
diri mereka dengan hal-hal yang sungguh bermakna dan memiliki budaya yang
tinggi. Inilah yang sungguh dihargai di dalam masyarakat komunis.[18]
Seperti
yang sudah disinggung sebelumnya, distribusi kekayaan di dalam masyarakat
komunis akan dibagi seadil-adilnya. Di dalamnya termasuk juga kebutuhan ekonomi
material maupun kebutuhan yang bersifat spiritual. Proses ini akan
menguntungkan kedua belah pihak, baik masyarakat sebagai keseluruhan, maupun
individu-individu partikular yang hidup di dalam masyarakat tersebut.
"Distribusi", demikian tulis Engels, "sejauh itu diatur dengan
pertimbangan yang murni ekonomis, akan ditata dengan kepentingan yang mengacu
pada produksi, dan produksi itu akan mendorong modus distribusi yang
memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan, mempertahankan, dan
melatih kemampuan mereka dengan universalitas yang maksimal."[19]
Pada
titik ini, kita bisa mengajukan pertanyaan kritis. Jika setiap kebutuhan
dipenuhi oleh pemerintah, lalu bukankah setiap orang akan menuntut dipenuhi
keinginan-keinginannya, seperti keinginan akan rumah yang besar, ataupun
kendaraan yang mewah? Lalu, bagaimana jika ada orang yang ingin menjadi
kolektor perhiasan ataupun benda-benda seni yang memiliki nilai tinggi? Apakah
mereka juga bisa menuntutnya dari pemerintah?
Pertanyaan
itu memang tepat untuk diajukan, tetapi persis menggambarkan kesalahpahaman
terhadap konsepsi masyarakat komunis. Sistem pengaturan masyarakat komunis
memang berusaha memenuhi kebutuhan hidup setiap anggota masyarakatnya. Akan
tetapi, kebutuhan yang dipenuhi adalah kebutuhan yang bersifat mendasar, dan
bukan kebutuhan akan barang-barang mewah. Tujuan dari proses pengaturan ini
adalah "untuk menjamin kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan yang masuk
akal.."[20] Memang, ada pengandaian
yang cukup problematis disini. Siapakah yang punya otoritas untuk menentukan,
kebutuhan mana yang masuk akal, dan kebutuhan mana yang tidak? Jawabannya,
tidak ada! Setiap orang yang hidup di dalam masyarakat komunis sudah memiliki kesadaran
penuh untuk tidak menuntut sesuatu yang tidak masuk akal dari
pemerintahnya. "Komunisme", demikian tulis Lenin, "mengandaikan
produktivitas tenaga kerja..dan bukan… orang-orang yang memiliki kemampuan
untuk merusak kekayaan publik untuk bersenang-senang dan dengan menuntut yang
tidak mungkin."[21]
Di
dalam masyarakat komunis, pola konsumsi masyarakat juga akan berubah. Konsumsi
akan berada di level yang lebih tinggi. Selera masyarakat akan berubah, dan
akan menjadi semakin tidak individual. Pemerintah akan menciptakan alat
transportasi publik yang nyaman, sambil secara perlahan menghilangkan alat
transportasi pribadi. Rumah mewah personal akan digantikan dengan rumah
peristirahatan publik. Klub-klub eksklusif akan dibongkar, dan digantikan oleh
arena publik yang terbuka untuk setiap orang. Semua hal ini, menurut Lenin,
akan membawa keuntungan bagi masyarakat sebagai keseluruhan. Dan yang terutama,
masyarakat akan dijauhkan dari hasrat untuk memperoleh hak milik pribadi yang
hanya boleh digunakan untuk dirinya sendiri.[22]
Sekolah
di dalam masyarakat komunis akan mendidik setiap orang untuk tidak menjadikan
konsumsi sebagai tolok ukur. Bukanlah kemewahan dan tingkat kemampuan konsumsi
yang menjadi nilai dari seseorang, tetapi kemampuannya untuk mengapresiasi keindahan
di dalam segala bentuknya, mulai dari seni sampai ilmu pengetahuan. Keindahan
tersebut tidak hanya berguna bagi orang itu sendiri, tetapi juga bisa berguna
untuk masyarakat sebagai keseluruhan. Pola pendidikan di dalam
masyarakat komunis adalah pola pendidikan yang mengedepankan keindahan
dan kesadaran orang untuk mengabdi pada kepentingan publik.
4. Kesimpulan
Argumen yang saya ajukan di dalam tulisan ini adalah, bahwa masyarakat
komunis yang ideal tidak akan pernah terwujud, selama partai revolusioner
belum terbentuk, ataupun tidak melakukan apa yang menjadi tugas mereka secara
baik. Masyarakat komunis yang ideal juga tidak akan terbentuk, jika proletariat
tidak meraih kekuasaan dan menerapkannya dengan gaya diktator untuk menekan
pihak-pihak yang tidak ingin diciptakannya masyarakat komunis.
Partai revolusioner sendiri adalah suatu konsep yang dirumuskan Lenin untuk
menanggapi minimnya kesadaran revolusioner di dalam kaum proletariat. Di dalam
sejarahnya, kesadaran revolusioner memang tidak tumbuh secara otomatis. Oleh
karena itu diperlukanlah partai revolusioner, yang secara aktif membangun
kesadaran revolusioner tersebut di kalangan kaum proletariat, sehingga revolusi
pada akhirnya bisa berlangsung. Pada akhirnya dapatlah dikatakan, bahwa partai
revolusioner, menurut Lenin, mewakili kesadaran revolusioner kaum proletariat
yang sesungguhnya.
Setelah revolusi berhasil dilaksanakan, kekuasaan yang diperlukan untuk
menciptakan masyarakat komunis yang ideal belumlah stabil. Maka dari itu
diperlukan suatu jaminan tersendiri. Jaminan itu hanya dapat diberikan, jika
kaum proletar memegang kekuasaan secara diktatorial, dan menerapkannya untuk
menghancurkan musuh-musuh yang menentang keberadaan masyarakat komunis. Di
dalam pemikiran Lenin, yang memang nantinya diterapkan di Russia, kekuasaan kaum proletar
tersebut diwakilkan pada partai komunis. Partai komunislah yang nantinya akan
secara permanen menjaga kesadaran revolusioner seluruh negara, dan memastikan
bahwa tidak ada lagi musuh-musuh yang menentang berdirinya masyarakat komunis.
Lenin sendiri berpendapat, dalam hal ini agak searah dengan Marx, bahwa
masyarakat komunis adalah masyarakat yang paling ideal di dalam sejarah
manusia. Di dalam masyarakat komunis, seluruh kebijakan politis diciptakan
dengan berpegang pada satu prinsip, yakni dari setiap orang sesuai dengan
kemampuannya, dan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya. Artinya,
setiap orang bekerja sesuai dengan minat dan kemampuannya. Kerja adalah sesuatu
yang mengembangkan keseluruhan diri manusia, dan bukan lagi suatu keterpaksaan
demi mempertahankan keberadaan. Kerja juga merupakan suatu bentuk pengabdian
nyata pada kepentingan publik, dan tidak lalu berorientasi melulu pada
kepentingan pribadi. Mekanisme kerja akan dibuat sedemikian membebaskan,
sehingga orang dapat mengembangkan suatu budaya tinggi (high culture).
Budaya tinggi inilah yang mencegah berbagai kecurangan dan pelanggaran hukum di
dalam masyarakat komunis.
Semua
pelanggaran hukum juga akan hilang, karena setiap orang tidak lagi perlu
memikirkan bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga mereka.
Pemerintahlah yang akan memenuhi semua kebutuhan hidup. Tentu saja, di dalam
masyarakat komunis, setiap orang akan sadar, bahwa mereka tidak akan menuntut
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan yang mengada-ada, seperti rumah ataupun
mobil mewah. Pola konsumsi dan selera masyarakat akan sepenuhnya berubah.
Selera masyarakat tidak lagi hanya akan berfokus pada kepentingan pribadi
ataupun kelompok partikular semata, melainkan berorientasi sepenuhnya pada
kepentingan publik. Tidak hanya kerja, selera dan pola konsumsi pun kini
ditujukan sebagai suatu bentuk pengabdian pada kepentingan publik sebagai
keseluruhan.
Masyarakat
komunis yang ideal semacam itu, menurut Lenin, hanya dapat terwujud, jika
kesadaran revolusioner kaum proletar di dalam alam kapitalisme bisa
ditumbuhkan. Proses menciptakan kesadaran revolusioner tersebut hanya dapat
dijamin dengan keberadaan suatu partai revolusioner. Partai revolusioner inilah
yang mewakili kesadaran revolusioner yang otentik. Masyarakat komunis yang
ideal juga hanya dapat terwujud, jika pihak-pihak yang menentang keberadaannya
bisa ditumpas. Memang, segala sesuatu ada harganya, dan, menurut Lenin, harga
yang harus dibayar demi terciptanya masyarakat komunis adalah adanya semacam
kekuasaan diktatorial dari partai komunis. Partai inilah yang memastikan, bahwa
masyarakat komunis yang ideal nantinya bisa terwujud di dalam realitas.
5. Tanggapan
Kritis
Tanggapan saya diajukan dari suatu pengandaian, bahwa kekuasaan pada hakekatnya
memiliki kecenderungan untuk bersifat koruptif. Dan seperti yang apa yang
menjadi isi dari hukum Marshall,
"what can go wrong will go wrong", demikian pulalah kekuasaan
diktatorial yang diberikan kepada kaum proletariat, yang kemudian diwakilkan
pada partai, akan berjalan tidak sesuai dengan tujuan awalnya. Siapa yang bisa
menjamin, bahwa setelah memperoleh kekuasaan, partai revolusioner akan tetap
konsisten menciptakan masyarakat komunis, seperti yang dicita-citakan oleh
Lenin? Bukankah kemungkinan sebaliknya juga bisa terjadi, bahwa yang tercipta
bukanlah masyarakat komunis, melainkan masyarakat yang ditata dengan suatu gaya totalitarianisme
diktatorial tertentu, yang mengatasnamakan komunisme?
Sejarah sendiri sudah membuktikan, bahwa yang terakhirlah yang terjadi.
Alih-alih menjadi suatu masyarakat komunis yang diimpikan oleh Lenin dan Marx, Russia
justru menjadi suatu negara totaliter yang menjadikan komunisme sebagai
legitimasi bagi penindasannya. Hal ini tepat terjadi, karena tidak adanya
kontrol kritis langsung dari masyarakat terhadap pemerintahnya. Dan juga,
karena setiap orang yang bersikap kritis terhadap pemerintah akan dianggap
sebagai musuh komunisme, dan haruslah ditumpas, juga atas nama komunisme.
Dengan kata lain dapatlah dikatakan, bahwa masyarakat komunis yang sesunguhnya
belumlah pernah tercipta di dalam sejarah manusia. Apa yang menjadi cita-cita
Lenin dan Marx masihlah berada di tataran mimpi dan cita-cita semata. Suatu
masyarakat yang menghargai manusia bukan karena uangnya, tetapi karena
kemanusiaannya. Suatu masyarakat yang membuat orang bekerja bukan karena
terpaksa, tetapi karena orang itu merasa perlu untuk mengembangkan dirinya
sendiri. Pertanyaan penutup kiranya dapatlah diajukan; apakah kita dapat
belajar sesuatu dari konsep masyarakat komunis ideal yang dirumuskan Lenin dan
Marx? Jika ya, apakah kita punya cita-cita dan keberanian yang
mencukupi untuk mewujudkan idealitas tersebut ke dalam realitas?***
0 komentar:
Posting Komentar