“Disini, kami
tidak berkata bahwa orang-orang yang tidak tertarik pada politik adalah
orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi kami berkata bahwa
orang-orang seperti itu sama sekali tidak mempunyai urusan disini..”[1]
Demikianlah
tulis Pericles di dalam pernyataannya terhadap seluruh warga Athena hampir tiga
ribu tahun yang lalu. Konsep ruang publik klasik sebagai ‘persemakmuran yang
diatur secara politis’ (political organized commonwealth) mencapai
formulasinya yang paling utuh di kota-kota Yunani Kuno. Sifat-sifat manusia,
dan semua atributnya, seperti cinta, persahabatan, pernikahan, kewarganegaraan,
kewajiban seorang budak, tanggung jawab pemilik tanah, pembagian kerja,
semuanya dipelajari dan direfleksikan di dalam keunikan dan keterkaitannya
masing-masing.
Fakta
bahwa manusia sudah selalu hidup bersama di dalam relasi-relasi yang melibatkan
kesamaan dan keunikan masing-masing menghidupkan perdebatan dan refleksi lebih
jauh tentang masyarakat dalam tegangannya antara partikularisme di satu sisi,
dan universalisme di sisi lain. Di dalam perdebatan ini, banyak teori-teori
politik awal mulai terumuskan. Salah satu refleksi teori politik awal yang
paling signifikan adalah berkisar tentang ruang publik.[2]
Teori politik klasik secara konsisten berpendapat bahwa kekuasaan politis yang
dimiliki berdasarkan kehidupan bersama adalah roda penggerak sekaligus ciri
yang memungkinkan lahirnya peradaban. Para filsuf Yunani Kuno, dan sebagian
besar warga negaranya, yakin bahwa aktivitas politik memungkinkan manusia untuk
melampaui kepentingan-kepentingan alamiah dan naluriahnya belaka, serta secara
sadar menetapkan sekaligus melaksanakan prinsip-prinsip moral.
“Jika
orang-orang idiot”, demikian tulis Ehrenberg, “adalah orang-orang yang hidup
sendiri dan ditentukan melulu oleh dorongan-dorongan individualnya, seorang
warga negara yang mampu menegaskan dan mengatur dirinya sendiri merupakan
personifikasi dari orang yang terlibat di dalam aktivitas publik yang
digerakkan oleh rasionalitas…”[3]
Kehendak yang besar untuk menempatkan kepentingan pribadi di posisi subordinat
terhadap kepentingan negara-kota adalah tanda dari sikap partisipasi publik di
kota-kota Yunani Kuno. Salah satu filsuf yang menyadari betapa kuatnya
‘semangat kebangsaan dan kewarganegaraan” (civic spirit) ini adalah
Pericles. “Tidak diantara orang-orang ini,” demikian tulisnya, “menjadi lemah
secara politik hanya karena mereka ingin menikmati kekayaan pribadinya: tidak
ada orang yang bermalas-malasan tetapi hidup dengan harapan bahwa ia dapat
keluar dari kemiskinannya dan hidup kaya raya. Ada hal-hal yang jauh lebih
diinginkan dari kedua hal tersebut…”[4]
Tulisan
ini adalah sebuah sketsa singkat tentang konsep ruang publik yang pertama kali
dirumuskan oleh para filsuf Yunani Kuno. Plato dan Aristoteles adalah para
pemikir klasik yang secara komprehensif, namun bertolak belakang, banyak
berefleksi tentang ini. Argumen yang ingin diajukan disini adalah bahwa konsep
ruang publik berakar pada perdebatan metafisika tentang yang satu dan yang
banyak, antara totalitas dan pluralitas. Filsafat politik yang merefleksikan
ruang publik selalu sudah mempunyai asumsi metafisis yang berjangkar pada
pemikiran filsafat Yunani Kuno, entah disadari atau tidak. Ruang publik adalah
sebuah gagasan metafisis tegangan antara yang satu dan yang banyak, yang berevolusi
menjadi realitas faktual, dan kini diperdebatkan, diperebutkan, bahkan dengan
menumpahkan darah, dan mengorbankan nyawa.
Yang “Satu”
menurut Plato: Kesatuan Ruang Publik
Plato mencoba untuk mengajukan semacam anti tesis terhadap berbagai bentuk
kebingungan moral dan politis di masa ia hidup dengan menggunakan pendekatan
rasionalistik, yang berpijak pada ‘ranah filosofis dari kategori-kategori
absolut’ ( philosophical realm of absolute categories). Ia lahir pada
428 BC, setahun setelah Pericles meninggal. Plato hidup dan beranjak dewasa di
dalam iklim Yunani pasca kekalahan militer mereka, keadaan ekonomi yang tidak
stabil, kondisi politik yang kacau, serta kebingungan untuk menentukan dan
bersikap moral. Tujuan terdalamnya adalah menetapkan prinsip-prinsip moral bagi
pemerintahan, sehingga negara dan pemerintah bisa secara cepat tanggap terhadap
berbagai ketidakpastian dan kekacauan pada waktu itu. Plato, di dalam filsafat
politiknya, merumuskan ruang publik dalam konteks konsepsi metafisis yang utuh
tentang kebenaran, serta penolakan yang amat kuat terhadap kepentingan pribadi.
Plato tidak merumuskan tentang konsep individu, keindahan, kebaikan, atau semua
kategori yang terpisah dari negara. Oleh karena itu, pemahamannya tentang ruang
publik sebenarnya mengandung kelemahan yang sangat besar, yakni
ketidakmampuannya mengenali individu, yang merupakan unsur pembentuk komunitas
dan masyarakat itu sendiri.
Debat antara Sokrates dan Thrasymachus di dalam The Republic karya Plato
menunjukkan bahwa
kepentingan
individual tidak akan pernah dapat memberikan dasar yang memadai untuk mencapai
kebahagiaan, keadilan, atapun hidup yang beradab. Kekuasaan yang legitim,
otoritas yang sah, hanya dapat ada, jika kesemuanya itu ditujukan untuk
menciptakan kemakmuran bagi orang-orang yang memberikan sekaligus menjadi
tujuan bagi kekuasaan tersebut.
Hal ini sama
seperti ketika dokter bekerja untuk menyembuhkan pasiennya, atau seorang kapten
kapal yang bertanggungjawab penuh atas keselamatan dan kesejahteraan anak
buahnya.
“Tidak ada
penguasa”, demikian tulis Plato, “sejauh ia berperan sebagai seorang penguasa,
akan menikmati kekuasaannya demi kepentingannya sendiri. Semua yang ia katakan
dan lakukan akan dikatakan dan dilakukan dengan pertimbangan tentang apa yang
baik dan pantas untuk pihak-pihak di mana ia mempraktekkan kekuasannya itu.”[5]
Kekuasaan
politis hanya ada untuk melayani kemakmuran suatu kota dan warganya.
Plato juga menyadari bahwa rakyat hidup di dalam ruang-ruang yang memiliki
karakter relasional yang berbeda, seperti agama dengan institusinya, politik
dengan ruangnya, dan begitu juga dengan ekonomi. Setiap ruang memiliki logika
pengaturannya sendiri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk memahami logika
internal setiap ruang di dalam masyarakat, tetapi hanya karena ia ingin sampai
pada pemahaman yang utuh dan satu tentang realitas, yakni tentang fondasi
metafisis dari ruang tersebut. Seperti layaknya tubuh manusia ataupun perwira
di sebuah kapal, ruang publik terdiri dari berbagai macam elemen yang
masing-masing memiliki kemampuan berbeda, serta melakukan tugas yang juga
berbeda.
Pembagian kerja yang didasarkan pada bakat serta
kecerdasan merupakan inti dari pemikiran Plato tentang keadilan, politik, dan
ruang publik.
Dengan dibimbing
oleh rasionalitas, keadilan memungkinkan setiap bagian dari masyarakat
menyumbangkan sesuatu bagi kemakmuran keseluruhan dengan melakukan apa yang
menjadi bidang spesialisasi mereka, baik itu di dalam kehidupan keluarga,
persahabatan, ataupun di dalam kehidupan politik.
Kemakmuran
badan, ketenangan jiwa, serta kestabilan suatu negara merupakan hasil dari
keseimbangan dan harmoni semua elemen yang ada di dalamnya, yakni yang
berfungsi secara maksimal di bidangnya masing-masing. Dengan kata lain, relasi
yang bersifat timbal balik adalah syarat untuk mencapai kemakmuran dan
keadilan. “Tanpa keadilan”, demikian tulisnya, “manusia tidak dapat bertindak
bersama-sama sama sekali.”[6] Keadilan
mengandaikan adanya pemahaman yang sama tentang pembagian kerja dari semua
elemen-elemen yang terkait dengan tuntutan keadilan tersebut.
Bagi Plato, refleksi filsafat politik haruslah ditujukan untuk menangani
problem kembar yang paling pelik di dalam masyarakat, yakni korupsi dan
kebusukan moralitas. Tendensinya untuk menemukan kesatuan dari berbagai aspek
di dalam realitas juga mempengaruhi pemahamannya tentang konsep ruang publik
dan negara. Segala sesuatu yang membuat politik menjadi busuk dan tidak stabil
juga merupakan sebab-sebab yang membuat seorang invidu menjadi sakit. Jika
keadilan dapat disamakan dengan keseimbangan dan kesehatan, maka ketidakadilan
adalah konflik batin, dan kebusukan moralitas adalah kekacauan jiwa.
Semua
bentuk gangguan di dalam kehidupan politik dapat ditarik pada ketidakmampuan
elemen-elemen di dalam negara untuk berfungsi sesuai dengan perannya.
Sama seperti
kejahatan yang seringkali muncul dari ketidaktahuan, begitu pula korupsi muncul
dari ketidakmampuan fungsional elemen-elemen yang ada di dalam masyarakat.
“Jika ketidakadilan sama seperti penyakit,” demikian Plato, “maka itu sama saja
dengan tatanan alamiah yang telah diputarbalikkan.”[7]
Kesatuan adalah suatu konsep yang sangat penting, baik bagi analisis politik,
maupun analisis tentang jiwa manusia. Dalam hal ini, Plato sangat dipengaruhi
oleh gurunya, Sokrates, yang berpendapat bahwa orang yang bahagia akan
mengarahkan seluruh keutuhan dirinya sesuai dengan pengetahuannya akan tujuan
terdalam dari hidup. Kebaikan dipahami sebagai sesuatu yang pantas untuk dikejar,
walaupun prosesnya membutuhkan pengorbanan. Perdebatan antara Plato dengan kaum
Sofis didorong oleh keyakinannya bahwa mereka telah ‘melacurkan’ pengetahuan
dengan menyempitkannya melulu pada kemampuan retorik untuk mencapai
tujuan-tujuan yang bersifat pribadi. Penekanan terlalu dalam pada kepentingan
pribadi akan mendorong terciptanya kekuatan anarkis. Akan tetapi, pada waktu
itu, kaum Sofis hanyalah bagian kecil dari persoalan yang lebih besar. Buku The
Republic karya Plato ditulis sebagai upaya untuk menghadapi semua
kecenderungan yang bersifat anarkis, yang merupakan akar penyebab dari krisis
di Athena. Oleh karena itu,
Plato sangat
menekankan pentingnya kesatuan, di mana kepentingan pribadi dan nafsu-nafsu tak
teratur dapat dibawa ke dalam kontrol kesadaran.
Nafsu
untuk meraih kekayaan akan menyebabkan konflik, sehingga ia menekankan
pentingnya menahan diri untuk mencapai kestabilan, di mana semua “kemewahan
dapat dihilangkan.”[8]
Kepentingan pribadi, yang seringkali bermuara pada
kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin, hanya akan mengikis tali
ikatan yang mengikat masyarakat dan ruang publik.
“Orang yang
memiliki kecenderungan bermewah-mewah” demikian tulis Plato, “.. tapi hidup
dengan standar tindakan yang rendah dan etos kerja yang buruk; adalah contoh
kecenderungan yang bersifat subversif..”[9]
Menurutnya,
tidak ada yang lebih berbahaya bagi sebuah negara yang menjunjung kesatuan
selain anarkisme, yang disebabkan oleh kecenderungan pemusatan oleh
elemen-elemen yang seharusnya menjadi bagian, serta pemutlakkan kepentingan
diri.
“Negara yang
tertata dengan baik”, demikian tulis Plato, “tampak ketika…. Salah seorang di
antaranya mengalami luka di jarinya, maka seluruh bagian yang berelasi
dengannya…. Menyadari luka tersebut, dan berbagi rasa sakit yang
diakibatkannya..”[10]
Jika sasaran
atau tujuan semacam ini tidak dicapai, maka pemutlakkan kepentingan diri akan
menyebar dari penguasa ke seluruh warga, sehingga “perbedaan, ketidaksetaraan,
serta ketidakharmonisan akan menyebabkan perang saudara..”[11] Dalam hal
ini, ia sangat yakin bahwa
kerakusan,
rivalitas, serta kompetisi adalah sebuah ancaman tetap terhadap keutuhan ruang
publik, terutama karena kepentingan pribadi yang dimutlakkan tidak akan dapat
dikontrol dengan sanksi hukum yang bersifat eksternal, ketika komitmen atas
kepentingan bersama tidak dibentuk terlebih dahulu.
Pemaksaan hukum
adalah sesuatu yang penting. Akan tetapi, pada akhirnya, hidup matinya ruang
publik sangat tergantung dari polarisasi persepsi yang terkandung di dalamnya.
Negara
yang tidak sehat sama seperti jiwa yang mengalami sakit, terutama karena
keduanya mengalami kehilangan keseimbangan.
Perjuangan untuk mewujudkan kepentingan pribadi merupakan
alasan dibalik setiap tiran, karena tendensi semacam itu membuat kepekaan pada
rasionalitas menjadi cacat, sehingga mengakibatkan hancurnya kesadaran civic,
dan kemudian menciptakan perang saudara. Ikatan yang merekatkan individu dan
masyarakat dibentuk oleh kekuatan rasionalitas, yang mampu mengkontemplasikan
kebenaran tunggal yang mengatur realitas pun berada dalam ancaman, ketika
kepentingan pribadi dimutlakkan.
Plato
sangat curiga terhadap nafsu-nafsu tak teratur yang muncul dari dorongan
individual manusia. Di dalam The Republic, ia menyerang lukisan dan
menolak puisi, karena keduanya berpijak pada emosi manusia, merendahkan
kebenaran sampai ke level subyektivitas, serta seolah-olah meremehkan
rasionalitas.
Di dalam lukisan dan puisi, kebenaran tidak
dikontemplasikan dengan rasionalitas, tetapi dengan emosi, nafsu, dan mungkin
dengan ketakutan.[12]
Obat
untuk hal ini adalah kepemimpinan yang kuat dan efektif, yang dapat membuat
ruang publik mengakarkan dirinya dalam suatu landasan etis rasional yang bisa
dipertanggungjawabkan.
“Kita”, demikian
tulis Plato, “merumuskan, seperti yang kita percayai, negara yang akan
mengalami kebahagiaan sebagai keseluruhan, dan tidak mencoba untuk memberi
kemakmuran untuk orang-orang tertentu saja.”[13]
Pada
titik ini, ruang publik berperan sebagai pengikat antara kebenaran, keadilan,
dan kebaikan dengan pengetahuan, kekuasaan, dan negara.
Intensi
dasar Plato untuk menyatukan berbagai aspek yang berbeda dari pengalaman
manusia, sehingga menghasilkan definisi kebaikan yang paling tinggi memberikan
dia argumentasi yang kuat bagi pembenaran atas tindak kontrol negara. Dengan
pembagian kerja yang jelas serta penolakannya pada perbedaan, ruang publik yang
dikonsepsikan Plato bermuara pada kesatuan totalitas publik yang beku, dan
stabilitas politik yang seringkali semu. Dalam arti ini, kesatuan dan
stabilitas negara menuntut adanya kepemimpinan “yang … memiliki kepenuhan untuk
melakukan apapun yang perlu untuk kebaikan seluruh negara dan tidak pernah
memiliki keinginan untuk bertindak tidak sesuai dengan kepentingan rakyat..”[14] Jika
kekuasaan politis dapat dipegang oleh pemimpin semacam ini, maka demokrasi
tampak disini hanya sebagai bentuk pemerintahan yang setengah-setengah, tidak
tegas, dan penuh dengan kekacauan.
Plato
seringkali dicap sebagai perumus komunisme pertama. Di dalam The Republic,
komunismenya ini merupakan konsekuensi logis dari tesisnya yang berpendapat
bahwa
hak
milik, keluarga, dan semua institusi yang melindungi kepentingan pribadi cenderung
untuk menciptakan polarisasi kepentingan, sehingga membuat pemimpin semakin
jauh dari kepentingan obyektif bagi masyarakat keseluruhan.
Sang pelindung
negara, yang mirip dengan tentara, tidak boleh mempunyai kepemilikan pribadi di
luar kebutuhan mereka, tidak boleh memiliki ikatan keluarga, mendapatkan
makanan mereka dari warga negara lainnya, makan dalam komunitas, dan menjalani
hidup asketis seperti layaknya prajurit. Seorang pelindung negara (the
guardian) tidak boleh memiliki kehidupan privat, karena korupsi dan kebusukan
moralitas muncul dari diprioritaskannya kepentingan pribadi.
Para pemegang
otoritas politik dan pelindung negara tidak boleh memiliki kehidupan pribadi.
“Cara hidup semacam ini”, demikian tulis Plato, “akan menjadi penyelamat mereka
dan akan membuat mereka menjadi penyelamat dari komunitas. Jika mereka memiliki
tanah milik mereka sendiri, serta uang dan rumah milik mereka sendiri, maka
mereka akan melepas status mereka sebagai pelindung, dan menjadi musuh bagi
teman-teman mereka, dan bukan sekutu..mereka akan menjalani hidup mereka dengan
kebencian serta dibenci, bersekongkol dan dijatuhkan, hidup dalam penuh
ketakutan terhadap musuh di rumah mereka daripada dari negeri asing,…”[15]
Lepas
dari penekanannya yang sangat besar pada kesatuan, Plato sadar bahwa ruang
publik terdiri berbagai macam elemen yang melakukan aktivitas dengan berbagai
bentuk kepentingan dan kemampuan yang berbeda. Pluralitas kepentingan tersebut
dijembatani dengan pembagian kerja, yang merupakan inti dari teori politiknya. Akan
tetapi, perbedaan kepentingan, kemampuan, dan lainnya hanyalah menunjukan
problem, dan belum menyelesaikannya. Perbedaan tersebut belumlah merupakan
suatu kebenaran yang terdalam dari realitas.
Semua bentuk
realitas yang berubah, tidak abadi ini hanyalah merupakan manifestasi dari
suatu bentuk sempurna yang abadi dan tetap, yang merupakan kunci untuk mencapai
keadilan dan perdamaian.
Ruang publik politis
yang beragam hanya dapat mencapai kepenuhan etisnya, jika ruang tersebut diatur
dengan pola yang sama, seperti bentuk sempurna metafisis tersebut. Rakyat dan
warga negara biasa biasanya cukup hidup di dalam gua dengan segala pesona dan
halusinasinya. Akan tetapi, kepemimpinan menuntut pemahaman tentang potensi
moral, yang tidak dapat melulu direduksi pada realitas yang berubah-ubah,
seperti nafsu ataupun emosi.
Politik bukanlah
soal pengaturan kepentingan yang berbeda-beda ataupun menyelesaikan problematika
konflik kepentingan, tetapi soal penciptaan kondisi, di mana setiap orang
diorientasikan pada yang universal dan tetap, serta menemukan yang universal di
balik segala yang partikular.
“Hukum” demikian
tulis Plato, “tidak dibuat untuk membuat sekelompok orang menjadi bahagia,
tetapi untuk memastikan kemakmuran komunitas sebagai keseluruhan. Dengan
persuasi, warga negara akan bersatu di dalam harmoni, membuat mereka berbagai
apapun keuntungan yang didapat… dan bahwa roh tidak digunakan untuk membiarkan
setiap orang bekerja sendiri, tetapi secara instrumental ditujukan untuk
mengikat komunitas sebagai satu kesatuan..”[16]
Intensi
dasar Plato adalah menyediakan suatu landasan moral dan kebijaksanaan tentang
hidup yang baik di tengah berbagai konflik kepentingan yang berbeda di dalam
ruang publik. Akan tetapi, semua teori politik yang dirumuskan Plato di dalam The
Republic, pada hemat saya, dapat dibayangkan sebagai obat yang justru
membunuh pasiennya. Keragaman identitas, kepentingan, serta kemampuan di dalam
ruang publik justru harus diberikan ruang yang mampu menampung pelbagai
perbedaan tersebut, dan bukan mereduksinya untuk tunduk pada satu diktum
metafisis, seperti yang dilakukan Plato.
Intensinya untuk mencapai kesatuan yang didasarkan pada
bentuk sempurna kebaikan tertinggi, pada akhirnya, akan mengubah masyarakat dan
ruang publik yang koheren harmonis menjadi ruang publik di bawah satu otoritas
totaliter yang mengatasnamakan kebaikan tertinggi tersebut.
Dengan kata
lain, tesis yang dirumuskan Plato tentang ruang publik koheren harmonis di
bawah satu otoritas moral rasional tertentu justru akan menghancurkan tujuannya
sendiri, karena
ruang
publik semacam itu mudah sekali diperalat dan diubah menjadi ruang publik
dengan satu kekuasaan otoriter totaliter tunggal.
Adalah muridnya
nanti, Aristoteles, yang akan merumuskan konsep ruang publik dengan cara yang
berbeda.
Yang “Banyak”
Menurut Aristoteles: Pluralitas Ruang Publik
Dilahirkan pada 384 Sebelum Masehi, Aristoteles menjadi murid di Academy milik
Plato selama 20 tahun. Berlawanan dengan Plato, ia berpendapat bahwa kita tidak
dapat mengkonseptualisasikan semua aspek dari realitas yang berbeda-beda ke
dalam satu konsep metafisis. Setiap bentuk sintesa konseptual selalu bersifat
mereduksi dan tidak utuh, karena berbagai bentuk pemikiran yang berbeda
memiliki logika partikularnya masing-masing. Ia hidup pada akhir-akhir
berdirinya negara-kota Athena, dan meninggal tepat di saat Athena hancur.
Pemikiran Aristoteles tentang ruang publik dirumuskannya dalam Politics.
Paragraf-paragraf awal dari buku itu menegaskan bahwa manusia sudah selalu
hidup di dalam banyak ruang, dan politik adalah salah satu ruang tersebut. Setiap
ruang memang mempunyai logika internalnya sendiri, tetapi semuanya dapat
dipahami secara komprehensif hanya dalam relasinya dengan yang lain. Aristoteles
berpendapat bahwa semua ruang yang berbeda-beda tersebut menemukan realisasinya
yang paling utuh di dalam negara, terutama di dalam pemahaman ruang publik
sebagai ‘komunitas yang diatur secara politis’.
“Pengamatan”
demikian tulis Aristoteles, “menunjukkan kepada kita pertama-tama bahwa setiap
polis atau negara adalah spesies dari suatu bentuk kerja sama, dan kedua, bahwa
semua bentuk kerja sama diinstitusikan untuk tujuan mencapai kebaikan- bahwa
semua orang melakukan tugas mereka untuk mencapai sesuatu yang, menurut mereka,
sesuai dengan kebaikan. Dengan demikian, kita dapat berpendapat bahwa semua
bentuk kerja sama di dalam masyarakat selalu mengarah pada kebaikan; dan kita
juga dapat berpendapat bahwa semua bentuk kerja sama partikular yang merupakan
terbesar di antara yang lain, dan mencangkup juga semua, akan mengarah pada tujuan
ini, dan akan mengarah pada kebaikan bagi semua. Kerjasama yang paling agung
dan paling inklusif adalah polis, atau sebagaimana disebut, negara.”[17]
Aristoteles, searah dengan Plato, berpendapat bahwa manusia memiliki ikatan dan
relasinya dengan manusia lain, dan ikatan tersebut terletak di dalam kebutuhan
akan barang-barang material. Ia juga berpendapat bahwa pembagian kerja
merupakan inti dari ruang publik. Ruang publik tersebut didasarkan pada
urusan-urusan rumah tangga, atau apa yang disebut Aristoteles sebagai
oikonomos. Beberapa rumah tangga yang berkumpul akan membentuk suatu desa. Dan
beberapa desa akan membentuk suatu kota, beberapa kota akan membentuk negara.
Negara tersebut terdiri dari beragam ruang kehidupan masyarakat, yang dibentuk
oleh tujuan-tujuan akhir tertentu. Kesemuan ruang itu hanya dapat dipahami
hanya dalam kosa kata totalitas, di mana ruang tersebut adalah bagiannya. Jadi,
ruang partikular dapat dipahami justru dengan melihat ruang publik secara
keseluruhan. Akan tetapi, di dalam Politics, Aristoteles mulai
meninggalkan analisis ruang ini, dan lebih memfokuskan analisisnya pada polis.
Hanya di dalam polislah manusia dapat mewujudkan potensi-potensi diri
seutuhnya.
Memang, manusia
harus makan sebelum ia bisa melakukan aktivitas lainnya. Tetapi, tujuan
terdalam manusia bukanlah makan, dan tujuan terdalam itu hanya dapat dicapai
melalui aktivitas politis di dalam polis.
Metode teleologisnya, yang menekankan bahwa segala sesuatu di dunia ini
memiliki tujuan dan mengarah pada tujuan itu, membuatnya memandang polis
sebagai bentuk hidup bersama yang paling agung dan inklusif, terutama karena
tujuan polis adalah mewujudkan tujuan-tujuan serta potensi-potensi manusia
seutuhnya. Keluarga dan desa didirikan untuk mendukung hidup manusia.
Sementara, polis didirikan untuk mencapai kehidupan yang baik, dan polis
adalah bentuk perkembangan moral manusia yang paling penuh.[18]
“Manusia”,
demikian tulis Aristoteles, “selalu sudah ditakdirkan untuk menjadi bagian dari
keseluruhan yang bersifat politis, dan ada semacam dorongan internal di dalam
diri setiap manusia yang mendorongnya untuk bekerja sama dan membentuk
tatanan…. Manusia, ketika dalam keadaan sempurna di dalam polis, adalah
binatang yang paling sempurna. Akan tetapi ketika ia terisolasi dari hukum dan
keadilan maka ia adalah mahluk yang paling buruk.”[19]
Manusia dapat mewujudkan potensi dan kapasitas diri seutuhnya melalui aktivitas
publik di level negara. Akan tetapi, menurutnya, perealisasian potensi dan kapasitas
ini tidak hanya dapat dilakukan di dalam negara. Sebelumnya, Plato berpendapat
bahwa ruang publik yang plural dapat dipandang sebagai satu kesatuan.
Aristoteles menolak pendapat itu, dan menyatakan bahwa ruang publik memiliki
banyak ikatan kerja sama yang tidak dapat direduksikan ke dalam totalitas
konseptual. Dalam hal ini, ruang publik dibedakan dari ruang privat, yakni
keluarga, di mana relasinya masih bersifat tidak setara, yakni antara tuan dan
majikan, antara orang tua dan anak, dan sebagainya. Walaupun begitu, keluarga
juga merupakan bagian dari “ruang tindakan moral” (spheres of moral action),
walaupun tidak mencukupi untuk menyediakan kebebasan bagi manusia untuk
merealisasikan diri seutuhnya. Dengan demikian, walaupun tidak mencukupi, keluarga
menyediakan semacam kondisi-kondisi untuk mewujudkan potensi manusia. Oleh
karena itu, keluarga juga berperan dalam pembentukan polis yang didasarkan pada
fondasi etika dan moral.
Dalam hal ini, Plato mungkin tidak akan pernah setuju dengan pendapat
Aristoteles, yang melihat bahwa keluarga dibentuk oleh tiga jenis relasi, yakni
relasi tuan dan budak, relasi suami dan istri, serta relasi orang tua dan anak.
Tiga jenis relasi ini disebutnya sebagai oikonomia, yang juga memberikan
sumbangan besar bagi perkembangan manusia di level negara. Oikonomia
ini, yang nantinya menjadi ekonomi, didefinisikan olehnya sebagai “suatu seni
mengatur budak-budak serta pelbagai ikatan pernikahan”.[20] Definisi ini
sangat menggambarkan pandangan klasik, yang melihat keluarga sebagai ruang
kebebasan kaum pria, dan sebagai ruang penindasan bagi kaum wanita. Fakta
diskriminatif ini sama sekali tidak mengurangi keluarga sebagai ruang ikatan
moral (moral association).
Ikatan di dalam
keluarga, walaupun belum mencukupi, memberikan sumbangan yang sangat besar bagi
pembentukan moral individu, sehingga ia bisa berpartisipasi di dalam aktivitas
politis, dan mengembangkan semua potensi dan kapasitasnya sebagai manusia.
Hal ini menjadi
penekanan yang sangat penting bagi Aristoteles. Walaupun keluarga dibentuk oleh
ikatan relasi yang bersifat tidak adil, tetapi keluarga tetap ikut serta
membentuk sikap moral individu, sehingga secara langsung juga sudah selalu
memberikan konstribusi positif terhadap terbentuknya negara (dan polis) yang
didasarkan atas fondasi moral.
Perbudakan, bagi Aristoteles, bukanlah sebuah kategori diskriminasi yang
bersifat rasial, melainkan suatu seni pengaturan rumah tangga (art of
household service)[21], yang juga
berarti bagian dari urusan rumah tangga, atau oikonomia. Budak dan
tuannya terikat bersama di dalam jaringan ketergantungan yang saling
menguntungkan. Budak menutup kelemahan tuan dalam hal kemalasannya. Sementara,
tuan menutup kelemahan budak dalam hal ketidakmampuannya mengatur dirinya
sendiri. Budak memberikan sumbangan terhadap tuannya dalam bentuk kemampuannya
untuk melakukan kerja-kerja yang bersifat domestik. Tuan memberikan sumbangan
pada perkembangan budaknya dalam bentuk bimbingan moral, serta kemampuannya
untuk melakukan pertimbangan rasional akan berbagai hal, yang tidak dapat
dilakukan oleh budak itu sendiri. Aristoteles melihat perbudakan sebagai bentu
relasi antara pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai dengan tujuan
kemakmuran kedua belah pihak. Kemakmuran sangatlah tergantung pada kemampuan
kedua belah pihak untuk mengenali, menerima, dan menjalankan perannya
masing-masing.
“Bagian-bagian
dan keseluruhan”, demikian tulis Aristoteles, “seperti juga tubuh dan jiwa,
memiliki kepentingan yang sama; dan budak adalah bagian dari tuannya, dalam
arti mereka hidup bersama walaupun memiliki tubuh yang berbeda. Ada kepentingan
komunitas, dan ada relasi persahabatan, antara tuan dan budaknya, ketika
keduanya secara alamiah menghayati posisi dan perannya masing-masing. Akan
tetapi, kebalikannya juga dapat terjadi, dan ada konflik kepentingan serta
permusuhan, ketika relasi perbudakan hanya diikat berdasarkan sanksi hukum dan
kekuasaan yang memaksa..”[22]
Ia juga berpendapat bahwa pernikahan, relasi antara suami dan istri, serta
keluara, relasi antara orang tua dan anak, adalah relasi keniscayaan, yang
seringkali diwarnai ketidakadilan. Walaupun tampak tidak adil, tetapi kedua
jenis relasi tersebt menghubungkan orang dalam relasi yang saling
menguntungkan, dan memiliki nilai-nilai moral yang diperjuangkan. Superioritas
moral suami terhadap istir, dan orang tua terhadap anaknya pada akhirnya akan
mengembangkan semua pihak yang terkait.
Walaupun begitu,
keluarga belumlah dapat mewujudkan potensi dan kapasitas manusia yang terdalam
seutuh dan semaksimal mungkin, karena keluarga dibentuk hanya untuk mendukung
kehidupan, dan bukan mengembangkannya semaksimal mungkin, sehingga orientasinya
akan cenderung domestik.
Keterbatasan
lainnya dari keluarga adalah adalah bahwa keluarga merupakan ruang privat, di
mana relasi tidak didasarkan atas pertukaran ataupun penjualan antara
orang-orang yang saling membutuhkan, dan kemudian menciptakan interaksi
ekonomi. Interaksi ekonomi yang didasarkan pada kebutuhan dan pertukaran
semacam ini hanya didapatkan pada tingkatan desa. Pada awalnya, pertukaran
tersebut masih dalam bentuk sederhana, seperti barter. Akan tetapi, proses
tersebut terus berkembang, sehingga akumulasi modal dimungkinkan melebihi
jumlah yang sebenarnya dibutuhkan. Konsekuensinya bisa negatif. Dalam hal ini,
Aristoteles memiliki pendapat yang searah dengan Plato, bahwa akumulasi modal
tanpa batas yang didorong oleh kepentingan individual akan menjadi ancaman bagi
keutuhan ruang publik.
Ekonomi memang telah menjadi bagian integral di dalam kehidupan manusia untuk
waktu yang sangat lama. Akan tetapi, adanya kehidupan sosial yang didominasi
oleh logika ekonomi baru muncul belakangan ini. Berbagai bentuk institusi telah
membentuk dan memdominasi karakter kehidupan sosial manusia selama ribuan
tahun, tetapi bukanlah institusi ekonomi. Norma-norma solidaritas, pembagian
kerja, serta ketergantungan antar berbagai elemen mengatur proses produksi dan
distribusi pada masyarakat pra kapitalis. Pasar secara khusus dan ekonomi secara
keseluruhan memang memiliki peran yang cukup signifikan, tetapi tidak menjadi
pengatur utama kehidupan sosial. Tidak ada kebutuhan (dan teknologi) untuk
melakukan perdagangan jarak jauh dengan jumlah yang besar. Di dalam kondisi
seperti itu, institusi ekonomi yang bebas dan berorientasi kemajuan tidak akan
dapat terbentuk, dan akan sangat sulit untuk membuat semacam abstraksi tentang
teori ekonomi yang lepas dari proses sejarah, terutama di dalam sebuah
komunitas, di mana fondasi masyarakat bersifat non-ekonomis.
Ekonomi sudah selalu tertanam di dalam kehidupan sosial. Di dalam komunitas,
segala sesuatu yang berkaitan dengan ekonomi tidak dibedakan dengan
bentuk-bentuk relasi sosial lainnya. Aktivitas ekonomi tidak dijalankan dengan
motivasi yang murni ekonomis.
Manusia memenuhi
kebutuhan dasarnya melalui relasi-relasi yang bersifat institusional di bidang
religius dan kekeluargaan, yang tidak dapat dimengerti melulu dengan
logika-logika yang bersifat ekonomis.
Tentu saja,
ekonomi memiliki peran yang penting, tetapi ruang ekonomi tidak meraih
kebebasannya sendiri sampai kapitalisme muncul, dan melahirkan semacam
pemahaman modern bahwa ekonomi serta modal dapat dikejar dan diraih demi
dirinya sendiri. Sampai saat itu tiba, masyarakat tidak pernah melihat
pengumpulan modal dan ekonomi sebagai fondasi relasional yang menentukan
kehidupan sosial mereka.[23] Oleh karena
itu,
hampir semua
teori klasik, seperti Aristoteles, berpendapat bahwa ekonomi merupakan
“persemakmuran yang diatur dengan kekuatan politis” (commonwealth organized
by political power),[24] dan
merupakan bagian integral dari kehidupan polis.
Pertukaran yang dilakukan antara tempat-tempat yang memiliki jarak yang jauh
cenderung untuk meningkatkan intensitas pertukaran tersebut, sehingga cepat
atau lambat, masyarakat akan membutuhkan semacam alat tukar. Alat tukar itu
adalah uang, dan Aristoteles telah memperkirakan bahwa hal ini memiliki potensi
destruktif yang sangat besar, yang mungkin lebih besar dari fungsi positifnya.
Ketika uang memungkinkan terjadinya pertukaran antara tempat-tempat yang jauh
dengan kuantitas yang juga besar, maka potensi akumulasi modal sebesar-besarnya
dan pengumpulan keuntungan semaksimal mungkin akan terbuka lebar-lebar, dan
menjadi tak terhindarkan. Pengumpulan modal dan uang menggantikan kebutuhan
akan pemuasan, yang sebetulnya sama sekali bukan tujuan diadakannya pertukaran.
Dengan kata
lain, ekonomi telah mengalami perubahan di dalam tujuan dasarnya, yakni bukan
lagi untuk sekedar pemenuhan kebutuhan, tetapi untuk keasyikan akumulasi modal,
yang mungkin jauh melampaui apa yang sebetulnya dibutuhkan.
Aristoteles
sangat curiga tentang hal ini. Kecurigaannya tersebut didasarkan pada ketakutan
bahwa ekonomi akan memiliki perentangan yang ‘tanpa batas’, terutama di dalam
hal akumulasi modal beberapa pihak yang memegang sumber-sumber modal.[25] Akumulasi
modal ‘tak terbatas’ beberapa pihak tersebut akan menciptakan kesenjangan
sosial. Pengejaran kekayaan demi kekayaan itu sendiri akan menjadi tujuan utama
dari aktivitas di dalam ruang-ruang ekonomi. Ketakutan semacam inilah yang
membuatnya sangat mengutuk peraihan keuntungan dan riba (usury). Aktivitas
ekonomi dan pertukaran telah mencabut kekayaan dari fondasi moralnya.
Pengejaran
kekayaan sampai hampir tanpa batas telah merusak fondasi dan prinsip-prinsip
moral dari tindakan sosial manusia, karena logika ekonomi mengancam untuk
menjadikan semua nilai-nilai moral lainnya sebagai subordinat.
“Karena
kenikmatan bergantung pada kepemilikan akan modal yang bersifat superior”,
demikian tulis Aristoteles, “manusia membentuk dirinya di dalam proses produksi
yang dibutuhkan untuk mendapatkan kenikmatan tersebut; dan jika mereka tidak
mendapatkannya, maka mereka akan mencari cara lain yang diperlukan untuk mendapatkan
kenikmatan tersebut… orang-orang yang kita bicarakan ini mengubah seluruh
kemampuan mereka menjadi kemampuan untuk mencari uang; dan mencari uang adalah
satu-satunya tujuan mereka. Semua hal lainnya harus menyumbangkan sesuatu untuk
tujuan itu.”[26]
Kecurigaan Aristoteles terhadap ekonomi juga didukung oleh beberapa hal
lainnya. Semua bentuk akumulasi modal yang didapatkan dari pertukaran, termasuk
juga keuntungan dan riba, adalah tidak alamiah, karena semuanya itu didapatkan
dengan “mengorbankan pihak lain.”[27] Uang ada,
karena ia menjadi alat tukar di dalam proses ekonomi. Uang tidak pernah
dimaksudkan menjadi pengganti nilai-nilai substansial, atau menjadi tujuan
satu-satunya. Uang membuat distribusi kekayaan menjadi tidak adil, serta
mendorong keinginan-keinginan individual ke atas, sehingga membahayakan
kepentingan komunitas.
Secara moral,
menurut Aristoteles, uang juga berbahaya, karena uang memiliki potensi besar
untuk mengkooptasi dimensi-dimensi lainnya di dalam masyarakat, dan
menjadikannya subordinat dari logika ekonomi yang mengklaim totalitas dan
universalitas logikanya.
Kecurigaannya terhadap aktivitas ekonomi yang diorientasikan pada akumulasi
modal tanpa batas menggambarkan karakter filsafat politik Yunani Kuno.
Kecenderungan ekonomi untuk melepaskan diri dari relasi-relasi sosial dan
fondasi moral hanya diatasi dengan penyebaran ide dan gagasan di dalam ruang
publik, yang bersifat politis. Tidak seperti ekonomi, politik tidak menjadikan
dimensi lainnya di dalam hidup manusia menjadi subordinat. Bagi Aristoteles,
politik adalah ruang publik yang dilandasi oleh moralitas, di mana setiap
dimensi dan potensi manusia dapat terwujud secara penuh dan optimal.
Akan tetapi, ketika kepentingan individual mendominasi dalam bentuk pertukaran,
uang, akumulasi keuntungan tanpa batas, serta riba, kehidupan politis pun akan
berada di ambang kehancuran.
Padahal,
Aristoteles menaruh harapan besar terhadap kehidupan politis, di mana
nilai-nilai moral dan kapasitas serta potensi manusia dapat terwujud. Keluarga
dan ruang privat, di mana perbudakan, budaya patriarki yang bersifat
diskriminatif terhadap wanita, serta otoritas absolut dari orang tua justru
melestarikan dominasi dan ketidakadilan, yang justru akan bermuara pada
hancurnya kehidupan politik. Di dalam Politics, ia telah menyadari akan
semua kemungkinan itu. Akan tetapi, ia tetap saja menaruh harapan besar
terhadap peran keluarga dan ruang privat, yang walaupun memiliki karakter
ketidaksetaraan dan diskriminasi, memiliki tujuan dan nilai-nilai moral yang
berguna bagi manusia. Ia juga tetap memiliki harapan besar terhadap ruang
publik politis, di mana aktivitas sosial manusia dalam kehidupan polis dapat
terlaksana walaupun kepentingan individual dalam bentuk pengumpulan modal tanpa
batas justru bisa meracuninya. Pertimbangan semacam ini merupakan kritik tajam
Aristoteles terhadap Plato. Sebuah kritik yang justru memberikan terobosan baru
di dalam refleksi tentang ruang publik.
Aristoteles yakin bahwa keinginan Plato untuk memaksakan kesatuan di dalam
ruang publik justru akan menghancurkan semua bentuk relasi sosial yang ada di
dalamnya. Polis sebagai sebuah kesatuan memiliki perbedaan dengan elemen-elemen
yang membentuknya. Totalitas tidak selalu sama dengan bagian. Begitu pula,
bagian tidak selalu sama dengan totalitas.
Individu
dan rumah tangga merupakan suatu bentuk mahluk moral yang unik, yang tidak
dapat direduksikan pada polis, walaupun polis tersusun atasnya.
“Polis”,
demikian tulis Aristoteles, “terdiri dari sekelompok orang. Polis juga tersusun
atas berbagai jenis orang yang berbeda-beda, karena kesamaan tidak akan pernah
dapat membentuk polis.”[28]
Plato,
menurutnya, gagal memahami ini, dan kegagalan tersebut muncul dari pengaruh
Sokrates. Sayangnya, kegagalan tersebut memberikan hasil yang cukup destruktif.
“Sokrates
memiliki prinsip bahwa ‘kesatuan terbaik yang mungkin yang ada bagi keseluruhan
adalah kebaikan yang tertinggi’. Disini tampak jelas bahwa polis yang terus
menerus berupaya dan bahkan memaksakan kesatuan justru bukanlah polis sama
sekali pada akhirnya. Polis pada dasarnya adalah semacam kumpulan: polis
memiliki kualitas yang mencakup banyak anggota di dalamnya. Jika polis menjadi
satu kesatuan unit, maka ia akan menjadi rumah tangga dan bukan polis, maka ia
juga akan menjadi individu daripada suatu keluarga. … kita tidak pernah boleh
sampai sini; ini adalah tanda kehancuran suatu polis.”[29]
Manusia hanya dapat dipahami seutuhnya di dalam tingkatan
polis. Plato gagal memahami hal ini secara baik. Orang-orang hidup di dalam
ruang yang berbeda, dan mereka tidak dapat diharapkan untuk setuju bersama
secara otomatis tentang apapun.
“Polis”,
demikian tulis Aristoteles, “membutuhkan kapasitas yang berbeda dari para
anggotanya, yang memungkinkan mereka saling mengisi kekurangan masing-masing,
dan membuat mereka mampu mencapai hidup yang lebih baik dan tinggi kualitasnya
dengan pertukaran yang sama-sama menguntungkan dari kemampuan mereka…. Suatu
kesatuan yang sesungguhnya, seperti polis, haruslah dibuat dari elemen-elemen
yang memiliki perbedaan jenis…”[30]
Plato secara jelas menolak keberadaan hak miliki pribadi
dan kehidupan berkeluarga, terutama di kalangan para pelindung. Ia takut bahwa
setiap bentuk ekspresi yang dilatarbelakangi oleh kepentingan pribadi akan
membatasi kemampuan sang pelindung untuk mengatur ruang publik. Pada titik
inilah Aristoteles berselisih pendapat dengan gurunya. Baginya, kepentingan
publik tidak akan pernah dicapai, jika kepentingan pribadi dilenyapkan. Bentuk
kepemilikan pribadi justru dapat berguna bagi kepentingan publik selama
besarnya diatur dalam skala yang dapat diterima.
“Ketika setiap
orang memiliki ruang privatnya masing-masing”, demikian tulisnya, “pertengkaran
akan berkurang; dan jumlah pemenuhan kebutuhan akan meningkat, karena setiap
orang merasa bahwa ia mengekspresikan dirinya di dalam apa yang ia punya.”[31]
Hak
milik pribadi, pada dirinya sendiri, tidaklah bersifat destruktif. Yang menjadi
masalah adalah rasa dan tindakan cinta diri yang berlebihan. Solusi atas hal
ini bukanlah penghancuran semua bentuk keinginan manusia akan privasi dan hak
milik pribadi, tetapi dengan memperadabkan keinginan tersebut melalui
pendidikan, dan mengaturnya, sehingga keinginan privat tersebut juga dapat
memberikan sumbangan bagi kehidupan publik. Baginya, Plato telah kebablasan.
“Adalah benar”,
demikian tambahnya, “bahwa kesatuan sampai batas tertentu mutlak diperlukan,
seperti di dalam rumah tangga dan di dalam polis. Akan tetapi, itu semua
bukanlah suatu bentuk kesatuan total. Ada satu titik di mana polis, dengan
meningkatkan kesatuannya, akan hancur. Ada alternatif lain, semacam itu, bahwa
polis tetap ada, tetapi telah kehilangan esensinya, dan menjadi polis yang
paling buruk..”[32]
Jadi, konsep ruang publik Aristoteles yang bersifat
plural didasarkan pada kesatuan yang bersifat domestik, seperti juga yang
publik didasarkan pada yang privat, dan yang universal didasarkan pada yang
partikular. Kesetaraan, kesempatan untuk mewujudkan potensi dan kapasitas
semaksimal mungkin, serta berbagai keutamaan yang dapat diraih di kehidupan
politis didasarkan pada kehidupan keluarga, yang notabene bersifat tidak setara.
Dengan kata lain, kehidupan optimal di ruang publik justru didasarkan pada
kehidupan keluarga yang bersifat diskriminatif. Di samping itu, sekelompok
orang yang hidup bersama tidak secara otomatis membentuk suatu polis. Warga
negara adalah elemen terdasar di dalam ruang publik. Akan tetapi, setiap warga
negara memiliki perbedaan, karena masing-masing memiliki akar kepentingan di
dalam ruang privat yang bersifat partikular. Jika Plato melihat perbedaan
sebagai kelemahan, maka Aristoteles sebaliknya, ia melihat bahwa perbedaan
adalah kekuatan.
Solidaritas di
dalam ruang publik hanya dapat terbentuk di dalam kesatuan yang didasarkan atas
pluralitas. “Sebuah polis”, demikian tulisnya, “merupakan sebentuk keseluruhan;
tetapi keseluruhan yang dibentuk, tidak lain dan tidak bukan, oleh beberapa
bagian-bagian yang berbeda..”[33]
Jika polis terdiri dari bagian-bagian yang berbeda, maka
tidak ada satu kesepakatan yang secara otomatis sama dan dapat diterima oleh
semua warga negara. Plato mau menyatukan semua unsur yang berbeda di dalam
realitas ke dalam suatu kesatuan. Kesatuan tersebut menentukan seluruh gerak
realitas dan menentukan arahnya. Hal ini tidak dapat disetujui oleh
Aristoteles, karena menurutnya, ruang publik memiliki nilai-nilai dasar yang
berbeda-beda yang harus dikontekstulisasikan setiap waktunya dalam berbagai
situasi tertentu. Nilai-nilai dasar ini bersifat aktif, dinamis, dan tampak di
dalam aktivitas publik yang dilakukan oleh warga negara.
“Warga negara
dalam arti sempit”, demikian tulisnya, “adalah… seseorang yang ikut
berpartisipasi di dalam menjalankan proses keadilan …”[34]
Warga negara hidup sesuai dengan aturan-aturan yang ia
buat sendiri dengan kesepakatan bersama anggota komunitas lainnya untuk
mencapai kemakmuran.
Tujuan hidup bersama di dalam suatu polis adalah hidup
yang baik, dan bukan hanya sekedar hidup.
Polis diciptakan untuk membentuk dan memperluas kebaikan.
Dalam arti ini,
kewarganegaraan
adalah suatu bentuk konsep moral, yang ditentukan tidak hanya sekedar dari
tempat kelahiran, tempat tinggal, ataupun hukum tertentu, tetapi juga oleh
kualitas moral dan pengabdian warga terhadap perwujudan keadilan di
komunitasnya.
Lepas dari dukungannya terhadap hak milik pribadi dan
kebebasan individual untuk membuat pilihan berdasarkan kepentingannya sendiri,
Aristoteles juga sangat sadar akan bahaya yang dapat timbul dari kedua hal
tersebut. Walaupun begitu, ia tetap menjadikan semua elemen ruang privat
tersebut sebagai dasar bagi eksistensi ruang publik. Orang-orang berkumpul
membentuk suatu komunitas dengan kepentingan dan keinginan yang berbeda-beda.
Awalnya, mereka semua hidup di dalam keluarga. Akan tetapi, pencarian akan
kehidupan yang baik mendorong setiap orang untuk berpartisipasi di dalam
kegiatan politik.
“Hal ini
(Politik),” demikian tulis Plato, “adalah tujuan terjauh, baik bagi komunitas
sebagai keseluruhan, maupun bagi kita secara individual..”[35]
Polis yang sehat adalah polis yang warganya memiliki
orientasi tentang apa itu kebaikan bersama, dan berupaya secara sengaja
mewujudkannya di dalam setiap tindakan mereka. Sementara, polis yang telah
ternoda cita-cita dasarnya adalah polis yang warganya hanya berorientasi untuk
memakmuran kelas yang berkuasa sambil menindas kelas yang lemah. Akan tetapi,
bagaimana kebaikan bersama dapat didefinisikan, dan kemudian dilaksanakan?
Orang memang memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dan
konsep kebaikannya masing-masing. Akan tetapi,
bagi Aristoteles, ada suatu bentuk kriteria universal
yang dapat ditarik dari semua perbedaan tersebut, karena kebaikan bersama lebih
dari sekedar kumpulan dari kepentingan pribadi, dan dapat secara obyektif
ditentukan.
“Konstitusi”,
demikian tulisnya, “yang memperhatikan kebaikan bersama adalah konstitusi yang
benar, yang ditetapkan dengan kriteria untuk mencapai keadilan sepenuh-penuhnya.
Konstitusi yang hanya mempertimbangkan kepentingan pribadi dari para penguasa
adalah konstitusi yang salah, atau perversi dari konstitusi yang benar..”[36]
Kriteria
keadilan yang paling maksimal hanya dapat dicapai oleh seseorang, jika ia mau
menggunakan akal sehatnya. Refleksi semacam ini mengantar Aristoteles pada
klasifikasi bentuk-bentuk pemerintahan.
“Tirani”
demikian tulisnya, “adalah pemerintahan di bawah satu orang yang didasarkan
melulu pada kepentingan orang itu. Oligarki merupakan pemerintahan yang
diarahkan pada kepentingan sekumpulan orang tertentu; demokrasi ditujukan untuk
kepentingan golongan yang lemah. Tidak ada satu pun dari ketiga bentuk
pemerintahan ini yang menyumbangkan kebaikan bagi keseluruhan”[37]
Sementara
itu, monarki dan aristokrasi adalah dua bentuk pemerintahan yang sudah selalu
mempertimbangkan kebaikan bersama di dalam berbagai keputusannya. Maka, dua
bentuk pemerintahan semacam inilah yang diidealkan olehnya. Rumusan Plato yang
menyatakan bahwa awal dari ketidakadilan adalah ekspresi politik yang
didasarkan pada kepentingan pribadi berada dalam kedudukan yang paralel dengan
klasifikasi bentuk-bentuk pemerintahan yang dirumuskan Aristoteles ini. Di
bagian akhir, ia berpendapat bahwa kehidupan publik selalu mengandaikan adanya
kerangka konstitusional untuk menunjangnya, sehingga selalu penguasa selalu
dapat dikontrol untuk berorientasi pada kepentingan bersama.
Ruang publik sudah selalu dibentuk oleh beragam keluaraga, kelas sosial,
bentuk-bentuk relasi kerjasama, dan aktivitas-aktivitas pertukaran barang
maupun jasa. Melampaui Plato, Aristoteles berpendapat bahwa ruang publik hanya
dapat menjadi kuat, jika pluralitas yang inheren di dalam kehidupan sosialnya
diakui, dihargai, dan dikembangkan.
“Kehidupan
politik yang baik”, demikian tulisnya, “haruslah sekaligus oligarkis dan
demokratis… politik semacam itu haruslah mendapat kekuatannya dari fakta-fakta
yang beragam, bukan fakta-fakta yang ditentukan oleh mayoritas…tetapi dari
fakta bahwa tidak ada satu dimensi di dalam kehidupan sosial yang dapat berubah
secara otomatis untuk menyesuaikan dengan satu konstitusi tunggal”[38]
Ruang
publik yang kuat harus didasarkan pada kelas sosial yang menengah dengan hak
milik pribadi mereka, serta menggabungkan kebijaksanaan aristokrasi dengan
kekuatan demokrasi. Hanya moderasi dari ekstrem, atau kelompok menengah dengan
kualitas moral mereka, yang dapat merubah ekses dan krisis menjadi kekuatan
ruang publik yang didasarkan pada perbedaan.
“Di dalam semua negara”, demikian Aristoteles, “ada tiga bagian yang tidak
dapat dipisahkan, atau kelas-kelas sosial- orang-orang yang sangat kaya,
orang-orang yang sangat miskin, dan orang-orang dari kelas menengah. Sekarang
telah diakui, sebagai sebuah prinsip umum, bahwa moderasi, atau kelas menengah,
selalu merupakan yang terbaik. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa
kepemilikan dalam segala bentuk yang berada dalam jumlah dan kualitas yang
bersifat menengah adalah yang terbaik.”[39]
Orang
kaya dan orang miskin didorong oleh kerakusan, ketakutan, serta kecemasan yang
ditimbulkan akibat berlebihnya harta, atau kurang sama sekalinya harta.
Orang-orang kaya hanya tahu bagaimana caranya memerintah, dan orang-orang
miskin hanya tahu bagaimana caranya mematuhi.
Akan
tetapi, kelompok menengah memiliki musuh dan kerakusan yang lebih sedikit dari
kedua kelompok lainnya. Orang dari kelas menengah lebih mampu berpikir dengan
akal sehat, displin, dan pertimbangan yang seimbang. Mereka tidak terlalu
ambisius, kejam, ataupun bersifat iri hati, jika dibandingkan dengan kelas
lainnya. Negara yang baik membutuhkan orang-orang yang tahu bagaimana cara
memerintah dan patuh pada saat yang sama. Pengetahuan semacam ini hanya
didapatkan pada memiliki kelas ekonomi menengah, yang akhirnya bisa
mempraktekkan politik yang memiliki keutamaan, yang tidak melulu digendong
kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi.
“Negara”
demikian tulis Aristoteles, “sejauh mungkin, terdiri dari masyarakat yang
setara.. yang dapat bekerja sama sebagai teman dan rekan kerja.. kelas
menengah, lebih dari kelas yang lainnya, memiliki kualitas semacam ini. Maka,
negara yang berdiri atas dasar kelas menengah memiliki kemampuan untuk menjadi
lebih setara.. ini merupakan bentuk alamiah dari negara..”[40]
Negara
yang sehat dibentuk berdasarkan keragaman yang ada di ruang publik, di mana
kelas menengah adalah pilarnya. Kelas menengah itulah yang nantinya memiliki
potensi besar untuk mengharmonisir kepentingan kelas kaya dan kelas miskin.
Bentuk negara semacam itu hanya memiliki kemungkinan kecil untuk terjadinya
kekacauan ataupun revolusi, karena mereka dapat membatasi kerakusan kaum kaya
dalam hal akumulasi modal, sekaligus melindungi kaum miskin dari kemiskinan
total yang kerap berakhir pada bencana dan kematian.
Pertentangan
antar kelompok dapat dicegah, beban pajak juga dapat dengan lentur disesuaikan,
serta hukum dan konstitusi yang ada dapat ditegakkan secara konsisten.
“Yang paling
penting di antara semua”, demikian Aristoteles, “di dalam konstitusi, adalah
bahwa setiap ketetapan harus dibuat tidak hanya berdasarkan hukum, tetapi juga
berdasarkan sistem umum ekonomi, terutama untuk mencegah pada penguasa untuk
menggunakan otoritas mereka demi kepentingan mereka sendiri.”[41]
Struktur
politik yang sehat adalah struktur politik yang mampu melindungi kelas-kelas
sosial yang berbeda dari pertentangan satu sama lain, serta mampu memadamkan
bentuk-bentuk dekadensi dalam bentuk pemutlakan suatu nilai-nilai partikular,
kecurigaan, feodalisme, KKN, kerakusan, dan semua bentuk kekerasan.
Seperti sudah kita lihat sebelumnya, Plato gagal memahami bahwa kepentingan
pribadi merupakan bagian yang permanen dan inheren di dalam kondisi alamiah
manusia. Masyarakat membentuk berbagai macam jaringan kerja sama, karena mereka
ingin memenuhi kepentingan pribadi mereka, atau karena mereka harus memenuhi
kebutuhan dasar keluarga mereka.
“Komunitas
politis”, demikian tulis Aristoteles, “tidak berorientasi pada kegunaan jangka
pendek, tetapi bagi kegunaan dan kemakmuran sepanjang hidup rakyatnya..”[42]
Pengakuan
dan penghargaan Aristoteles terhadap perbedaan pluralitas membuatnya mampu
merumuskan teori tentang ruang publik yang lebih memadai daripada Plato. Ruang
publik adalah ruang, di mana komunitas yang dibentuk secara politis mengatur
berbagai kepentingan yang berbeda-beda di dalam negara. Di dalam prosesnya,
ruang publik memungkinkan setiap warganya untuk mewujudkan potensi dan
kapasitas mereka semaksimal mungkin. Intensi terdalam Plato untuk sampai pada
kesatuan, pada akhirnya, membuatnya menjadi bersifat otoriter terhadap
perbedaan. Pembagian kerja pun menjadi bersifat mutlak, dan tidak mengenal
perubahan. Sementara itu, Aristoteles hendak mengatur berbagai kepentingan yang
berbeda, namun tetap satu di dalam polis, karena hakekat dari polis justru
adalah perbedaan. Akan tetapi,
keduanya
sepakat bahwa di dalam keterlibatan politislah setiap orang dapat mengembangkan
kualitas moralnya, sekaligus mengembangkan potensi-potensi dasarnya secara
maksimal.
Politik
adalah “master science of the Good”, karena politik mau mengurangi
dorongan kepentingan dan nafsu-nafsu pribadi, dan menaruh kepentingan pribadi
tersebut di dalam kerangka kepentingan bersama.[43]
Pemahaman Aristoteles tentang ruang publik yang terdiri dari berbagai elemen
yang mempunyai kepentingan yang beragam jelas lebih memadai daripada rumusan
Plato. Akan tetapi, pemahaman Aristoteles sendir sangat diwarnai budaya
aristokrasi di Yunani, di mana ia menjalani masa mudanya. Pengaruhnya terlihat
di dalam pendapatnya tentang aktivitas di dalam ruang publik, di mana setiap
orang terlibat di dalam debat publik dan pertimbangan dengan kawan-kawan
ataupun partnernya. Ruang publik yang berisi interaksi dan jaringan komunikasi
dianggapnya mampu meningkatkan kesadaran moral. Pada hemat saya, semua itu
hanya mungkin, jika setiap orang memiliki hak milik yang mencukupi, tingkat
kecerdasan yang memadai, dan waktu luang untuk menghadiri berbagai aktivitas
publik. Pandangan semacam itu tidak dapat bertahan di tengah masyarakat yang
masih bermental korup, dan tingkat kemiskinannya masih sangat besar. Walaupun begitu,
rumusan Aristoteles ini menemukan gema yang serupa di dalam pemikiran
kontemporer tentang ruang publik, seperti pada Hannah Arendt dan Jürgen
Habermas.
Kesimpulan
Setelah menempuh pemaparan yang panjang dan melelahkan tentang inti-inti
pemikiran Plato dan Aristoteles tentang ruang publik, kita setidaknya dapat
menarik empat butir kesimpulan. Pertama, kedua filsuf Yunani Kuno tersebut
berpendapat bahwa aktivitas politik adalah aktivitas yang mencerahkan, yang
membuat manusia mampu merealisasikan kapasitas dan semua potensinya secara
penuh dan maksimal. Aktivitas politik tidaklah berarti menjadi seorang
politikus yang terlibat di dalam partai politik, tetapi aktivitas yang
berorientasi untuk mencapai kehidupan bersama yang lebih berkualitas di dalam
segala aspeknya. Ia bertindak dan hidup tidak hanya untuk dirinya sendiri,
tetapi secara sengaja mengorientasikan seluruh visi dan tindakannya ke arah
pencapaian kehidupan bersama yang lebih baik. Oleh karena itu,
seorang
pelukis juga bisa terlibat di dalam aktivitas politik selama semua karyanya
diorientasikannya tidak hanya untuk memenuhi kepentingannya sendiri, tetapi
juga untuk mewujudkan kehidupan publik yang lebih berkualitas.
Kedua, dalam kerangka argumetasi utama yang ingin saya kembangkan dalam tulisan
ini, Plato dan Aristoteles adalah para filsuf pertama yang meletakkan dasar
refleksi ruang publik di dalam debat metafisis antara yang satu dan yang
banyak. Plato mulai dengan memandang ruang publik sebagai suatu kesatuan,
di mana semua elemen yang berbeda menempati pembagian kerja yang jelas dan
tetap, dan bermuara pada kesatuan totalitas dari seluruh ruang publik tersebut.
Maka, ruang publik Plato adalah ruang publik yang satu. Sementara,
Aristoteles mulai dengan memandang hakekat ruang publik sebagai perbedaan dan
keragaman kepentingan, serta mulai memikirkan cara-cara yang tepat untuk
mengorganisir pelbagai perbedaan tersebut, sehingga tetap terintegrasi, dan
tetap berada di dalam satu kesatuan polis. Maka, ruang publik Aristoteles
adalah ruang publik yang banyak.
Seluruh
teori dan refleksi tentang ruang publik berikutnya tidak akan pernah jauh dari
tegangan antara yang satu dan yang banyak, yang telah sebelumnya
dirumuskan secara komprehensif oleh Plato dan Aristoteles.
Ketiga, dari paparan di atas, kita setidaknya bisa menarik satu butir refleksi,
yakni bahwa krisis ruang publik diakibatkan oleh kesalahan dalam menempatkan
yang satu dan yang banyak dalam proporsi yang tepat, sehingga ketika kita harus
memandang ruang publik sebagai sebuah kesatuan, kita justru memandangnya
sebagai ruang yang plural dan berbeda-beda. Sementara, ketika kita harus
memandang ruang publik sebagai ruang yang memiliki ragam kepentingan dan elemen
yang berbeda-beda, kita justru memandangnya sebagai ruang publik yang utuh dan
satu, yang seringkali cenderung menindas perbedaan kepentingan yang ada di
dalamnya. Dengan demikian,
krisis
di dalam ruang publik bersumber pada kesalahan mempersepsikan konsep dasar dan
hakekat ruang publik tersebut, dan kesalahan persepsi dan konsep pada akhirnya
akan bermuara pada kesalahan tindakan. Kesalahan tindakan bisa mengakibatkan
kehancuran.
Keempat, kita juga dapat mengkategorikan dua pemikir di atas dalam konteks
tentang refleksi kepentingan diri. Plato mengutuk kepentingan diri, karena
hanya akan bermuara pada kerakusan, rivalitas, persaingan, dan pada akhirnya
perang. Kepentingan diri haruslah dibaktikan pada kepentingan umum, demikian
pandangannya. Sementara, Aristoteles berpendapat bahwa kepentingan diri
merupakan dasar dari terbentuknya ruang publik. Ruang publik didasarkan pada
ruang privat. Yang umum selalu sudah didasarkan pada yang partikular. Oleh
karena itu, ruang publik yang ideal adalah ruang publik yang dengan
mengorientasikan semua kebijakannya pada kepentingan bersama juga sudah selalu
menjamin kebaikan individu-individu, yang juga memiliki kepentingan pribadi di
dalamnya. Adalah Adam Smith yang nantinya merumuskan refleksi Aristoteles ini
secara lebih mendalam. Semoga tulisan ini mampu mengantarkan pembaca pada
refleksi-refleksi selanjutnya tentang ruang publik yang terpapar di dalam buku
ini. Terima kasih.
0 komentar:
Posting Komentar